Sinar hangat mentari pagi yang menembus celah fentilasi kamar Rachel mengenai wajah putih bersihnya. Dan suara kicauan burung bersahutan di luar terdengar sangat riuh. Hembusan demi hembusan sepoi-sepoi angin membuat helai rambut sedikit berayun manja di hidung mancung Rachel saat itu.
“Rachel sayang! Kamu belum bangun ya, Nak. Sudah siang ini. Katanya hari ini mau lihat hasil kelulusan kamu?” Tampak Ayahnya dari luar pintu bicara pada Rachel dan sesekali mengetuk pintu kamarnya. Namun tidak juga ada sahutan dari dalam, bahkan untuk di buka pintu saja tidak. Lagi-lagi ayahnya dengan tidak bosan selalu memanggil Rachel untuk membangun kan.
“Sayang! Sebentar lagi Ayah mau berangkat kerja. Jangan lupa bangun ya, nanti kamu telat kalau tidak ada yang bangunkan. Di atas meja makan juga sudah Ayah siapkan nasi goreng. Jangan lupa di makan! Nanti keburu dingin sudah tidak enak.”
Ayah yang begitu sayang dengan anak satu-satunya setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaan Rachel harus di bangunkan. Meski tidak ada sahutan dari Rachel, biasanya dia langsung bangun membuka matanya.
Setelah membangunkan Rachel, ayahnya langsung berangkat kerja. Rachel yang masih bersemayam di dalam kamar langsung meraih handphone miliknya.
“Ya, Ampun. Sudah jam berapa ini. Duh! Jangan sampai telat.” Rachel bergegas bangun dari tempat tidur yang sudah berantakan. Bantal dan guling yang sudah tidak di tempatnya lagi, bahkan selimut terjatuh dari tempat tidur.
Lari ke kamar mandi untuk mengambil pasta gigi juga sikat gigi, lalu membasuh mukanya. Kebiasaan buruk Rachel jika telat sedikit saja dia tidak pernah mandi. Hanya membasahi muka, dan menyikat giginya. Namun jika lagi tidak terburu-buru, dia suka berlama-lama di kamar mandi.
“Hai, maaf aku telat,” ucap Rachel ketika bertemu teman-temannya yang sudah lebih dulu siap darinya.
“Yaelah, kebiasaan kamu nih suka telat,” sahut sahabatnya yang bernama Karin.
“Hehe, Maaf.”
Sekolah menengah atas hari ini akan mengumumkan hasil pencapaian murid-murid atas apa yang mereka raih selama ini. Yaitu sebuah kabar kelulusan yang akan di umum kan oleh kepala sekolah langsung. Bukan hari biasa bahkan bukan hal biasa yang harus mereka hadapi. Menunggu waktu untuk di umumkan hasil prestasi bukan sebuah waktu biasa. Rachel bersama teman-teman sudah siap mendengar kabar kelulusan mereka.
Selang beberapa menit, semua kelas dua belas yang berjumlah lebih kurang 150 siswa tersebut di kumpulkan di lapangan sekolah. Guna untuk mendengarkan hasil pencapaian lulus atau tidaknya. Dengan berjalannya waktu, Kepala Sekolah memberikan amanat sebelum mengumumkan hasilnya. Semua murid tampak bosan karena sudah tidak sabar untuk hasilnya. Namun, Kepala Sekolah sengaja mengulur waktu agar mereka semua merasa geregetan. Sampai pada puncaknya, akhirnya Kepala Sekolah memberikan pengumuman kelulusan mereka semua. Hanya saja, satu persatu diberikan sebuah amplop yang berisi keterangan lulus atau tidak lulusnya.
“Ya Allah,” teriak Karin dan bengong lihat hasilnya setelah membuka isi amplop tersebut.
“Ada apa, Rin? Lulus atau tidak lulus kamu?” tanya Rachel.
“Aku lulus,” Karin teriak kembali hingga semua murid melihatnya. Teriakan tersebut seakan mewakili semua murid. Karena pada hari itu hasil mereka selama ini ternyata membuahkan hasil yaitu dengan satu kata lulus. Semua murid bergembira dan mencoret-coret bajunya. Namun ketika baru saja ingin mewarnai baju, Rachel di panggil Kepala Sekolah untuk ikut dia ke kantor. Hati Rachel berdegup kencang karena takut sebenarnya ada hal apa sehingga Kepala Sekolah memanggilnya. Semua mata murid tertuju padanya penuh dengan tanda tanya.
