Beranda / CEO / Tergoda Suami Sewaan / Bab 02 - Penelepon Misterius

Share

Bab 02 - Penelepon Misterius

"Apa?" tanya Arrivan Qaiz Latief, Kakak tertua Zaara yang baru saja mendapat kabar jika adiknya tidak kembali ke hotel sejak semalam. 

"Zaara ngilang, Mas," terang Maia, sahabat sekaligus asisten Zaara. 

"Kok, bisa?" 

"Enggak tahu." 

"Memangnya kalian nggak jalan bareng?" 

"Awalnya begitu, tapi Zaara akhirnya memisahkan diri dan ikut dengan Leroy Cheng." 

Arrivan yang biasa dipanggil Ivan mengerutkan alisnya. "Siapa itu Leroy Cheng?" 

"Dia pengusaha sini. Kami ketemu dia tiga hari lalu. Sejak itu dia sering ngedatangin Zaara." 

"Bentar, kalian ada di mana sebenarnya?" 

"Singapura." 

Ivan berdecih. "Kalian pergi sama siapa?" 

"Bertiga aja. Aku, Zaara dan Desya." 

"Ajudan?" 

Maia beradu pandang dengan Desya yang turut mendengarkan percakapan tersebut melalui pengeras suara di ponselnya. "Enggak ada yang ikut." 

"Apa?" Suara Ivan naik satu oktaf. Kemudian dia menggebrak meja hingga mengejutkan kedua perempuan di seberang telepon. 

"Zaara yang mau kayak gitu, Mas. Dia bilang bosan dikuntit terus," kilah Maia sambil memilin rambutnya untuk meredakan ketegangan. 

"Sudah puluhan kali aku bilang. Jangan keluyuran tanpa pengawal! Apa kalian mau diculik orang? Kayak Ibu dulu?" 

"Enggak mau, tapi aku nggak bisa membantah Zaara. Mas tahu sendiri kerasnya dia." 

Ivan memijat pangkal hidung yang tiba-tiba sakit. "Ponselnya nggak bisa dihubungi?" 

"Hu um. Aku sama Desya tiap lima belas menit gantian nelepon. Tetap nggak tersambung." 

Ivan berpikir sejenak, kemudian berkata, "Aku mau nelepon Varo. Kalian tetap coba hubungi Zaara." 

"Ya, Mas." 

Pria berkaus hitam memutus sambungan telepon. Ivan termangu selama beberapa saat, sebelum menggulirkan jemari untuk menghubungi salah satu sahabatnya di PG. 

Akan tetapi, belum sempat Ivan menelepon Alvaro, ponselnya telanjur berdering dan menampilkan nama Shurafa, adiknya sekaligus Kakak Zaara. 

Ivan membeliakkan mata ketika mendengar informasi tentang kondisi ayahnya yang terkena serangan jantung, sesaat setelah mendapat telepon misterius dari orang yang tidak dikenal. 

Setelah menutup sambungan, Ivan berdiri dan jalan mendekati kopernya. Dengan tergesa-gesa dia mengemasi semua barang, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat.

Belasan menit terlewati, Ivan telah berada di lobi hotel bersama keempat rekannya dari PG. Yakni, Harry Adhitama, Chandra Kamandaka, Panglima Labdajaya dan Levin Aryeswara. 

Ivan menceritakan detail percakapannya dengan sang adik yang mengejutkan rekan-rekannya. Harry dan yang lainnya berjanji akan turut mencari informasi tentang keberadaan Zaara, sekaligus mengambil alih pekerjaan Ivan di Bali. 

Tidak berselang lama seunit taksi tiba. Ivan berpamitan pada rekan-rekannya, lalu melenggang menuju mobil sedan hitam. Keempat orang lainnya memandangi hingga taksi menjauh dan akhirnya menghilang. 

Sementara itu di Jakarta, Shurafa duduk di kursi samping kiri ranjang pasien. Dia memegangi Al Qur'an kecil dan mengaji dengan suara pelan. Perempuan yang sedang hamil tua berusaha menenangkan diri, meskipun dia sangat mengkhawatirkan kondisi sang ayah, Ahmad Yafiq Latief. 

Seorang perempuan tua berjilbab biru, berulang kali mengusap punggung tangan suaminya. Emilia Latief benar-benar cemas karena serangan jantung yang dialami suaminya dua jam silam, merupakan serangan terparah sejak beberapa tahun terakhir. 

Bila biasanya Ahmad Yafiq akan langsung diperbolehkan pulang oleh tim dokter, tetapi kali itu mau tidak mau harus diopname karena dokter mendiagnosa pasiennya menderita stroke. 

Emilia mengusap sudut mata dengan saputangan ungu. Dia melirik arloji di pergelangan tangan kanan, kemudian melanjutkan doa dalam hati agar sang suami bisa segera pulih. 

