"Kata Mas Virendra, Ayah masih belum sadar."
"Astagfirullah!" Zaara memegangi mulutnya dengan kedua tangan.
"Kita harus segera pulang," usul Desya.
"Tasku, gimana?" tanya Zaara.
"Ikhlasin aja. Dompet dan paspormu, kan, aku yang pegang. Kamu kemaren cuma bawa ponsel, kosmetik dan sedikit duit."
Zaara masih termangu saat kedua rekannya berjibaku membereskan barang-barang. Dia teringat pesan Hadrian yang memintanya menelepon setelah tiba di hotel.
Zaara memindai sekitar, kemudian menyambar ponsel Maia. Dia mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Hadrian, tetapi dia benar-benar lupa.
"Mai, punya nomor telepon Kang Ian?" tanya Zaara.
"Enggak ada," sahut Maia tanpa menoleh.
"Aku lupa nomornya."
"Coba kamu tanya ke Mas Daru. Ada nomornya di situ."
"Kamu ngapain nyimpan nomor Mas Daru?"
"Kita, kan, pernah bisnis bareng. Jadi kusimpan nomornya. Kalau Kang Ian, kita belum pernah kerjasama dengan dia. Paling cuma Mas Ivan."
Zaara manggut-manggut sambil mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Endaru, salah satu sahabat terdekat Hadrian. Tidak berselang lama pria tersebut membalas dengan mengirimkan kontak Hadrian yang langsung disimpan Zaara.
Gadis berpipi tembam memutuskan untuk menelepon pria berbibir tipis yang segera mengangkatnya setelah tiga kali berdering. Namun, belum sempat Zaara mengatakan apa pun, Hadrian sudah terlebih dahulu bertutur.
"Aku baca di grup PG, ayahmu masuk rumah sakit. Betul, Ra?" tanya Hadrian.
"Ya, Kang. Aku lagi siap-siap mau pulang," terang Zaara.
"Bareng teman-temanmu?"
"Ya."
"Hati-hati dan jangan keluyuran sendiri."
"Hu um. Akang pulang kapan?"
"Tiga hari lagi. Kerjaanku belum selesai."
"Ehm, Kang. Jangan kaget, ya."
"Kenapa?"
"Ada penelepon misterius yang ngubungin Ayah, lalu memfitnahku clubbing dan mabuk-mabukan. Terus, dia bilang aku ... menghabiskan waktu di hotel dengan laki-laki bermata besar."
Hadrian terdiam sejenak, lalu balas bertanya, "Maksudnya, aku?"
"Kemungkinan begitu."
"Dia nggak punya bukti. Sedangkan kita punya."
"Bukti apa?"
"Kamu muntah-muntah, dan ada tiga saksi, yaitu Kirman, Sophia dan Tommy, satpam lobi yang bantu nganter kita sampai masuk ke unit."
"Hmm, ya."
"Bagaimana orang itu bisa tahu nomor telepon ayahmu?"
"Tasku tertinggal di mobil Leroy."
Sesaat hening, kemudian Hadrian mengumpat. "Jelema teu baleg!"
"Gimana? Aku nggak paham."
"Aku maki si sipit itu, bukan kamu."
"Oh, ya."
"Dompetmu berarti hilang juga?"
"Aku nggak bawa dompet. Cuma ponsel, duit sedikit, bedak dan lipstik."
"Berarti paspor, KTP dan lainnya, aman?"
"Ya."
"Kamu masih punya pegangan uang?"
"Ada."
"Oke, hati-hati di jalan dan safe flight."
"Akang juga hati-hati. Mungkin akan ketemu Leroy lagi."
"Baguslah. Justru aku pengen ketemu dengan dia.Kemaren belum puas bikin dia babak belur."
Zaara mengulum senyuman. Dia lupa bila tidak sedang berhadapan dengan Hadrian. "Aku tutup teleponnya, Kang. Dan terima kasih atas bantuannya. Maaf, kemaren aku ngerepotin."
"Enggak apa-apa, Ra. Aku ikhlas ngerawat kamu."
"Biaya laundry nanti aku transfer."