“Silahkan duduk, Nak!” Perintah Kepada Sekolah kepadanya.
“Baik, Pak. Sebenernya ada apa ya saya di panggil kemari, Pak?”
“Oh iya, jadi begini. Sebelumnya selamat ya sudah lulus. Dan sesuai janji dari pihak sekolah kemarin, saya mewakili semua. Bahwa sekolah kita dapat bantuan dari pemerintah untuk siswa dan siswi yang berpotensi. Jadi tujuan saya panggil kamu kemari adalah untuk memberitahu kamu, bahwa kamu terpilih dapatkan beasiswa kuliah di universitas terbaik di kota ini. Sebagai siswi yang baik, teladan juga nilai tertinggi, kami sudah putuskan untuk memilih kamu mendapatkan beasiswa ini. Jika kamu setuju, kamu boleh tandatangani surat ini.”
Rachel terkejut bukan main, bahkan dia sempat bengong sendiri rasa tidak percaya kalau dia mendapatkan beasiswa tersebut.
“Baik, Pak. Kalau begitu saya mau. Apa harus langsung saya tanda tangani?”
“Apa kamu tidak akan pikirkan dulu. Ada baiknya surat ini kami berikan dulu dengan orangtua kamu. Bagaimana pun restu orangtua lebih baik, siapa tahu nanti ada kendala hal lain yang orangtua kamu pikirkan.”
“Benar juga sih, ya sudah deh. Kalau begitu aku bawa pulang dulu. Pasti Ayah senang dengar kabar ini,” gumam Rachel.
“Bagaimana, Chel?” tanya Kepala Sekolah.
“Eh iya, Maaf. Baik, Pak. Kalau begitu nanti saya beritahu Ayah saya dulu.”
“Baiklah, ini kamu bawa ya. Kasih tahu Ayah kamu. Tentu dia pasti akan senang mendengar dua kabar sekaligus dari kamu. Semoga sukses ya?”
“Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
“Iya, silahkan!”
Rachel keluar kantor dengan wajah sumringah. Dan tanpa di sadari, temannya sudah menunggu sejak tadi.
“Ada apa, Chel? Kepala Sekolah apain kamu?” tanyanya khawatir.
“Apain bagaimana? Memangnya di apain? Kamu ini.” Mendadak Rachel merubah wajahnya menjadi sedih. Dan semakin membuat Karin bingung melihatnya.
“Kamu kenapa kok jadi sedih begitu? Sebenernya ada apa sih? Jangan buat aku bingung deh! Kamu tadi kenapa di panggil ke kantor? Jawab, Chel?”
“Aku tadi di marahin Bapak Kepala Sekolah. Karena Cuma aku yang tidak lulus, Rin.”
“Ah, yang benar saja kamu. Aku tidak percaya murid sepintar kamu tidak lulus. Tidak mungkin!”
“Apa yang tidak mungkin, bisa saja kan terjadi. Ya sudah, aku mau pulang. Siap-siap kena marah sama Ayah.” Bohong Rachel.
