Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti.
Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya.
Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab.
"Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti.
"Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri.
"InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya.
Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan.
Tanti mengangguk. "Kuusahakan. Kemaren itu lagi sibuk. Jadi belum sempat ke sini. Sekarang, semuanya udah selesai. Semoga bisa sering berkunjung."
"Waktu Mas Saad datang tempo hari, beliau bawa makanan apa itu namanya, ya? Saya suka."
Tanti mengerutkan dahi. "Ehm, nanti kutanyain ke Bapak."
Selama beberapa menit berikutnya, kedua perempuan kembali berbincang mengenai berbagai hal. Tanti mendengarkan cerita Nuri yang mengeluhkan suaminya masih menolak makan.
Sang gadis melirik Haedar, kemudian berkata, "Om, harus makan. Biar lekas pulih dan bisa pulang ke rumah."
"Hmm, ya," bisik Haedar.
"Aku pengen lihat, supaya jadi bukti bila Om benar-benar makan."
Farzan menunduk untuk menutupi senyumannya. Dia tidak menduga jika Tanti punya siasat halus yang tidak bisa ditolak Haedar. Lelaki beralis tebal menengadah dan turut memperhatikan ketika sang ayah memaksakan diri makan sembari disuapi ibunya.
Farzan melirik gadis berambut sebahu yang tengah tersenyum. Dia senang karena kehadiran Tanti benar-benar menjadikan Haedar menurut untuk makan. Satu kesadaran menyentak hati Farzan. Dia meyakini jika hanya Tanti-lah yang bisa meluluhkan hati orang tuanya. Bukan Ristin.
Puluhan menit berlalu, Tanti berpamitan pada Nuri dan Haedar. Dia menyalami keduanya dengan takzim. Kemudian dia menunggu Farzan berpamitan pada kedua orang tuanya.
Setelah Farzan keluar dari ruang perawatan VIP, mereka jalan bersisian menyusuri lorong panjang rumah sakit. Tidak ada yang bicara, hingga mereka tiba di tempat parkir dan memasuki kendaraan.
"Ti," panggil Farzan, sesaat setelah mobil keluar dari area parkir.
"Ya," sahut Tanti.
"Makasih telah mau membujuk Ayah. Akhirnya beliau mau makan juga."
"Kembali kasih, Mas." Tanti melirik sekilas, kemudian berkata, "Kalau sudah tua, kadang memang kembali manja layaknya anak kecil. Bapakku juga sama. Kalau sakit, aku dan Teteh harus rajin merayu supaya beliau mau makan."
"Tapi Bapak nggak nurut ke Jihan. Sama kamu, tadi langsung mau nurut."
"Mungkin beliau malu dan mau nggak mau jadi nurut."
"Menurutku bukan itu. Ayah memang mau kamu datangi."
Tanti mengangguk. "Kuusahakan tiap hari datang, Mas. Kasihan juga Ibu Mas kalau terlalu lama di sana. Beliau pasti capek ngerawat yang sakit."
Farzan tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia meneruskan mengemudi sembari memikirkan kata-kata untuk menerangkan kedatangannya pada Saad. Farzan teringat percakapannya dengan Haedar tempo hari, tentang keputusannya untuk menerima perjodohan dengan satu persyaratan.
Puluhan menit berikutnya, kehadiran Farzan membuat Saad gembira. Pria berkaus putih mengajak anak sahabatnya ke teras samping kanan yang menjadi tempat favorit Saad.
Tanti mendatangi bundanya yang tengah menyiapkan suguhan buat tamu. Dia membatin jika sepertinya Endang juga senang dengan kedatangan Farzan, seperti halnya Saad.
"Kamu mandi dulu, Ti. Biar segeran," pinta Endang.
Tanti enggan berdebat dan segera memenuhi permintaan bundanya. Perempuan berbibir tipis berbalik dan jalan menaiki tangga. Dia meneruskan langkah hingga tiba di depan pintu kamarnya di bagian belakang rumah.
Kala Tanti kembali ke lantai satu belasan menit berikutnya, dia tertegun mendengar tawa Saad, Farzan dan Dayyan, Adik Tanti yang ternyata telah pulang dari kantor. Perempuan berhidung bangir memperhatikan ketiga lelaki yang masih terus bercanda. Tanpa sadar dia mengulum senyum ketika menyadari bila Farzan telah berhasil mengakrabkan diri dengan keluarganya.
Senyuman Tanti menghilang saat mengingat dulunya Yosrey juga cukup akrab dengan keluarganya. Namun, semuanya berubah ketika lelaki berkumis tipis itu berpaling dan menjalin hubungan dengan Githa.
Masih terbayang jelas dalam benak Tanti, betapa marahnya Saad ketika Yosrey datang untuk meminta maaf. Semenjak itu Tanti dan Yosrey selalu bertemu di luar, meskipun dia sudah diperingatkan Saad untuk meninggalkan Yosrey.
