07
Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik.Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.
Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan.
Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut.
Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu bersemangat mendandani adiknya. Perempuan berkulit kecokelatan berulang kali memuji keelokan paras Tanti yang memang lebih cantik darinya.
"Yes, udah beres," ucap Sovia sembari mengarahkan badan sang adik menghadap cermin besar.
Tanti mengerjap-ngerjapkan mata. Dia tidak mempercayai bila tampilan wajahnya akan berubah lebih ayu. "Kak, ini bagus banget," pujinya sembari memegangi lengan perempuan yang lebih tua.
"Manglingi. Udah kayak pengantin beneran."
"Hmm, ya. Kaget aku, bisa jauh berubah gini."
"Kamu jarang dandan. Jadinya sekali dipoles, hasilnya cakep."
Tanti mengulaskan senyuman. "Hatur nuhun," ungkapnya sembari memeluk Sovia dari samping.
"Sami-sami, Geulis." Sovia mendaratkan kecupan di puncak kepala adiknya. "Enggak nyangka, bentar lagi kamu nikah," bisiknya sambil mengedip-ngedipkan mata yang mulai mengabut.
"Jangan nangis, Kak. Entar aku ikut mewek, nih."
"Siapa yang nangis?"
"Itu, udah srot-srot."
"Hidungku mampet."
"Alibi!"
Keduanya serentak terkekeh. Mereka baru menghentikan tawa setelah Sovia dipanggil keluar oleh Endang. Sang kakak meninggalkan adiknya untuk mendatangi bundanya yang minta didandani.
Tanti mengamati pantulan dirinya pada cermin. Sudut bibirnya membingkai senyuman saat menyadari bila kecantikannya kian bertambah, seiring polesan kosmetik hasil karya Sovia.
Akan tetapi, senyuman gadis berhidung mancung tiba-tiba menghilang ketika Tanti menyadari bila pernikahannya hanyalah sebuah drama. Perempuan berambut sebahu menggeleng pelan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya andai mengetahui bila Farzan akan berpoligami.
Tanti memejamkan mata. Dia berdoa sepenuh hati, agar rahasia itu tetap tertutupi hingga pernikahannya dengan Farzan usai. Tanti tahu, berbohong itu adalah dosa. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain dan hanya itu satu-satunya cara untuk menyenangkan orang tua.
Puluhan menit terlewati. Tanti dipanggil keluar oleh Dayyan yang diminta bundanya menjemput sang kakak. Pria muda mengulaskan senyuman ketika melihat Tanti keluar dari kamar. Dayyan mengulurkan tangan kanan agar bisa digunakan kakaknya berpegangan.
Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati hingga tiba di lantai satu. Mereka meneruskan langkah menuju ruang tamu di mana banyak orang telah menunggu. Dayyan mengantarkan Tanti hingga bisa duduk di antara Saad dan Endang. Selanjutnya Dayyan memutari area untuk menempati kursinya di belakang.
Rauf yang menjadi pemandu acara, membuka pertemuan keluarga dengan untaian doa. Pria berbaju batik hijau membacakan semua susunan acara, sebelum mempersilakan Ayah mertuanya memberikan kata-kata sambutan.
Dengan lugas dan sangat santun, Saad menyampaikan ucapan terima kasih kepada hadirin yang telah datang. Pria berkemeja batik serupa dengan sang menantu, memperkenalkan satu per satu anggota keluarganya lengkap dengan keterangan anak dan cucu.
Dari pihak Farzan, Hasyim Bramanty yang merupakan Kakak Haedar, menjadi perwakilan keluarga. Pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya, juga memperkenalkan semua anggota keluarga Bramanty.
Farzan yang duduk di antara kedua orang tuanya, mengamati Tanti yang terlihat sangat berbeda dari biasanya. Semenjak gadis tersebut menyatakan kesediaannya untuk menikah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Farzan hanya sekali-sekali mengirimkan pesan singkat basa-basi tanpa percakapan panjang.
Pria berbaju batik biru spontan tersenyum ketika Tanti menatapnya dari seberang. Sang gadis membalas senyuman itu, sebelum kembali menunduk. Farzan terus memerhatikan Tanti, hingga dirinya tersentak kala dipanggil Rauf untuk maju ke tengah-tengah ruangan.
