Pagi menjelang siang. Zaara sudah berada di kantor polisi, untuk memberikan keterangan atas laporan pria bernama Rinto. Zaara yang didampingi kedua ajudannya, Hadrian, Ivan dan Broto, kuasa hukumnya, juga turut melaporkan balik Rinto atas tuduhan berlapis. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit sebelum jam 12. Broto sempat berbincang dengan Ivan dan yang lainnya, kemudian pria tua tersebut memasuki mobil sedan mewahnya, yang segera melaju menjauh. Ivan dan yang lainnya menaiki mobil Hadrian yang dikemudikan Kirman. Sang sopir mengarahakan kendaraan itu menuju pusat kota. Setibanya di tempat tujuan, mereka disambut beberapa bos PG yang telah menunggu sejak tadi. Mereka segera menaiki tangga ke lantai dua, hingga tiba di ruang VIP. Menuruti permintaan Tio, Zaara dan kedua ajudannya bergantian menerangkan apa yang mereka sampaikan pada tim penyidik di kantor polisi tadi. "Om Broto tadi nelepon aku, kemungkinan besar orang itu akan menarik laporannya. Karena bukti-bukti
Sabtu pagi, Zaara mengikuti langkah Hadrian untuk melakukan joging di seputar kompleks. Kirman dan Indriani menyusul di belakang sambil saling mencela. Keduanya bahkan tidak segan-segan beradu tinjuan, sembari tertawa-tawa. Zaara yang sempat menoleh ke belakang, menggeleng pelan menyaksikan tingkah kedua ajudan yang berlaku sama seperti semua pengawal lainnya. Ingatan Zaara melayang pada acara ulang tahun Pramudya Grup yang dihadirinya beberapa bulan silam. Di mana semua pengawal turut berjoget dengan berbagai gaya kocak yang menimbulkan gelakak penonton. Sesampainya di taman utama yang merupakan pusat berkumpulnya orang-orang perumahan tersebut, Zaara terkejut menyaksikan banyaknya lapak pedagang makanan dan berbagai dagangan lainnya. "Belanjanya nanti aja. Kita sarapan dulu," ajak Hadrian sambil menarik tangan Zaara menuju satu lapak di sisi kanan. "Ehm, aku nggak doyan kupat tahu," bisik Zaara seusai membaca menu sang pedagang. "Ada lontong sayur dan lontong kari juga." "Ena
Semenjak hari itu, Zaara tidak berani beradu pandang dengan Hadrian. Gadis berhidung bangir merasa malu, akibat kissing mereka Sabtu siang. Bahkan saat perjalanan pulang ke Jakarta, Zaara berpura-pura tidur agar tidak perlu melihat lelaki bermata besar, yang sedang berbincang dengan Kirman yang menjadi sopir. Akhir pekan yang penuh warna telah berlalu. Hadrian dan Zaara melanjutkan kehidupan mereka dengan beragam kesibukan. Bila tidak bisa berjumpa, Hadrian akan menelepon Zaara setiap malam. Hadrian sengaja melakukan itu untuk menjalin komunikasi yang baik dengan calon istrinya. Sekaligus menyelami hati Zaara yang makin membuatnya terpesona. Kamis siang, Hadrian tiba-tiba muncul di ruang kerja Zaara. Dia mengajak sang gadis untuk menemui Mutiara, yang tengah menunggu di kantor EO. Syaiful yang menggantikan posisi Kirman yang sedang libur, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebab mereka harus mengejar waktu agar tidak terlambat. Tidak sampai 30 menit, pasangan tersebut
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terlewati dengan cepat dan bulan pun berganti tanpa sanggup dicegah siapa pun. Zaara makin deg-degan, karena acara pernikahan hanya tinggal menghitung hari. Dia makin gelisah, karena Hadrian kian gencar mendekati, bahkan pria tersebut tidak segan untuk merayunya dengan berbagai cara. Seperti malam itu, Hadrian datang sambil membawa dua tas belanja sarat barang. Dia memanggil Fiona, dan memberikan satu tas penuh jajanan pada gadis kecil berambut ikal, yang menerimanya sambil berseru kegirangan. Satu tas lagi diberikan Hadrian pada Shurafa. Pria berkulit putih mengulaskan senyuman kala calon Kakak iparnya terlihat gembira, mendapatkan kue yang diinginkannya."Kamu, kok, tahu, aku pengen cake matcha?" tanya Shurafa sembari memotong-motong kue dan memindahkannya ke piring kecil yang diantarkan asisten rumah tangga. "Aku lihat SW Mas Rendra. Kebetulan lagi dekat toko kue Falea. Langsung mampir dan beli," jelas Hadrian. "Makasih banget, Ian. Aku mem
