Share

Terjebak Dua Cinta
Terjebak Dua Cinta
Penulis: Olivia Yoyet

Bab 01 ' Perjodohan

"Apa, Yah? Menikah dengan Tanti?" tanya Farzan Bramanty pada sang ayah yang berada di kursi seberang. 

"Ya, demi mewujudkan perjanjian Ayah dan Saad, dulu. Sekaligus sebagai cara Ayah membalas budi pada beliau, karena telah menyelamatkan nyawa Ayah beberapa tahun silam," sahut Haedar Bramanty, Ayah Farzan. 

"Tapi aku sudah melamar Ristin, Yah. Karena itulah aku datang dan meminta Ayah sama Ibu mau melamarkannya pada orang tuanya di Bogor." 

"Ayah dari dulu sudah bilang, kalau Ayah telah memiliki calon istri untukmu." 

Farzan menggeleng. "Enggak bisa. Aku cinta Ristin!" tegasnya. 

"Cinta bisa luntur seiring waktu. Bisa juga dipindahkan ke orang lain." 

"Aku tetap nggak mau! Lagi pula aku dan Tanti nggak kenal dekat. Cuma say hello kalau ketemu, tiap kali Ayah menyuruhku mendatangi rumahnya." 

"Dan itu cara Ayah agar kamu bisa mengenalnya lebih dekat." 

"Yah, maaf. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Ini udah modern. Nggak zaman lagi perjodohan." 

"Ayah tidak akan menyetujui perjodohan kalau tidak yakin bila Tanti cocok denganmu." 

Farzan tertegun sejenak. "Atas dasar apa Ayah bisa bilang gitu?" 

"Dia punya toko kue sekaligus kafe. Itu bisa dikombinasikan dengan usaha kita." 

"Oh, aku paham. Ini semua berhubungan dengan bisnis."

"Tidak seperti itu. Saad tidak ikut campur dalam usaha ketiga anaknya." 

Farzan menyandar ke belakang. Dia melipat kedua tangan di depan dada dan menatap ayahnya lekat-lekat. "Aku masih tetap pada pendirian untuk menikahi Ristin. Ayah mau setuju atau nggak, sebenarnya nggak terlalu berpengaruh!" tegasnya. 

"Kamu!" Haedar memelototi putranya, kemudian bangkit dan hendak mendatangi Farzan yang masih bergeming. 

Lelaki tua tiba-tiba mengaduh sambil memegangi dadanya. Menyaksikan ayahnya terhuyung-huyung, Farzan bangkit dan memegangi Haedar yang tengah meringis menahan sakit. Farzan membantu sang ayah duduk kembali, kemudian dia berteriak memanggil Ibu serta adiknya yang segera menghambur ke ruang kerja. 

Dalam sekejap suasana tenang berubah ricuh. Jihan Aleysia, Adik Farzan keluar dan memanggil suaminya yang sedang berada di kamar. Irshad Permana segera keluar, kemudian mengikuti langkah Jihan. Betapa terkejutnya Irshad melihat sang mertua tengah megap-megap. Dia membantu Farzan untuk mengangkat Haedar dan menggendongnya menuju mobil. 

Jihan menyambar kunci mobil dari laci bufet, lalu bergegas keluar dan bersiap-siap menjadi sopir. Nuri Amirah, Ibu Farzan dan Jihan, memasuki kamar utama untuk mengambil dompet dan mengganti jilbabnya dengan yang lebih rapi. Setelahnya dia bergegas keluar dan memasuki kursi tengah di mana suaminya tengah dipegangi Farzan. Sedangkan Irshad telah berpindah ke kursi samping kiri sopir. 

Jihan mengemudi dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Meskipun khawatir dengan kondisi Haedar, tetapi Jihan tetap berusaha fokus menyetir. Beberapa kali dia terpaksa menekan klakson bila kendaraan di depan tidak bergerak. 

Jarak tempuh yang sebenarnya pendek, terasa sangat panjang oleh kelima penumpang mobil MPV hitam. Jalan raya padat menjelang magrib adalah hal yang biasa terjadi di kota-kota besar, terutama bila jam pergi dan pulang kerja. 

Sementara itu di tempat berbeda, Saad Hendrawan tengah menyampaikan hal serupa pada putri keduanya, Tanti Paramitha. Perempuan berusia dua puluh lima tahun benar-benar terkejut dengan permintaan Saad, yang hendak menjodohkannya dengan Farzan Bramanty. 

Tanti mengenali Farzan yang sering datang ke rumah orang tuanya untuk mengantarkan berbagai titipan Haedar dan Nuri. Namun, gadis berkulit kuning langsat benar-benar tidak menduga jika itu adalah cara Saad dan Haedar mengenalkan anak-anak mereka. 