Bersama Nuri, Farzan melangkah menuju tempat yang ditentukan. Mereka menunggu Endang dan Tanti tiba, kemudian memulai acara pemberian seserahan simbolis sebagai bentuk keseriusan untuk menuju jenjang pernikahan.
Farzan mengambil cincin yang diulurkan ibunya. Dia menunduk dan memegangi jemari tangan kiri Tanti yang terasa dingin. Farzan memasangkan cincin sederhana sebagai bukti keteguhannya untuk meminang perempuan tersebut.
Kala lelaki bermata sendu menengadah, dia beradu pandang dengan Tanti yang terlihat tegang. Sudut hati Farzan bergetar karena menyadari bila pernikahan mereka nanti adalah sebuah tanggung jawab yang besar.
Seusai acara seserahan, Rauf mempersilakan para tamu menikmati hidangan yang telah dipersiapkan di ruang tengah. Farzan mengambil bagiannya, kemudian mendatangi Tanti dan meminta bicara secara pribadi.
Gadis bergaun panjang hijau, mengiakan permintaan calon suaminya. Tanti mengambil makanan terlebih dahulu, sebelum mengajak Farzan ke teras belakang.
"Ti, Ibu nanya, kamu mau maharnya apa?" tanya Farzan, sesaat setelah mereka duduk berhadapan di kursi teras.
"Belum tahu, Mas," sahut Tanti. "Nanti kutanyakan dulu ke Bunda," lanjutnya sebelum menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kalau sudah ada jawabannya, hubungi aku. Kita belanja."
Tanti spontan menengadah. "Belanja?" tanyanya.
"Ya. Biar kamu bisa pilih sendiri mau model apa."
"Ehm, nggak usah. Apa pun yang dipilihkan Ibu Mas, akan aku terima."
Farzan tertegun. Dia tidak menduga jika jawaban Tanti akan berbeda daripada yang diperkirakan. Pada awalnya Farzan menduga jika perempuan berparas cantik tersebut akan kukuh memilih sendiri, seperti yang telah dilakukan Ristin tempo hari.
"Ti, walaupun pernikahan kita hanya sementara, tapi kamu boleh menentukan apa pun yang kamu mau," tutur Farzan dengan suara pelan. "Aku sudah berjanji pada diri sendiri, akan berlaku adil padamu dan Ristin. Dia sudah memilih semua barang yang diinginkannya, jadi kamu juga bisa begitu," sambungnya.
"Mas, aku benar-benar nggak keberatan kalau dipilihkan," terang Tanti. "Aku yakin, apa pun yang diberikan Ibu pasti barang-barang terbaik," ungkapnya.
"Tapi kalau nggak sesuai dengan seleramu, gimana?"
"Enggak apa-apa. Tetap akan kupakai untuk menghormati pemberinya."
Farzan mengangguk paham. Dia menyukai cara berpikir Tanti yang sederhana dan tidak macam-macam. Tanpa sadar dia terus mengamati perempuan yang masih melanjutkan bersantap. Farzan berpura-pura menunduk ketika Tanti menatapnya saksama.
"Ehm, Mas. Kemarin Mas Yosrey nelepon," cakap Tanti.
"Bilang apa dia?" tanya Farzan di sela-sela mengunyah.
"Nanyain acara ini." Tanti terdiam sesaat, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku nggak tahu dia dengar tentang ini dari mana. Karena aku nggak ada cerita ke siapa pun di luar orang-orang terdekat."
"Enggak apa-apa kalau dia tahu. Mungkin dengan begitu dia nggak akan ganggu kamu lagi."
Tanti manggut-manggut. "Ya, itu lebih baik."
"Aku boleh tanya hal pribadi?"
"Ehm, boleh."
"Apa kamu masih cinta sama dia?"
