"Apa?" tanya Arrivan Qaiz Latief, Kakak tertua Zaara yang baru saja mendapat kabar jika adiknya tidak kembali ke hotel sejak semalam.
"Zaara ngilang, Mas," terang Maia, sahabat sekaligus asisten Zaara.
"Kok, bisa?"
"Enggak tahu."
"Memangnya kalian nggak jalan bareng?"
"Awalnya begitu, tapi Zaara akhirnya memisahkan diri dan ikut dengan Leroy Cheng."
Arrivan yang biasa dipanggil Ivan mengerutkan alisnya. "Siapa itu Leroy Cheng?"
"Dia pengusaha sini. Kami ketemu dia tiga hari lalu. Sejak itu dia sering ngedatangin Zaara."
"Bentar, kalian ada di mana sebenarnya?"
"Singapura."
Ivan berdecih. "Kalian pergi sama siapa?"
"Bertiga aja. Aku, Zaara dan Desya."
"Ajudan?"
Maia beradu pandang dengan Desya yang turut mendengarkan percakapan tersebut melalui pengeras suara di ponselnya. "Enggak ada yang ikut."
"Apa?" Suara Ivan naik satu oktaf. Kemudian dia menggebrak meja hingga mengejutkan kedua perempuan di seberang telepon.
"Zaara yang mau kayak gitu, Mas. Dia bilang bosan dikuntit terus," kilah Maia sambil memilin rambutnya untuk meredakan ketegangan.
"Sudah puluhan kali aku bilang. Jangan keluyuran tanpa pengawal! Apa kalian mau diculik orang? Kayak Ibu dulu?"
"Enggak mau, tapi aku nggak bisa membantah Zaara. Mas tahu sendiri kerasnya dia."
Ivan memijat pangkal hidung yang tiba-tiba sakit. "Ponselnya nggak bisa dihubungi?"
"Hu um. Aku sama Desya tiap lima belas menit gantian nelepon. Tetap nggak tersambung."
Ivan berpikir sejenak, kemudian berkata, "Aku mau nelepon Varo. Kalian tetap coba hubungi Zaara."
"Ya, Mas."
Pria berkaus hitam memutus sambungan telepon. Ivan termangu selama beberapa saat, sebelum menggulirkan jemari untuk menghubungi salah satu sahabatnya di PG.
Akan tetapi, belum sempat Ivan menelepon Alvaro, ponselnya telanjur berdering dan menampilkan nama Shurafa, adiknya sekaligus Kakak Zaara.
Ivan membeliakkan mata ketika mendengar informasi tentang kondisi ayahnya yang terkena serangan jantung, sesaat setelah mendapat telepon misterius dari orang yang tidak dikenal.
Setelah menutup sambungan, Ivan berdiri dan jalan mendekati kopernya. Dengan tergesa-gesa dia mengemasi semua barang, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat.
Belasan menit terlewati, Ivan telah berada di lobi hotel bersama keempat rekannya dari PG. Yakni, Harry Adhitama, Chandra Kamandaka, Panglima Labdajaya dan Levin Aryeswara.
Ivan menceritakan detail percakapannya dengan sang adik yang mengejutkan rekan-rekannya. Harry dan yang lainnya berjanji akan turut mencari informasi tentang keberadaan Zaara, sekaligus mengambil alih pekerjaan Ivan di Bali.
Tidak berselang lama seunit taksi tiba. Ivan berpamitan pada rekan-rekannya, lalu melenggang menuju mobil sedan hitam. Keempat orang lainnya memandangi hingga taksi menjauh dan akhirnya menghilang.
Sementara itu di Jakarta, Shurafa duduk di kursi samping kiri ranjang pasien. Dia memegangi Al Qur'an kecil dan mengaji dengan suara pelan. Perempuan yang sedang hamil tua berusaha menenangkan diri, meskipun dia sangat mengkhawatirkan kondisi sang ayah, Ahmad Yafiq Latief.
Seorang perempuan tua berjilbab biru, berulang kali mengusap punggung tangan suaminya. Emilia Latief benar-benar cemas karena serangan jantung yang dialami suaminya dua jam silam, merupakan serangan terparah sejak beberapa tahun terakhir.
Bila biasanya Ahmad Yafiq akan langsung diperbolehkan pulang oleh tim dokter, tetapi kali itu mau tidak mau harus diopname karena dokter mendiagnosa pasiennya menderita stroke.
Emilia mengusap sudut mata dengan saputangan ungu. Dia melirik arloji di pergelangan tangan kanan, kemudian melanjutkan doa dalam hati agar sang suami bisa segera pulih.
