“Argh … kepalaku sakit sekali,” keluh Maharatu yang bersandar pada sandaran ranjang. Dia memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.“Bodoh kamu Maharatu. Hanya karena kesal melihat Endra dan Paula kamu malah hilang kendali dan berakhir teler.” Maharatu menyingkap selimut yang membalut tubuhnya. Berjalan gontai menuju kamar mandi.Wanita itu membasuh wajahnya di wastafel. Melihat pantulan wajahnya yang terlihat kuyu. Maharatu berbalik, bersandar pada wastafel dengan kedua tangan yang bertopang pada pinggir wastafel.“Sebenarnya ada apa denganku ini? Kenapa aku merasa tidak suka dan kesal saat melihat Endra bersama Paula. Dan hati ini … kenapa selalu berdebar saat berdekatan dengan Endra. Apa aku sedang mengalami gangguan kesehatan.” Maharatu terus memegangi dadanya.Jangankan berdekatan dengan Danendra. Hanya teringat wajah Danendra yang tersenyum saja jantungnya sudah dangdutan.“Setelah pulang dari sini, aku akan menemui Dokter Frans untuk menanyakan kondisi yang aku alami saat ini.
“Kita naik ini?!” Mata Maharatu melotot melihat pemandangan yang tidak biasa di depannya. Danendra berdiri di samping motor sport berwarna hitam. Pria itu semakin tampak gagah dan menawan dengan motor seharga ratusan juta.“Iya,” jawab Danendra enteng diiringi senyum di bibir tebalnya. Dia berjalan mendekat pada Maharatu dengan perlengkapan bermotor komplit.“Kamu bercanda ‘kan, Ndra?!” “Memangnya aku pelawak yang bercanda di saat seperti ini.”“Astaga!” Maharatu memijat pelipisnya. Dia sudah berdandan dengan anggun. Dress hitam dengan panjang semata kaki berbelahan tinggi hingga paha tanpa lengan dengan hiasan tali yang menunjukkan punggung putihnya melekat indah di tubuh. Sementara untuk wajah Maharatu meriasnya dengan riasan flawless. Rambut hitamnya juga dibiarkan tergerai indah. Dengan penampilan seperti itu, seharusnya dia naik mobil bukan motor. Ya, meskipun motor yang digunakan Danendra bukan motor ecek-ecek.“Kenapa harus motor, sih, Ndra,” keluh Maharatu yang menghentakka
Ternyata menyenangkan juga naik motor. Bebas dari yang namanya macet dan bisa merasakan angin yang secara langsung menerpa tubuhnya. Pantas saja Pangeran memilih naik kendaraan roda dua kemana-mana, tak terkecuali ke sekolah. Karena ternyata sangat menyenangkan dan efisien waktu.Seandainya, sedari dulu dia tahu semenyenangkan ini naik motor. Sesekali dia akan meminta Pangeran mengajaknya jalan-jalan menggunakan motor bebek kesayangan adiknya itu. Terlalu menikmati perjalanannya dan juga Danendra yang mengemudi dengan kecepatan tinggi membuat Maharatu tidak sadar. Kalau tangannya sedari tadi terus melingkar di pinggang bodyguardnya. Sementara yang pinggangnya terus dipeluk. Bukannya keberatan justru merasa senang. Dibalik helm full face yang dikenakannya, bibir Danendra terus melengkung. Berharap moment ini tidak cepat berakhir.Sama-sama menikmati asyiknya berkendara. Keduanya sampai tidak sadar sudah sampai di Tanjung Benoa tempat dimana keduanya akan bermain flyboard.“Kita sudah
“Endra!” seru Maharatu terkejut. Dia tidak menyangka yang mengoperasikan flyboard bukanlah operator yang bekerja di sana. Melainkan, Danendra–bodyguardnya sendiri.“Mendekat lah kemari!” pinta Danendra yang sudah menyodorkan kedua tangannya di depan Maharatu.Danendra memilih mengoperasikan sendiri flyboard yang akan disewa Maharatu. Dia tidak rela bila tubuh Maharatu disentuh oleh pria lain. Jadi, tidak masalah meski dia harus membayar lebih mahal. Cukuplah Bagaskara yang membakar hatinya. Jangan pria lain. Itupun karena Danendra secara sadar dan tahu betul bahwa wanita yang dia cintai adalah istri kedua Bagaskara. Namun, jika nanti dia sudah berhasil merebut hati Maharatu dan membebaskannya dari Bagaskara. Danendra berjanji pada diri sendiri. Dia tidak akan membiarkan Bagaskara mendekati Maharatu dalam radius satu meter. Ragu-ragu Maharatu melangkah mendekat. Ini pertama kalinya dia naik wahana ini. Meski sangat menginginkannya, tapi dia merasa sedikit takut. Pikiran-pikiran buruk
