"Hey!" seru Hadrian Danadyakhsa, yang mengejutkan kedua lelaki yang sedang mengeroyok Kirman, ajudannya.
"Akang kejar Non Zaara!" pekik Kirman sambil menendangi lawan-lawannya yang sempat termangu.
"Dia di mana?"
"Mobil sedan hitam. Ada stiker huruf C putih di kaca belakang!"
Hadrian memutar badan dan lari menuju mobil inventaris khusus PG. Dia menekan remote untuk membuka kunci pintu MPV hitam, kemudian dia memasuki kendaraan dan segera menyalakan mesinnya.
Hadrian mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dia mengamati setiap sedan yang berada di lajur yang sama. Kala menemukan mobil dengan ciri-ciri yang disebutkan Kirman, Hadrian berusaha mendekati kendaraan tersebut dari sisi kiri.
Hadrian memastikan perempuan yang sedang menyandar ke pintu mobil itu adalah Zaara. Dia memutar otak agar bisa memindahkan gadis tersebut ke mobilnya tanpa menimbulkan kehebohan pengendara lainnya.
Hadrian mengulum senyuman saat tiba di perempatan yang cukup sepi. Tanpa ragu-ragu dia membanting setir ke kanan hingga mobilnya menyerempet mobil sedan.
Hadrian berpura-pura hendak kabur dengan membelokkan kemudi ke kiri. Pancingannya berhasil karena pengendara mobil sedan benar-benar mengejarnya.
Hadrian menghentikan mobil dan memasang rem tangan. Dia tidak mematikan mesin karena akan segera pergi setelah mendapatkan Zaara.
Hadrian keluar sambil membuka jasnya dan melemparkan benda itu ke jok kursi tengah. Pria berparas tampan mengambil cincin besi andalannya dari saku celana, lalu memasang benda-benda itu di jemari kanan dan kiri.
"Dasar, bodoh!" seru pria berkemeja marun menggunakan bahasa Inggris berlogat unik.
Hadrian tidak menyahut, melainkan langsung maju dan menghantamkan tinjuan ke rahang lawannya. Pria bermata sipit mengumpat dalam bahasa Mandarin yang membuat Hadrian teringat akan keluarga Adhitama, sahabat-sahabatnya yang merupakan keturunan Tionghoa.
Perkelahian terus berlanjut. Hadrian mengeluarkan semua kemampuan karatenya yang dibalas dengan wushu apik oleh lawannya.
Pada satu kesempatan Hadrian berhasil menendang lelaki tersebut hingga menabrak mobil. Hadrian menarik kerah kemeja lawannya, sebelum menghantamkan kepala pria tersebut ke kaca mobil.
Kala tubuh pria berkemeja marun bergoyang, Hadrian mendorongnya hingga jatuh telentang di jalan dan tidak bergerak lagi. Hadrian memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang.
Tubuh Zaara yang ternyata tidak mengenakan sabuk pengaman, meluncur turun. Hadrian segera menangkapnya dan menarik badan gadis bergaun hitam. Dia terpaksa menggendong Zaara yang ternyata cukup berat.
Tanpa menutup pintu mobil sedan, Hadrian jalan secepat mungkin ke mobilnya. Dengan susah payah dia membuka pintu samping kiri dan mendudukkan Zaara. Kemudian Hadrian menutup pintu dan segera memutari depan mobil.
Tidak berselang lama mobil MPV hitam telah melaju melintasi jalan lengang. Hadrian berusaha membangunkan Zaara yang hanya bergumam tanpa membuka mata.
Pria berhidung mancung bingung hendak mengantarkan Zaara ke mana. Kemudian dia memutuskan mengajak gadis tersebut ke apartemennya, yang berada satu gedung dengan apartemen khusus milik PG.
Setibanya di tempat tujuan, Hadrian membopong Zaara menuju lobi utama. Dia meminta bantuan petugas lobi buat mengantarkannya ke lantai 19, menggunakan lift. Hadrian menjelaskan siapa Zaara dan sang petugas tidak lagi bertanya apa pun.
