Lembayung senja telah menggelap, ketika Hadrian dan Zaara keluar dari butik. Mereka memasuki mobil Hadrian yang dikemudikan Syaiful. Sedangkan Fajrin dan Indriani mengikuti di belakang menggunakan mobil Zaara. Ramainya kendaraan di jalan raya menjadikan perjalanan itu berulang kali tersendat. Syaiful sempat menggerutu, karena beberapa pengendara motor yang menggunting sembarangan. Sesampainya di kediaman Ahmad Yafiq, bertepatan dengan bergemanya azan magrib. Hadrian meminta izin untuk menumpang mandi dan salat pada pemilik rumah. Kemudian dia dan Syaiful diantarkan ke kamar tamu oleh Zaara. Puluhan menit terlewati, Hadrian tengah berbaring di kasur ketika pintu diketuk. Syaiful bergegas membukakan pintu agar Ivan dan Virendra bisa memasuki ruangan. "Ayah ngajak makan di luar," terang Ivan sembari duduk di tepi kasur. "Ke restoran mana, Mas?" tanya Hadrian. "Ayah pengen ke tempatmu." "Resto satu, dua atau tiga?" "Satulah. Yang lainnya kejauhan." "Oke. Aku dandan dulu bentar."
Seth mengamati bosnya yang tengah melamun. Pria berkumis tipis membatin, jika Leroy terlihat sering seperti itu belakangan hari. Terutama semenjak kasusnya melawan Hadrian kembali mencuat.Seth menarik napas panjang dan melepaskannya sekali waktu. Sebagai asiaten, dia harus melakukan berbagai cara, agar Leroy bisa kembali fokus bekerja. Pria berkemeja krem menyambangi sang bos di sofa. Seth duduk di kursi tunggal, lalu dia berdeham untuk menarik perhatian pria berambut belah tengah. "Bos, besok pagi kita sudah harus berangkat ke Filipina. Meeting dimajukan waktunya, jadi jam 2 siang," terang Seth. Leroy mendengkus pelan. "Kamu saja yang ke sana," tolaknya. "Tapi, Tuan Jeremy sudah meminta bos yang menangani." Leroy menggeleng. "Aku mau ke Indonesia." Seth berpura-pura terkejut, padahal dia sudah mengetahui hal itu dari Vancy. "Untuk apa Anda ke sana?" "Aku dengar, mereka akan menikah." "Mereka, siapa?" "Zaara dan si brengsek itu." "Ehm, bos dengar dari mana?" "Temanku di Mal
Matahari baru naik sepenggalah, ketika seunit mobil MPV putih melesat di jalan bebas hambatan menuju Bogor. Fajrin yang menyopiri mobil bosnya, terlihat berbincang dengan Kirman yang berada di sebelah kiri. Sedangkan Hadrian dan Zaara yang berada di kursi tengah, tampak sibuk dengan ponsel masing-masing. Tiba-tiba Hadrian terkekeh dan mengejutkan yang lainnya. Tawa pria bermata besar mengencang, karena membaca perdebatan para sahabatnya di grup DIAMOND, yang baru dibuat Alvaro beberapa hari lalu. ***DIAMOND GRUP Alvaro : Gaes, kapan bisa ketemuan? Haikal : Ane bisanya lusa, karena sekarang masih di Padang. Hamid : Aku juga bisanya lusa. Ini masih ngawal Pak Tio. Yanuar : @Bang Hamid, hebat, euy. Masih semangat ngawal juga. Hamid : Harus, @Yanuar. Selagi badan masih kuat, aku akan terus jadi pengawal. Marley : Bang Hamid always keren! Prabu : Mantaplah, @Bang Hamid. Endaru : Aku juga mau dikawal senior lapis satu. Wirya : Boleh, @Mas Daru. Tapi, bayarannya beda. Endaru :
"Bang, ada 3 mobil yang mepet dari tadi!" seru Indriani melalui sambungan telepon. "Kalian, di mana?" tanya Wirya. "Perempatan Kemang, yang menuju Duren Tiga." "Sebelum lampu merah, belok kanan. masuk parkiran kantor Vong. Ada Myron di sana." "Oke." "Langsung bawa Zaara masuk ke kantor, dan jangan keluar dari sana. Apa pun yang terjadi." "Siap!" Wirya memutus sambungan telepon dan beralih menghubungi Adik iparnya. Kemudian dia menghubungi ketua sekuriti gedung perkantoran itu, dan meminta sang chief untuk mengarahkan mobil-mobil yang mengikuti Zaara, menuju parkir bawah tanah. "Ngebut, Ga," pinta Wirya. "Mobil depan jiga kuya. Lemot pisan!" desis Yoga. "Terpaksa pakai tot-tot," sela Zulfi. Yoga mengangguk, lalu dia menekan klakson khusus yang mengejutkan pengguna jalan lainnya. Zulfi membuka kaca dan mengacungkan tongkat berlampu ke atas, sebagai tanda sedang dalam keadaan darurat. Mobil-mobil di depan segera bergeser ke kiri untuk memberikan jalan pada dua kendaraan yang s
