58Pagi menjelang siang, kelompok pimpinan Kirman tiba di rumah sakit swasta terkenal di Singapura. Syuja, Gibson dan Dimas tetap berada di mobil. Sementara Loko, Michael dan Cedric menunggu di lobi, bersama lima anak buah Jeremy Cheng. Di ruang perawatan VVIP, Hadrian berbincang dengan Stefan dan Gerald Cheng. Sebab Leroy masih kesulitan untuk berbicara panjang, dia meminta kedua saudaranya untuk menyampaikan maksudnya pada sang tamu. Hadrian membaca surat permohonan izin yang telah dibuat tim kuasa hukum keluarga Cheng. Hadrian mendiskusikan hal itu dengan Tio, Dante dan Baskara, sebelum menandatangi surat itu. "Terima kasih atas bantuannya," tutur Stefan, sesaat setelah Hadrian memberikan lembaran asli surat itu padanya. Sementara salinannya dititipkan pada Tio. "Kembali kasih," jawab Hadrian. Dia memandangi pria bermata sipit yang sedang duduk menyandar di ranjang. "Cepat pulih, Leroy. Tuntaskan hukumanmu. Baru lanjutkan bisnis dengan cara yang lebih baik," ungkapnya. Leroy m
59Mobil-mobil lainnya muncul dari belakang. Wirya meneriaki Kirman agar menambah kecepatan mobil. Hal serupa juga dilakukan keempat sopir lainnya. Gibson dan Cedric yang berada di mobil paling belakang, menarik senapan laras panjang dari bawah. Mereka mengintip dari pintu kanan dan kiri, yang kacanya telah terbuka sepenuhnya. Rentetan tembakan diarahkan Gibson dan Cedric ke deretan mobil-mobil di belakang. Fabian yang menjadi sopir, melakukan manuver zig-zag yang sering dilstihnya bersama teman-teman pengawal lainnya. Banim yang berada di samping kiri sopir, mendengarkan penjelasan Wirya melalui sambungan telepon jarak jauh. Banim manggut-manggut, sebelum memutuskan panggilan. "Bang, dirut minta kita maju," tukas Banim. "Ke mana?" tanya Fabian. "Paling depan. Bang Kirman mundur, karena Pak Tio mau jadi koboi." Fabian mengulum senyuman. Sebagai salah satu pengawal lama, dia mengetahui jika Tio sangat ingin bisa mempraktikkan ilmu menembaknya secara maksimal. Fabian menambah ke
60Jalinan masa terus bergulir. Kehidupan rumah tangga Hadrian dan Zaara kian harmonis. Setiap minggu pertama dan kedua, mereka akan menetap di Bandung.Bila Hadrian bekerja di restorannya ataupun melakukan rapat dengan teman-teman PG dan PC yang bermukim di Kota Bandung, maka Zaara juga menyibukkan diri dengan belajar memasak pada Ana.Seperti pagi itu, seusai sarapan, Zaara berpamitan pada asisten rumah tangga. Dia mengajak Indriani untuk bergegas ke kediaman sang mertua.Setibanya di tempat tujuan, ternyata di sana sedang ramai ibu-ibu sekitar yang dikaryakan Ana, bila kebetulan tengah mendapatkan orderan katering besar."Bu, siapa yang mesan katering?" tanya Zaara, seusai menyalami mertuanya dengan takzim."Mamanya Reinar. Nanti sore, ada pengajian di rumahnya," jelas Ana sembari melanjutkan memotong bolu ketan hitam.Zaara tertegun sesaat, kemudian dia menggeleng pelan. "Aku lupa acara itu. Padahal Karen sudah ngundang di grup.""Kita berangkat sama-sama. Ibu sekalian mau ketemu m
"Hey!" seru Hadrian Danadyakhsa, yang mengejutkan kedua lelaki yang sedang mengeroyok Kirman, ajudannya. "Akang kejar Non Zaara!" pekik Kirman sambil menendangi lawan-lawannya yang sempat termangu. "Dia di mana?" "Mobil sedan hitam. Ada stiker huruf C putih di kaca belakang!" Hadrian memutar badan dan lari menuju mobil inventaris khusus PG. Dia menekan remote untuk membuka kunci pintu MPV hitam, kemudian dia memasuki kendaraan dan segera menyalakan mesinnya. Hadrian mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dia mengamati setiap sedan yang berada di lajur yang sama. Kala menemukan mobil dengan ciri-ciri yang disebutkan Kirman, Hadrian berusaha mendekati kendaraan tersebut dari sisi kiri. Hadrian memastikan perempuan yang sedang menyandar ke pintu mobil itu adalah Zaara. Dia memutar otak agar bisa memindahkan gadis tersebut ke mobilnya tanpa menimbulkan kehebohan pengendara lainnya. Hadrian mengulum senyuman saat tiba di perempatan yang cukup sepi. Tanpa ragu-ragu dia membanting setir k