Ketukan di pintu yang diiringi kemunculan Virendra Barata, suami Shurafa, mengalihkan pandangan kedua perempuan padanya. Pria berkemeja hijau menyambangi istrinya, kemudian menyerahkan bungkusan berisi kotak makanan.
"Mama ajak Ibu makan dan istirahat. Biar Papa yang jaga Ayah," tutur Virendra sambil memandangi istrinya.
"Ibu nggak mau makan," tolak Emilia.
"Nanti Ibu sakit, lalu, yang ngerawat Ayah siapa?" desak Shurafa.
Emilia terdiam. "Tapi Ibu nggak selera."
"Dipaksain dikit-dikit. Yang penting masuk." Shurafa bangkit dan menghampiri ibunya. "Yuk, Bu. Habis makan nanti kita salat asar. Baru kembali ke sini," bujuknya.
Emilia hendak membantah, tetapi Shurafa telanjur menarik tangannya. Kedua perempuan berbeda generasi jalan keluar sambil berpegangan tangan. Virendra memandangi hingga keduanya menghilang di balik pintu, kemudian dia berpindah duduk ke sofa.
Virendra mengamati ponselnya. Dia menunggu kabar dari kedua teman Zaara yang tengah mencari Adik iparnya. Selain itu Virendra juga tengah menunggu informasi terbaru dari ketua pengawal keluarganya, yang sedang menghubungi direktur utama PBK.
Pria berkumis tipis memijat dahinya. Virendra tidak menyangka jika Zaara akan bertingkah di luar batas, seperti yang telah disebutkan orang yang menelepon Ahmad Yafiq, sesaat sebelum pria tua terkena serangan jantung.
Virendra telah mengirimkan nomor misterius itu pada Listu yang merupakan ketua pengawal keluarganya. Pria berhidung tidak terlalu mancung sangat berharap orang-orang PBK bisa menemukan Zaara, sekaligus mengungkap penelepon misterius yang menyebabkan kekacauan.
***
"Ra, kamu ke mana aja?" tanya Maia, sesaat setelah dia membukakan pintu buat sahabatnya.
"Leroy Cheng menjebakku," terang Zaara sembari memasuki ruangan dan duduk di kursi panjang, berdampingan dengan Desya.
"Jebak gimana?"
"Dia ngajak dinner. Pas aku ke toilet, rupanya dia masukin entah cairan apa ke minumanku."
"Terus, gimana?" desak Desya.
"Waktu jalan ke mobilnya, kepalaku sudah pusing. Nyampe mobil, aku langsung tidur dan nggak ingat apa-apa. Lalu ...." Zaara memandangi kedua sahabatnya yang balas menatapnya lekat-lekat. "Pokoknya pas aku sadar, ternyata sudah di unit Kang Ian," lanjutnya.
"Kok, bisa di situ?"
"Kata Kang Ian, dia lagi dinner sama rekan bisnis di tempat yang sama denganku. Dia lihat Leroy masukin cairan itu. Dia mau nyegah aku minum, tapi temannya ngajak ngobrol terus. Akhirnya dia nyuruh pengawal buat buntutin aku."
"Pengawalnya dikeroyok orang, yang diduga anak buah Leroy. Kang Ian ngejar mobil Leroy dan ketemu. Lalu diserempetnya itu mobil buat mancing Leroy berhenti."
"Mereka berantem dan Kang Ian berhasil mengalahkan Leroy. Lalu dia mindahin aku ke mobilnya dan dibawa ke unitnya, karena Kang Ian nggak tahu aku nginap di mana. Terus ... aku muntah sampai kena baju. Habis itu, aku muntah lagi, sampai lima kali."
"Oh, pantesan kamu balik dengan baju kaus gedembrongan," sela Maia.
"Hu um, dan ini baju Kang Ian. Nanti kubalikin setelah dicuci."
"Kami nelepon ke hapemu, tapi nggak tersambung."
"Tasku tertinggal di mobil Leroy."
Maia dan Desya saling menatap. Kemudian Maia berkata, "Berarti penelepon misterius itu adalah Leroy."
"Maksudnya?" desak Zaara.
"Ada orang nelepon ayahmu pakai nomor tidak terdaftar. Dia bilang, kamu pesta mabuk-mabukan dan pergi sama cowok bermata besar ke hotel."
Zaara membulatkan matanya. "Sial! Bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta!"
"Dan ayahmu kena serangan jantung, Ra. Sekarang beliau ada di rumah sakit."
