Share

Bab 06- Masalah Baru

Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi kesehatan Ahmad Yafiq mulai membaik. Beberapa alat bantu telah dilepas dan hanya tersisa dua. Serangan jantung yang dialami pria tua membuatnya mengalami stroke ringan, dan masih kesulitan menggerakkan tangan kiri. 

Siang itu, Emilia meninggalkan suaminya bersama asisten, karena Shurafa tengah bersiap-siap untuk melahirkan. Virendra mengangkut istrinya ke rumah sakit yang sama dengan sang ayah, agar Emilia tidak perlu berpindah tempat terlalu jauh. 

Ivan bergegas datang untuk mendampingi ayahnya. Sementara Zaara bertahan di kantor karena harus menyelesaikan rapat dengan klien. 

Sepanjang acara pertemuan, Zaara kesulitan berkonsentrasi karena dia memikirkan Shurafa dan ayahnya sekaligus. Gadis berambut panjang baru bisa bernapas lega saat rapat usai. Dia menyalami para tamu, kemudian berdiri dan menunggu mereka menjauh. 

Niat Zaara untuk segera ke rumah sakit terpaksa ditunda, karena ponselnya nyaris tidak berhenti bergetar. Perempuan berbibir penuh meraih benda itu dari meja, kemudian mengeceknya. 

Sepasang mata Zaara yang cukup besar membeliak, menyaksikan belasan foto seseorang yang mirip dirinya, tengah bercumbu dengan laki-laki yang hanya terlihat punggungnya. 

Zaara menutup mulutnya dengan tangan kiri, kemudian dia menggeleng berulang kali. Zaara hendak menelepon orang yang mengirim gambar itu, tetapi dibatalkan karena ada panggilan masuk dari kekasihnya. 

"Ya, Mas," sapa Zaara. 

"Siapa laki-laki di foto itu?" tanya Beryl Jauza dengan nada suara tinggi. 

"Aku nggak tahu." 

"Jawab yang jujur!" 

"Aku beneran nggak tahu, karena yang di foto itu juga bukan aku." 

"Mukanya jelas itu kamu!" 

"Bukan, Mas. Cek, deh. Itu kayak crop." 

"Mataku nggak buta, Ra. Ngaku aja sudah!" 

"Aku nggak bakal mengakui hal yang nggak kulakukan. Mas harus percaya sama aku." 

"Gimana mau percaya? Apalagi foto itu kudapatkan dari orang tuaku!" 

"Gimana? Aku nggak paham." 

"Ada orang yang mengirimkan foto ke nomor Papa, Mama, dan ketiga adikku. Aku nggak tahu lagi siapa aja yang dikirimi, tapi beberapa teman kuliahku nanyain hal yang sama." 

"Ha?" 

"Kamu tanya teman-temanmu. Mungkin itu dikirim juga ke grup alumni." 

Sambungan telepon diputus Beryl tanpa mengucapkan salam. Zaara sempat termangu, kemudian dia mengecek semua grup. Tungkai Zaara melemah ketika grup alumni kampus ternyata meributkan hal itu. Meskipun foto-foto sudah dihapus admin, tetap saja anggota grup masih heboh. 

Zaara mengerjap-ngerjapkan matanya yang berkabut. Dia mengabaikan banyaknya pesan masuk dari teman-temannya, karena pikiran tengah kalut. 

Zaara duduk di kursi sambil menahan diri untuk tidak panik. Dia tengah berpikir hendak menghubungi siapa ketika pintu ruang kerja terbuka dan Maia serta Desya memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. 

"Ada yang menyebarkan foto yang perempuannya mirip kamu," tukas Maia. 

"Kayaknya disebar ke semua grup kita," tambah Desya. 

"Dan semua kontak teleponmu. Cek, Ra," pinta Maia. 

