Siang itu, Emilia meninggalkan suaminya bersama asisten, karena Shurafa tengah bersiap-siap untuk melahirkan. Virendra mengangkut istrinya ke rumah sakit yang sama dengan sang ayah, agar Emilia tidak perlu berpindah tempat terlalu jauh.
Ivan bergegas datang untuk mendampingi ayahnya. Sementara Zaara bertahan di kantor karena harus menyelesaikan rapat dengan klien.
Sepanjang acara pertemuan, Zaara kesulitan berkonsentrasi karena dia memikirkan Shurafa dan ayahnya sekaligus. Gadis berambut panjang baru bisa bernapas lega saat rapat usai. Dia menyalami para tamu, kemudian berdiri dan menunggu mereka menjauh.
Niat Zaara untuk segera ke rumah sakit terpaksa ditunda, karena ponselnya nyaris tidak berhenti bergetar. Perempuan berbibir penuh meraih benda itu dari meja, kemudian mengeceknya.
Sepasang mata Zaara yang cukup besar membeliak, menyaksikan belasan foto seseorang yang mirip dirinya, tengah bercumbu dengan laki-laki yang hanya terlihat punggungnya.
Zaara menutup mulutnya dengan tangan kiri, kemudian dia menggeleng berulang kali. Zaara hendak menelepon orang yang mengirim gambar itu, tetapi dibatalkan karena ada panggilan masuk dari kekasihnya.
"Ya, Mas," sapa Zaara.
"Siapa laki-laki di foto itu?" tanya Beryl Jauza dengan nada suara tinggi.
"Aku nggak tahu."
"Jawab yang jujur!"
"Aku beneran nggak tahu, karena yang di foto itu juga bukan aku."
"Mukanya jelas itu kamu!"
"Bukan, Mas. Cek, deh. Itu kayak crop."
"Mataku nggak buta, Ra. Ngaku aja sudah!"
"Aku nggak bakal mengakui hal yang nggak kulakukan. Mas harus percaya sama aku."
"Gimana mau percaya? Apalagi foto itu kudapatkan dari orang tuaku!"
"Gimana? Aku nggak paham."
"Ada orang yang mengirimkan foto ke nomor Papa, Mama, dan ketiga adikku. Aku nggak tahu lagi siapa aja yang dikirimi, tapi beberapa teman kuliahku nanyain hal yang sama."
"Ha?"
"Kamu tanya teman-temanmu. Mungkin itu dikirim juga ke grup alumni."
Sambungan telepon diputus Beryl tanpa mengucapkan salam. Zaara sempat termangu, kemudian dia mengecek semua grup. Tungkai Zaara melemah ketika grup alumni kampus ternyata meributkan hal itu. Meskipun foto-foto sudah dihapus admin, tetap saja anggota grup masih heboh.
Zaara mengerjap-ngerjapkan matanya yang berkabut. Dia mengabaikan banyaknya pesan masuk dari teman-temannya, karena pikiran tengah kalut.
Zaara duduk di kursi sambil menahan diri untuk tidak panik. Dia tengah berpikir hendak menghubungi siapa ketika pintu ruang kerja terbuka dan Maia serta Desya memasuki ruangan dengan tergesa-gesa.
"Ada yang menyebarkan foto yang perempuannya mirip kamu," tukas Maia.
"Kayaknya disebar ke semua grup kita," tambah Desya.
"Dan semua kontak teleponmu. Cek, Ra," pinta Maia.
Kedua gadis yang sama-sama berbaju putih, terkejut menyaksikan Zaara menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Maia bergegas memutari meja untuk menenangkan sahabatnya, sedangkan Desya mengambil ponsel Zaara dan mematikannya agar tidak ada yang bisa menelepon.
"Gimana ini?" tanya Desya.
"Kita nggak mungkin nelepon Mas Ivan atau Mas Dra," jawab Maia.
"Terus?"
Maia mengerutkan keningnya. "Terpaksa kita nelepon Bang Varo. Aku nggak berani ngubungin Mas Tio."
"Aku aja yang nelepon Bang bule."