Tanti akhirnya menuruti keinginan sang bapak setelah Yosrey berangkat ke Jepang dan hanya berpamitan lewat telepon. Tanti mendengkus pelan, karena dia benar-benar tidak akan bisa kembali pada Yosrey karena takut kecewa kembali. Selain itu, Tanti juga yakin jika Yosrey tidak akan pernah diterima sebagai menantu oleh keluarganya.
Azan magrib bergema. Saad mengajak Farzan dan Dayyan salat di musala. Tanti dan Endang turut menjadi makmum. Kemudian kedua perempuan bergegas menyiapkan hidangan dengan dibantu seorang asisten.
Selama acara bersantap, Tanti tidak ikut berbincang seperti halnya keempat orang lainnya. Dia baru urun suara kala ditanya Saad mengenai rencana pertemuan keluarganya dengan keluarga Farzan.
"Bapak rasa, mempercepat pernikahan bisa menjadi penyemangat Haedar untuk segera sembuh," tutur Saad sembari memandangi putrinya dan Farzan secara bergantian. "Bagaimana, apa kalian setuju?" tanyanya.
Farzan melirik pada gadis berkaus putih yang duduk di kursi seberang meja. "Saya, gimana Tanti aja, Pak," sahutnya yang menyebabkan perempuan tersebut mengeluh dalam hati.
"Ehm, aku ... terserah Bapak dan Bunda aja," cicit Tanti sembari menunduk.
"Bapak tidak mau lama-lama, Ti. Maksimal bulan depan sudah walimahan," tukas Saad. "Masalah teknisnya, nanti Bapak dan Bunda rembukkan lagi," lanjutnya.
Tanti bergeming. Selanjutnya dia hanya menjadi pendengar percakapan orang-orang di sekitarnya. Perempuan berhidung bangir sudah tidak bisa menolak perjodohan. Meski nantinya dia hanya akan menjadi istri pajangan.
Tanti menengadah untuk mengamati Farzan. Dia sudah berjanji untuk menyembunyikan rahasia lelaki tersebut yang akan berpoligami. Tanti tahu, bapaknya akan marah bila tahu tentang hal itu. Namun, Tanti hanya ingin menghindari Yosrey. Menikah dengan Farzan adalah jalan satu-satunya agar sang mantan tidak lagi mendatanginya.
Saat Farzan meminta waktu berbincang berdua dengannya, Tanti mengajak lelaki berambut lebat ke bangku taman. Mereka duduk di bagian ujung kanan dan kiri, kemudian mengamati jalan depan rumah yang dalam kondisi lengang.
"Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih. Karena kamu mau menerima perjodohan ini," tutur Farzan.
"Aku cuma ingin membantu agar Om Haedar lekas pulih. Selain itu, aku juga butuh status itu agar bisa menjauhi Mas Yosrey," jelas Tanti.
"Ya, dan aku akan membantumu mengusirnya. Jika dia kembali mendatangimu."
"Ehm, Mas. Apa aku boleh ketemu dengan pacar Mas?"
"Ristin?"
"Hu um."
"Mau ngapain?"
"Aku mau menjelaskan jika kita hanya menikah pura-pura."
"Dia sudah tahu tentang itu."
"Lalu?"
"Dia setuju. Dengan catatan, aku harus menempatkan kalian di rumah yang berbeda."
"Aku bisa tetap di sini."
"Kita akan repot harus terus bersandiwara, Ti. Keluargamu pasti curiga kalau aku tidak pulang. Beda halnya kalau kita tinggal di rumah sendiri. Mereka nggak akan tahu jika aku punya rumah lain."
"Ehm, ya. Terserah Mas aja."
"Kamu nanti tinggal di rumah yang sudah lama kubeli. Sedangkan Ristin akan kucarikan rumah di tempat lain."
07Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se
10Tanti jalan mondar-mandir sepanjang ruang kerjanya. Dia sekali-sekali akan melirik pergelangan tangan kanan untuk mengecek arloji. Detik demi detik menunggu terasa begitu lama bagi perempuan berbaju abu-abu. Kala ponselnya berbunyi, dia segera mengangkatnya. Tidak berselang lama Tanti sudah jalan menyusuri tangga. Setibanya di lantai satu, dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang tengah duduk di kursi dekat meja kasir. Setelah menempati kursi seberang Farzan, Tanti langsung menceritakan tentang perdebatannya kemarin malam dengan Yosrey. "Ternyata dia benar-benar mencari tahu tentang Mas lewat akun instagram. Jadi, waktu Ristin men-tag Mas, kebukalah semuanya," tutur Tanti. Farzan mendengkus pelan. Dia tidak menduga jika Yosrey akan menggali informasi tentang dirinya. "Akunnya apa? Biar kublokir," cakapnya. "Kupikir dia pakai akun palsu. Akan ketahuan kalau dia gunakan akun asli." "Ehm, ya, benar juga." "Tolong sampaikan ke Ristin, untuk sementara jangan up apa pun yang b
"Apa, Yah? Menikah dengan Tanti?" tanya Farzan Bramanty pada sang ayah yang berada di kursi seberang. "Ya, demi mewujudkan perjanjian Ayah dan Saad, dulu. Sekaligus sebagai cara Ayah membalas budi pada beliau, karena telah menyelamatkan nyawa Ayah beberapa tahun silam," sahut Haedar Bramanty, Ayah Farzan. "Tapi aku sudah melamar Ristin, Yah. Karena itulah aku datang dan meminta Ayah sama Ibu mau melamarkannya pada orang tuanya di Bogor." "Ayah dari dulu sudah bilang, kalau Ayah telah memiliki calon istri untukmu." Farzan menggeleng. "Enggak bisa. Aku cinta Ristin!" tegasnya. "Cinta bisa luntur seiring waktu. Bisa juga dipindahkan ke orang lain." "Aku tetap nggak mau! Lagi pula aku dan Tanti nggak kenal dekat. Cuma say hello kalau ketemu, tiap kali Ayah menyuruhku mendatangi rumahnya." "Dan itu cara Ayah agar kamu bisa mengenalnya lebih dekat." "Yah, maaf. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Ini udah modern. Nggak zaman lagi perjodohan." "Ayah tidak akan menyetujui perjodohan kal
Sinar matahari sore menjelang malam yang hangat menyentuh kulit yang terbuka. Embusan angin sejuk membelai sukma. Dedaunan yang jatuh ke bumi, akan melayang berpindah tempat bila sang bayu sedikit mengencang.Sepasang manusia duduk di bangku panjang dengan posisi berjauhan. Tidak ada seorang pun yang berbicara dan larut dalam pikiran masing-masing. Bila Farzan tengah menyusun kalimat untuk menerangkan maksudnya, Tanti berdiam diri karena menunggu lelaki berparas manis mengucapkan kata-kata. "Apa kamu sudah tahu, kalau kita dijodohkan?" tanya Farzan memecahkan kesunyian. "Ehm, ya," sahut Tanti. "Bagaimana menurutmu?" "Aku nggak tahu, Mas. Sekarang masih kaget." "Aku nggak bisa menerimanya. Bukan karena kamu, tapi aku sudah punya calon sendiri." Tanti tertegun sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, Mas. Aku paham. Nggak apa-apa." "Bisa bantu aku buat meyakinkan orang tua?" "Maksudnya?" "Kamu menjelaskan kalau kamu juga menolak perjodohan." Tanti mendengkus. "Walaupun kurang yaki
"Enggak nyangka kita bisa ketemu di sini," tutur Yosrey sembari mengamati perempuan berambut sebahu lekat-lekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan. Tanti memandangi tangan lelaki di hadapannya sesaat, sebelum menjabatnya secara asal dan segera menariknya. "Kabarku, cukup baik," sahutnya. Perempuan berhidung bangir mengalihkan perhatian pada deretan minuman, kemudian mengambil beberapa botol rasa yang menjadi kesukaannya. Tanti menutup pintu lemari pendingin, lalu berbalik dan hendak menjauh. "Ti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Yosrey. Tanti berhenti. "Ini sudah malam, Mas. Aku harus buru-buru pulang," terangnya tanpa menoleh. "Kalau begitu, besok saja. Sesuai perjanjian kita." "Aku nggak ada janji. Aku cuma bilang akan memikirkannya." "Ini benar-benar penting, Ti. Waktuku juga nggak lama di sini. Bulan depan aku harus kembali ke Jepang." Yosrey berpindah ke samping kanan dan memegangi lengan perempuan berkulit kuning langsat yang seketika menjengit. "Hany
Seorang pria yang berada di dalam mobil SUV abu-abu, mengamati sepasang manusia yang tengah mengobrol di teras kafe. Dia mengerutkan dahi karena tidak mengenali lelaki berperawakan sedang yang tengah berbincang dengan Tanti. Yosrey terus memandangi pria yang akhirnya berbalik dan jalan menuju tempat parkir. Dia benar-benar tidak mengetahui siapa lelaki tersebut. Yosrey penasaran tentang sosok itu sekaligus alasannya bertemu Tanti. Seunit mobil MPV hitam melintas di depan mobil Yosrey. Lelaki berkemeja krem memastikan mobil itu menjauh, sebelum membuka pintu kendaraannya dan turun. Yosrey spontan merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum mengayunkan tungkai menyambangi perempuan berambut sebahu yang tampak terkejut melihatnya datang. "Aku kirim chat dan meneleponmu beberapa kali, tetapi tidak dijawab," tutur Yosrey, sesaat setelah tiba di dekat Tanti. "Ehm, ponselnya lagi di-charge di ruang kerja. Aku tengah menemui tamu," jelas Tanti. "Siapa pria yang tadi?" Tanti terdiam sesaat