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se
10Tanti jalan mondar-mandir sepanjang ruang kerjanya. Dia sekali-sekali akan melirik pergelangan tangan kanan untuk mengecek arloji. Detik demi detik menunggu terasa begitu lama bagi perempuan berbaju abu-abu. Kala ponselnya berbunyi, dia segera mengangkatnya. Tidak berselang lama Tanti sudah jalan menyusuri tangga. Setibanya di lantai satu, dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang tengah duduk di kursi dekat meja kasir. Setelah menempati kursi seberang Farzan, Tanti langsung menceritakan tentang perdebatannya kemarin malam dengan Yosrey. "Ternyata dia benar-benar mencari tahu tentang Mas lewat akun instagram. Jadi, waktu Ristin men-tag Mas, kebukalah semuanya," tutur Tanti. Farzan mendengkus pelan. Dia tidak menduga jika Yosrey akan menggali informasi tentang dirinya. "Akunnya apa? Biar kublokir," cakapnya. "Kupikir dia pakai akun palsu. Akan ketahuan kalau dia gunakan akun asli." "Ehm, ya, benar juga." "Tolong sampaikan ke Ristin, untuk sementara jangan up apa pun yang b
11Kedatangan Farzan yang bertepatan dengan azan magrib, mengejutkan orang-orang di kediaman Saad. Tanti yang menemui calon suaminya dengan ditemani Nabila, mengulaskan senyuman ketika Farzan menyerahkan satu buket bunga. "Buatku, nggak ada, Mas?" tanya Nabila. "Nanti kubelikan," balas Farzan. "Beneran, loh, ya." "Hu um. Mau bunga apa?" "Tulip, minimal dua puluh tangkai. Lalu diselipkan kartu ATM dengan saldo minimal seratus juta." "Waduh! Perampokan itu." Keduanya tergelak, sementara Tanti hanya menggeleng pelan. Perempuan bermata cukup besar mengajak Farzan duduk, kemudian dia memberikan buket bunga pada Nabila yang membawanya ke dalam. "Mas nggak salat?" tanya Tanti. "Mau. Numpang salat di sini," jawab Farzan. "Ehm, mau minum apa? Kubuatin sambil nunggu Mas salat." "Kopi susu." Tanti mengangguk Dia hendak berdiri, tetapi dicegah Farzan. "Ada apa?" tanyanya. "Habis salat, kita keluar, yuk!" ajak Farzan. "Mau ke mana?" "Makan sate di simpang lima." "Aku lagi dipingit
12Langit pagi Kota Bandung sangat cerah. Awan putih berarak melintasi lapisan atas. Udara minim polusi kian menyegarkan siapa pun yang tengah menikmati keindahan panorama. Tanti mendengarkan kesibukan orang-orang di halaman belakang, yang tengah berjibaku menyiapkan makanan, untuk acara pengajian sekaligus selamatan, yang akan dilangsungkan nanti siang. Perempuan bermata cukup besar tidak mengetahui jumlah pasti para tetangga yang ikut membantu juru masak keluarga. Namun, dia meyakini jika jumlah mereka banyak. Sekali-sekali terdengar gelakak mereka yang turut memancing senyuman Tanti. Dia ikut terbahak kala mendengar latahnya Nenek Ros yang tinggal di rumah sebelah kanan. Panggilan dari luar menyebabkan tawa Tanti menghilang. Dia mempersilakan orang yang tengah mengetuk pintu untuk segera masuk. Secarik senyuman terbit di paras ayu Tanti ketika melihat kedua sepupunya yang tinggal di Jakarta ternyata telah datang. Kedua perempuan yang rambutnya sama-sama pendek, bergantian mend
13Sabtu pagi, konvoi belasan mobil melintasi jalan raya BKR. Farzan yang berada di mobil sedan mewah milik Saad yang berada di bagian terdepan, berusaha menenangkan jantungnya yang sejak tadi berdegup kencang. Farzan menyadari bila pernikahannya dengan Tanti adalah sebuah tanggung jawab besar. Pria berbeskap sage kian meragukan keputusannya untuk menikah pura-pura. Terutama karena dirinya mengingat petuah Haedar kemarin malam. Farzan menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia menimbang-nimbang untuk membicarakan hal itu pada Tanti, nanti malam. Meskipun tidak yakin calon istrinya akan setuju, tetapi Farzan tetap akan mencobanya. Mobil yang dikemudikan Irshad berbelok ke kiri menyusuri jalan sepi. Puluhan meter berikutnya konvoi memasuki sebuah gang yang cukup besar. Beberapa petugas parkir berseragam rompi hijau, mengarahkan semua mobil untuk parkir di tanah kosong, tepat di sebelah kanan kediaman Saad. Para penumpangnya turun dan spontan merapikan pakaian masing-ma
