Share

Bab 06 - Pasrah

Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti. 

Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya. 

Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab.

"Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti. 

"Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri. 

"InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya. 

Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan. 

Tanti mengangguk. "Kuusahakan. Kemaren itu lagi sibuk. Jadi belum sempat ke sini. Sekarang, semuanya udah selesai. Semoga bisa sering berkunjung." 

"Waktu Mas Saad datang tempo hari, beliau bawa makanan apa itu namanya,  ya? Saya suka." 

Tanti mengerutkan dahi. "Ehm, nanti kutanyain ke Bapak." 

Selama beberapa menit berikutnya, kedua perempuan kembali berbincang mengenai berbagai hal. Tanti mendengarkan cerita Nuri yang mengeluhkan suaminya masih menolak makan. 

Sang gadis melirik Haedar, kemudian berkata, "Om, harus makan. Biar lekas pulih dan bisa pulang ke rumah." 

"Hmm, ya," bisik Haedar. 

"Aku pengen lihat, supaya jadi bukti bila Om benar-benar makan." 

Farzan menunduk untuk menutupi senyumannya. Dia tidak menduga jika Tanti punya siasat halus yang tidak bisa ditolak Haedar. Lelaki beralis tebal menengadah dan turut memperhatikan ketika sang ayah memaksakan diri makan sembari disuapi ibunya. 

Farzan melirik gadis berambut sebahu yang tengah tersenyum. Dia senang karena kehadiran Tanti benar-benar menjadikan Haedar menurut untuk makan. Satu kesadaran menyentak hati Farzan. Dia meyakini jika hanya Tanti-lah yang bisa meluluhkan hati orang tuanya. Bukan Ristin. 

Puluhan menit berlalu, Tanti berpamitan pada Nuri dan Haedar. Dia menyalami keduanya dengan takzim. Kemudian dia menunggu Farzan berpamitan pada kedua orang tuanya. 

Setelah Farzan keluar dari ruang perawatan VIP, mereka jalan bersisian menyusuri lorong panjang rumah sakit. Tidak ada yang bicara, hingga mereka tiba di tempat parkir dan memasuki kendaraan. 

"Ti," panggil Farzan, sesaat setelah mobil keluar dari area parkir. 

"Ya," sahut Tanti.

"Makasih telah mau membujuk Ayah. Akhirnya beliau mau makan juga." 

"Kembali kasih, Mas." Tanti melirik sekilas, kemudian berkata, "Kalau sudah tua, kadang memang kembali manja layaknya anak kecil. Bapakku juga sama. Kalau sakit, aku dan Teteh harus rajin merayu supaya beliau mau makan." 

"Tapi Bapak nggak nurut ke Jihan. Sama kamu, tadi langsung mau nurut." 

"Mungkin beliau malu dan mau nggak mau jadi nurut." 

"Menurutku bukan itu. Ayah memang mau kamu datangi." 

Tanti mengangguk. "Kuusahakan tiap hari datang, Mas. Kasihan juga Ibu Mas kalau terlalu lama di sana. Beliau pasti capek ngerawat yang sakit." 

Farzan tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia meneruskan mengemudi sembari memikirkan kata-kata untuk menerangkan kedatangannya pada Saad. Farzan teringat percakapannya dengan Haedar tempo hari, tentang keputusannya untuk menerima perjodohan dengan satu persyaratan. 

Puluhan menit berikutnya, kehadiran Farzan membuat Saad gembira. Pria berkaus putih mengajak anak sahabatnya ke teras samping kanan yang menjadi tempat favorit Saad. 

Tanti mendatangi bundanya yang tengah menyiapkan suguhan buat tamu. Dia membatin jika sepertinya Endang juga senang dengan kedatangan Farzan, seperti halnya Saad. 

"Kamu mandi dulu, Ti. Biar segeran," pinta Endang. 

Tanti enggan berdebat dan segera memenuhi permintaan bundanya. Perempuan berbibir tipis berbalik dan jalan menaiki tangga. Dia meneruskan langkah hingga tiba di depan pintu kamarnya di bagian belakang rumah. 

Kala Tanti kembali ke lantai satu belasan menit berikutnya, dia tertegun mendengar tawa Saad, Farzan dan Dayyan, Adik Tanti yang ternyata telah pulang dari kantor. Perempuan berhidung bangir memperhatikan ketiga lelaki yang masih terus bercanda. Tanpa sadar dia mengulum senyum ketika menyadari bila Farzan telah berhasil mengakrabkan diri dengan keluarganya. 