Ketukan di pintu yang diiringi kemunculan Virendra Barata, suami Shurafa, mengalihkan pandangan kedua perempuan padanya. Pria berkemeja hijau menyambangi istrinya, kemudian menyerahkan bungkusan berisi kotak makanan.

"Mama ajak Ibu makan dan istirahat. Biar Papa yang jaga Ayah," tutur Virendra sambil memandangi istrinya. 

"Ibu nggak mau makan," tolak Emilia. 

"Nanti Ibu sakit, lalu, yang ngerawat Ayah siapa?" desak Shurafa. 

Emilia terdiam. "Tapi Ibu nggak selera." 

"Dipaksain dikit-dikit. Yang penting masuk." Shurafa bangkit dan menghampiri ibunya. "Yuk, Bu. Habis makan nanti kita salat asar. Baru kembali ke sini," bujuknya. 

Emilia hendak membantah, tetapi Shurafa telanjur menarik tangannya. Kedua perempuan berbeda generasi jalan keluar sambil berpegangan tangan. Virendra memandangi hingga keduanya menghilang di balik pintu, kemudian dia berpindah duduk ke sofa. 

Virendra mengamati ponselnya. Dia menunggu kabar dari kedua teman Zaara yang tengah mencari Adik iparnya. Selain itu Virendra juga tengah menunggu informasi terbaru dari ketua pengawal keluarganya, yang sedang menghubungi direktur utama PBK.

Pria berkumis tipis memijat dahinya. Virendra tidak menyangka jika Zaara akan bertingkah di luar batas, seperti yang telah disebutkan orang yang menelepon Ahmad Yafiq, sesaat sebelum pria tua terkena serangan jantung. 

Virendra telah mengirimkan nomor misterius itu pada Listu yang merupakan ketua pengawal keluarganya. Pria berhidung tidak terlalu mancung sangat berharap orang-orang PBK bisa menemukan Zaara, sekaligus mengungkap penelepon misterius yang menyebabkan kekacauan. 

***

"Ra, kamu ke mana aja?" tanya Maia, sesaat setelah dia membukakan pintu buat sahabatnya. 

"Leroy Cheng menjebakku," terang Zaara sembari memasuki ruangan dan duduk di kursi panjang, berdampingan dengan Desya. 

"Jebak gimana?" 

"Dia ngajak dinner. Pas aku ke toilet, rupanya dia masukin entah cairan apa ke minumanku." 

"Terus, gimana?" desak Desya. 

"Waktu jalan ke mobilnya, kepalaku sudah pusing. Nyampe mobil, aku langsung tidur dan nggak ingat apa-apa. Lalu ...." Zaara memandangi kedua sahabatnya yang balas menatapnya lekat-lekat. "Pokoknya pas aku sadar, ternyata sudah di unit Kang Ian," lanjutnya. 

"Kok, bisa di situ?" 

"Kata Kang Ian, dia lagi dinner sama rekan bisnis di tempat yang sama denganku. Dia lihat Leroy masukin cairan itu. Dia mau nyegah aku minum, tapi temannya ngajak ngobrol terus. Akhirnya dia nyuruh pengawal buat buntutin aku." 

"Pengawalnya dikeroyok orang, yang diduga anak buah Leroy. Kang Ian ngejar mobil Leroy dan ketemu. Lalu diserempetnya itu mobil buat mancing Leroy berhenti." 

"Mereka berantem dan Kang Ian berhasil mengalahkan Leroy. Lalu dia mindahin aku ke mobilnya dan dibawa ke unitnya, karena Kang Ian nggak tahu aku nginap di mana. Terus ... aku muntah sampai kena baju. Habis itu, aku muntah lagi, sampai lima kali."

"Oh, pantesan kamu balik dengan baju kaus gedembrongan," sela Maia.

"Hu um, dan ini baju Kang Ian. Nanti kubalikin setelah dicuci." 

"Kami nelepon ke hapemu, tapi nggak tersambung."

"Tasku tertinggal di mobil Leroy." 

Maia dan Desya saling menatap. Kemudian Maia berkata, "Berarti penelepon misterius itu adalah Leroy." 

"Maksudnya?" desak Zaara. 

"Ada orang nelepon ayahmu pakai nomor tidak terdaftar. Dia bilang, kamu pesta mabuk-mabukan dan pergi sama cowok bermata besar ke hotel." 

Zaara membulatkan matanya. "Sial! Bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta!" 

"Dan ayahmu kena serangan jantung, Ra. Sekarang beliau ada di rumah sakit." 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
sabar mas Ivan jangan emosi dulu
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Syahreza
makanya Ra biarin dah di kawal terus,toh itu demi kebaikan km juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status