Tanti beralih memandangi Endang Murniati, sang bunda. Kedua perempuan yang memiliki wajah cukup mirip saling beradu pandang, sebelum Endang mengangguk, seolah-olah menyetujui permintaan suaminya. 

Tanti menunduk. Dia memilin ujung kaus hijaunya sembari berpikir mencari solusi. Dia bimbang hendak menentukan sikap. Terutama karena tidak yakin dengan penerimaan Farzan atas rencana perjodohan mereka. 

"Pak, apa Kang Farzan menyetujui perjodohan ini?" tanya Tanti, setelah menengadah dan memandangi pria tua yang duduk berdampingan dengan istrinya di sofa panjang hitam. 

"Bapak rasa dia pasti setuju," jawab Saad. "Haedar sudah menjanjikan itu, waktu kami bertemu beberapa hari lalu untuk membicarakan hal ini," lanjutnya. 

"Aku ingin bertemu dengannya. Kami harus berembuk tentang ini." 

"Ya, boleh. Nanti dia akan datang bersama orang tuanya." 

"Kapan?" 

"Minggu siang, sebelum zuhur." Saad menatap putrinya saksama, kemudian bertutur, "Bapak harap kamu mau memenuhi keinginan Bapak, Ti." 

Tanti tertegun, lalu menyahut, "Aku belum bisa memberikan keputusan sebelum berjumpa dengan Kang Farzan." 

"Baiklah. Silakan kalian berembuk," tukas Saad. "Walaupun sebenarnya, kalian mau terima atau tidak, perjodohan akan tetap dilaksanakan!" tegasnya yang menjadikan sang putri terkesiap. Saad bangkit berdiri, kemudian menjauh. 

Endang berpindah ke sebelah kiri anaknya, kemudian mengusap rambut Tanti yang masih terpaku. "Ibu tahu, kamu pasti syok. Tapi, hal ini sudah janji Bapak dan Mas Haedar sejak beberapa tahun lalu," ungkapnya. "Tidak ada salahnya menuruti permintaan orang tua, Ti. Apalagi kalau dengan pernikahan kalian, Bapak dan Mas Haedar bisa bahagia," lanjutnya. 

"Aku paham, Bu. Tapi kalau tiba-tiba begini, benar-benar bikin kaget," sahut Tanti. 

"Ya, Ibu ngerti. Tapi jangan berlarut-larut. Karena seperti kata Bapak, semuanya tetap akan berlanjut." 

Tanti menghela napas berat, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu tidak ada gunanya menentang sang bapak yang sejak dulu memang keras hati. Tanti juga paham, Saad mengambil keputusan seperti itu tentulah setelah memikirkannya matang-matang. 

"Bun, Haedar masuk rumah sakit." Kehadiran Saad dari luar mengejutkan anak serta istrinya.

"Kapan?" tanya Endang tanpa bisa menutupi rasa kagetnya. 

"Sekitar setengah jam lalu. Kata Jeng Nuri, serangan jantung." 

"Astaghfirullah!"

"Ayo, Bun. Kita ganti baju dan langsung berangkat." Saad menatap putrinya, lalu berucap, "Kamu juga ikut, Ti." 

Tanti tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia memandangi saat kedua orang tuanya bergegas ke kamar mereka. Tanti mendengkus pelan, sebelum bangkit dan jalan ke kamarnya yang berada di bagian belakang rumah. 

Puluhan menit berikutnya, ketiga orang tersebut telah berada di depan ruang ICU. Saad tengah berbincang dengan Irshad, sedangkan Jihan mengobrol bersama Endang. Tanti berdiam diri dan hanya menjadi pendengar percakapan orang-orang di sekitarnya.

Tidak berselang lama, Farzan keluar dari ruang ICU dan menyalami Saad serta Endang. Pria bermata sendu sempat tertegun sesaat sebelum menyalami Tanti. Keduanya merasa canggung untuk saling menyapa, hingga sama-sama diam dan hanya bersalaman. 

Farzan berpindah duduk ke dekat Irshad. Dia menunduk dan tafakur menatap lantai. Merasa bersalah karena ayahnya terkena serangan jantung karena emosi padanya. Farzan memijat pangkal hidung dengan pelan. Pikirannya penuh dan pundak terasa berat. Terutama karena orang yang hendak dijodohkan dengannya ternyata telah datang. 

Selama belasan menit berikutnya Farzan berpikir keras. Dia tahu tidak bisa menunda lebih lama lagi untuk berbincang dengan Tanti. Lelaki berparas manis menengadah, dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan sepasang mata beriris cokelat yang balas menatapnya saksama. 

"Tanti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Farzan yang mengejutkan semua orang di sekitarnya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
nah di jodohin deui heheheh bakalan gimna nih hubungan nya Tarzan dan Ristin plus Tanti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status