Kedua gadis yang sama-sama berbaju putih, terkejut menyaksikan Zaara menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Maia bergegas memutari meja untuk menenangkan sahabatnya, sedangkan Desya mengambil ponsel Zaara dan mematikannya agar tidak ada yang bisa menelepon. 

"Gimana ini?" tanya Desya. 

"Kita nggak mungkin nelepon Mas Ivan atau Mas Dra," jawab Maia. 

"Terus?" 

Maia mengerutkan keningnya. "Terpaksa kita nelepon Bang Varo. Aku nggak berani ngubungin Mas Tio." 

"Aku aja yang nelepon Bang bule." 

***

Ivan menendangi dinding sambil mengumpat. Nuril dan Listu beradu pandang, mereka bingung harus bertindak apa untuk menenangkan Ivan. 

Virendra yang masih berada di ruang bersalin, menutupi hal yang tengah heboh, dari Emilia dan Shurafa. Pria berkulit kuning langsat mengkhawatirkan Zaara yang pastinya sangat terpukul dengan tersebarnya foto yang mirip dirinya. 

Belasan menit berikutnya, Ivan terpaksa mematikan ponselnya karena dicecar pihak keluarga besar, yang juga mendapatkan kiriman foto dari nomor telepon tidak terdaftar. 

Pria berhidung mancung memijat dahinya yang berdenyut, kemudian dia duduk di kursi depan ruang bersalin dengan didampingi kedua ajudan. 

"Pak, Komandan Varo nelepon," ucap Listu sambil memberikan ponselnya pada sang bos. 

Ivan mengatur napas terlebih dahulu, sebelum mengambil benda itu dan menempelkannya ke telinga kanan. Ivan mendengarkan penjelasan Alvaro yang tengah berhadapan dengan Zaara, yang datang mengunjunginya ke kantor PBK sambil menangis. 

"Tahan dia, Var. Aku segera ke sana," ungkap Ivan. 

"Ya, Mas," sahut Alvaro. 

Ivan memutus panggilan, lalu menoleh ke kanan. "Listu, kita berangkat ke kantor PBK. Nuril tetap berjaga di sini!" titahnya. 

"Siap!" tegas Listu dan Nuril nyaris bersamaan. 

Ivan dan Listu serentak berdiri, lalu jalan secepat mungkin menuju tempat parkir. Nuril mengamati keduanya sambil berdoa agar masalah yang menghantam keluarga Latief bisa segera diselesaikan. 

Sepanjang jalan menuju kantor PBK, Ivan berulang kali beristigfar. Walaupun yakin jika perempuan dalam foto bukanlah adiknya, Ivan tetap khawatir orang tuanya akan kembali syok bila mengetahui hal tersebut. 

Ivan teringat Beryl, pacar Zaara yang bermukim di Florida. Dia penasaran dengan reaksi pria tersebut, dan berniat menelepon Beryl nanti malam.

Setibanya di tempat tujuan, Chairil, asisten Alvaro menyambut Ivan dengan penghormatan. Kemudian mereka jalan memasuki gedung untuk menuju lift khusus direksi. 

Sesampainya di ruang kerja Alvaro, Ivan mendatangi adiknya dan menyentak tangan Zaara hingga gadis berambut panjang terpaksa berdiri. 

"Ulahmu nggak habis-habis, Ra. Bikin semua orang susah!" hardik Ivan sambil mengguncangkan tangan adiknya. "Keluarga besar kita meneleponku dan menanyakan hal yang sama. Aku sudah berusaha meyakinkan mereka jika orang di foto itu bukan kamu, tapi aku nggak tahu mereka akan percaya atau nggak," lanjutnya. 

"Ponsel Ayah dan Ibu dipegang Bi Jum, dan sudah kuminta Bibi untuk mematikan semua ponsel. Kemungkinan besar Shurafa juga dikirimi foto itu, dan semoga saja Rendra menghapusnya." 

"Sekarang, jelaskan, apa kamu yang ada di foto itu?" tanya Ivan sambil menatap tajam adiknya. "Jawab, Ra. Jangan nangis!" geramnya karena Zaara justru terisak-isak. 