*** Ivan menendangi dinding sambil mengumpat. Nuril dan Listu beradu pandang, mereka bingung harus bertindak apa untuk menenangkan Ivan.Virendra yang masih berada di ruang bersalin, menutupi hal yang tengah heboh, dari Emilia dan Shurafa. Pria berkulit kuning langsat mengkhawatirkan Zaara yang pastinya sangat terpukul dengan tersebarnya foto yang mirip dirinya.
Belasan menit berikutnya, Ivan terpaksa mematikan ponselnya karena dicecar pihak keluarga besar, yang juga mendapatkan kiriman foto dari nomor telepon tidak terdaftar.
Pria berhidung mancung memijat dahinya yang berdenyut, kemudian dia duduk di kursi depan ruang bersalin dengan didampingi kedua ajudan.
"Pak, Komandan Varo nelepon," ucap Listu sambil memberikan ponselnya pada sang bos.
Ivan mengatur napas terlebih dahulu, sebelum mengambil benda itu dan menempelkannya ke telinga kanan. Ivan mendengarkan penjelasan Alvaro yang tengah berhadapan dengan Zaara, yang datang mengunjunginya ke kantor PBK sambil menangis.
"Tahan dia, Var. Aku segera ke sana," ungkap Ivan.
"Ya, Mas," sahut Alvaro.
Ivan memutus panggilan, lalu menoleh ke kanan. "Listu, kita berangkat ke kantor PBK. Nuril tetap berjaga di sini!" titahnya.
"Siap!" tegas Listu dan Nuril nyaris bersamaan.
Ivan dan Listu serentak berdiri, lalu jalan secepat mungkin menuju tempat parkir. Nuril mengamati keduanya sambil berdoa agar masalah yang menghantam keluarga Latief bisa segera diselesaikan.
Sepanjang jalan menuju kantor PBK, Ivan berulang kali beristigfar. Walaupun yakin jika perempuan dalam foto bukanlah adiknya, Ivan tetap khawatir orang tuanya akan kembali syok bila mengetahui hal tersebut.
Ivan teringat Beryl, pacar Zaara yang bermukim di Florida. Dia penasaran dengan reaksi pria tersebut, dan berniat menelepon Beryl nanti malam.
Setibanya di tempat tujuan, Chairil, asisten Alvaro menyambut Ivan dengan penghormatan. Kemudian mereka jalan memasuki gedung untuk menuju lift khusus direksi.
Sesampainya di ruang kerja Alvaro, Ivan mendatangi adiknya dan menyentak tangan Zaara hingga gadis berambut panjang terpaksa berdiri.
"Ulahmu nggak habis-habis, Ra. Bikin semua orang susah!" hardik Ivan sambil mengguncangkan tangan adiknya. "Keluarga besar kita meneleponku dan menanyakan hal yang sama. Aku sudah berusaha meyakinkan mereka jika orang di foto itu bukan kamu, tapi aku nggak tahu mereka akan percaya atau nggak," lanjutnya.
"Ponsel Ayah dan Ibu dipegang Bi Jum, dan sudah kuminta Bibi untuk mematikan semua ponsel. Kemungkinan besar Shurafa juga dikirimi foto itu, dan semoga saja Rendra menghapusnya."
"Sekarang, jelaskan, apa kamu yang ada di foto itu?" tanya Ivan sambil menatap tajam adiknya. "Jawab, Ra. Jangan nangis!" geramnya karena Zaara justru terisak-isak.
"Itu bukan aku," cicit Zaara. "Aku juga nggak kenal siapa cowoknya," sambungnya sembari mengusap pipi yang basah dengan punggung tangan.
"Jangan bohong!"
"Sumpah demi apa pun. Itu bukan aku!"
"Lalu, siapa?"
"Enggak tahu."
"Kepalaku berdentam, Ra. Dan semua itu gara-gara kamu!"
Ivan mengangkat tangan kanan dan hendak menampar Zaara. Namun, dia tidak bisa melakukannya karena dicekal Alvaro yang langsung menyeretnya menjauhi gadis yang tengah gemetaran.
"Mas, istigfar," ucap Alvaro.
"Dia bikin masalah terus. Aku malu, Var!" desis Ivan.