Sesampainya di unit pribadi, Hadrian menggendong Zaara ke kamar utama. Namun, belum sempat dia membaringkan gadis tersebut, Zaara tiba-tiba muntah hingga mengotori gaunnya.
"Bisa tolong aku?" tanya Hadrian sembari mendudukkan Zaara di sofa.
"Bantu apa, Pak?" tanya petugas lobi dengan bahasa Melayu.
"Carikan secwan. Maksudku, pegawai perempuan. Baju Zaara harus diganti," terang Hadrian sembari mengambil tisu dari meja untuk membersihkan kotoran di gaun Zaara.
"Baik. Segera saya carikan."
Sang petugas berbalik dan segera keluar. Dia menutup pintu unit, kemudian memasuki lift. Sementara Hadrian masih sibuk membersihkan gaun Zaara yang tengah terisak-isak.
"Ra, aku cariin susu, ya. Mungkin bisa menetralisir alkohol di badanmu," tutur Hadrian sembari mengusap tisu ke wajah gadis yang balas menatapnya dengan mata berkabut.
"Kang, antarkan aku ke toilet," cicit Zaara.
Hadrian hendak bertanya, tetapi diurungkan saat menyadari jika Zaara kemungkinan akan kembali muntah. Pria berkemeja hijau muda bangkit dan menuntun Zaara yang jalan terhuyung-huyung.
Mereka tiba di toilet dan Zaara benar-benar kembali mengeluarkan isi perutnya di lantai. Mengesampingkan rasa jijik, Hadrian menyambar selang shower kecil dan menyiram kotoran dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memijat belakang leher Zaara yang tengah merunduk di kloset.
Seusai mengeluarkan semua isi perut, Zaara kembali menangis. Dia malu pada Hadrian karena tengah berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
"Ra, stop dulu nangisnya," pinta Hadrian. "Lebih baik bajumu segera diganti. Kalau nggak kamu akan muntah lagi," lanjutnya. "Tunggu, aku carikan pakaian ganti," sambungnya sembari keluar, bertepatan dengan bunyi bel pintu depan.
Zaara menatap pantulan wajahnya di cermin, kemudian mengumpati Leroy Cheng, pria yang ternyata telah menjebaknya. Zaara benar-benar kesal pada lelaki yang awalnya dikira gentleman, tetapi kenyataannya Leroy adalah orang yang licik.
Zaara ingin menelepon kedua temannya di hotel untuk mengabarkan posisinya. Dia memindai sekitar sebelum mendengkus kuat kala menyadari sejak tadi dia tidak melihat tas hitamnya.
Setelah pintu unit dibukakan Hadrian, perempuan berseragam pegawai melangkah masuk. Dia menutup pintu, kemudian mengikuti arahan Hadrian dan bergegas mendatangi Zaara.
Sekian menit berlalu, Zaara dan Sophia keluar dari toilet. Mereka meneruskan langkah menuju ruangan depan di mana Hadrian baru selesai menelepon Kirman.
Sophia berpamitan dan Hadrian memberinya tips. Zaara duduk miring di sofa sambil memeluk kedua lututnya. Rasa mual di perut masih terasa, tetapi ditahannya agar tidak kembali muntah.
"Ra, kamu nginap di mana? Kuantarkan," tutur Hadrian sambil duduk di kursi seberang.
"Hotel Meridien," sahut Zaara. "Tapi, kalau aku pulang dalam kondisi begini, teman-temanku akan panik. Mungkin nanti mereka akan laporan ke Ayah, dan aku nggak boleh lagi keluyuran tanpa pengawal," jelasnya.
"Wait. Tanpa pengawal?"
"Hu um."
"Kok, bisa?"
"Aku bujuk Ayah dan Ibu. Kebetulan Mas Ivan lagi nggak ada. Jadi lolos, deh."
"Hmm, ya, Mas Ivan lagi di Bali sama tim." Hadrian mengamati perempuan muda yang wajahnya masih pucat. "Lalu, aku nganterin kamu ke mana?" tanyanya.
"Aku boleh nginap di sini? Besok pagi-pagi aku balik ke hotel."