Sepasang mata Zaara yang cukup besar kembali membeliak. "Gimana kondisinya?" "Kata Mas Virendra, Ayah masih belum sadar." "Astagfirullah!" Zaara memegangi mulutnya dengan kedua tangan."Kita harus segera pulang," usul Desya. "Tasku, gimana?" tanya Zaara. "Ikhlasin aja. Dompet dan paspormu, kan, aku yang pegang. Kamu kemaren cuma bawa ponsel, kosmetik dan sedikit duit." Zaara masih termangu saat kedua rekannya berjibaku membereskan barang-barang. Dia teringat pesan Hadrian yang memintanya menelepon setelah tiba di hotel.Zaara memindai sekitar, kemudian menyambar ponsel Maia. Dia mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Hadrian, tetapi dia benar-benar lupa. "Mai, punya nomor telepon Kang Ian?" tanya Zaara. "Enggak ada," sahut Maia tanpa menoleh. "Aku lupa nomornya." "Coba kamu tanya ke Mas Daru. Ada nomornya di situ." "Kamu ngapain nyimpan nomor Mas Daru?" "Kita, kan, pernah bisnis bareng. Jadi kusimpan nomornya. Kalau Kang Ian, kita belum pernah kerjasama dengan dia. Paling cum
Wirya memandangi Zaara yang tengah mengoceh sambil terisak-isak. Dia berusaha menahan tawa karena Zaara ternyata termakan omongan Ivan. Sebetulnya Fajrin dan Indriani tidak mendapatkan surat peringatan. Wirya hanya meminta keduanya cuti untuk merenungi perbuatan mereka yang telah meloloskan Zaara pergi tanpa pengawasan. Seharusnya kedua pengawal tersebut tetap kukuh untuk ikut ke Singapura, atau mereka bisa melaporkan hal itu pada Yusuf, pengawas pasukan pengawal Latief, yang akan segera mengambil tindakan darurat. Akan tetapi, karena takut diomeli Zaara, akhirnya Fajrin dan Indriani mengalah untuk tutup mulut tentang keberadaan sang nona, yang akhirnya mengakibatkan kericuhan di keluarga Latief. "Lain kali, jangan bertindak semaunya, Ra. Akibatnya begini, banyak orang jadi terseret," tutur Wirya, setelah Zaara menghentikan penjelasannya. "Ya, Bang. Sekarang aku nyesal. Ayah sakit, Ibu ngambek, Mas Ivan marah-marah. Belum lagi kedua pengawal kena imbasnya. Dan yang paling memaluk
Suasana di ruang tamu tempat perawatan Ahmad Yafiq terlihat ramai. Para bos PG berkumpul dan berbincang dengan suara pelan. Mereka sedang menunggu Hadrian yang tengah dijemput Alvaro dari bandara. Kondisi Ahmad Yafiq yang belum kondusif menyebabkan keluarga Latief cemas. Ivan terpaksa meminta Hadrian langsung datang ke rumah sakit agar bisa didengar kesaksiannya. Ahmad Yafiq tidak memercayai penjelasan Zaara, Maia dan Desya. Pria tua ingin mendengar langsung penuturan dari Hadrian yang dianggap sebagai saksi kunci peristiwa tersebut. Zaara dan kedua sahabatnya duduk berderet di sofa panjang, berdampingan dengan Shurafa. Emilia masih merajuk hingga mengabaikan putri bungsunya yang sejak kemarin sudah merengek memohon ampunan. Perempuan tua berjilbab krem menunggu kedatangan Hadrian dengan tidak sabar. Dia merasa kesal pada sahabat putranya yang dianggap menutupi rahasia Zaara. Walaupun Emilia tidak memercayai ucapan penelepon misterius tentang perilaku putrinya, tetap saja dia ingi
Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi kesehatan Ahmad Yafiq mulai membaik. Beberapa alat bantu telah dilepas dan hanya tersisa dua. Serangan jantung yang dialami pria tua membuatnya mengalami stroke ringan, dan masih kesulitan menggerakkan tangan kiri. Siang itu, Emilia meninggalkan suaminya bersama asisten, karena Shurafa tengah bersiap-siap untuk melahirkan. Virendra mengangkut istrinya ke rumah sakit yang sama dengan sang ayah, agar Emilia tidak perlu berpindah tempat terlalu jauh. Ivan bergegas datang untuk mendampingi ayahnya. Sementara Zaara bertahan di kantor karena harus menyelesaikan rapat dengan klien. Sepanjang acara pertemuan, Zaara kesulitan berkonsentrasi karena dia memikirkan Shurafa dan ayahnya sekaligus. Gadis berambut panjang baru bisa bernapas lega saat rapat usai. Dia menyalami para tamu, kemudian berdiri dan menunggu mereka menjauh. Niat Zaara untuk segera ke rumah sakit terpaksa ditunda, karena ponselnya nyaris tidak berhenti bergetar. Perempuan berbibir penu