"Lebihin, ya. Buat gajiku sebagai bodyguard dadakan."
Zaara terkekeh. Dia memutus sambungan telepon dan meletakkan ponsel ke samping kanan. Gadis berbibir penuh termangu sesaat, kemudian bangkit dan mengambil pakaian ganti.
Hadrian memandangi langit biru. Dia ingin mencari informasi tentang Leroy Cheng, setelahnya dia akan mengerjai pria itu karena telah memfitnahnya dan Zaara.
Hadrian menggulirkan jemari ke layar ponsel untuk mencari nomor kontak seorang teman yang dulu merupakan bosnya. Tiba-tiba Kirman muncul dari luar unit dengan raut wajah tegang dan mendatangi bosnya.
"Kang, ada beberapa orang di lobi yang mengaku dari kepolisian. Mereka datang untuk memberikan surat pemanggilan atas Akang, sebagai tindak lanjut laporan dari Leroy Cheng," ungkap Kirman yang menyebabkan Hadrian tertegun.
"Oke, terima aja. Aku juga akan melaporkan balik si sipit itu atas pasal berlapis. Biar dia tahu tengah berhadapan dengan siapa," jawab Hadrian seraya tersenyum miring.
***
Hadrian mengamati pria blasteran yang sedang membaca detail informasi tentang Leroy Cheng, dari email yang dikirimkan orang kepercayaannya.Hadrian menunggu Larry Dirk, suami Diandra, menuntaskan penjelasan sambil menenangkan diri. Hadrian menyadari bila lawannya kali itu cukup berat, karena Leroy ternyata merupakan keponakan dari Jeremy Cheng, pengusaha terkenal di Singapura dan Malaysia.
"Ternyata begitu. Pantasan dia sombong banget dan berani ngelaporin aku," ujar Hadrian, setelah Larry berhenti mengoceh.
"Kamu harus hati-hati, Ian. Anak buahnya Jeremy terkenal sadis," sahut Larry.
"Ya, aku paham."
"Laporan ini kukirim ke emailmu."
"Oke."
"Kapan kamu mau ke kantor polisi?"
"Besok pagi. Sekitar jam sembilan."
"Nanti kuminta Om Margus menemanimu."
"Beliau ada di sini?"
"Ya. Minggu depan putrinya akan bertunangan."
"Yang mana?"
"Caroline."
"Ahh! Aku patah hati."
Larry melemparkan gumpalan tisu pada rekannya yang sedang tersenyum. "Kamu, kapan akan menikah?"
"Entahlah. Aku masih betah sendiri."
"Jangan bilang kamu masih gagal move on."
"Aku sudah nggak cinta sama dia. Apalagi dia dan suaminya sangat bahagia sekarang."
"Apa perlu kucarikan?"
"No. Yang terakhir kamu kenalkan itu, bikin aku nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Dia nempel mulu. Mana ngomongnya mendesah."
"Kenapa aku pikir kamu takut sama wanita?"
"Khusus yang bikin aku merinding, iya, aku takut."
"Santai saja, Ian. Colek aja dikit-dikit, mereka nggak keberatan."
"Kamu ngajarin sesat!"
Larry terbahak hingga mengejutkan orang-orang di luar ruang kerjanya. Sekian menit berikutnya, Hadrian telah berada di luar. Dia melenggang menuju lift tanpa mengindahkan tatapan penuh kekaguman para staf perempuan.
Hadrian menekan tombol lantai satu, kemudian menyandar ke dinding besi sambil memandangi pantulan dirinya di seberang. Hadrian menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal itu bisa membuatnya lebih tenang.
Hadrian mengepalkan tangan kanan saat mengingat sosok Leroy. Dia benar-benar kesal dan berniat untuk menghajar pria itu kembali, karena telah menyebabkan kekacauan.
Hadrian mengingat-ingat untuk membahas hal itu dengan Alvaro dan Tio. Dia merasa yakin jika kedua sahabatnya tersebut akan mampu membantunya membereskan kekacauan akibat ulah Leroy.