Hadrian terdiam sejenak. Dia ragu-ragu untuk mengizinkan gadis berpipi tembam untuk menginap. "Atau begini aja. Kamu nginap di unit PG lantai 15," usulnya.
"Aku nggak mau sendirian."
"Ehm, Kirman nanti nemenin kamu."
Zaara spontan menggeleng. "Aku nggak kenal sama dia."
"Kirman itu pengawal sekaligus asistenku. Dijamin aman."
"Tetap nggak mau. Bagiku dia tetap orang asing."
Hadrian tertegun, kemudian dia melengos. Dia tidak menduga bila gadis berparas manis di hadapannya, ternyata sama keras kepalanya dengan Ivan.
Hadrian menyandar dan menempelkan kepalanya ke sandaran kursi. Dia memijat dahi yang tiba-tiba berdenyut, sambil memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba Zaara bangkit dan lari ke dapur mini. Dia kembali muntah di wastafel dan menjadikan Hadrian mengeluh dalam hati, karena harus mengizinkan gadis itu menginap sekaligus merawatnya.
Hadrian bangkit untuk mendatangi Zaara. Dia mengurut belakang leher perempuan berusia 25 tahun tersebut, kemudian merapikan rambut Zaara yang terdorong ke depan.
"Sudah? Kalau belum, keluarin semuanya," cakap Hadrian sembari mengepang rambut Zaara yang lebat. Terbiasa mengurus adiknya sejak kecil menjadikan Hadrian cekatan menjalin rambut hingga rapi.
"Udah," cicit Zaara.
"Mau minum susu atau teh hangat?"
"Teh aja."
"Sebentar kubuatkan."
"Ada yang bisa dimakan? Aku ... lapar."
"Ada roti, atau kalau mau, kubuatkan nasi goreng."
"Apa aja, deh."
Hadrian menuntun Zaara kembali ke kursinya. Kemudian dia berbalik dan bersiap untuk membuatkan minuman buat mereka.
Zaara mengamati lelaki berparas tampan yang memang cukup dekat dengannya. Terutama semenjak Hadrian bersahabat dengan Ivan selama beberapa tahun terakhir.
Bunyi bel pintu mengejutkan Hadrian. Dia segera membukanya setelah memastikan bila orang di balik pintu adalah Kirman. Hadrian menggeleng pelan menyaksikan kondisi ajudannya yang mengalami luka-luka. Pria berbibir tipis membatin bila malam itu dia harus mengurus dua pasien sekaligus, dan keduanya sama-sama kepala batu.
"Apa?" tanya Arrivan Qaiz Latief, Kakak tertua Zaara yang baru saja mendapat kabar jika adiknya tidak kembali ke hotel sejak semalam. "Zaara ngilang, Mas," terang Maia, sahabat sekaligus asisten Zaara. "Kok, bisa?" "Enggak tahu." "Memangnya kalian nggak jalan bareng?" "Awalnya begitu, tapi Zaara akhirnya memisahkan diri dan ikut dengan Leroy Cheng." Arrivan yang biasa dipanggil Ivan mengerutkan alisnya. "Siapa itu Leroy Cheng?" "Dia pengusaha sini. Kami ketemu dia tiga hari lalu. Sejak itu dia sering ngedatangin Zaara." "Bentar, kalian ada di mana sebenarnya?" "Singapura." Ivan berdecih. "Kalian pergi sama siapa?" "Bertiga aja. Aku, Zaara dan Desya." "Ajudan?" Maia beradu pandang dengan Desya yang turut mendengarkan percakapan tersebut melalui pengeras suara di ponselnya. "Enggak ada yang ikut." "Apa?" Suara Ivan naik satu oktaf. Kemudian dia menggebrak meja hingga mengejutkan kedua perempuan di seberang telepon. "Zaara yang mau kayak gitu, Mas. Dia bilang bosan dikunti
