Beranda / CEO / Tergoda Suami Sewaan / Bab 03 - Maksudnya, Aku?

Share

Bab 03 - Maksudnya, Aku?

Sepasang mata Zaara yang cukup besar kembali membeliak. "Gimana kondisinya?" 

"Kata Mas Virendra, Ayah masih belum sadar." 

"Astagfirullah!" Zaara memegangi mulutnya dengan kedua tangan.

"Kita harus segera pulang," usul Desya. 

"Tasku, gimana?" tanya Zaara. 

"Ikhlasin aja. Dompet dan paspormu, kan, aku yang pegang. Kamu kemaren cuma bawa ponsel, kosmetik dan sedikit duit." 

Zaara masih termangu saat kedua rekannya berjibaku membereskan barang-barang. Dia teringat pesan Hadrian yang memintanya menelepon setelah tiba di hotel.

Zaara memindai sekitar, kemudian menyambar ponsel Maia. Dia mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Hadrian, tetapi dia benar-benar lupa. 

"Mai, punya nomor telepon Kang Ian?" tanya Zaara. 

"Enggak ada," sahut Maia tanpa menoleh. 

"Aku lupa nomornya." 

"Coba kamu tanya ke Mas Daru. Ada nomornya di situ." 

"Kamu ngapain nyimpan nomor Mas Daru?" 

"Kita, kan, pernah bisnis bareng. Jadi kusimpan nomornya. Kalau Kang Ian, kita belum pernah kerjasama dengan dia. Paling cuma Mas Ivan." 

Zaara manggut-manggut sambil mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Endaru, salah satu sahabat terdekat Hadrian. Tidak berselang lama pria tersebut membalas dengan mengirimkan kontak Hadrian yang langsung disimpan Zaara. 

Gadis berpipi tembam memutuskan untuk menelepon pria berbibir tipis yang segera mengangkatnya setelah tiga kali berdering. Namun, belum sempat Zaara mengatakan apa pun, Hadrian sudah terlebih dahulu bertutur. 

"Aku baca di grup PG, ayahmu masuk rumah sakit. Betul, Ra?" tanya Hadrian. 

"Ya, Kang. Aku lagi siap-siap mau pulang," terang Zaara. 

"Bareng teman-temanmu?" 

"Ya." 

"Hati-hati dan jangan keluyuran sendiri." 

"Hu um. Akang pulang kapan?" 

"Tiga hari lagi. Kerjaanku belum selesai." 

"Ehm, Kang. Jangan kaget, ya." 

"Kenapa?" 

"Ada penelepon misterius yang ngubungin Ayah, lalu memfitnahku clubbing dan mabuk-mabukan. Terus, dia bilang aku ... menghabiskan waktu di hotel dengan laki-laki bermata besar." 

Hadrian terdiam sejenak, lalu balas bertanya, "Maksudnya, aku?" 

"Kemungkinan begitu." 

"Dia nggak punya bukti. Sedangkan kita punya." 

"Bukti apa?" 

"Kamu muntah-muntah, dan ada tiga saksi, yaitu Kirman, Sophia dan Tommy, satpam lobi yang bantu nganter kita sampai masuk ke unit." 

"Hmm, ya." 

"Bagaimana orang itu bisa tahu nomor telepon ayahmu?" 

"Tasku tertinggal di mobil Leroy." 

Sesaat hening, kemudian Hadrian mengumpat. "Jelema teu baleg!" 

"Gimana? Aku nggak paham." 

"Aku maki si sipit itu, bukan kamu." 

"Oh, ya." 

"Dompetmu berarti hilang juga?" 

"Aku nggak bawa dompet. Cuma ponsel, duit sedikit, bedak dan lipstik." 

"Berarti paspor, KTP dan lainnya, aman?" 

"Ya." 

"Kamu masih punya pegangan uang?" 

"Ada." 

"Oke, hati-hati di jalan dan safe flight." 

"Akang juga hati-hati. Mungkin akan ketemu Leroy lagi." 

"Baguslah. Justru aku pengen ketemu dengan dia.Kemaren belum puas bikin dia babak belur." 

Zaara mengulum senyuman. Dia lupa bila tidak sedang berhadapan dengan Hadrian. "Aku tutup teleponnya, Kang. Dan terima kasih atas bantuannya. Maaf, kemaren aku ngerepotin." 

"Enggak apa-apa, Ra. Aku ikhlas ngerawat kamu." 

"Biaya laundry nanti aku transfer." 

"Lebihin, ya. Buat gajiku sebagai bodyguard dadakan." 

Zaara terkekeh. Dia memutus sambungan telepon dan meletakkan ponsel ke samping kanan. Gadis berbibir penuh termangu sesaat, kemudian bangkit dan mengambil pakaian ganti. 

Hadrian memandangi langit biru. Dia ingin mencari informasi tentang Leroy Cheng, setelahnya dia akan mengerjai pria itu karena telah memfitnahnya dan Zaara. 

Hadrian menggulirkan jemari ke layar ponsel untuk mencari nomor kontak seorang teman yang dulu merupakan bosnya. Tiba-tiba Kirman muncul dari luar unit dengan raut wajah tegang dan mendatangi bosnya. 

"Kang, ada beberapa orang di lobi yang mengaku dari kepolisian. Mereka datang untuk memberikan surat pemanggilan atas Akang, sebagai tindak lanjut laporan dari Leroy Cheng," ungkap Kirman yang menyebabkan Hadrian tertegun.  

"Oke, terima aja. Aku juga akan melaporkan balik si sipit itu atas pasal berlapis. Biar dia tahu tengah berhadapan dengan siapa," jawab Hadrian seraya tersenyum miring.