Sementara itu di Jakarta, Zaara tengah disidang kedua kakaknya dan Virendra. Gadis bermata cukup besar menjelaskan berulang kali detail cerita hingga dia terbangun di unit apartemen Hadrian.
Zaara juga membantah tuduhan telah bermabuk-mabukan seperti yang disebutkan penelepon misterius pada Ahmad Yafiq.
"Harusnya kamu pinjam ponsel Ian dan telepon aku!" seru Ivan sembari menahan diri untuk tidak mengguncangkan lengan Adik bungsunya.
"Pikiranku blank, Mas. Karena aku sibuk nahan mual," jelas Zaara tanpa berani menengadah.
"Minta Ian yang telepon, kan, bisa!"
"Dia juga sibuk ngurus aku dan Bang Kirman."
"Kirman kenapa memangnya?"
"Badan dan mukanya memar sama luka-luka, karena berantem dengan anak buah Leroy."
Ivan berdecih. "Kamu sudah merepotkan banyak orang, dan Ayah yang paling menderita sekarang!"
"Aku nggak tahu bakal begini. Kalau tahu, pasti aku ngajak pengawal."
"Gara-gara kamu, Wirya marahin semua pengawal kita! Bahkan Indriani dan Fajrin kena SP satu!"
Zaara spontan menengadah, lalu menggeleng. "Mereka nggak salah. Aku yang maksa nggak mau dikawal."
"Kamu omongin sana ke Wirya. Aku nggak mau tahu!"
"Ya, aku akan nelepon Bang Wirya."
"Temui di kantornya, Ra. Supaya SP-nya bisa langsung dibatalkan," usul Shurafa.
Zaara mengecek arlojinya. "Tapi ini udah mau magrib. Apa Bang Wirya masih di kantor?"
"Telepon dulu." Shurafa memberikan ponselnya pada Zaara yang segera mencari nomor kontak direktur utama PBK.
Ketiga orang lainnya memandangi saat Zaara berbincang dengan Wirya. Setelah menuntaskan percakapan, Zaara memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel pada kakaknya.
"Bang Wirya sudah di rumahnya. Habis salat magrib aku mau ke sana," cakap Zaara.
"Minta antar sama Listu," tukas Virendra.
"Ya, Mas," jawab Zaara.
"Sekarang mending kamu mandi, salat, dan segera berangkat. Habis dari sana, langsung ke rumah sakit," cetus Shurafa sambil mengajak adiknya menjauh. "Pakai mobilku, karena mobilmu disita Ibu," bisiknya.
Wirya memandangi Zaara yang tengah mengoceh sambil terisak-isak. Dia berusaha menahan tawa karena Zaara ternyata termakan omongan Ivan. Sebetulnya Fajrin dan Indriani tidak mendapatkan surat peringatan. Wirya hanya meminta keduanya cuti untuk merenungi perbuatan mereka yang telah meloloskan Zaara pergi tanpa pengawasan. Seharusnya kedua pengawal tersebut tetap kukuh untuk ikut ke Singapura, atau mereka bisa melaporkan hal itu pada Yusuf, pengawas pasukan pengawal Latief, yang akan segera mengambil tindakan darurat. Akan tetapi, karena takut diomeli Zaara, akhirnya Fajrin dan Indriani mengalah untuk tutup mulut tentang keberadaan sang nona, yang akhirnya mengakibatkan kericuhan di keluarga Latief. "Lain kali, jangan bertindak semaunya, Ra. Akibatnya begini, banyak orang jadi terseret," tutur Wirya, setelah Zaara menghentikan penjelasannya. "Ya, Bang. Sekarang aku nyesal. Ayah sakit, Ibu ngambek, Mas Ivan marah-marah. Belum lagi kedua pengawal kena imbasnya. Dan yang paling memaluk
