"Apa, Yah? Menikah dengan Tanti?" tanya Farzan Bramanty pada sang ayah yang berada di kursi seberang.
"Ya, demi mewujudkan perjanjian Ayah dan Saad, dulu. Sekaligus sebagai cara Ayah membalas budi pada beliau, karena telah menyelamatkan nyawa Ayah beberapa tahun silam," sahut Haedar Bramanty, Ayah Farzan. "Tapi aku sudah melamar Ristin, Yah. Karena itulah aku datang dan meminta Ayah sama Ibu mau melamarkannya pada orang tuanya di Bogor." "Ayah dari dulu sudah bilang, kalau Ayah telah memiliki calon istri untukmu." Farzan menggeleng. "Enggak bisa. Aku cinta Ristin!" tegasnya. "Cinta bisa luntur seiring waktu. Bisa juga dipindahkan ke orang lain." "Aku tetap nggak mau! Lagi pula aku dan Tanti nggak kenal dekat. Cuma say hello kalau ketemu, tiap kali Ayah menyuruhku mendatangi rumahnya." "Dan itu cara Ayah agar kamu bisa mengenalnya lebih dekat." "Yah, maaf. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Ini udah modern. Nggak zaman lagi perjodohan." "Ayah tidak akan menyetujui perjodohan kalau tidak yakin bila Tanti cocok denganmu." Farzan tertegun sejenak. "Atas dasar apa Ayah bisa bilang gitu?" "Dia punya toko kue sekaligus kafe. Itu bisa dikombinasikan dengan usaha kita." "Oh, aku paham. Ini semua berhubungan dengan bisnis." "Tidak seperti itu. Saad tidak ikut campur dalam usaha ketiga anaknya." Farzan menyandar ke belakang. Dia melipat kedua tangan di depan dada dan menatap ayahnya lekat-lekat. "Aku masih tetap pada pendirian untuk menikahi Ristin. Ayah mau setuju atau nggak, sebenarnya nggak terlalu berpengaruh!" tegasnya. "Kamu!" Haedar memelototi putranya, kemudian bangkit dan hendak mendatangi Farzan yang masih bergeming. Lelaki tua tiba-tiba mengaduh sambil memegangi dadanya. Menyaksikan ayahnya terhuyung-huyung, Farzan bangkit dan memegangi Haedar yang tengah meringis menahan sakit. Farzan membantu sang ayah duduk kembali, kemudian dia berteriak memanggil Ibu serta adiknya yang segera menghambur ke ruang kerja. Dalam sekejap suasana tenang berubah ricuh. Jihan Aleysia, Adik Farzan keluar dan memanggil suaminya yang sedang berada di kamar. Irshad Permana segera keluar, kemudian mengikuti langkah Jihan. Betapa terkejutnya Irshad melihat sang mertua tengah megap-megap. Dia membantu Farzan untuk mengangkat Haedar dan menggendongnya menuju mobil. Jihan menyambar kunci mobil dari laci bufet, lalu bergegas keluar dan bersiap-siap menjadi sopir. Nuri Amirah, Ibu Farzan dan Jihan, memasuki kamar utama untuk mengambil dompet dan mengganti jilbabnya dengan yang lebih rapi. Setelahnya dia bergegas keluar dan memasuki kursi tengah di mana suaminya tengah dipegangi Farzan. Sedangkan Irshad telah berpindah ke kursi samping kiri sopir. Jihan mengemudi dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Meskipun khawatir dengan kondisi Haedar, tetapi Jihan tetap berusaha fokus menyetir. Beberapa kali dia terpaksa menekan klakson bila kendaraan di depan tidak bergerak. Jarak tempuh yang sebenarnya pendek, terasa sangat panjang oleh kelima penumpang mobil MPV hitam. Jalan raya padat menjelang magrib adalah hal yang biasa terjadi di kota-kota besar, terutama bila jam pergi dan pulang kerja. Sementara itu di tempat berbeda, Saad Hendrawan tengah menyampaikan hal serupa pada putri keduanya, Tanti Paramitha. Perempuan berusia dua puluh lima tahun benar-benar terkejut dengan permintaan Saad, yang hendak menjodohkannya dengan Farzan Bramanty. Tanti mengenali Farzan yang sering datang ke rumah orang tuanya untuk mengantarkan berbagai titipan Haedar dan Nuri. Namun, gadis berkulit kuning langsat benar-benar tidak menduga jika itu adalah cara Saad dan Haedar mengenalkan anak-anak mereka. Tanti beralih memandangi Endang Murniati, sang bunda. Kedua perempuan yang memiliki wajah cukup mirip saling beradu pandang, sebelum Endang mengangguk, seolah-olah menyetujui permintaan suaminya. Tanti menunduk. Dia memilin ujung kaus hijaunya sembari berpikir mencari solusi. Dia bimbang hendak menentukan sikap. Terutama karena tidak yakin dengan