Kekhawatiran Ivan ternyata benar-benar terjadi. Beberapa hari kemudian, Paman dan beberapa sepupu Beryl yang menetap di Jakarta, mendatangi Ivan di kantornya. Zaara yang juga diminta hadir, hanya bisa menangis sambil memeluk Maia, ketika Paman Beryl menyampaikan maksud kedatangannya sebagai wakil keluarga, untuk membatalkan rencana pertunangan Zaara dan Beryl yang semestinya berlangsung bulan depan.Tubuh Zaara melemas. Dia menguatkan diri untuk tidak jatuh pingsan. Sementara Ivan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing emosi, meskipun sebenarnya dia ingin mengamuk. "Baik, kami terima pembatalan ini," ujar Ivan. "Tolong sampaikan ke Beryl, untuk tidak menghubungi Zaara kembali. Karena dengan batalnya rencana pertunangan, maka kami berhak menjauhkan Zaara darinya," lanjutnya. "Ya, Nak Ivan. Keluarga kami juga berniat seperti itu. Jangan khawatir, Beryl tidak akan mengganggu Zaara lagi," sahut pria tua berkumis lebat. Sekian menit berlalu, para tamu telah pergi. Ivan berpind
Hadrian membulatkan matanya yang besar hingga terkesan sedang memelototi. Sementara Zaara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, karena malu dengan apa yang baru saja dimintanya dari pria di seberang meja. "Kamu serius, Ra?" tanya Hadrian setelah bisa menguasai diri. "Ya, tapi kalau Akang nggak mau, nggak apa-apa. Aku cari orang lain yang mau," jawab Zaara. "Siapa yang mau kamu tawari?" "Ehm, aku belum tahu. Mas Ivan sempat menyarankan agar aku menemui Mas Daru." Hadrian menyunggingkan senyuman. "Dia pasti mau, karena dia sempat naksir kamu, dulu. Sebelum kamu pacaran dengan Beryl." "Mas Ivan juga bilang gitu. Walaupun aku sebenarnya malu buat ngomong ke Mas Daru." "Ke aku, nggak malu?" Zaara mengamati pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Malu, sih, tapi kupikir aku lebih dekat dengan Akang daripada ke Mas Daru. Jadi kalau Akang nolak pun, aku nggak akan sakit hati." "Selain itu, kupikir kita sudah telanjur difitnah Leroy. Jadi kita bisa bekerjasama untuk membalas dend
"Ra, kita cuma pergi empat hari. Ngapain bawa pakaian sebanyak itu?" tanya Hadrian. "Isinya bukan hanya baju, Kang. Ada tas, sepatu dan lainnya. Aku berusaha memadu-padankan pakaian dan yang lainnya," terang Zaara sembari merapikan rambutnya dengan jemari. "Kalian, ikut juga?" Hadrian mengarahkan pandangan pada kedua pengawal yang berada di belakang Zaara sambil memegangi tas masing-masing. "Ya, Kang," jawab Indriani "Kami nggak mau kecolongan lagi dan nyaris kena SP dari kantor," jelas Fajrin. Hadrian mendengkus pelan. "Berarti kamu yang nyetir." "Siap," balas Fajrin. Hadrian memberikan kunci mobilnya pada pria berkulit kecokelatan. Fajrin keluar sambil menjinjing tanya dan menyeret koper Zaara. Indriani menyusul. Sementara Hadrian menghabiskan minumannya terlebih dahulu, kemudian berdiri dan mengajak Zaara berangkat. Mereka memasuki kursi bagian tengah mobil MPV putih. Fajrin menyalakan mesin kendaraan, lalu dia membunyikan klakson agar penjaga rumah segera membukakan gerb
Zaara terkesiap. Dia tidak menyangka jika Hadrian akan menanyakan hal itu. "Ehm, aku belum tahu, Kang. Kita lihat aja ke depannya gimana." "Aku penasaran, gimana kalau orang tuamu tahu, jika tawaranmu padaku hanya bersifat sementara. Sedangkan mereka maunya kita kayak mereka, sama-sama memperjuangkan pernikahan dengan sungguh-sungguh.""Aku belum ada mikir ke situ. Mau fokus balas dendam ke Leroy, plus membuktikan pada Beryl, jika aku bisa menikah dengan orang yang lebih semuanya dari dia." "Aku tersanjung kamu muji aku setinggi itu." Zaara melirik pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Aku benar-benar sakit hati ke dia. Bisa-bisanya dia lebih percaya sama foto dan fitnah, daripada omonganku." "Mungkin itu tanda jika dia pribadi yang sulit untuk bisa menerima kekurangan orang lain, terutama pasangan." "Ya, itu betul. Ditambah lagi dia selalu diagung-agungkan keluarganya." "Kenapa begitu?" "Dia anak cowok pertama, sekaligus cucu pertama laki-laki dari kedua belah pihak orang t