Hadrian membulatkan matanya yang besar hingga terkesan sedang memelototi. Sementara Zaara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, karena malu dengan apa yang baru saja dimintanya dari pria di seberang meja. "Kamu serius, Ra?" tanya Hadrian setelah bisa menguasai diri. "Ya, tapi kalau Akang nggak mau, nggak apa-apa. Aku cari orang lain yang mau," jawab Zaara. "Siapa yang mau kamu tawari?" "Ehm, aku belum tahu. Mas Ivan sempat menyarankan agar aku menemui Mas Daru." Hadrian menyunggingkan senyuman. "Dia pasti mau, karena dia sempat naksir kamu, dulu. Sebelum kamu pacaran dengan Beryl." "Mas Ivan juga bilang gitu. Walaupun aku sebenarnya malu buat ngomong ke Mas Daru." "Ke aku, nggak malu?" Zaara mengamati pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Malu, sih, tapi kupikir aku lebih dekat dengan Akang daripada ke Mas Daru. Jadi kalau Akang nolak pun, aku nggak akan sakit hati." "Selain itu, kupikir kita sudah telanjur difitnah Leroy. Jadi kita bisa bekerjasama untuk membalas dend
"Ra, kita cuma pergi empat hari. Ngapain bawa pakaian sebanyak itu?" tanya Hadrian. "Isinya bukan hanya baju, Kang. Ada tas, sepatu dan lainnya. Aku berusaha memadu-padankan pakaian dan yang lainnya," terang Zaara sembari merapikan rambutnya dengan jemari. "Kalian, ikut juga?" Hadrian mengarahkan pandangan pada kedua pengawal yang berada di belakang Zaara sambil memegangi tas masing-masing. "Ya, Kang," jawab Indriani "Kami nggak mau kecolongan lagi dan nyaris kena SP dari kantor," jelas Fajrin. Hadrian mendengkus pelan. "Berarti kamu yang nyetir." "Siap," balas Fajrin. Hadrian memberikan kunci mobilnya pada pria berkulit kecokelatan. Fajrin keluar sambil menjinjing tanya dan menyeret koper Zaara. Indriani menyusul. Sementara Hadrian menghabiskan minumannya terlebih dahulu, kemudian berdiri dan mengajak Zaara berangkat. Mereka memasuki kursi bagian tengah mobil MPV putih. Fajrin menyalakan mesin kendaraan, lalu dia membunyikan klakson agar penjaga rumah segera membukakan gerb
Zaara terkesiap. Dia tidak menyangka jika Hadrian akan menanyakan hal itu. "Ehm, aku belum tahu, Kang. Kita lihat aja ke depannya gimana." "Aku penasaran, gimana kalau orang tuamu tahu, jika tawaranmu padaku hanya bersifat sementara. Sedangkan mereka maunya kita kayak mereka, sama-sama memperjuangkan pernikahan dengan sungguh-sungguh.""Aku belum ada mikir ke situ. Mau fokus balas dendam ke Leroy, plus membuktikan pada Beryl, jika aku bisa menikah dengan orang yang lebih semuanya dari dia." "Aku tersanjung kamu muji aku setinggi itu." Zaara melirik pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Aku benar-benar sakit hati ke dia. Bisa-bisanya dia lebih percaya sama foto dan fitnah, daripada omonganku." "Mungkin itu tanda jika dia pribadi yang sulit untuk bisa menerima kekurangan orang lain, terutama pasangan." "Ya, itu betul. Ditambah lagi dia selalu diagung-agungkan keluarganya." "Kenapa begitu?" "Dia anak cowok pertama, sekaligus cucu pertama laki-laki dari kedua belah pihak orang t
Matahari belum naik sepenggalah ketika Hadrian mengajak Zaara menuju rumah pribadinya, yang berbeda blok dengan kediaman sang ibu. Keduanya jalan kaki sambil mengobrol dengan Indriani dan Fajrin yang mengekor di belakang. Tatapan penuh tanya para tetangga, diabaikan Zaara. Dia tahu bila tengah jadi pusat perhatian, karena sebelumnya dia hanya pernah sekali datang ke tempat itu. Yakni saat menghadiri akad nikah Hilda dan Raid setahun silam. Setibanya di tempat tujuan, Zaara langsung jatuh hati dengan desain rumah dua lantai bercat biru muda. Dia mengamati detail area depan, sebelum mengikuti langkah Hadrian memasuki bangunan yang dalam kondisi bersih. Setiap hari asisten rumah tangga Ana akan datang bersama anaknya untuk membersihkan rumah Hadrian. Mereka juga akan menyiapkan kamar, bila para pengawal PBK yang bertugas mengontrol unit Kota Bandung, akan menginap di sana. Hadrian sengaja membiarkan rumahnya menjadi tempat singgah Yusuf, Jauhari, Aditya dan teman-temannya menginap se
