Share

Bab 07 - Apa Kamu Masih Cinta Sama Dia?

07

Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. 

Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.

Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. 

Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. 

Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu bersemangat mendandani adiknya. Perempuan berkulit kecokelatan berulang kali memuji keelokan paras Tanti yang memang lebih cantik darinya. 

"Yes, udah beres," ucap Sovia sembari mengarahkan badan sang adik menghadap cermin besar. 

Tanti mengerjap-ngerjapkan mata. Dia tidak mempercayai bila tampilan wajahnya akan berubah lebih ayu. "Kak, ini bagus banget," pujinya sembari memegangi lengan perempuan yang lebih tua. 

"Manglingi. Udah kayak pengantin beneran." 

"Hmm, ya. Kaget aku, bisa jauh berubah gini." 

"Kamu jarang dandan. Jadinya sekali dipoles, hasilnya cakep." 

Tanti mengulaskan senyuman. "Hatur nuhun," ungkapnya sembari memeluk Sovia dari samping. 

"Sami-sami, Geulis." Sovia mendaratkan kecupan di puncak kepala adiknya. "Enggak nyangka, bentar lagi kamu nikah," bisiknya sambil mengedip-ngedipkan mata yang mulai mengabut. 

"Jangan nangis, Kak. Entar aku ikut mewek, nih." 

"Siapa yang nangis?" 

"Itu, udah srot-srot." 

"Hidungku mampet." 

"Alibi!" 

Keduanya serentak terkekeh. Mereka baru menghentikan tawa setelah Sovia dipanggil keluar oleh Endang. Sang kakak meninggalkan adiknya untuk mendatangi bundanya yang minta didandani. 

Tanti mengamati pantulan dirinya pada cermin. Sudut bibirnya membingkai senyuman saat menyadari bila kecantikannya kian bertambah, seiring polesan kosmetik hasil karya Sovia. 

Akan tetapi, senyuman gadis berhidung mancung tiba-tiba menghilang ketika Tanti menyadari bila pernikahannya hanyalah sebuah drama. Perempuan berambut sebahu menggeleng pelan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya andai mengetahui bila Farzan akan berpoligami. 

Tanti memejamkan mata. Dia berdoa sepenuh hati, agar rahasia itu tetap tertutupi hingga pernikahannya dengan Farzan usai. Tanti tahu, berbohong itu adalah dosa. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain dan hanya itu satu-satunya cara untuk menyenangkan orang tua. 

Puluhan menit terlewati. Tanti dipanggil keluar oleh Dayyan yang diminta bundanya menjemput sang kakak. Pria muda mengulaskan senyuman ketika melihat Tanti keluar dari kamar. Dayyan mengulurkan tangan kanan agar bisa digunakan kakaknya berpegangan. 

Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati hingga tiba di lantai satu. Mereka meneruskan langkah menuju ruang tamu di mana banyak orang telah menunggu. Dayyan mengantarkan Tanti hingga bisa duduk di antara Saad dan Endang. Selanjutnya Dayyan memutari area untuk menempati kursinya di belakang. 

Rauf yang menjadi pemandu acara, membuka pertemuan keluarga dengan untaian doa. Pria berbaju batik hijau membacakan semua susunan acara, sebelum mempersilakan Ayah mertuanya memberikan kata-kata sambutan. 

Dengan lugas dan sangat santun, Saad menyampaikan ucapan terima kasih kepada hadirin yang telah datang. Pria berkemeja batik serupa dengan sang menantu, memperkenalkan satu per satu anggota keluarganya lengkap dengan keterangan anak dan cucu. 

Dari pihak Farzan, Hasyim Bramanty yang merupakan Kakak Haedar, menjadi perwakilan keluarga. Pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya, juga memperkenalkan semua anggota keluarga Bramanty. 

Farzan yang duduk di antara kedua orang tuanya, mengamati Tanti yang terlihat sangat berbeda dari biasanya. Semenjak gadis tersebut menyatakan kesediaannya untuk menikah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Farzan hanya sekali-sekali mengirimkan pesan singkat basa-basi tanpa percakapan panjang. 