Sepasang mata Zaara yang cukup besar kembali membeliak. "Gimana kondisinya?" "Kata Mas Virendra, Ayah masih belum sadar." "Astagfirullah!" Zaara memegangi mulutnya dengan kedua tangan."Kita harus segera pulang," usul Desya. "Tasku, gimana?" tanya Zaara. "Ikhlasin aja. Dompet dan paspormu, kan, aku yang pegang. Kamu kemaren cuma bawa ponsel, kosmetik dan sedikit duit." Zaara masih termangu saat kedua rekannya berjibaku membereskan barang-barang. Dia teringat pesan Hadrian yang memintanya menelepon setelah tiba di hotel.Zaara memindai sekitar, kemudian menyambar ponsel Maia. Dia mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Hadrian, tetapi dia benar-benar lupa. "Mai, punya nomor telepon Kang Ian?" tanya Zaara. "Enggak ada," sahut Maia tanpa menoleh. "Aku lupa nomornya." "Coba kamu tanya ke Mas Daru. Ada nomornya di situ." "Kamu ngapain nyimpan nomor Mas Daru?" "Kita, kan, pernah bisnis bareng. Jadi kusimpan nomornya. Kalau Kang Ian, kita belum pernah kerjasama dengan dia. Paling cum
Wirya memandangi Zaara yang tengah mengoceh sambil terisak-isak. Dia berusaha menahan tawa karena Zaara ternyata termakan omongan Ivan. Sebetulnya Fajrin dan Indriani tidak mendapatkan surat peringatan. Wirya hanya meminta keduanya cuti untuk merenungi perbuatan mereka yang telah meloloskan Zaara pergi tanpa pengawasan. Seharusnya kedua pengawal tersebut tetap kukuh untuk ikut ke Singapura, atau mereka bisa melaporkan hal itu pada Yusuf, pengawas pasukan pengawal Latief, yang akan segera mengambil tindakan darurat. Akan tetapi, karena takut diomeli Zaara, akhirnya Fajrin dan Indriani mengalah untuk tutup mulut tentang keberadaan sang nona, yang akhirnya mengakibatkan kericuhan di keluarga Latief. "Lain kali, jangan bertindak semaunya, Ra. Akibatnya begini, banyak orang jadi terseret," tutur Wirya, setelah Zaara menghentikan penjelasannya. "Ya, Bang. Sekarang aku nyesal. Ayah sakit, Ibu ngambek, Mas Ivan marah-marah. Belum lagi kedua pengawal kena imbasnya. Dan yang paling memaluk
Suasana di ruang tamu tempat perawatan Ahmad Yafiq terlihat ramai. Para bos PG berkumpul dan berbincang dengan suara pelan. Mereka sedang menunggu Hadrian yang tengah dijemput Alvaro dari bandara. Kondisi Ahmad Yafiq yang belum kondusif menyebabkan keluarga Latief cemas. Ivan terpaksa meminta Hadrian langsung datang ke rumah sakit agar bisa didengar kesaksiannya. Ahmad Yafiq tidak memercayai penjelasan Zaara, Maia dan Desya. Pria tua ingin mendengar langsung penuturan dari Hadrian yang dianggap sebagai saksi kunci peristiwa tersebut. Zaara dan kedua sahabatnya duduk berderet di sofa panjang, berdampingan dengan Shurafa. Emilia masih merajuk hingga mengabaikan putri bungsunya yang sejak kemarin sudah merengek memohon ampunan. Perempuan tua berjilbab krem menunggu kedatangan Hadrian dengan tidak sabar. Dia merasa kesal pada sahabat putranya yang dianggap menutupi rahasia Zaara. Walaupun Emilia tidak memercayai ucapan penelepon misterius tentang perilaku putrinya, tetap saja dia ingi
Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi kesehatan Ahmad Yafiq mulai membaik. Beberapa alat bantu telah dilepas dan hanya tersisa dua. Serangan jantung yang dialami pria tua membuatnya mengalami stroke ringan, dan masih kesulitan menggerakkan tangan kiri. Siang itu, Emilia meninggalkan suaminya bersama asisten, karena Shurafa tengah bersiap-siap untuk melahirkan. Virendra mengangkut istrinya ke rumah sakit yang sama dengan sang ayah, agar Emilia tidak perlu berpindah tempat terlalu jauh. Ivan bergegas datang untuk mendampingi ayahnya. Sementara Zaara bertahan di kantor karena harus menyelesaikan rapat dengan klien. Sepanjang acara pertemuan, Zaara kesulitan berkonsentrasi karena dia memikirkan Shurafa dan ayahnya sekaligus. Gadis berambut panjang baru bisa bernapas lega saat rapat usai. Dia menyalami para tamu, kemudian berdiri dan menunggu mereka menjauh. Niat Zaara untuk segera ke rumah sakit terpaksa ditunda, karena ponselnya nyaris tidak berhenti bergetar. Perempuan berbibir penu