Suasana di ruang tamu tempat perawatan Ahmad Yafiq terlihat ramai. Para bos PG berkumpul dan berbincang dengan suara pelan. Mereka sedang menunggu Hadrian yang tengah dijemput Alvaro dari bandara. Kondisi Ahmad Yafiq yang belum kondusif menyebabkan keluarga Latief cemas. Ivan terpaksa meminta Hadrian langsung datang ke rumah sakit agar bisa didengar kesaksiannya. Ahmad Yafiq tidak memercayai penjelasan Zaara, Maia dan Desya. Pria tua ingin mendengar langsung penuturan dari Hadrian yang dianggap sebagai saksi kunci peristiwa tersebut. Zaara dan kedua sahabatnya duduk berderet di sofa panjang, berdampingan dengan Shurafa. Emilia masih merajuk hingga mengabaikan putri bungsunya yang sejak kemarin sudah merengek memohon ampunan. Perempuan tua berjilbab krem menunggu kedatangan Hadrian dengan tidak sabar. Dia merasa kesal pada sahabat putranya yang dianggap menutupi rahasia Zaara. Walaupun Emilia tidak memercayai ucapan penelepon misterius tentang perilaku putrinya, tetap saja dia ingi
Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi kesehatan Ahmad Yafiq mulai membaik. Beberapa alat bantu telah dilepas dan hanya tersisa dua. Serangan jantung yang dialami pria tua membuatnya mengalami stroke ringan, dan masih kesulitan menggerakkan tangan kiri. Siang itu, Emilia meninggalkan suaminya bersama asisten, karena Shurafa tengah bersiap-siap untuk melahirkan. Virendra mengangkut istrinya ke rumah sakit yang sama dengan sang ayah, agar Emilia tidak perlu berpindah tempat terlalu jauh. Ivan bergegas datang untuk mendampingi ayahnya. Sementara Zaara bertahan di kantor karena harus menyelesaikan rapat dengan klien. Sepanjang acara pertemuan, Zaara kesulitan berkonsentrasi karena dia memikirkan Shurafa dan ayahnya sekaligus. Gadis berambut panjang baru bisa bernapas lega saat rapat usai. Dia menyalami para tamu, kemudian berdiri dan menunggu mereka menjauh. Niat Zaara untuk segera ke rumah sakit terpaksa ditunda, karena ponselnya nyaris tidak berhenti bergetar. Perempuan berbibir penu
Kekhawatiran Ivan ternyata benar-benar terjadi. Beberapa hari kemudian, Paman dan beberapa sepupu Beryl yang menetap di Jakarta, mendatangi Ivan di kantornya. Zaara yang juga diminta hadir, hanya bisa menangis sambil memeluk Maia, ketika Paman Beryl menyampaikan maksud kedatangannya sebagai wakil keluarga, untuk membatalkan rencana pertunangan Zaara dan Beryl yang semestinya berlangsung bulan depan.Tubuh Zaara melemas. Dia menguatkan diri untuk tidak jatuh pingsan. Sementara Ivan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing emosi, meskipun sebenarnya dia ingin mengamuk. "Baik, kami terima pembatalan ini," ujar Ivan. "Tolong sampaikan ke Beryl, untuk tidak menghubungi Zaara kembali. Karena dengan batalnya rencana pertunangan, maka kami berhak menjauhkan Zaara darinya," lanjutnya. "Ya, Nak Ivan. Keluarga kami juga berniat seperti itu. Jangan khawatir, Beryl tidak akan mengganggu Zaara lagi," sahut pria tua berkumis lebat. Sekian menit berlalu, para tamu telah pergi. Ivan berpind
Hadrian membulatkan matanya yang besar hingga terkesan sedang memelototi. Sementara Zaara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, karena malu dengan apa yang baru saja dimintanya dari pria di seberang meja. "Kamu serius, Ra?" tanya Hadrian setelah bisa menguasai diri. "Ya, tapi kalau Akang nggak mau, nggak apa-apa. Aku cari orang lain yang mau," jawab Zaara. "Siapa yang mau kamu tawari?" "Ehm, aku belum tahu. Mas Ivan sempat menyarankan agar aku menemui Mas Daru." Hadrian menyunggingkan senyuman. "Dia pasti mau, karena dia sempat naksir kamu, dulu. Sebelum kamu pacaran dengan Beryl." "Mas Ivan juga bilang gitu. Walaupun aku sebenarnya malu buat ngomong ke Mas Daru." "Ke aku, nggak malu?" Zaara mengamati pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Malu, sih, tapi kupikir aku lebih dekat dengan Akang daripada ke Mas Daru. Jadi kalau Akang nolak pun, aku nggak akan sakit hati." "Selain itu, kupikir kita sudah telanjur difitnah Leroy. Jadi kita bisa bekerjasama untuk membalas dend