14Tanti keluar dari kamar mandi dengan rambut lembap. Dia memegangi pakaian pengantin di depan dada, kemudian melangkah menuju gantungan. Dengan hati-hati dia merapikan kebaya pada hanger sebelum berpindah ke dekat rak. Sekian menit berlalu, Tanti baru selesai salat Zuhur kala pintu kamar terbuka dan sosok Farzan memasuki ruangan. Pria berkaus putih membawa nampan dan meletakkannya di meja dekat sofa. Dia memanggil Tanti yang segera menyambanginya. "Makan lagi?" tanya Tanti saat melihat isi piring di nampan. "Kita sebelum naik tadi nggak makan dulu. Jadinya lapar," jelas Farzan. "Mau?" tanyanya sembari memandangi perempuan berhidung bangir di hadapannya. "Ehm, dikit aja." "Aku sengaja bawa dua piring. Mungkin kamu juga lapar." Farzan membagi isi piringnya, kemudian memberikan piring kedua pada Tanti. Keduanya makan sambil menonton televisi yang menayangkan berita dunia selebriti tanah air. "Mas udah salat?" tanya Tanti, sesaat setelah menghabiskan hidangan. "Udah. Aku numpang
15Farzan menepuk dahinya, sebelum berpindah duduk di sofa. Tanti yang masih berdiri di dekat tempat tidur, mengulum senyum menyaksikan baju yang telah disiapkan Adik iparnya. Tanti merunduk untuk mengambil kertas merah muda dari tumpukan baju tidur. Dia membaca tulisan tangan Jihan yang menyertai bingkisan tersebut. Tanti terkekeh ketika Jihan menjelaskan bila ada baju lain di lemari yang hanya boleh dikenakan esok hari. Tanti berbalik dan jalan menuju lemari. Dia membuka pintu benda putih besar, kemudian mengecek benda-benda yang dimaksud sang ipar. Tanti manggut-manggut saat mengakui bila gaun untuknya dan kemeja buat Farzan ternyata sangat bagus. Sebuah tas kosmetik berukuran sedang yang berada di pinggir baju, diambil Tanti. Dia memeriksa isinya yang ternyata cukup lengkap, kemudian dia meletakkan benda itu ke meja rias. Tanti duduk di bangku dan memulai pembersihan wajahnya. Farzan mengamati perempuan yang tengah sibuk di depan cermin. Dia menyukai cara Tanti yang bergerak c
55Jalinan waktu terus bergulir. Hampir sepekan berada di kota kelahiran, Tanti dan Farzan sangat bahagia. Mereka mengunjungi tempat berbeda setiap hari, untuk memenuhi undangan para kerabat. Sabtu pagi menjelang siang, kediaman keluarga Bramanty dipenuhi banyak orang. Acara syukuran empat bulanan dilaksanakan dengan khidmat dan tertib. Selepas tausiah dan pembacaan doa oleh Ustaz sahabatnya Saad, para tamu mendatangi pemilik hajat untuk mengucapkan selamat, atas kehamilan Tanti. Satu per satu bingkisan diberikan pada semua tamu, sebelum mereka meninggalkan tempat acara. Selanjutnya, Saad dan istrinya mengajak seluruh tamu penting untuk bersantap. Puluhan orang memenuhi garasi yang menjadi tempat empat stand makanan dan minuman. Seusai mengambil ransum, mereka berpencar untuk kembali berkumpul dengan kelompok masing-masing. Tanti memutuskan untuk bergabung dengan kelompok para istri bos PG dan PC, yang telah datang dari Jakarta dan sekitar Kota Bandung. "Ti, roti cane dan kariny