penerimaan Farzan atas rencana perjodohan mereka. "Pak, apa Kang Farzan menyetujui perjodohan ini?" tanya Tanti, setelah menengadah dan memandangi pria tua yang duduk berdampingan dengan istrinya di sofa panjang hitam. "Bapak rasa dia pasti setuju," jawab Saad. "Haedar sudah menjanjikan itu, waktu kami bertemu beberapa hari lalu untuk membicarakan hal ini," lanjutnya. "Aku ingin bertemu dengannya. Kami harus berembuk tentang ini." "Ya, boleh. Nanti dia akan datang bersama orang tuanya." "Kapan?" "Minggu siang, sebelum zuhur." Saad menatap putrinya saksama, kemudian bertutur, "Bapak harap kamu mau memenuhi keinginan Bapak, Ti." Tanti tertegun, lalu menyahut, "Aku belum bisa memberikan keputusan sebelum berjumpa dengan Kang Farzan." "Baiklah. Silakan kalian berembuk," tukas Saad. "Walaupun sebenarnya, kalian mau terima atau tidak, perjodohan akan tetap dilaksanakan!" tegasnya yang menjadikan sang putri terkesiap. Saad bangkit berdiri, kemudian menjauh. Endang berpindah ke sebelah kiri anaknya, kemudian mengusap rambut Tanti yang masih terpaku. "Ibu tahu, kamu pasti syok. Tapi, hal ini sudah janji Bapak dan Mas Haedar sejak beberapa tahun lalu," ungkapnya. "Tidak ada salahnya menuruti permintaan orang tua, Ti. Apalagi kalau dengan pernikahan kalian, Bapak dan Mas Haedar bisa bahagia," lanjutnya. "Aku paham, Bu. Tapi kalau tiba-tiba begini, benar-benar bikin kaget," sahut Tanti. "Ya, Ibu ngerti. Tapi jangan berlarut-larut. Karena seperti kata Bapak, semuanya tetap akan berlanjut." Tanti menghela napas berat, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu tidak ada gunanya menentang sang bapak yang sejak dulu memang keras hati. Tanti juga paham, Saad mengambil keputusan seperti itu tentulah setelah memikirkannya matang-matang. "Bun, Haedar masuk rumah sakit." Kehadiran Saad dari luar mengejutkan anak serta istrinya. "Kapan?" tanya Endang tanpa bisa menutupi rasa kagetnya. "Sekitar setengah jam lalu. Kata Jeng Nuri, serangan jantung." "Astaghfirullah!" "Ayo, Bun. Kita ganti baju dan langsung berangkat." Saad menatap putrinya, lalu berucap, "Kamu juga ikut, Ti." Tanti tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia memandangi saat kedua orang tuanya bergegas ke kamar mereka. Tanti mendengkus pelan, sebelum bangkit dan jalan ke kamarnya yang berada di bagian belakang rumah. Puluhan menit berikutnya, ketiga orang tersebut telah berada di depan ruang ICU. Saad tengah berbincang dengan Irshad, sedangkan Jihan mengobrol bersama Endang. Tanti berdiam diri dan hanya menjadi pendengar percakapan orang-orang di sekitarnya. Tidak berselang lama, Farzan keluar dari ruang ICU dan menyalami Saad serta Endang. Pria bermata sendu sempat tertegun sesaat sebelum menyalami Tanti. Keduanya merasa canggung untuk saling menyapa, hingga sama-sama diam dan hanya bersalaman. Farzan berpindah duduk ke dekat Irshad. Dia menunduk dan tafakur menatap lantai. Merasa bersalah karena ayahnya terkena serangan jantung karena emosi padanya. Farzan memijat pangkal hidung dengan pelan. Pikirannya penuh dan pundak terasa berat. Terutama karena orang yang hendak dijodohkan dengannya ternyata telah datang. Selama belasan menit berikutnya Farzan berpikir keras. Dia tahu tidak bisa menunda lebih lama lagi untuk berbincang dengan Tanti. Lelaki berparas manis menengadah, dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan sepasang mata beriris cokelat yang balas menatapnya saksama. "Tanti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Farzan yang mengejutkan semua orang di sekitarnya.Sinar matahari sore menjelang malam yang hangat menyentuh kulit yang terbuka. Embusan angin sejuk membelai sukma. Dedaunan yang jatuh ke bumi, akan melayang berpindah tempat bila sang bayu sedikit mengencang.Sepasang manusia duduk di bangku panjang dengan posisi berjauhan. Tidak ada seorang pun yang berbicara dan larut dalam pikiran masing-masing. Bila Farzan tengah menyusun kalimat untuk menerangkan maksudnya, Tanti berdiam diri karena menunggu lelaki berparas manis mengucapkan kata-kata. "Apa kamu sudah tahu, kalau kita dijodohkan?" tanya Farzan memecahkan kesunyian. "Ehm, ya," sahut Tanti. "Bagaimana menurutmu?" "Aku nggak tahu, Mas. Sekarang masih kaget." "Aku nggak bisa menerimanya. Bukan karena kamu, tapi aku sudah punya calon sendiri." Tanti tertegun sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, Mas. Aku paham. Nggak apa-apa." "Bisa bantu aku buat meyakinkan orang tua?" "Maksudnya?" "Kamu menjelaskan kalau kamu juga menolak perjodohan." Tanti mendengkus. "Walaupun kurang yaki