Kekhawatiran Ivan ternyata benar-benar terjadi. Beberapa hari kemudian, Paman dan beberapa sepupu Beryl yang menetap di Jakarta, mendatangi Ivan di kantornya. Zaara yang juga diminta hadir, hanya bisa menangis sambil memeluk Maia, ketika Paman Beryl menyampaikan maksud kedatangannya sebagai wakil keluarga, untuk membatalkan rencana pertunangan Zaara dan Beryl yang semestinya berlangsung bulan depan.Tubuh Zaara melemas. Dia menguatkan diri untuk tidak jatuh pingsan. Sementara Ivan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing emosi, meskipun sebenarnya dia ingin mengamuk. "Baik, kami terima pembatalan ini," ujar Ivan. "Tolong sampaikan ke Beryl, untuk tidak menghubungi Zaara kembali. Karena dengan batalnya rencana pertunangan, maka kami berhak menjauhkan Zaara darinya," lanjutnya. "Ya, Nak Ivan. Keluarga kami juga berniat seperti itu. Jangan khawatir, Beryl tidak akan mengganggu Zaara lagi," sahut pria tua berkumis lebat. Sekian menit berlalu, para tamu telah pergi. Ivan berpind
Hadrian membulatkan matanya yang besar hingga terkesan sedang memelototi. Sementara Zaara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, karena malu dengan apa yang baru saja dimintanya dari pria di seberang meja. "Kamu serius, Ra?" tanya Hadrian setelah bisa menguasai diri. "Ya, tapi kalau Akang nggak mau, nggak apa-apa. Aku cari orang lain yang mau," jawab Zaara. "Siapa yang mau kamu tawari?" "Ehm, aku belum tahu. Mas Ivan sempat menyarankan agar aku menemui Mas Daru." Hadrian menyunggingkan senyuman. "Dia pasti mau, karena dia sempat naksir kamu, dulu. Sebelum kamu pacaran dengan Beryl." "Mas Ivan juga bilang gitu. Walaupun aku sebenarnya malu buat ngomong ke Mas Daru." "Ke aku, nggak malu?" Zaara mengamati pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Malu, sih, tapi kupikir aku lebih dekat dengan Akang daripada ke Mas Daru. Jadi kalau Akang nolak pun, aku nggak akan sakit hati." "Selain itu, kupikir kita sudah telanjur difitnah Leroy. Jadi kita bisa bekerjasama untuk membalas dend
"Ra, kita cuma pergi empat hari. Ngapain bawa pakaian sebanyak itu?" tanya Hadrian. "Isinya bukan hanya baju, Kang. Ada tas, sepatu dan lainnya. Aku berusaha memadu-padankan pakaian dan yang lainnya," terang Zaara sembari merapikan rambutnya dengan jemari. "Kalian, ikut juga?" Hadrian mengarahkan pandangan pada kedua pengawal yang berada di belakang Zaara sambil memegangi tas masing-masing. "Ya, Kang," jawab Indriani "Kami nggak mau kecolongan lagi dan nyaris kena SP dari kantor," jelas Fajrin. Hadrian mendengkus pelan. "Berarti kamu yang nyetir." "Siap," balas Fajrin. Hadrian memberikan kunci mobilnya pada pria berkulit kecokelatan. Fajrin keluar sambil menjinjing tanya dan menyeret koper Zaara. Indriani menyusul. Sementara Hadrian menghabiskan minumannya terlebih dahulu, kemudian berdiri dan mengajak Zaara berangkat. Mereka memasuki kursi bagian tengah mobil MPV putih. Fajrin menyalakan mesin kendaraan, lalu dia membunyikan klakson agar penjaga rumah segera membukakan gerb