***

Hadrian mengamati pria blasteran yang sedang membaca detail informasi tentang Leroy Cheng, dari email yang dikirimkan orang kepercayaannya. 

Hadrian menunggu Larry Dirk, suami Diandra, menuntaskan penjelasan sambil menenangkan diri. Hadrian menyadari bila lawannya kali itu cukup berat, karena Leroy ternyata merupakan keponakan dari Jeremy Cheng, pengusaha terkenal di Singapura dan Malaysia. 

"Ternyata begitu. Pantasan dia sombong banget dan berani ngelaporin aku," ujar Hadrian, setelah Larry berhenti mengoceh. 

"Kamu harus hati-hati, Ian. Anak buahnya Jeremy terkenal sadis," sahut Larry. 

"Ya, aku paham." 

"Laporan ini kukirim ke emailmu." 

"Oke." 

"Kapan kamu mau ke kantor polisi?" 

"Besok pagi. Sekitar jam sembilan." 

"Nanti kuminta Om Margus menemanimu." 

"Beliau ada di sini?" 

"Ya. Minggu depan putrinya akan bertunangan." 

"Yang mana?" 

"Caroline." 

"Ahh! Aku patah hati." 

Larry melemparkan gumpalan tisu pada rekannya yang sedang tersenyum. "Kamu, kapan akan menikah?" 

"Entahlah. Aku masih betah sendiri." 

"Jangan bilang kamu masih gagal move on." 

"Aku sudah nggak cinta sama dia. Apalagi dia dan suaminya sangat bahagia sekarang." 

"Apa perlu kucarikan?" 

"No. Yang terakhir kamu kenalkan itu, bikin aku nggak bisa tidur." 

"Kenapa?" 

"Dia nempel mulu. Mana ngomongnya mendesah." 

"Kenapa aku pikir kamu takut sama wanita?" 

"Khusus yang bikin aku merinding, iya, aku takut." 

"Santai saja, Ian. Colek aja dikit-dikit, mereka nggak keberatan." 

"Kamu ngajarin sesat!" 

Larry terbahak hingga mengejutkan orang-orang di luar ruang kerjanya. Sekian menit berikutnya, Hadrian telah berada di luar. Dia melenggang menuju lift tanpa mengindahkan tatapan penuh kekaguman para staf perempuan. 

Hadrian menekan tombol lantai satu, kemudian menyandar ke dinding besi sambil memandangi pantulan dirinya di seberang. Hadrian menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal itu bisa membuatnya lebih tenang. 

Hadrian mengepalkan tangan kanan saat mengingat sosok Leroy. Dia benar-benar kesal dan berniat untuk menghajar pria itu kembali, karena telah menyebabkan kekacauan. 

Hadrian mengingat-ingat untuk membahas hal itu dengan Alvaro dan Tio. Dia merasa yakin jika kedua sahabatnya tersebut akan mampu membantunya membereskan kekacauan akibat ulah Leroy. 

Sementara itu di Jakarta, Zaara tengah disidang kedua kakaknya dan Virendra. Gadis bermata cukup besar menjelaskan berulang kali detail cerita hingga dia terbangun di unit apartemen Hadrian. 

Zaara juga membantah tuduhan telah bermabuk-mabukan seperti yang disebutkan penelepon misterius pada Ahmad Yafiq. 

"Harusnya kamu pinjam ponsel Ian dan telepon aku!" seru Ivan sembari menahan diri untuk tidak mengguncangkan lengan Adik bungsunya. 

"Pikiranku blank, Mas. Karena aku sibuk nahan mual," jelas Zaara tanpa berani menengadah. 

"Minta Ian yang telepon, kan, bisa!" 

"Dia juga sibuk ngurus aku dan Bang Kirman." 

"Kirman kenapa memangnya?" 

"Badan dan mukanya memar sama luka-luka, karena berantem dengan anak buah Leroy." 

Ivan berdecih. "Kamu sudah merepotkan banyak orang, dan Ayah yang paling menderita sekarang!" 

"Aku nggak tahu bakal begini. Kalau tahu, pasti aku ngajak pengawal." 

"Gara-gara kamu, Wirya marahin semua pengawal kita! Bahkan Indriani dan Fajrin kena SP satu!" 

Zaara spontan menengadah, lalu menggeleng. "Mereka nggak salah. Aku yang maksa nggak mau dikawal." 

"Kamu omongin sana ke Wirya. Aku nggak mau tahu!" 

"Ya, aku akan nelepon Bang Wirya."

"Temui di kantornya, Ra. Supaya SP-nya bisa langsung dibatalkan," usul Shurafa. 

Zaara mengecek arlojinya. "Tapi ini udah mau magrib. Apa Bang Wirya masih di kantor?" 

"Telepon dulu." Shurafa memberikan ponselnya pada Zaara yang segera mencari nomor kontak direktur utama PBK.

Ketiga orang lainnya memandangi saat Zaara berbincang dengan Wirya. Setelah menuntaskan percakapan, Zaara memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel pada kakaknya. 

"Bang Wirya sudah di rumahnya. Habis salat magrib aku mau ke sana," cakap Zaara. 

"Minta antar sama Listu," tukas Virendra. 

"Ya, Mas," jawab Zaara. 

"Sekarang mending kamu mandi, salat, dan segera berangkat. Habis dari sana, langsung ke rumah sakit," cetus Shurafa sambil mengajak adiknya menjauh. "Pakai mobilku, karena mobilmu disita Ibu," bisiknya. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
tenaga kang Ian walaupun mafia bekingan nya orang" PG juga mafia kan hehheeheh
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Syahreza
nah karena zaara nggak mau di kawal jadi banyak yg kena imbasnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status