"Mas tenangkan diri dulu. Enggak akan bisa menyelesaikan masalah dengan kepala ngebul." Alvaro mengajak Ivan duduk, kemudian dia memberi kode pada Chairil yang segera mengantarkan minuman dingin buat Ivan.
Zulfi yang juga berada di ruangan tersebut, meminta Zaara untuk duduk. Dia memberikan tisu yang diambil sang gadis untuk mengusap wajahnya.
"Aku sudah meminta pihak provider untuk memblokir nomor lama Zaara. Harusnya itu sudah dilakukan waktu Zaara pulang minggu lalu," jelas Alvaro. "Aku paham, saat itu semua tengah kalut hingga lupa tentang itu. Dan semoga nggak ada lagi masalah ke depannya, kecuali ... orang misterius menyalin semua kontak di nomor itu," lanjutnya yang mengejutkan Ivan dan Zaara.
"Apa nggak bisa dihapus sama kontaknya?" tanya Ivan.
"Sedang diusahakan. Yoga tengah di kantor provider untuk mengurus itu."
"Mohon maaf menyela," celetuk Zulfi. "Kita punya satu cara lagi untuk meminimalkan pengiriman foto atau apa pun dari orang itu," terangnya.
"Gimana, Zul?" desak Ivan.
"Kita minta bantuan semua orang untuk memblokir nomor itu dan melaporkannya ke pusat aplikasi pesan. Mereka bisa memantau bila ada yang menggunakan nomor itu lagi di masa mendatang," beber Zulfi.
"Ya, itu bisa juga. Walaupun akan merepotkan banyak orang."
"Seenggaknya bisa dicoba, Mas. Minimal kita bangun satu lapisan dulu, supaya nggak nembus."
Ivan manggut-manggut. "Listu, ambil ponselku dan nyalakan. Lalu, kirim broadcast ke semua kontak untuk memblokir nomor lama Zaara," pintanya yang segera dikerjakan ketua regu pengawal keluarga Latief.
"Copy dulu nope lamanya Zaara, Listu. Biar orang nggak salah blokir," tambah Alvaro.
"Ehm, Bang. Orang itu menghubungi Mas Beryl terlebih dahulu sebelum menyebarkan ke kontak lain," tutur Zaara yang mengagetkan Alvaro.
"Berarti dia tahu kalau Beryl pacarmu," sahut pria berparas separuh luar negeri.
"Mungkin dia baca chat kami. Sebelum pergi malam itu, aku memang lagi chat sama Mas Beryl."
"Apa Beryl sudah ngubungin kamu?" tanya Ivan.
"Ya, Mas. Dan ... Mas Beryl marah-marah," cicit Zaara.
"Pasti marahlah. Apalagi kalau ...." Ivan membulatkan matanya. "Apa orang tuanya sudah tahu?" tanyanya.
"Ehm, mungkin gitu."
Ivan mendengkus. "Tambah lagi masalah baru."
Kekhawatiran Ivan ternyata benar-benar terjadi. Beberapa hari kemudian, Paman dan beberapa sepupu Beryl yang menetap di Jakarta, mendatangi Ivan di kantornya. Zaara yang juga diminta hadir, hanya bisa menangis sambil memeluk Maia, ketika Paman Beryl menyampaikan maksud kedatangannya sebagai wakil keluarga, untuk membatalkan rencana pertunangan Zaara dan Beryl yang semestinya berlangsung bulan depan.Tubuh Zaara melemas. Dia menguatkan diri untuk tidak jatuh pingsan. Sementara Ivan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing emosi, meskipun sebenarnya dia ingin mengamuk. "Baik, kami terima pembatalan ini," ujar Ivan. "Tolong sampaikan ke Beryl, untuk tidak menghubungi Zaara kembali. Karena dengan batalnya rencana pertunangan, maka kami berhak menjauhkan Zaara darinya," lanjutnya. "Ya, Nak Ivan. Keluarga kami juga berniat seperti itu. Jangan khawatir, Beryl tidak akan mengganggu Zaara lagi," sahut pria tua berkumis lebat. Sekian menit berlalu, para tamu telah pergi. Ivan berpind