Sore harinya, Hadrian mengajak Zaara jalan-jalan keliling Kota Bandung. Mereka sempat berhenti di satu tempat wisata belanja, agar Zaara bisa melihat-lihat isi toko itu. Seusai menunaikan salat Magrib di salah satu masjid, kelompok tersebut bergerak menuju restoran yang menyajikan menu khas Korea di kawasan Dago. Tidak berselang lama Satria, Reinar dan Adelard menyusul dengan mengajak saudara perempuan masing-masing. Hadrian dan Zaara telah memutuskan untuk mengungkapkan rencana pernikahan mereka pada keenam orang tersebut. Selanjutnya, Hadrian meminta mereka untuk menjadi panitia pengantar rombongan keluarganya minggu depan. "Aku, bagian apa?" tanya Adelard sambil memandangi pria bermata besar di seberang meja. "Kamu bisa bantu nyiapin bus buat berangkat ke sana," terang Hadrian. "Enggak pakai mobil aja?" "Kurang safety kalau konvoi tanpa pengawalan ketat. Ajudanku cuma satu, kan." "Aku bisa minta pengawal keluargaku buat ikut ke sana." "Mau ditambah para pengawal kami, juga
Sekian menit terlewati, Zaara telah berada di sajadah. Dia salat Zuhur dengan khusyuk, kemudian bersimpuh lama sambil berdoa agar hidupnya bisa damai. Seusai salat, Zaara masih melamun. Dia memandangi awan berarak melintasi langit cerah. Perempuan berpipi tembam tanpa sadar membayangkan Hadrian, yang nanti malam akan berkunjung ke rumahnya. Seperti halnya Hadrian, Zaara juga membayangkan reaksi teman-temannya saat mengumumkan tentang rencana pernikahan mereka. Zaara mengulum senyuman karena yakin bila Utari dan Malanaya, akan berteriak heboh. Kedua perempuan tersebut telah menjadi sahabat Zaara yang berasal dari keluarga pengusaha. Mereka kian akrab semenjak sering bertemu dalam rapat berbagai proyek, yang digagas Kakak laki-laki masing-masing. Ivan, Heru dan Tio memang kerap berbisnis bersama. Bersama David, Hadrian dan Dante, mereka akan membuat berbagai proyek, lalu diserahkan pengelolaannya pada Adik masing-masing. Selain keenam laki-laki tersebut, Tristan dan Baskara juga tu
Siaran langsung malam itu berubah menjadi rapat terbuka, karena belasan anggota PG yang berada di Jakarta tiba-tiba muncul di kediaman Ahmad Yafiq di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Ruang tamu luas seketika penuh orang. Hingga akhirnya Ivan menyarankan Hadrian dan Zaara berpindah ke ruang tengah, yang dinding penyekatnya dibuka, hingga orang-orang di ruang depan bisa menyaksikan pengumuman itu secara langsung. "Selamat malam semuanya," sapa Hadrian memulai rapat. "Sebelumnya, aku mau minta maaf pada Ayah dan Ibu, karena rencana awal berubah mendadak, akibat kehadiran netizen," lanjutnya sambil memandangi kedua orang tua Zaara. "Tidak apa-apa, Ian. Mereka berhak tahu, anggap saja jika mereka adalah perwakilan keluargamu," jawab Ahmad Yafiq. Hadrian mengangguk paham. Dia menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan sepasang mata bermanik cokelat tua, yang balas menatapnya lekat-lekat. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," cicit Zaara. Hadrian mengalihkan pandangan ke depan di mana belasan
Beryl jalan mondar-mandir sepanjang unit apartemen miliknya yang berada di kawasan Jakarta Pusat. Pria berparas manis baru saja melihat unggahan terbaru akun IG Zaara, yang menampilkan foto gadis tersebut bersama keluarga Latief dan banyak pria lainnya. Beryl gelisah karena membaca kalimat penyerta unggahan itu, yang menerangkan jika Zaara benar-benar akan segera menikah. Namun, tidak disebutkan siapa nama calon suami perempuan berambut panjang, hingga Beryl kesulitan menebaknya. Dari semua pria yang berada di sekitar Zaara, Beryl hanya mengenali beberapa orang. Yakni, Ivan, Virendra, Hadrian, Tio, Heru, Dante dan Baskara. Lainnya Beryl hanya mengenali wajah tanpa mengetahui namanya. Beryl berhenti dan duduk di sofa. Dia mengambil ponsel dari meja, lalu menelepon Maia, sahabat Zaara. Namun, setelah panggilannya masuk, langsung ditolak Maia. Pria berhidung bangir kembali menghubungi perempuan berdagu runcing, tetapi tidak tersambung. Beryl mengerutkan dahi. Dia merasa yakin jika Ma