Home / CEO / Tergoda Suami Sewaan / Bab 05 - Kita Duel Aja, Yok!

Share

Bab 05 - Kita Duel Aja, Yok!

Suasana di ruang tamu tempat perawatan Ahmad Yafiq terlihat ramai. Para bos PG berkumpul dan berbincang dengan suara pelan. Mereka sedang menunggu Hadrian yang tengah dijemput Alvaro dari bandara. 

Kondisi Ahmad Yafiq yang belum kondusif menyebabkan keluarga Latief cemas. Ivan terpaksa meminta Hadrian langsung datang ke rumah sakit agar bisa didengar kesaksiannya. 

Ahmad Yafiq tidak memercayai penjelasan Zaara, Maia dan Desya. Pria tua ingin mendengar langsung penuturan dari Hadrian yang dianggap sebagai saksi kunci peristiwa tersebut. 

Zaara dan kedua sahabatnya duduk berderet di sofa panjang, berdampingan dengan Shurafa. Emilia masih merajuk hingga mengabaikan putri bungsunya yang sejak kemarin sudah merengek memohon ampunan. 

Perempuan tua berjilbab krem menunggu kedatangan Hadrian dengan tidak sabar. Dia merasa kesal pada sahabat putranya yang dianggap menutupi rahasia Zaara. Walaupun Emilia tidak memercayai ucapan penelepon misterius tentang perilaku putrinya, tetap saja dia ingin mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. 

Puluhan menit terlewati, Hadrian telah tiba bersama Alvaro, Kirman dan Chairil. Mereka berdiskusi dengan para bos, kemudian Ivan mengajak Hadrian dan Kirman memasuki ruang perawatan. 

Shurafa menarik tangan Zaara untuk ikut masuk. Sementara Virendra mengajak Tio dan Alvaro serta Heru untuk turut mendengarkan penjelasan Hadrian, sekaligus menenangkan keluarga Latief. 

Kendatipun tubuh masih lelah akibat perjalanan jauh, Hadrian berusaha tetap tenang. Dia mendengarkan percakapan Ivan dan Emilia, kemudian menegakkan badan saat dipanggil keduanya untuk mendekati Ahmad Yafiq. 

"Jelaskan sesuai versimu, Ian," pinta Ivan. 

Hadrian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu, kemudian dia memulai runutan peristiwa dari kejadian di restoran, hingga Zaara terpaksa menginap di unitnya. 

Ahmad Yafiq memandangi pria muda berhidung mancung yang masih mengoceh. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada putri bungsunya yang berdiri di ujung ranjang. 

"Penelepon misterius, bisa dipastikan adalah Leroy atau orang suruhannya. Karena ponsel Zaara tertinggal di mobilnya dan sampai sekarang belum dikembalikan ke Zaara," ungkap Hadrian. 

"Ayah dan Ibu, dimohon untuk tidak memercayai penelepon itu. Banyak saksi yang menjelaskan situasi di restoran dan juga di gedung apartemen, jika saya dan Zaara tidak hanya berdua," jelas Hadrian. 

"Terus terang, Yah, Bu, saya kecewa kalau ternyata usaha saya buat menyelamatkan Zaara, justru diputarbalikkan sebagai perbuatan buruk oleh pelaku kejahatan sebenarnya, yaitu Leroy." 

"Kalau memang saya dan Zaara ingin berbuat hal yang melanggar norma agama, buat apa jauh-jauh ke Singapura? Di sini juga bisa. Kapan pun kami mau bersama, langsung dilaksanakan." 

"Saya hanya ingin menyelamatkan kehormatan Zaara. Kalau nggak, saya pasti nggak akan peduli dan pura-pura nggak lihat dia di restoran itu. Saya juga nggak mau tahu apa yang akan terjadi padanya, setelah berhasil dikasih obat atau apalah itu oleh Leroy." 

Selama beberapa saat suasana hening. Ahmad Yafiq memanggil Ivan yang segera merunduk untuk mendengarkan ucapan ayahnya. Pria yang lebih muda manggut-manggut, kemudian Ivan menegakkan tubuhnya sambil memandangi Hadrian. 

"Ayah mau bicara berdua denganmu. Kami tunggu di luar," ucap Ivan. 

Hadrian mengangguk mengiakan. Dia menunggu semua orang keluar, kemudian dia bangkit dan duduk di tepi ranjang. Hadrian membungkuk untuk mendengar perkataan Ahmad Yafiq yang berupa bisikan, kemudian dia mengangguk paham. 

"Ya, Yah. Aku siap," jawab Hadrian. "Kita tunggu sampai kasus ini selesai," lanjutnya yang dibalas anggukan lelaki tua. 

"Makasih, sudah menjaga Zaara," bisik Ahmad Yafiq. 

"Sama-sama." Hadrian memaksakan senyuman, kemudian dia memgangi tangan sang pasien. "Ayah harus segera sembuh. Sebentar lagi Kak Shurafa akan melahirkan. Pasti seru, cucu Ayah bertambah," ungkapnya. 

Ahmad Yafiq mengangguk lemah. Dia balas menepuk tangan Hadrian, kemudian meminta keluarganya dipanggil. Pria bermata besar berdiri dan jalan keluar. Hadrian memanggil Ivan untuk menjelaskan permintaan ayahnya. 

Kala keluarga Latief memasuki ruang perawatan, Hadrian berpindah ke kursi dan memaksa duduk di antara Alvaro serta Yanuar. Kemudian dia menunduk sambil meremas-remas rambutnya. 

"Aku sudah bicarakan tentang Leroy pada Mas Elkaar. Dia sedang menghubungi temannya di sana," cakap Alvaro. 