Pria berbaju batik biru spontan tersenyum ketika Tanti menatapnya dari seberang. Sang gadis membalas senyuman itu, sebelum kembali menunduk. Farzan terus memerhatikan Tanti, hingga dirinya tersentak kala dipanggil Rauf untuk maju ke tengah-tengah ruangan. 

Bersama Nuri, Farzan melangkah menuju tempat yang ditentukan. Mereka menunggu Endang dan Tanti tiba, kemudian memulai acara pemberian seserahan simbolis sebagai bentuk keseriusan untuk menuju jenjang pernikahan. 

Farzan mengambil cincin yang diulurkan ibunya. Dia menunduk dan memegangi jemari tangan kiri Tanti yang terasa dingin. Farzan memasangkan cincin sederhana sebagai bukti keteguhannya untuk meminang perempuan tersebut. 

Kala lelaki bermata sendu menengadah, dia beradu pandang dengan Tanti yang terlihat tegang. Sudut hati Farzan bergetar karena menyadari bila pernikahan mereka nanti adalah sebuah tanggung jawab yang besar. 

Seusai acara seserahan, Rauf mempersilakan para tamu menikmati hidangan yang telah dipersiapkan di ruang tengah. Farzan mengambil bagiannya, kemudian mendatangi Tanti dan meminta bicara secara pribadi. 

Gadis bergaun panjang hijau,  mengiakan permintaan calon suaminya. Tanti mengambil makanan terlebih dahulu, sebelum mengajak Farzan ke teras belakang. 

"Ti, Ibu nanya, kamu mau maharnya apa?" tanya Farzan, sesaat setelah mereka duduk berhadapan di kursi teras.

"Belum tahu, Mas," sahut Tanti. "Nanti kutanyakan dulu ke Bunda," lanjutnya sebelum menyuapkan makanan ke mulutnya. 

"Kalau sudah ada jawabannya, hubungi aku. Kita belanja." 

Tanti spontan menengadah. "Belanja?" tanyanya. 

"Ya. Biar kamu bisa pilih sendiri mau model apa." 

"Ehm, nggak usah. Apa pun yang dipilihkan Ibu Mas, akan aku terima." 

Farzan tertegun. Dia tidak menduga jika jawaban Tanti akan berbeda daripada yang diperkirakan. Pada awalnya Farzan menduga jika perempuan berparas cantik tersebut akan kukuh memilih sendiri, seperti yang telah dilakukan Ristin tempo hari. 

"Ti, walaupun pernikahan kita hanya sementara, tapi kamu boleh menentukan apa pun yang kamu mau," tutur Farzan dengan suara pelan. "Aku sudah berjanji pada diri sendiri, akan berlaku adil padamu dan Ristin. Dia sudah memilih semua barang yang diinginkannya, jadi kamu juga bisa begitu," sambungnya. 

"Mas, aku benar-benar nggak keberatan kalau dipilihkan," terang Tanti. "Aku yakin, apa pun yang diberikan Ibu pasti barang-barang terbaik," ungkapnya. 

"Tapi kalau nggak sesuai dengan seleramu, gimana?" 

"Enggak apa-apa. Tetap akan kupakai untuk menghormati pemberinya." 

Farzan mengangguk paham. Dia menyukai cara berpikir Tanti yang sederhana dan tidak macam-macam. Tanpa sadar dia terus mengamati perempuan yang masih melanjutkan bersantap. Farzan berpura-pura menunduk ketika Tanti menatapnya saksama. 

"Ehm, Mas. Kemarin Mas Yosrey nelepon," cakap Tanti. 

"Bilang apa dia?" tanya Farzan di sela-sela mengunyah. 

"Nanyain acara ini." Tanti terdiam sesaat, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku nggak tahu dia dengar tentang ini dari mana. Karena aku nggak ada cerita ke siapa pun di luar orang-orang terdekat." 

"Enggak apa-apa kalau dia tahu. Mungkin dengan begitu dia nggak akan ganggu kamu lagi." 

Tanti manggut-manggut. "Ya, itu lebih baik." 

"Aku boleh tanya hal pribadi?" 

"Ehm, boleh." 

"Apa kamu masih cinta sama dia?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status