Hari berganti. Siang itu, Zaara kembali mendatangi kantor polisi, untuk mengetahui perkembangan kasusnya melawan Rinto. Zaara nyaris bersorak ketika kepala divisi penyidik menerangkan jika Rinto telah mencabut laporannya tadi pagi. Selain itu, pria berperut agak buncit juga menjelaskan bila pihak Rinto meminta Zaara untuk menarik laporan. Akan tetapi, Zaara bersikeras melanjutkan kasusnya. Dia didukung penuh keluarga dan kerabat, untuk meneruskan tuntutan. Firhan, asisten Broto yang menemani Nona muda Latief, berusaha menahan tawanya yang nyaris menyembur, karena menyaksikan ekspresi serius Zaara saat menuturkan keinginannya. Penyidik polisi berusaha membujuk Zaara, tetapi gadis berbaju ungu muda bersikukuh meneruskan keinginannya, untuk memberikan efek jera pada orang-orang semacam Rinto. Puluhan menit berlalu, Zaara sudah berada di mobilnya yang dikemudikan Fajrin. Gadis bermata besar tengah menelepon Ivan untuk menjelaskan kejadian tadi, ketika ponsel keduanya berdering. Zaara
Hadrian memandangi wajah Margus dan Larry, yang tengah melakukan sambungan video jarak jauh dengannya. Hadrian manggut-manggut, kemudian dia tersenyum saat Margus memastikan jika pihak mereka akan menang. "Ternyata Garret dan Chokri benar-benar menunaikan janji mereka untuk membantu kira," tukas Hadrian, sesaat setelah Margus berhenti mengoceh. "Ya. Saya sempat terkejut, ketika asistennya Garret datang bersama Chokri dan pemilik video asli itu," sahut Margus. "Kamu beruntung, Ian. Ternyata orang itu pegawainya Chow Grup, dan mereka tengah perang dingin dengan Cheng Grup serta rekanannya," imbuh Larry. "Aku juga nggak nyangka, Bro," balas Hadrian. "Mungkin ini hadiah dari Tuhan, sebagai kado atas pernikahanku," lanjutnya. "Ah, ya, aku hampir lupa. Ada titipan dari beberapa teman kita," ungkap Larry sambil mengangkat amplop putih di tangan kanannya. "Kamu ke sini, kapan? Sekalian bawa itu," pinta Hadrian. "Sekitar 3 hari sebelum pernikahan. Aku ikut rombongan teman-teman PC di si
Beberapa saat menjelang pukul 7 malam, Hadrian muncul di kediaman Ahmad Yafiq. Fiona yang membukakan pintu depan, menjerit kegirangan saat Hadrian memberikan satu bungkus mainan lego terbaru, yang memang sangat diinginkannya. Gadis kecil berkuncir dua menarik tangan omnya menuju ruang makan. Ahmad Yafiq mengajak calon menantunya untuk bersantap, yang langsung dipenuhi Hadrian. Pria bermata besar menarik kursi di sisi kanan Zaara. Dia duduk dan merapikan posisi kursi, lalu menyentuh pelan lengan kanan kekasihnya yang spontan menoleh. "Teh Renata chat aku, besok kita diminta fitting baju," terang Hadrian sambil menunggu diambilkan nasi oleh Shurafa. "Ya, tadi dia juga chat aku," jawab Zaara. "Tapi, aku baru bisa ke sana itu sore. Karena jam 1 aku ada meeting," jelasnya. "Meeting di mana?" "Amartya." "Ferdi?" "Hu um. Aku gantiin Mas Ivan." "Proyek yang mana?" "Filipina." Hadrian berpikir sesaat, lalu dia manggut-manggut. "Oh, yang bareng Mas Linggha, ya?" "Hu um." "Ian, mak
Lembayung senja telah menggelap, ketika Hadrian dan Zaara keluar dari butik. Mereka memasuki mobil Hadrian yang dikemudikan Syaiful. Sedangkan Fajrin dan Indriani mengikuti di belakang menggunakan mobil Zaara. Ramainya kendaraan di jalan raya menjadikan perjalanan itu berulang kali tersendat. Syaiful sempat menggerutu, karena beberapa pengendara motor yang menggunting sembarangan. Sesampainya di kediaman Ahmad Yafiq, bertepatan dengan bergemanya azan magrib. Hadrian meminta izin untuk menumpang mandi dan salat pada pemilik rumah. Kemudian dia dan Syaiful diantarkan ke kamar tamu oleh Zaara. Puluhan menit terlewati, Hadrian tengah berbaring di kasur ketika pintu diketuk. Syaiful bergegas membukakan pintu agar Ivan dan Virendra bisa memasuki ruangan. "Ayah ngajak makan di luar," terang Ivan sembari duduk di tepi kasur. "Ke restoran mana, Mas?" tanya Hadrian. "Ayah pengen ke tempatmu." "Resto satu, dua atau tiga?" "Satulah. Yang lainnya kejauhan." "Oke. Aku dandan dulu bentar."