Hadrian membulatkan matanya yang besar hingga terkesan sedang memelototi. Sementara Zaara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, karena malu dengan apa yang baru saja dimintanya dari pria di seberang meja. "Kamu serius, Ra?" tanya Hadrian setelah bisa menguasai diri. "Ya, tapi kalau Akang nggak mau, nggak apa-apa. Aku cari orang lain yang mau," jawab Zaara. "Siapa yang mau kamu tawari?" "Ehm, aku belum tahu. Mas Ivan sempat menyarankan agar aku menemui Mas Daru." Hadrian menyunggingkan senyuman. "Dia pasti mau, karena dia sempat naksir kamu, dulu. Sebelum kamu pacaran dengan Beryl." "Mas Ivan juga bilang gitu. Walaupun aku sebenarnya malu buat ngomong ke Mas Daru." "Ke aku, nggak malu?" Zaara mengamati pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Malu, sih, tapi kupikir aku lebih dekat dengan Akang daripada ke Mas Daru. Jadi kalau Akang nolak pun, aku nggak akan sakit hati." "Selain itu, kupikir kita sudah telanjur difitnah Leroy. Jadi kita bisa bekerjasama untuk membalas dend
"Ra, kita cuma pergi empat hari. Ngapain bawa pakaian sebanyak itu?" tanya Hadrian. "Isinya bukan hanya baju, Kang. Ada tas, sepatu dan lainnya. Aku berusaha memadu-padankan pakaian dan yang lainnya," terang Zaara sembari merapikan rambutnya dengan jemari. "Kalian, ikut juga?" Hadrian mengarahkan pandangan pada kedua pengawal yang berada di belakang Zaara sambil memegangi tas masing-masing. "Ya, Kang," jawab Indriani "Kami nggak mau kecolongan lagi dan nyaris kena SP dari kantor," jelas Fajrin. Hadrian mendengkus pelan. "Berarti kamu yang nyetir." "Siap," balas Fajrin. Hadrian memberikan kunci mobilnya pada pria berkulit kecokelatan. Fajrin keluar sambil menjinjing tanya dan menyeret koper Zaara. Indriani menyusul. Sementara Hadrian menghabiskan minumannya terlebih dahulu, kemudian berdiri dan mengajak Zaara berangkat. Mereka memasuki kursi bagian tengah mobil MPV putih. Fajrin menyalakan mesin kendaraan, lalu dia membunyikan klakson agar penjaga rumah segera membukakan gerb
Zaara terkesiap. Dia tidak menyangka jika Hadrian akan menanyakan hal itu. "Ehm, aku belum tahu, Kang. Kita lihat aja ke depannya gimana." "Aku penasaran, gimana kalau orang tuamu tahu, jika tawaranmu padaku hanya bersifat sementara. Sedangkan mereka maunya kita kayak mereka, sama-sama memperjuangkan pernikahan dengan sungguh-sungguh.""Aku belum ada mikir ke situ. Mau fokus balas dendam ke Leroy, plus membuktikan pada Beryl, jika aku bisa menikah dengan orang yang lebih semuanya dari dia." "Aku tersanjung kamu muji aku setinggi itu." Zaara melirik pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Aku benar-benar sakit hati ke dia. Bisa-bisanya dia lebih percaya sama foto dan fitnah, daripada omonganku." "Mungkin itu tanda jika dia pribadi yang sulit untuk bisa menerima kekurangan orang lain, terutama pasangan." "Ya, itu betul. Ditambah lagi dia selalu diagung-agungkan keluarganya." "Kenapa begitu?" "Dia anak cowok pertama, sekaligus cucu pertama laki-laki dari kedua belah pihak orang t
Matahari belum naik sepenggalah ketika Hadrian mengajak Zaara menuju rumah pribadinya, yang berbeda blok dengan kediaman sang ibu. Keduanya jalan kaki sambil mengobrol dengan Indriani dan Fajrin yang mengekor di belakang. Tatapan penuh tanya para tetangga, diabaikan Zaara. Dia tahu bila tengah jadi pusat perhatian, karena sebelumnya dia hanya pernah sekali datang ke tempat itu. Yakni saat menghadiri akad nikah Hilda dan Raid setahun silam. Setibanya di tempat tujuan, Zaara langsung jatuh hati dengan desain rumah dua lantai bercat biru muda. Dia mengamati detail area depan, sebelum mengikuti langkah Hadrian memasuki bangunan yang dalam kondisi bersih. Setiap hari asisten rumah tangga Ana akan datang bersama anaknya untuk membersihkan rumah Hadrian. Mereka juga akan menyiapkan kamar, bila para pengawal PBK yang bertugas mengontrol unit Kota Bandung, akan menginap di sana. Hadrian sengaja membiarkan rumahnya menjadi tempat singgah Yusuf, Jauhari, Aditya dan teman-temannya menginap se