"Enggak nyangka kita bisa ketemu di sini," tutur Yosrey sembari mengamati perempuan berambut sebahu lekat-lekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan. Tanti memandangi tangan lelaki di hadapannya sesaat, sebelum menjabatnya secara asal dan segera menariknya. "Kabarku, cukup baik," sahutnya. Perempuan berhidung bangir mengalihkan perhatian pada deretan minuman, kemudian mengambil beberapa botol rasa yang menjadi kesukaannya. Tanti menutup pintu lemari pendingin, lalu berbalik dan hendak menjauh. "Ti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Yosrey. Tanti berhenti. "Ini sudah malam, Mas. Aku harus buru-buru pulang," terangnya tanpa menoleh. "Kalau begitu, besok saja. Sesuai perjanjian kita." "Aku nggak ada janji. Aku cuma bilang akan memikirkannya." "Ini benar-benar penting, Ti. Waktuku juga nggak lama di sini. Bulan depan aku harus kembali ke Jepang." Yosrey berpindah ke samping kanan dan memegangi lengan perempuan berkulit kuning langsat yang seketika menjengit. "Hany
Seorang pria yang berada di dalam mobil SUV abu-abu, mengamati sepasang manusia yang tengah mengobrol di teras kafe. Dia mengerutkan dahi karena tidak mengenali lelaki berperawakan sedang yang tengah berbincang dengan Tanti. Yosrey terus memandangi pria yang akhirnya berbalik dan jalan menuju tempat parkir. Dia benar-benar tidak mengetahui siapa lelaki tersebut. Yosrey penasaran tentang sosok itu sekaligus alasannya bertemu Tanti. Seunit mobil MPV hitam melintas di depan mobil Yosrey. Lelaki berkemeja krem memastikan mobil itu menjauh, sebelum membuka pintu kendaraannya dan turun. Yosrey spontan merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum mengayunkan tungkai menyambangi perempuan berambut sebahu yang tampak terkejut melihatnya datang. "Aku kirim chat dan meneleponmu beberapa kali, tetapi tidak dijawab," tutur Yosrey, sesaat setelah tiba di dekat Tanti. "Ehm, ponselnya lagi di-charge di ruang kerja. Aku tengah menemui tamu," jelas Tanti. "Siapa pria yang tadi?" Tanti terdiam sesaat
Jalinan waktu terus berjalan. Masa yang diberikan Farzan untuk berpikir, hampir tiba. Hal itu menyebabkan Tanti gelisah dan sulit berkonsentrasi. Kegundahan hati Tanti kian bertambah karena Yosrey berulang kali mendatanginya di kafe. Pria berkumis tipis tidak berani berkunjung ke rumahnya karena pasti tidak akan disukai orang tua Tanti. Sore itu, perempuan berambut sebahu baru selesai bekerja. Dia tengah mengemasi meja ketika ponselnya berdering. Tanti melirik pada benda yang tengah diisi daya di samping kanan. Dia segera mencabut kabel untuk mengangkat ponsel dan menerima panggilan. "Assalamualaikum," sapa Farzan."Waalaikumsalam," jawab Tanti. "Maaf ganggu. Tapi ini benar-benar urgent." "Ya, Mas. Nggak apa-apa." Tanti terdiam sesaat, lalu bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Ayah menolak makan dari pagi. Walaupun udah pakai infusan, tetap saja kami khawatir." "Astaghfirullah." "Apa kamu ada waktu? Maksudku, untuk datang dan menemui beliau." Tanti melirik pergelangan tangan k
Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti. Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya. Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab."Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri. "InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya. Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan. Tanti mengangguk
07Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se