Namun, Karin tidak percaya dengan kata-kata Rachel. Apa lagi dia melihat ada dua kertas yang di pegang Rachel. Tanpa berpikir panjang lagi, salah satu surat itu di ambil oleh Karin. Karena penasaran, dia nekat langsung membuka surat tersebut. Namun bukan surat kelulusan yang dia ambil, tapi surat beasiswa yang barusan di berikan Kepala Sekolah.“Ya Tuhan, dasar pembohong kamu ya. Kabar sebagus ini kamu bilang tidak lulus. Ini apa? Beasiswa kan, Chel?”“Hehe, iya. Maaf, aku Cuma bercanda kok.”“Ya, ampun teman aku ini. Suka banget buat orang cemas. Selamat ya, sudah mendapatkan beasiswa.”“Iya, sama-sama. Oh iya, lupakan soal beasiswa ini. Mending kita rayakan kelulusan kita.”“Em, benar juga. Kalau begitu ayo kita coret-coret baju kita.”“Kayaknya nggak deh. Daripada kita coretin baju kita, mending bajunya kita kasih sama adik kelas. Kan berguna juga. Mending kita rayakan deng
“Rachel, kamu gambar apa ini? Duh lucunya.”Ibu mendekati Rachel yang asyik bermain dengan berbagai macam pensil warna. Rachel membuat gambar dirinya, ayah dan ibunya di sebelah kanan dan kirinya dan menggandeng tangan Rachel. Dengan penuh warna warni dalam gambar, meski gambar tidak rapi tapi memiliki penuh arti. Ibu selalu memuji kepintaran Rachel dan selalu mendukung dalam kegiatan yang bagus.“Ini Ayah, ini Ibu. Dan ini aku, Bu,” jelasnya.“Wah, gambar yang bagus. Pintar anak Ibu?”Ibu memberikan senyum pada bibirnya, lalu mengecup kening Rachel. Namun kebahagiaan itu hanya sebentar Rachel rasakan. Tiba-tiba mendadak ibu mengalami sakit yang luar biasa pada dadanya. Sudah beberapa kali ibu check up ke dokter untuk meringankan rasa sakitnya. Ibu mempunyai riwayat sakit jantung. Hingga hari itu, rasa sakit ibu kambuh lagi. Sayangnya, kebetulan tidak ada ayah karena sedang kerja. Rachel yang sangat panik, minta tolong
Polisi tidak memberikan waktu lagi, pembicaraan mereka hanya sampai di situ saja. Rachel tidak tahu harus berbuat apa lagi sejak itu. Ayah yang korupsi dan harus di penjara selama sepuluh tahun lamanya. Dan meninggalkan hutang sehingga membuat Rachel bekerja keras. Impiannya untuk bekerja di perusahaan terbaik setelah lulus kuliah menjadi pupus. Karena tuntutan hutang tiap bulan yang harus di bayar, dan lamaran pekerjaan belum juga di terima dari berbagai perusahaan, membuatnya harus bekerja seadanya. Tapi penghasilan pas-pasan untuk kebutuhan bahkan kurang.“Sayang, aku sangat mencintaimu. Dan sudah beberapa bulan kamu menderita hidup sendiri dan serba kekurangan sejak ayah di penjara. Apa kamu mau kita menikah saja? Aku sekarang sudah siap,” ungkap Radit.“Apa dengan kita menikah, bisa menyelesaikan masalah?”“Aku ingin menikah dengan kamu karena ibadah. Karena tidak ingin juga melihat kamu hidup sendiri di rumah. Jika sudah bersa
“Ibu Rachel sudah meninggal sejak Rachel kecil, dan Ayah Rachel baru beberapa Minggu yang lalu masuk tahanan,” jelas Radit dengan jujur.“Apa? Kenapa bisa Ayah kamu masuk penjara, Chel?” tanya mama langsung kepada Rachel yang sedari tadi menundukkan kepalanya. Rachel kaget bak tersambar petir ketika mama Radit bertanya tentang Ayahnya. Dia bingung harus jawab apa. Menunggu jawaban dari Radit, namun tidak di jawab juga. Hingga pertanyaan kedua datang langsung dari papa.“Jawab, kenapa Ayah kamu bisa masuk penjara? Apa dia sudah melakukan kesalahan yang fatal atau hanya sebuah kesalahan atas dasar fitnah yang dia dapatkan?” tanya Papa dengan suara yang menggelegar. Rachel sudah menduga, latar belakangnya tentu akan menjadi bahan pertimbangan di keluarga Radit. Tapi semua sudah terlanjur dan harus Rachel jawab sejujur mungkin dan siap terima apa pun itu nanti pendapat mereka.“Ma-maaf, Om. Ayahku masuk penjara karena korups
