Sekian menit terlewati, semua orang memenuhi ruang tengah yang telah diubah menjadi tempat penyajian. Ahmad dan Emilia mengajak Ana, Panji, Rahmi, Sultan dan Winarti menuju ruang kerja di sisi kanan bangunan. Mereka hendak berdiskusi menentukan waktu terbaik untuk melangsungkan pernikahan Hadrian dan Zaara. "Aku cemburu," keluh Endaru. "Sabar, Daru. Nanti kamu pasti menemukan pengganti Ian," canda Baskara. "Banyak yang masih jomlo, Daru. Pilih aja salah satu," imbuh Dante. "Aku mau sama Kyle aja," tutur Endaru. "Aku minta mahar 1 miliar," balas Harry. "Siap!" seru Endaru. "Itu mahar buatku, buat Kyle, beda lagi. Belum untuk seserahan, biaya akad nikah dan resepsi." "Harry, kamu mau bikin aku bangkrut?" "Masa nyiapin 5 miliar aja bangkrut?" "Aku mau pingsan dulu." "Alibimu lemah." "Tapi, itu banyak banget." "Wajar kalau Harry minta segitu, Daru. Kyle Adik satu-satunya, dari keluarga konglomerat pula. Nggak mungkin kamu ngelamar dia cuma ngasih 100 juta," cakap Heru. "100
Jalinan waktu terus bergulir. Sore itu, Zaara baru tiba di tempat parkir area gedung milik klien, ketika beberapa orang menyambanginya. Indriani yang mendampingi Zaara, spontan maju untuk menjadi perisai sang nona. Fajrin yang berada di dekat mobil, menelepon Listu untuk mengabarkan situasi. Kemudian Fajrin jalan secepat mungkin untuk membantu Indriani melindungi Zaara. "Siapa kalian?" tanya Zaara. "Nona, harap ikut kami," tukas pria terdepan yang mengenakan kemeja marun, tanpa menjawab pertanyaan perempuan tersebut. "Jawab dulu, kalian itu siapa?" "Nona tidak perlu tahu. Yang penting, turuti permintaan kami!" "Nada suaramu bukan meminta, tapi maksa!" "Jangan memancing kami untuk bertindak kasar, Nona!" "Coba saja. Aku tidak takut!" Pria bercambang tipis mendengkus. Dia memandangi Fajrin dan Indriani secara bergantian. Kemudian dia maju sambil mengacungkan tinjuan, yang disongsong Fajrin dengan hal serupa. Ketiga teman pria bercambang turut membantu rekannya hingga Fajrin te
Siang itu, Hadrian mendatangi Zaara. Dia sengaja tidak memberitahukan kedatangannya, hingga Zaara benar-benar terkejut melihat Hadrian memasuki ruang kerjanya. Gadis bergaun putih lengan pendek, mengulaskan senyuman menyambut kehadiran pria yang telah mengikatnya dalam pertunangan. Zaara berpindah duduk di sofa tunggal. Dia memerhatikan Hadrian yang sedang membuka beberapa wadah makanan yang diletakkan di meja. "Yuk, makan," ajak Hadrian sambil mendorong satu wadah ke dekat Zaara. "Akang, kok, tahu, kalau aku lagi pengen bakmi?" tanya Zaara sembari mengambil sumpit dan mengaduk-aduk mi-nya. "Aku nelepon Indriani tadi. Terus dia bilang, kamu mau ini. Kusuruh dia mesan di restoran favoritmu. Aku nyampe, tinggal angkut ke sini." "Akang kapan nyampe dari Jambi?" "Sekitar 2 jam lalu." "Dari bandara, langsung ke sini?" "Hu um." Zaara tertegun sesaat, lalu dia berkata, "Aku jadi terharu." "Jangan mewek." Zaara mengerjap-ngerjapkan matanya yang mengabut. "Akang selalu bisa nebak s
Seorang perempuan berjilbab ungu muda, menyambut kedatangan Hadrian dan Zaara dengan senyuman lebar. Ivana Alitza, merupakan sahabat sekaligus mantan kekasih Hadrian beberapa tahun silam. Hubungan Ivana dan Hadrian masih akrab, dan hal itu diizinkan Zayan Huntara Hatim, suami Ivana. Zayan yang merupakan komisaris Hatim Grup, tidak bisa memprotes kedekatan istrinya dan Hadrian yang terjalin sejak mereka masih SMU. Selain itu, Zayan juga merasa utang budi pada Hadrian, yang turut membantu agar dirinya bisa rujuk dengan Ivana. Ivana menyalami Hadrian sambil menepuk-nepuk lengan kiri sahabatnya. Ivana tidak berani memeluk Hadrian karena ada Zaara di sana. Ivana tidak mau membuat Zaara cemburu dan mungkin nantinya akan berselisih dengan Hadrian, akibat Ivana yang terlalu akrab dengan pria berkemeja biru pas badan itu. Suara teriakan dua bocah laki-laki mengiringi kedatangan Zayan dari dalam rumah. Kaivan dan Zio berebutan menyalami Hadrian, yang menciumi pipi mereka secara bergantian.