54Selama seminggu berikutnya, Tanti ditinggalkan Farzan untuk berangkat ke tempat proyek bersama Hisyam, Nanang dan Zacky. Tanti menyibukkan diri dengan membantu Evangeline di kebun, sekaligus menyiapkan berbagai bawaan untuk orang-orang terkasih di kampung halaman. Dua hari sebelum bertolak ke Indonesia, Farzan dan yang lainnya pulang. Semua orang di dua rumah dinas, begitu antusias untuk mudik. Meskipun hanya libur dua minggu, tetapi itu sudah cukup untuk mencurahkan kerinduan pada orang-orang terdekat. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Sabtu sore, kelompok pimpinan Nanang telah berada di bandara Auckland. Mereka tidak memasuki tempat check in umum. Melainkan mengarahkan langkah ke tempat khusus pesawat carteran ataupun pribadi. Tanti yang baru kali itu menumpang di pesawat pribadi, sangat antusias mengamati seluruh bagian pesawat itu. Seperti anggota kelompok lainnya, Tanti dan Farzan turut melakukan swa foto di depan pesawat, sebelum menaiki burung besi tersebut. Tanti dimin
53Minggu berganti. Kedatangan Hisyam dan Nanang ke Auckland, disambut gembira para perantau di dua rumah. Berbagai oleh-oleh yang dibawakan keduanya, dibuka untuk dinikmati bersama-sama oleh seluruh penghuni. Setelahnya, para ajudan dan Moreno berpindah ke mess untuk beristirahat sekaligus salat Magrib berjemaah.Sementara di rumahnya, Tanti dan kedua asisten berjibaku untuk menyiapkan hidangan di meja makan. Tanti tiba-tiba berhenti bergerak dan mengaduh. Dia memegangi perut sambil meringis, yang mengejutkan Darmi dan Carla. "Duduk dulu, Non," ujar Darmi sembari menuntun Tanti ke sofa. "Kunaon?" tanyanya sambil mengamati sang nyonya yang tengah mengusap perutnya. "Mendadak keram, Bi," cicit Tanti sembari duduk menyandar ke tumpukan bantal sofa. "Oh, memang gitu, Non. Sudah masuk empat bulan, janinnya makin besar. Bentar lagi akan ditiupkan roh-nya." Darmi turut mengusap perut Tanti. "Sing sehat, Anak bageur," ucapnya dengan lembut. "Ehm, ternyata begitu. Pantas Ibu bilang, mau
52Detik terjalin menjadi menit dan mengubah jam dengan kecepatan tinggi. Minggu berganti menjadi bulan, hingga tibalah waktu musim semi berganti menjadi musim panas.Berbeda dengan benua Eropa dan Amerika, di New Zealand dan Australia, waktu musimnya berbeda. Meskipun sama-sama memiliki empat musim seperti kawasan Eropa dan lainnya.Udara hangat tetapi tetap sejuk, menjadikan Desember hingga Februari sebagai waktu yang tepat untuk mengunjungj New Zealand.Hal itu mengakibatkan banyaknya turis dan rammainya tempat-tempat wisata terkenal di New Zealand. Begitu pula dengan meningkatnya kehidupan di berbagai kota.Proyek yang tengah dikebut pengerjaannya, menjadikan Farzan lebih sering berada di Queenstown. Akhirnya dia memboyong Tanti, karena khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang berbadan dua. *Grup Proyek New Zealand* Hansel : @Farzan. Mama ngomel-ngomel asistennya diculik lagi.Keven : Tanti diangkut ke Queenstown?Hansel : Ya, @Mas Keven. Padahal Mama sudah bikin jadwal sa
51Jalinan waktu terus bergulir. Sebab Farzan harus sering ke tempat proyek, akhirnya Tanti mengikuti saran Evangeline untuk menyibukkan diri dengan berbagai hal positif.Tanti mengikuti kursus memasak makanan western dan aneka kue. Dia juga membantu Evangeline di kebun bunga milik perempuan tua tersebut. Tanti tidak menduga jika bunga memiliki banyak variasi. Dia giat mempelajari ilmu bercocok tanam, sembari mengaplikasikannya bersama Evangeline. Jumat sore itu, Tanti dan yang lainnya telah berada di kediaman Timothy. Mereka menyambut kedatangan keluarga Bryan dan Keven beserta Ibu masing-masing. Tanti turut bergabung dengan Aruna dan ketiga perempuan tua, yang berkumpul di teras belakang. Sekali-sekali Tanti ikut memangku Kaylee, anak Aruna dan Keven yang berusia setahun lebih. Tanti mengamati interaksi antara Aruna, Karin dan Lucky. Tanti bisa melihat ketulusan kasih Aruna pada kedua keponakannya, yang diperlakukan sama dengan Kaylee. Karin dan Lucky tidak sungkan untuk berman