Sore harinya, Hadrian mengajak Zaara jalan-jalan keliling Kota Bandung. Mereka sempat berhenti di satu tempat wisata belanja, agar Zaara bisa melihat-lihat isi toko itu. Seusai menunaikan salat Magrib di salah satu masjid, kelompok tersebut bergerak menuju restoran yang menyajikan menu khas Korea di kawasan Dago. Tidak berselang lama Satria, Reinar dan Adelard menyusul dengan mengajak saudara perempuan masing-masing. Hadrian dan Zaara telah memutuskan untuk mengungkapkan rencana pernikahan mereka pada keenam orang tersebut. Selanjutnya, Hadrian meminta mereka untuk menjadi panitia pengantar rombongan keluarganya minggu depan. "Aku, bagian apa?" tanya Adelard sambil memandangi pria bermata besar di seberang meja. "Kamu bisa bantu nyiapin bus buat berangkat ke sana," terang Hadrian. "Enggak pakai mobil aja?" "Kurang safety kalau konvoi tanpa pengawalan ketat. Ajudanku cuma satu, kan." "Aku bisa minta pengawal keluargaku buat ikut ke sana." "Mau ditambah para pengawal kami, juga
Sekian menit terlewati, Zaara telah berada di sajadah. Dia salat Zuhur dengan khusyuk, kemudian bersimpuh lama sambil berdoa agar hidupnya bisa damai. Seusai salat, Zaara masih melamun. Dia memandangi awan berarak melintasi langit cerah. Perempuan berpipi tembam tanpa sadar membayangkan Hadrian, yang nanti malam akan berkunjung ke rumahnya. Seperti halnya Hadrian, Zaara juga membayangkan reaksi teman-temannya saat mengumumkan tentang rencana pernikahan mereka. Zaara mengulum senyuman karena yakin bila Utari dan Malanaya, akan berteriak heboh. Kedua perempuan tersebut telah menjadi sahabat Zaara yang berasal dari keluarga pengusaha. Mereka kian akrab semenjak sering bertemu dalam rapat berbagai proyek, yang digagas Kakak laki-laki masing-masing. Ivan, Heru dan Tio memang kerap berbisnis bersama. Bersama David, Hadrian dan Dante, mereka akan membuat berbagai proyek, lalu diserahkan pengelolaannya pada Adik masing-masing. Selain keenam laki-laki tersebut, Tristan dan Baskara juga tu
Siaran langsung malam itu berubah menjadi rapat terbuka, karena belasan anggota PG yang berada di Jakarta tiba-tiba muncul di kediaman Ahmad Yafiq di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Ruang tamu luas seketika penuh orang. Hingga akhirnya Ivan menyarankan Hadrian dan Zaara berpindah ke ruang tengah, yang dinding penyekatnya dibuka, hingga orang-orang di ruang depan bisa menyaksikan pengumuman itu secara langsung. "Selamat malam semuanya," sapa Hadrian memulai rapat. "Sebelumnya, aku mau minta maaf pada Ayah dan Ibu, karena rencana awal berubah mendadak, akibat kehadiran netizen," lanjutnya sambil memandangi kedua orang tua Zaara. "Tidak apa-apa, Ian. Mereka berhak tahu, anggap saja jika mereka adalah perwakilan keluargamu," jawab Ahmad Yafiq. Hadrian mengangguk paham. Dia menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan sepasang mata bermanik cokelat tua, yang balas menatapnya lekat-lekat. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," cicit Zaara. Hadrian mengalihkan pandangan ke depan di mana belasan