“Lama sekali Endra. Kemana, sih, perginya dia?” Maharatu yang bosan menunggu kedatangan Endra menggambar di atas pasir. Dia menggambar burung merpati. Ngomong-ngomong tentang burung merpati. Maharatu jadi ingat kalung berliontin burung merpati miliknya yang hilang entah kemana. “Huh … jika ingat kalungku yang hilang itu, aku jadi sedih. Tiga digitku melayang, raib entah kemana.” “Kenapa cemberut begitu?” tanya Danendra yang sudah kembali dengan perlengkapan lukis ditangan. “Teringat tiga digitku yang hilang entah kemana,” ujar Maharatu mendekati Danendra yang sibuk menata alat lukisnya. “Tiga digit,” beo Danendra dengan kening berkerut. Maharatu menaikkan alisnya. “Iya, jadi aku pernah punya kalung berlian berliontinkan burung merpati. Tapi, sayangnya kalung itu hilang, raib, tidak ada rimbanya.” “Oiya, sungguh sangat disayangkan. Kalung semahal itu hilang.” Danendra pura-pura prihatin karena pada kenyataannya. Kalung itu terjatuh di hotel tempat mereka bermalam kala i
Tak dapat Maharatu pungkiri, tindakan Danendra membuat Maharatu berpikir pria itu akan menciumnya. Maharatu memejamkan matanya perlahan. Dia tidak bisa mengendalikan diri saat setan mulai menggodanya untuk menyambut tindakan Danendra yang mungkin lebih berani. Danendra yang melihat Maharatu memejamkan mata tersenyum samar. “Jujur saat ini aku memang sangat menginginkannya, Ra. Tapi, tidak. Aku akan menahannya hingga nanti. Saat kita, terutama aku, sudah yakin bila kamu benar-benar mencintaiku.” Danendra bermonolog dalam hati.“Ada sesuatu di rambutmu,” dusta Danendra yang menyentuh rambut Maharatu lembut. Seolah dia benar-benar sedang menyingkirkan kotoran di rambut Maharatu.Mata Maharatu terbuka seketika saat mendengar Danendra berucap.“Oiya!” sahut Maharatu gelagapan. Dia menyelipkan anak rambut yang sedari tadi diterbangkan angin ke segala arah. Menyamarkan rasa gugup dan salah tingkah karena sudah bersikap konyol di hadapan Danendra. Bisa-bisanya dia berpikir Danendra akan me
“Hal penting apa, Ma?”“Anastasya pulang ke Indonesia,” ucap Dahlia penuh semangat. Anastasya wanita muda berusia 27 tahun yang pernah mengisi hari-hari Danendra tiga tahun silam. Menantu idaman dan ideal di mata Dahlia. Wanita muda itu cantik, anggun, pintar, dan berkelas. Dia juga merupakan putri dari salah satu pengusaha tour and travel yang terkemuka di negeri ini. Sepadan, itulah kata yang selalu digaungkan oleh Dahlia untuk Anastasya sebagai calon pendamping Danendra. Tidak heran, Dahlia begitu kecewa saat tahu Danendra dan Anastasya memilih untuk mengakhiri hubungan mereka. Karena yang Dahlia harapkan mereka akan berakhir di pelaminan.“Oh….” jawab Danendra datar. Bagi pria bertubuh kekar itu, tidak ada lagi yang menarik dari Anastasya. Karena hubungan keduanya memang sudah berakhir bertahun-tahun lalu. Lagipula yang Danendra dengar, Anastasya juga sudah memiliki pasangan saat ini.“Kok, oh, sih, Danen,” protes Dahlia karena jawaban Danendra yang tak sesuai dengan ekspektasin
Setelah langkahnya sempat terhenti, Maharatu kembali mengayunkan kakinya. Lalu, menepuk bahu Bagaskara yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.Suaminya memang penuh kejutan. Katanya dia akan berada di Eropa selama dua minggu, nyatanya baru sepuluh hari, Bagaskara sudah berada di sini.“Mas.” Sapaan Maharatu berikan. Setelah Bagaskara menoleh. Seulas senyum meski berat harus Maharatu tunjukkan pada pria matang idaman para emak-emak yang berdiri membelakanginya.“Aku merindukanmu.” Tanpa aba-aba, Bagaskara memeluk Maharatu, menelusuri leher jenjang istrinya. Penuh hasrat. Seolah tidak mempedulikan sekitar.Segera Maharatu memegang kepala Bagaskara. Menyudahi aksi sang suami yang berhasil membuat wajahnya merah padam karena menahan malu. Terlebih lagi ada Danendra di belakang mereka. “Hentikan, Mas!”“Kenapa?” hardik Bagaskara yang tidak terima karena aksinya dihentikan. “Kalau sampai ada yang melihat Mas memperlakukanku seperti ini bisa gawat. Ini tempat umum Mas!”Bagaskara langs