"Apa?" tanya Arrivan Qaiz Latief, Kakak tertua Zaara yang baru saja mendapat kabar jika adiknya tidak kembali ke hotel sejak semalam. "Zaara ngilang, Mas," terang Maia, sahabat sekaligus asisten Zaara. "Kok, bisa?" "Enggak tahu." "Memangnya kalian nggak jalan bareng?" "Awalnya begitu, tapi Zaara akhirnya memisahkan diri dan ikut dengan Leroy Cheng." Arrivan yang biasa dipanggil Ivan mengerutkan alisnya. "Siapa itu Leroy Cheng?" "Dia pengusaha sini. Kami ketemu dia tiga hari lalu. Sejak itu dia sering ngedatangin Zaara." "Bentar, kalian ada di mana sebenarnya?" "Singapura." Ivan berdecih. "Kalian pergi sama siapa?" "Bertiga aja. Aku, Zaara dan Desya." "Ajudan?" Maia beradu pandang dengan Desya yang turut mendengarkan percakapan tersebut melalui pengeras suara di ponselnya. "Enggak ada yang ikut." "Apa?" Suara Ivan naik satu oktaf. Kemudian dia menggebrak meja hingga mengejutkan kedua perempuan di seberang telepon. "Zaara yang mau kayak gitu, Mas. Dia bilang bosan dikunti
Sepasang mata Zaara yang cukup besar kembali membeliak. "Gimana kondisinya?" "Kata Mas Virendra, Ayah masih belum sadar." "Astagfirullah!" Zaara memegangi mulutnya dengan kedua tangan."Kita harus segera pulang," usul Desya. "Tasku, gimana?" tanya Zaara. "Ikhlasin aja. Dompet dan paspormu, kan, aku yang pegang. Kamu kemaren cuma bawa ponsel, kosmetik dan sedikit duit." Zaara masih termangu saat kedua rekannya berjibaku membereskan barang-barang. Dia teringat pesan Hadrian yang memintanya menelepon setelah tiba di hotel.Zaara memindai sekitar, kemudian menyambar ponsel Maia. Dia mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Hadrian, tetapi dia benar-benar lupa. "Mai, punya nomor telepon Kang Ian?" tanya Zaara. "Enggak ada," sahut Maia tanpa menoleh. "Aku lupa nomornya." "Coba kamu tanya ke Mas Daru. Ada nomornya di situ." "Kamu ngapain nyimpan nomor Mas Daru?" "Kita, kan, pernah bisnis bareng. Jadi kusimpan nomornya. Kalau Kang Ian, kita belum pernah kerjasama dengan dia. Paling cum
Wirya memandangi Zaara yang tengah mengoceh sambil terisak-isak. Dia berusaha menahan tawa karena Zaara ternyata termakan omongan Ivan. Sebetulnya Fajrin dan Indriani tidak mendapatkan surat peringatan. Wirya hanya meminta keduanya cuti untuk merenungi perbuatan mereka yang telah meloloskan Zaara pergi tanpa pengawasan. Seharusnya kedua pengawal tersebut tetap kukuh untuk ikut ke Singapura, atau mereka bisa melaporkan hal itu pada Yusuf, pengawas pasukan pengawal Latief, yang akan segera mengambil tindakan darurat. Akan tetapi, karena takut diomeli Zaara, akhirnya Fajrin dan Indriani mengalah untuk tutup mulut tentang keberadaan sang nona, yang akhirnya mengakibatkan kericuhan di keluarga Latief. "Lain kali, jangan bertindak semaunya, Ra. Akibatnya begini, banyak orang jadi terseret," tutur Wirya, setelah Zaara menghentikan penjelasannya. "Ya, Bang. Sekarang aku nyesal. Ayah sakit, Ibu ngambek, Mas Ivan marah-marah. Belum lagi kedua pengawal kena imbasnya. Dan yang paling memaluk
Suasana di ruang tamu tempat perawatan Ahmad Yafiq terlihat ramai. Para bos PG berkumpul dan berbincang dengan suara pelan. Mereka sedang menunggu Hadrian yang tengah dijemput Alvaro dari bandara. Kondisi Ahmad Yafiq yang belum kondusif menyebabkan keluarga Latief cemas. Ivan terpaksa meminta Hadrian langsung datang ke rumah sakit agar bisa didengar kesaksiannya. Ahmad Yafiq tidak memercayai penjelasan Zaara, Maia dan Desya. Pria tua ingin mendengar langsung penuturan dari Hadrian yang dianggap sebagai saksi kunci peristiwa tersebut. Zaara dan kedua sahabatnya duduk berderet di sofa panjang, berdampingan dengan Shurafa. Emilia masih merajuk hingga mengabaikan putri bungsunya yang sejak kemarin sudah merengek memohon ampunan. Perempuan tua berjilbab krem menunggu kedatangan Hadrian dengan tidak sabar. Dia merasa kesal pada sahabat putranya yang dianggap menutupi rahasia Zaara. Walaupun Emilia tidak memercayai ucapan penelepon misterius tentang perilaku putrinya, tetap saja dia ingi