Bismillahirrahmanirrahim. Ketua KUA langsung membacakan doa terlebih dahulu sebelum mengucapkan ijab kabul nya. Setelah itu baru lah mengucapkan ijab kabul.“Saya nikahkan engkau Radit Rajendra bin Abdul Qodir dengan Rachel binti Muhammad Syafiq dengan mas kawin dan seperangkat alat Shalat di bayar tunai,”Dengan cepat dan sigap Radit meraih tangan penghulu dan mengucapkan kata-kata.“Saya terima nikahnya Rachel binti Muhammad Syafiq dengan mas kawin dan seperangkat alat shalat dibayar tunai,”“Bagaimana saksi? Sah?”“Sah!”“Alhamdulillah,” semua yang hadir turut mengucapkan hamdalah.Setelah selesai proses akad, Rachel mencium tangan Radit. Begitu juga Radit mencium kening Rachel. Dua hati yang terikat dalam satu cinta kini bersatu dalam bahtera rumah tangga.Sesuai yang di inginkan, Radit dan Rachel akhirnya menikah secara agama dan hukum. Namun itu buk
Satu tahun sudah berlalu, namun Rachel dan Radit masih seperti biasa yang selalu bertengkar karena perjanjian tersebut. Selama ini Rachel selalu sabar menanggapi sikap Radit. Dia hanya bisa berharap suaminya dapat berubah untuk membela dirinya. Tapi kenyataannya, usaha Rachel selalu sia-sia. Keadaan kini tambah semakin berubah. Selain Rachel selalu mendapat cemoohan dari mertua, kini di tambah lagi dengan hadirnya Bella yang sudah menikah dengan Joe. Hari-hari yang di lalui Rachel semakin terlihat suram dengan hadirnya Bella. Karena jelas Mama mertuanya selalu membandingkan dirinya dengan Bella. "Mbak Rachel, tolong ambilkan aku Snack di kulkas dong!" Perintah Bella yang duduk tepat di depan tv ketika melihat Rachel berada di dapur. Mulut memerintah namun mata masih tetap fokus dengan tv. Hal itu sudah biasa Bella lakukan bersantai untuk menonton. Sikap Mama yang selalu memanjakan dirinya membuat dia semena-mena terhadap Rachel. Semenjak menikah dengan Joe, Bella men
Rachel rasa semua pekerjaan rumah sudah selesai. Mulai dari bersih-bersih dan masak di dapur. Semenjak pembantunya pulang kampung, semua pekerjaan rumah di serahkan pada Rachel. Papa, Joe dan Radit seperti biasa tiap hari bertugas di kantor. Sedangkan Mama dan Bella setiap hari hanya bersantai bahkan shopping di luar.Pagi itu, setelah Rachel membersihkan Snack yang berserakan di lantai, dan masak pun sudah selesai, dia berniat ingin mandi setelah itu. Namun baru saja dia duduk di kamarnya, mama memanggil dengan lantang."Rachel!" Panggilnya."Iya, Ma." Dengan sabar Rachel menjawab. Karena baru saja dia menghela napas panjang."Kesini kamu!" Perintahnya lagi."Iya, Ma. Sebentar." Rachel pun keluar dari kamar dan menuju ruang tv. Melihat mama dan Bella sudah rapi dandan cantik membuat Rachel bertanya-tanya."Mau kemana, Ma?" Tanya Rachel ingin tahu."Sudah, tidak usah banyak tanya. Mama dan Bella ingin pergi keluar. Dan mam
“Ma, aku mau tanya sesuatu,” ucap Rachel sedikit rasa ragu. Mama duduk santai di depan tv dengan Bella serentak mereka memandangi Rachel yang sedari tadi sudah berdiri di samping mama.“Iya, katakan saja,” jawab mama datar.“Palingan juga minta uang belanja tuh, Ma,” sahut Rachel dengan pandangan sinis.“Begini, Ma. Kemarin waktu Mama dan Bella keluar, Bibi telepon. Dia tanya soal gaji dia bulan ini sudah di transfer atau belum katanya.”“Oh, bilang saja nanti kalau dia telepon lagi, secepatnya Mama transfer.”“Iya, Ma.” Rachel tetap berdiri di samping Mama. Rasa ingin ada sesuatu yang ingin di sampaikan, namun takut untuk memulai kata-kata itu. Sehingga dia terus berdiri dengan mulut seperti ingin bicara namun ragu untuk melontarkan.“Kamu kenapa, Chel? Apa ada yang ingin kamu katakan lagi?” Mama menatap mata Rachel kali ini.“Em, em, maaf. Bibi