50Hari berganti menjadi minggu. Bulan terlewati dengan kecepatan maksimal. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang musim seminya berlangsung di Maret sampai Mei, bulan September hingga November di New Zealand merupakan musim semi di negara kepulauan tersebut. Pagi itu Tanti terbangun dengan tubuh linu. Dia meringis ketika kesulitan menggerakkan badan, terutama area pinggang. Tanti menggapai ponselnya di meja samping kanan kasur, lalu menghubungi Darmi. Perempuan tua segera mendatangi Nyonya mudanya di kamar utama. Darmi terkejut kala menyadari bila tubuh Tanti sangat panas dan wajahnya pun pucat. Darmi segera memanggil suaminya yang berada di halaman. "Non, kita ke dokter, ya," usul Yayat seusai menempelkan telapak tangan ke dahi dan leher Tanti. "Aku nggak bisa bangun," bisik Tanti. Mulutnya terasa kering dan leher sedikit sakit. "Paman panggilkan Dimas. Dia lagi libur hari ini. Sekalian minta dia yang nyetir, karena Paman belum berani mengemudi di sini," ungkap Yayat. Kala
49*Grup Proyek New Zealand*Axelle Dante Adhitama : Kami sudah sampai di bandara Cengkareng.Baskara Gardapati Ganendra : Alhamdulillah.Artio Laksamana Pramudya : Lusa kita meeting, @Dante.Dante : Mas @Tio, bisa nggak jangan rapat dulu? Aku mau cuti dan istirahat di rumah.Tio : Cutinya, kan, dari kantor Adhitama. Dari PG, cuti sudah diambil bulan lalu.Dante : Astagfirullah! Dasar, Komisaris pelit!Tio : Aku harus tegas, karena gajimu besar, @Dante.Dante : Aku mau resign aja dari PG!Tio : Enggak bisa. Kontrakmu masih berlaku sampai 47 tahun, 111 hari lagi.Dante : Gelo!Yanuar Kaisar Ming Sipitih : Aku terkenyout!Austin David Wirapranata : Apa itu, @Yanuar?Yanuar : Terkejut, @Mas David. Bahasa gaul itu.Alvaro Gustav Baltissen : Bukan bahasa gaul, tapi alay.Heru Pranadipa Dewawarman : Yanuar memang masih remaja.Samudra Adhitama : ABG.Arrivan Qaiz Latief : Ababil.Fairel Attalariz Calief : Gen Z.Harry Adhitama : Yanuar bukan lagi gen Z, tapi, gen ZZZ.Wirya Arudji Kartawina
48"Aku buatin teh hangat, ya," tutur Farzan. "Hu um," sahut Tanti sambil memegangi lengan suaminya dan mengajak Farzan keluar. "Ada makanan apa, Mas? Perutku harus diisi. Kayaknya masuk angin," ungkapnya. "Macam-macam. Nasi juga ada. Mungkin pihak hotel sengaja menyediakan itu buat kita." "Lagi nggak kepengen nasi. Ada sup?" "Ada. Paling banyak, sih, aneka cake. Kamu pasti tahu jenisnya apa aja. Aku nggak hafal." Keduanya tiba di dekat sofa dan duduk berdampingan. Farzan dengan tangkas membuatkan minuman hangat buat sang istri. Sementara Tanti memerhatikan hidangan, sebelum mengambil mangkuk sup jagung yang ternyata masih hangat, karena dihidangkan dalam tempat pemanas makanan. Farzan meletakkan cangkir berisi teh ke meja. Kemudian dia berpindah ke balkon untuk mengambil makanan dan minumannya, untuk dialihkan ke dalam. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka sibuk menghabiskan berbagai makanan yang ternyata lezat. Kala Tanti bersendawa, keduanya serentak tersenyum sambil
47Terminal F keberangkatan Bandara internasional Soekarno-Hatta, terlihat ramai orang berkemeja ataupun blus putih. Para pengawal yang ikut berangkat menemani bos masing-masing, mengenakan kemeja putih dengan logo PB di saku kiri. Selain mereka, beberapa komandan yang turut serta juga menggunakan pakaian serupa. Farzan dan Ristin saling menatap sesaat, kemudian lelaki bercelana jin biru mendekap mantan kekasihnya yang sebentar lagi juga akan menjadi mantan istrinya. Farzan membiarkan Ristin menangis di dadanya, karena hanya itu yang bisa dilakukannya untuk sang istri kedua. Tidak lama berselang, Ristin mengurai dekapan. Dia mengusap mata dan pipi yang basah dengan tisu. Farzan mengucapkan kata-kata penghiburan yang dibalas Ristin dengan anggukan. Setelah melepaskan perempuan berbaju hijau, Farzan berpindah menyalami Bobby. Dia menitipkan Ristin pada pria yang lebih muda. Sekaligus memastikan Bobby akan membantu usaha baru Ristin yang berkolaborasi dengan BPAGK. Adegan perpisahan