Senyuman Tanti menghilang saat mengingat dulunya Yosrey juga cukup akrab dengan keluarganya. Namun, semuanya berubah ketika lelaki berkumis tipis itu berpaling dan menjalin hubungan dengan Githa. 

Masih terbayang jelas dalam benak Tanti, betapa marahnya Saad ketika Yosrey datang untuk meminta maaf. Semenjak itu Tanti dan Yosrey selalu bertemu di luar, meskipun dia sudah diperingatkan Saad untuk meninggalkan Yosrey. 

Tanti akhirnya menuruti keinginan sang bapak setelah Yosrey berangkat ke Jepang dan hanya berpamitan lewat telepon. Tanti mendengkus pelan, karena dia benar-benar tidak akan bisa kembali pada Yosrey karena takut kecewa kembali. Selain itu, Tanti juga yakin jika Yosrey tidak akan pernah diterima sebagai menantu oleh keluarganya. 

Azan magrib bergema. Saad mengajak Farzan dan Dayyan salat di musala. Tanti dan Endang turut menjadi makmum. Kemudian kedua perempuan bergegas menyiapkan hidangan dengan dibantu seorang asisten. 

Selama acara bersantap, Tanti tidak ikut berbincang seperti halnya keempat orang lainnya. Dia baru urun suara kala ditanya Saad mengenai rencana pertemuan keluarganya dengan keluarga Farzan. 

"Bapak rasa, mempercepat pernikahan bisa menjadi penyemangat Haedar untuk segera sembuh," tutur Saad sembari memandangi putrinya dan Farzan secara bergantian. "Bagaimana, apa kalian setuju?" tanyanya. 

Farzan melirik pada gadis berkaus putih yang duduk di kursi seberang meja. "Saya, gimana Tanti aja, Pak," sahutnya yang menyebabkan perempuan tersebut mengeluh dalam hati. 

"Ehm, aku ... terserah Bapak dan Bunda aja," cicit Tanti sembari menunduk. 

"Bapak tidak mau lama-lama, Ti. Maksimal bulan depan sudah walimahan," tukas Saad. "Masalah teknisnya, nanti Bapak dan Bunda rembukkan lagi," lanjutnya. 

Tanti bergeming. Selanjutnya dia hanya menjadi pendengar percakapan orang-orang di sekitarnya. Perempuan berhidung bangir sudah tidak bisa menolak perjodohan. Meski nantinya dia hanya akan menjadi istri pajangan. 

Tanti menengadah untuk mengamati Farzan. Dia sudah berjanji untuk menyembunyikan rahasia lelaki tersebut yang akan berpoligami. Tanti tahu, bapaknya akan marah bila tahu tentang hal itu. Namun, Tanti hanya ingin menghindari Yosrey. Menikah dengan Farzan adalah jalan satu-satunya agar sang mantan tidak lagi mendatanginya. 

Saat Farzan meminta waktu berbincang berdua dengannya, Tanti mengajak lelaki berambut lebat ke bangku taman. Mereka duduk di bagian ujung kanan dan kiri, kemudian mengamati jalan depan rumah yang dalam kondisi lengang. 

"Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih. Karena kamu mau menerima perjodohan ini," tutur Farzan. 

"Aku cuma ingin membantu agar Om Haedar lekas pulih. Selain itu, aku juga butuh status itu agar bisa menjauhi Mas Yosrey," jelas Tanti. 

"Ya, dan aku akan membantumu mengusirnya. Jika dia kembali mendatangimu." 

"Ehm, Mas. Apa aku boleh ketemu dengan pacar Mas?" 

"Ristin?" 

"Hu um." 

"Mau ngapain?" 

"Aku mau menjelaskan jika kita hanya menikah pura-pura." 

"Dia sudah tahu tentang itu." 

"Lalu?" 

"Dia setuju. Dengan catatan, aku harus menempatkan kalian di rumah yang berbeda." 

"Aku bisa tetap di sini." 

"Kita akan repot harus terus bersandiwara, Ti. Keluargamu pasti curiga kalau aku tidak pulang. Beda halnya kalau kita tinggal di rumah sendiri. Mereka nggak akan tahu jika aku punya rumah lain." 

"Ehm, ya. Terserah Mas aja." 

"Kamu nanti tinggal di rumah yang sudah lama kubeli. Sedangkan Ristin akan kucarikan rumah di tempat lain." 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
ini sih keluarga nya yang pada egois kasian Tanti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status