"Ra, kita cuma pergi empat hari. Ngapain bawa pakaian sebanyak itu?" tanya Hadrian. "Isinya bukan hanya baju, Kang. Ada tas, sepatu dan lainnya. Aku berusaha memadu-padankan pakaian dan yang lainnya," terang Zaara sembari merapikan rambutnya dengan jemari. "Kalian, ikut juga?" Hadrian mengarahkan pandangan pada kedua pengawal yang berada di belakang Zaara sambil memegangi tas masing-masing. "Ya, Kang," jawab Indriani "Kami nggak mau kecolongan lagi dan nyaris kena SP dari kantor," jelas Fajrin. Hadrian mendengkus pelan. "Berarti kamu yang nyetir." "Siap," balas Fajrin. Hadrian memberikan kunci mobilnya pada pria berkulit kecokelatan. Fajrin keluar sambil menjinjing tanya dan menyeret koper Zaara. Indriani menyusul. Sementara Hadrian menghabiskan minumannya terlebih dahulu, kemudian berdiri dan mengajak Zaara berangkat. Mereka memasuki kursi bagian tengah mobil MPV putih. Fajrin menyalakan mesin kendaraan, lalu dia membunyikan klakson agar penjaga rumah segera membukakan gerb
Zaara terkesiap. Dia tidak menyangka jika Hadrian akan menanyakan hal itu. "Ehm, aku belum tahu, Kang. Kita lihat aja ke depannya gimana." "Aku penasaran, gimana kalau orang tuamu tahu, jika tawaranmu padaku hanya bersifat sementara. Sedangkan mereka maunya kita kayak mereka, sama-sama memperjuangkan pernikahan dengan sungguh-sungguh.""Aku belum ada mikir ke situ. Mau fokus balas dendam ke Leroy, plus membuktikan pada Beryl, jika aku bisa menikah dengan orang yang lebih semuanya dari dia." "Aku tersanjung kamu muji aku setinggi itu." Zaara melirik pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Aku benar-benar sakit hati ke dia. Bisa-bisanya dia lebih percaya sama foto dan fitnah, daripada omonganku." "Mungkin itu tanda jika dia pribadi yang sulit untuk bisa menerima kekurangan orang lain, terutama pasangan." "Ya, itu betul. Ditambah lagi dia selalu diagung-agungkan keluarganya." "Kenapa begitu?" "Dia anak cowok pertama, sekaligus cucu pertama laki-laki dari kedua belah pihak orang t
Matahari belum naik sepenggalah ketika Hadrian mengajak Zaara menuju rumah pribadinya, yang berbeda blok dengan kediaman sang ibu. Keduanya jalan kaki sambil mengobrol dengan Indriani dan Fajrin yang mengekor di belakang. Tatapan penuh tanya para tetangga, diabaikan Zaara. Dia tahu bila tengah jadi pusat perhatian, karena sebelumnya dia hanya pernah sekali datang ke tempat itu. Yakni saat menghadiri akad nikah Hilda dan Raid setahun silam. Setibanya di tempat tujuan, Zaara langsung jatuh hati dengan desain rumah dua lantai bercat biru muda. Dia mengamati detail area depan, sebelum mengikuti langkah Hadrian memasuki bangunan yang dalam kondisi bersih. Setiap hari asisten rumah tangga Ana akan datang bersama anaknya untuk membersihkan rumah Hadrian. Mereka juga akan menyiapkan kamar, bila para pengawal PBK yang bertugas mengontrol unit Kota Bandung, akan menginap di sana. Hadrian sengaja membiarkan rumahnya menjadi tempat singgah Yusuf, Jauhari, Aditya dan teman-temannya menginap se