Pagi menjelang siang. Zaara sudah berada di kantor polisi, untuk memberikan keterangan atas laporan pria bernama Rinto. Zaara yang didampingi kedua ajudannya, Hadrian, Ivan dan Broto, kuasa hukumnya, juga turut melaporkan balik Rinto atas tuduhan berlapis. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit sebelum jam 12. Broto sempat berbincang dengan Ivan dan yang lainnya, kemudian pria tua tersebut memasuki mobil sedan mewahnya, yang segera melaju menjauh. Ivan dan yang lainnya menaiki mobil Hadrian yang dikemudikan Kirman. Sang sopir mengarahakan kendaraan itu menuju pusat kota. Setibanya di tempat tujuan, mereka disambut beberapa bos PG yang telah menunggu sejak tadi. Mereka segera menaiki tangga ke lantai dua, hingga tiba di ruang VIP. Menuruti permintaan Tio, Zaara dan kedua ajudannya bergantian menerangkan apa yang mereka sampaikan pada tim penyidik di kantor polisi tadi. "Om Broto tadi nelepon aku, kemungkinan besar orang itu akan menarik laporannya. Karena bukti-bukti
Sabtu pagi, Zaara mengikuti langkah Hadrian untuk melakukan joging di seputar kompleks. Kirman dan Indriani menyusul di belakang sambil saling mencela. Keduanya bahkan tidak segan-segan beradu tinjuan, sembari tertawa-tawa. Zaara yang sempat menoleh ke belakang, menggeleng pelan menyaksikan tingkah kedua ajudan yang berlaku sama seperti semua pengawal lainnya. Ingatan Zaara melayang pada acara ulang tahun Pramudya Grup yang dihadirinya beberapa bulan silam. Di mana semua pengawal turut berjoget dengan berbagai gaya kocak yang menimbulkan gelakak penonton. Sesampainya di taman utama yang merupakan pusat berkumpulnya orang-orang perumahan tersebut, Zaara terkejut menyaksikan banyaknya lapak pedagang makanan dan berbagai dagangan lainnya. "Belanjanya nanti aja. Kita sarapan dulu," ajak Hadrian sambil menarik tangan Zaara menuju satu lapak di sisi kanan. "Ehm, aku nggak doyan kupat tahu," bisik Zaara seusai membaca menu sang pedagang. "Ada lontong sayur dan lontong kari juga." "Ena
Semenjak hari itu, Zaara tidak berani beradu pandang dengan Hadrian. Gadis berhidung bangir merasa malu, akibat kissing mereka Sabtu siang. Bahkan saat perjalanan pulang ke Jakarta, Zaara berpura-pura tidur agar tidak perlu melihat lelaki bermata besar, yang sedang berbincang dengan Kirman yang menjadi sopir. Akhir pekan yang penuh warna telah berlalu. Hadrian dan Zaara melanjutkan kehidupan mereka dengan beragam kesibukan. Bila tidak bisa berjumpa, Hadrian akan menelepon Zaara setiap malam. Hadrian sengaja melakukan itu untuk menjalin komunikasi yang baik dengan calon istrinya. Sekaligus menyelami hati Zaara yang makin membuatnya terpesona. Kamis siang, Hadrian tiba-tiba muncul di ruang kerja Zaara. Dia mengajak sang gadis untuk menemui Mutiara, yang tengah menunggu di kantor EO. Syaiful yang menggantikan posisi Kirman yang sedang libur, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebab mereka harus mengejar waktu agar tidak terlambat. Tidak sampai 30 menit, pasangan tersebut
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terlewati dengan cepat dan bulan pun berganti tanpa sanggup dicegah siapa pun. Zaara makin deg-degan, karena acara pernikahan hanya tinggal menghitung hari. Dia makin gelisah, karena Hadrian kian gencar mendekati, bahkan pria tersebut tidak segan untuk merayunya dengan berbagai cara. Seperti malam itu, Hadrian datang sambil membawa dua tas belanja sarat barang. Dia memanggil Fiona, dan memberikan satu tas penuh jajanan pada gadis kecil berambut ikal, yang menerimanya sambil berseru kegirangan. Satu tas lagi diberikan Hadrian pada Shurafa. Pria berkulit putih mengulaskan senyuman kala calon Kakak iparnya terlihat gembira, mendapatkan kue yang diinginkannya."Kamu, kok, tahu, aku pengen cake matcha?" tanya Shurafa sembari memotong-motong kue dan memindahkannya ke piring kecil yang diantarkan asisten rumah tangga. "Aku lihat SW Mas Rendra. Kebetulan lagi dekat toko kue Falea. Langsung mampir dan beli," jelas Hadrian. "Makasih banget, Ian. Aku mem