31"Kamu banyak bicara!" bentak Jaager. "Ish! Orang ini. Dia yang ngajak ngobrol duluan, malah ngomelin aku," keluh Myron. "Lanjut, Bang. Aku mau ngaso bentar," kelakarnya sembari berbalik, lalu meninju kedua pria yang tengah berkelahi dengan Syuja. Jaager hendak mengejar Myron, tetapi Yoga menghalangi dan mengajaknya kembali melanjutkan duel. Pekikan terdengar dari sisi kiri. Semua orang terkejut menyaksikan leher Leroy telah dicengkeram Wirya, dan diangkat ke atas. Zulfi langsung lari dan menepis tangan kiri Wirya yang memegangi pisau lipat. "Tahan, W!" desis Zulfi. "Dia nusuk pahaku!" geram Wirya. Zulfi melirik celana kanan Wirya yang robek. Dia nendengkus kuat, lalu berjongkok untuk mengecek luka rekannya. Myron turut mendekat, kemudian dia menggerutu dalam bahasa Kanton yang membuat Zulfi terkejut."Racun?" tanya Zulfi menggunakan bahasa Mandarin yang dibalas Myron dengan anggukan. "Bang, turunin dulu. Nanti dia mati," bujuk Jauhari yang turut mendekat. "Mukanya sudah puc
Kamis pagi menjelang siang, keluarga Hadrian tiba dengan menggunakan dua bus pariwisata, dan beberapa mobil pribadi. Hadrian menyambut mereka di teras kediamannya. Kemudian dia mengajak semua orang memasuki rumah yang lantai satunya terlihat lega. Mimi, asisten rumah tangga, bergegas menyiapkan minuman untuk para tamu. Dia dibantu beberapa kerabat Hadrian. Hilda dan ketiga sepupu perempuannya, mengeluarkan semua makanan dari empat container box. Mereka menatanya di piring dan mangkuk saji, kemudian membuat dua meja prasmanan di sisi kanan serta kiri ruang makan. Semua orang mengambil ransum, lalu menempati kursi sesuai kelompok masing-masing. Tidak berselang lama, Endaru dan beberapa anggota PG tiba. Mereka langsung diminta Ana untuk turut bersantap. "Yang nginap di sini, Ibu, Paman Panji dan istri, Aki dan Nini, Paman Rasyid, Paman Abdul dan Paman Didi. Tentu saja dengan istri masing-masing," ujar Hadrian. "Para Paman dan Bibi lainnya, nginap di rumah Endaru. Sebelah kanan," tu
33Jumat pagi, ratusan orang memenuhi kediaman Ahmad Yafiq. Acara pengajian yang dilanjutkan dengan siraman, dilaksanakan secara khidmat dan tertib.Zaara nyaris tidak bisa berhenti menangis kala dimandikan kedua orang tuanya. Hal serupa juga dirasakan Emilia, yang kembali terkenang masa kecil putri bungsunya. Ahmad Yafiq menyeka sudut matanya yang berair dengan saputangan merah. Pria tua berkumis sangat terharu, akhirnya bisa menikahkan putri bungsunya dengan lelaki pilihan Zaara. Selain pasangan tua tersebut, Ivan, Shurafa dan Virendra, yang turut menyirami Zaara, ikut mengeluarkan air mata. Ivan terbayang saat dirinya mengasuh Zaara kecil yang terpaut usia 10 tahun dengannya. Ivan mengecup dahi dan kedua pipi adiknya, kemudian mendekap Zaara yang sesenggukan. Shurafa ikut memeluk kedua saudaranya sembari terus menangis. Virendra merangkul ketiganya dari sisi kiri, sambil mengecup puncak kepala Zaara dengan penuh kasih. Kendatipun hanya ipar, tetapi Virendra sangat menyayangi Z
34 Malam itu, Hadrian diajak berbincang berdua dengan Panji. Sang paman yang merupakan satu-satunya Adik almarhum Hasan, Ayah Hadrian, memberikan wejangan pada keponakan tertua keluarga Danadyaksha. Hadrian mendengarkan nasihat Panji dengan serius. Sekali-sekali dia manggut-manggut sebagai tanda memahami petuah laki-laki bermata besar, yang memiliki kemiripan wajah dengannya. Panji berhenti mengoceh, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. Pria tua berkaus merah mengingat sosok sang akang yang telah tiada, semenjak Hadrian masih SMU. Hadrian tertegun saat Panji mengusap sudut matanya yang berair. Hadrian maju untuk mendekap lelaki yang turut merawatnya sejak kecil. Bahkan, Panji-lah yang membiayai sekolah Hadrian dan Hilda hingga jadi sarjana."Kang Hasan pasti sangat senang dengan pernikahanmu, Ian," cakap Panji seusai mengurai pelukan. "Beliau pernah bilang, sangat ingin melihatmu menikah. Begitu pula dengan Hilda," lanjutnya sambil mengusap wajah dengan saputangan. "Sayangnya, Kang