"Itu bukan aku," cicit Zaara. "Aku juga nggak kenal siapa cowoknya," sambungnya sembari mengusap pipi yang basah dengan punggung tangan. 

"Jangan bohong!" 

"Sumpah demi apa pun. Itu bukan aku!" 

"Lalu, siapa?" 

"Enggak tahu." 

"Kepalaku berdentam, Ra. Dan semua itu gara-gara kamu!" 

Ivan mengangkat tangan kanan dan hendak menampar Zaara. Namun, dia tidak bisa melakukannya karena dicekal Alvaro yang langsung menyeretnya menjauhi gadis yang tengah gemetaran. 

"Mas, istigfar," ucap Alvaro. 

"Dia bikin masalah terus. Aku malu, Var!" desis Ivan.

"Mas tenangkan diri dulu. Enggak akan bisa menyelesaikan masalah dengan kepala ngebul." Alvaro mengajak Ivan duduk, kemudian dia memberi kode pada Chairil yang segera mengantarkan minuman dingin buat Ivan. 

Zulfi yang juga berada di ruangan tersebut, meminta Zaara untuk duduk. Dia memberikan tisu yang diambil sang gadis untuk mengusap wajahnya. 

"Aku sudah meminta pihak provider untuk memblokir nomor lama Zaara. Harusnya itu sudah dilakukan waktu Zaara pulang minggu lalu," jelas Alvaro. "Aku paham, saat itu semua tengah kalut hingga lupa tentang itu. Dan semoga nggak ada lagi masalah ke depannya, kecuali ... orang misterius menyalin semua kontak di nomor itu," lanjutnya yang mengejutkan Ivan dan Zaara. 

"Apa nggak bisa dihapus sama kontaknya?" tanya Ivan.

"Sedang diusahakan. Yoga tengah di kantor provider untuk mengurus itu." 

"Mohon maaf menyela," celetuk Zulfi. "Kita punya satu cara lagi untuk meminimalkan pengiriman foto atau apa pun dari orang itu," terangnya. 

"Gimana, Zul?" desak Ivan. 

"Kita minta bantuan semua orang untuk memblokir nomor itu dan melaporkannya ke pusat aplikasi pesan. Mereka bisa memantau bila ada yang menggunakan nomor itu lagi di masa mendatang," beber Zulfi. 

"Ya, itu bisa juga. Walaupun akan merepotkan banyak orang." 

"Seenggaknya bisa dicoba, Mas. Minimal kita bangun satu lapisan dulu, supaya nggak nembus." 

Ivan manggut-manggut. "Listu, ambil ponselku dan nyalakan. Lalu, kirim broadcast ke semua kontak untuk memblokir nomor lama Zaara," pintanya yang segera dikerjakan ketua regu pengawal keluarga Latief. 

"Copy dulu nope lamanya Zaara, Listu. Biar orang nggak salah blokir," tambah Alvaro. 

"Ehm, Bang. Orang itu menghubungi Mas Beryl terlebih dahulu sebelum menyebarkan ke kontak lain," tutur Zaara yang mengagetkan Alvaro. 

"Berarti dia tahu kalau Beryl pacarmu," sahut pria berparas separuh luar negeri. 

"Mungkin dia baca chat kami. Sebelum pergi malam itu, aku memang lagi chat sama Mas Beryl." 

"Apa Beryl sudah ngubungin kamu?" tanya Ivan. 

"Ya, Mas. Dan ... Mas Beryl marah-marah," cicit Zaara. 

"Pasti marahlah. Apalagi kalau ...." Ivan membulatkan matanya. "Apa orang tuanya sudah tahu?" tanyanya. 

"Ehm, mungkin gitu." 

Ivan mendengkus. "Tambah lagi masalah baru." 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
kasian Zara duh si lemot ini pasti yang bikin ulah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status