"Pengacara PG juga sudah menghubungi Pak Margus dan menyatakan akan membantu mengawal kasus ini sampai tuntas," terang Tio yang berada di kursi seberang bersama Heru dan David.

"Kalian tahu? Aku nyesal nggak matiin aja itu si lemot!" geram Hadrian yang menyebabkan rekan-rekannya tersenyum. 

"Santai, Ian. Nanti kita balas kerjain dia," cakap Baskara, yang berada di kursi sebelah kiri bersama Tristan dan Dante. 

"Kamu sudah dapat gambar botolnya?" tanya Heru.

"Belum, Mas. Gara-gara diperiksa berjam-jam di kantor polisi, aku sampai lupa nyarinya," terang Hadrian. 

"Kalau sudah hilang capeknya, cari dan kirim gambarnya ke Mas Ben," cetus Dante. "Setelah itu, kita jalankan rencana B," lanjutnya yang mengejutkan Hadrian. 

"Rencana B, apaan?" 

"Yang tadi itu, ngerjain si lemot. Kita balas dengan cara yang sama." 

"Aku nggak paham." 

"Biar Varo yang jelasin." 

Hadrian menoleh ke kanan untuk mengamati pria berparas separuh luar negeri yang tengah mengutak-atik ponselnya. "Var, kumaha?" desaknya. 

"Ringkasnya, kita bikin settingan yang hampir sama, tetapi di tempat berbeda. Zaara sudah setuju untuk memancing si lemot itu. Selanjutnya, bagian aktris kita yang turun buat menjebak Leroy lemot," ungkap Alvaro. 

"Aktris? Siapa?" 

"Besok siang kita ketemu sama orangnya."

***

Hari berganti hari. Hadrian kembali disibukkan dengan pekerjaan. Niatnya untuk pulang ke Bandung harus ditunda sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Meskipun ibunya merajuk karena Hadrian tidak kunjung datang, pria berbibir tipis tetap kukuh berada di Jakarta. 

Setiap siang Hadrian akan menelepon Margus untuk mencari tahu informasi terkini. Selain itu dia juga menyabarkan diri buat menunggu hasil penyelidikan Elkaar. 

Sore itu, Alvaro menghubungi Hadrian dan mengajaknya bertemu. Pria bermata besar segera mengemasi meja kerja, kemudian dia berdiri dan jalan keluar. 

Sekian menit berikutnya, mobil MPV hitam meluncur di jalan raya yang dipenuhi kendaraan berbagai jenis. Hadrian mengemudi sambil bersenandung mengikuti lagu dari radio. 

Sekali-sekali dia akan mengetuk-ngetukkan jemari pada setir, atau memerhatikan sekeliling. Kala melintasi perempatan, Hadrian nyaris menabrak motor yang memotong jalur. Dia menekan klakson sambil mengumpat dalam bahasa Sunda, sebelum melanjutkan perjalanan sembari menggerutu. 

Sesampainya di tempat tujuan, Hadrian memarkirkan kendaraan berdampingan dengan dua mobil Jeep hitam. Kemudian dia keluar dan menutup pintu, lalu menekan remote untuk mengunci kendaraan. 

Sekian menit berlalu, Hadrian telah berada di ruang kerja komisaris PBK, bersama Alvaro, Wirya, dan Yanuar. Mereka mendengarkan penjelasan perwira polisi bernama Elkaar, sambil memperhatikan foto-foto Leroy dan keluarga Cheng, yang telah diambil rekan Elkaar di Singapura. 

"Berarti rencana kita bisa dilanjutkan. Tentu saja dengan bantuan kepolisian," ungkap Alvaro, sesaat setelah Elkaar menuntaskan ucapan. 

"Tetap harus berhati-hati, Var. Karena lawan kita orang berpengaruh," jelas Elkaar. 

"Rencana kita sepertinya harus disempurnakan lagi," usul Wirya. 

"Kalian aja yang mikir, ya. Kepalaku penuh," tukas Yanuar. 

"Kamu kapan kosongnya itu otak?" tanya Hadrian. 

"Si bule, noh. Nambah kerjaanku terus," cakap Yanuar. 

"Gue harus begitu, supaya beban Wirya dan Zulfi berkurang," balas Alvaro. "Dari semua petinggi BPAGK, elu yang paling nyantai. Jadi elu yang tanggung kerjaan kedua Bapak itu, karena mereka lagi sibuk ngurus proyek di Eropa," selorohnya. 

"Bang, mending tambah satu direktur dan satu manajer lagi," rengek Yanuar. 

"Direktur kagak nambah. Justru gue berencana narik semua pengawal. Buat BPAGK serahkan pada pegawai non ajudan." Alvaro mengalihkan pandangan pada Wirya, kemudian dia berkata, "Wirya bentar lagi juga stop jadi dirut BPAGK. Tugasnya digantikan Zulfi, sambil nunggu Hisyam pulang." 

"Oh, sudah pasti Hisyam yang jadi dirut tahun depan?" 

"Yoih." 

"Sekarang, gue berarti pegang kerjaan dobel?" 

"Triple. PB, PBK dan BPAGK." 

"Gaji gue naikin, Bang." 

"Entar gue rembukin sama Ayah, Babah dan Mas Tio." 

"Plus bonus." 

"Hmm." 

"Akhir tahun gue mau liburan ke Kanada. Kangen sama Mas Ben. Dan elu yang ngongkosin." 

"Yan, kita duel aja, yok!" 

"Elu mau peluk dan gendong gue ala bridal, kan?" 

"Iye. Habis itu gue lempar elu ke jurang. Gelindingin sampai nabrak bebatuan cadas yang mencabik-cabik badan elu!" 

"Uww. Co cuit!" 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Syahreza
kira kira permintaan ayah Amad apa yah,mungkin nggak tuh suruh nikahin si zaara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status