Jalinan waktu terus bergulir. Sore itu, Zaara baru tiba di tempat parkir area gedung milik klien, ketika beberapa orang menyambanginya. Indriani yang mendampingi Zaara, spontan maju untuk menjadi perisai sang nona. Fajrin yang berada di dekat mobil, menelepon Listu untuk mengabarkan situasi. Kemudian Fajrin jalan secepat mungkin untuk membantu Indriani melindungi Zaara. "Siapa kalian?" tanya Zaara. "Nona, harap ikut kami," tukas pria terdepan yang mengenakan kemeja marun, tanpa menjawab pertanyaan perempuan tersebut. "Jawab dulu, kalian itu siapa?" "Nona tidak perlu tahu. Yang penting, turuti permintaan kami!" "Nada suaramu bukan meminta, tapi maksa!" "Jangan memancing kami untuk bertindak kasar, Nona!" "Coba saja. Aku tidak takut!" Pria bercambang tipis mendengkus. Dia memandangi Fajrin dan Indriani secara bergantian. Kemudian dia maju sambil mengacungkan tinjuan, yang disongsong Fajrin dengan hal serupa. Ketiga teman pria bercambang turut membantu rekannya hingga Fajrin te
Siang itu, Hadrian mendatangi Zaara. Dia sengaja tidak memberitahukan kedatangannya, hingga Zaara benar-benar terkejut melihat Hadrian memasuki ruang kerjanya. Gadis bergaun putih lengan pendek, mengulaskan senyuman menyambut kehadiran pria yang telah mengikatnya dalam pertunangan. Zaara berpindah duduk di sofa tunggal. Dia memerhatikan Hadrian yang sedang membuka beberapa wadah makanan yang diletakkan di meja. "Yuk, makan," ajak Hadrian sambil mendorong satu wadah ke dekat Zaara. "Akang, kok, tahu, kalau aku lagi pengen bakmi?" tanya Zaara sembari mengambil sumpit dan mengaduk-aduk mi-nya. "Aku nelepon Indriani tadi. Terus dia bilang, kamu mau ini. Kusuruh dia mesan di restoran favoritmu. Aku nyampe, tinggal angkut ke sini." "Akang kapan nyampe dari Jambi?" "Sekitar 2 jam lalu." "Dari bandara, langsung ke sini?" "Hu um." Zaara tertegun sesaat, lalu dia berkata, "Aku jadi terharu." "Jangan mewek." Zaara mengerjap-ngerjapkan matanya yang mengabut. "Akang selalu bisa nebak s
Seorang perempuan berjilbab ungu muda, menyambut kedatangan Hadrian dan Zaara dengan senyuman lebar. Ivana Alitza, merupakan sahabat sekaligus mantan kekasih Hadrian beberapa tahun silam. Hubungan Ivana dan Hadrian masih akrab, dan hal itu diizinkan Zayan Huntara Hatim, suami Ivana. Zayan yang merupakan komisaris Hatim Grup, tidak bisa memprotes kedekatan istrinya dan Hadrian yang terjalin sejak mereka masih SMU. Selain itu, Zayan juga merasa utang budi pada Hadrian, yang turut membantu agar dirinya bisa rujuk dengan Ivana. Ivana menyalami Hadrian sambil menepuk-nepuk lengan kiri sahabatnya. Ivana tidak berani memeluk Hadrian karena ada Zaara di sana. Ivana tidak mau membuat Zaara cemburu dan mungkin nantinya akan berselisih dengan Hadrian, akibat Ivana yang terlalu akrab dengan pria berkemeja biru pas badan itu. Suara teriakan dua bocah laki-laki mengiringi kedatangan Zayan dari dalam rumah. Kaivan dan Zio berebutan menyalami Hadrian, yang menciumi pipi mereka secara bergantian.
Pagi menjelang siang. Zaara sudah berada di kantor polisi, untuk memberikan keterangan atas laporan pria bernama Rinto. Zaara yang didampingi kedua ajudannya, Hadrian, Ivan dan Broto, kuasa hukumnya, juga turut melaporkan balik Rinto atas tuduhan berlapis. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit sebelum jam 12. Broto sempat berbincang dengan Ivan dan yang lainnya, kemudian pria tua tersebut memasuki mobil sedan mewahnya, yang segera melaju menjauh. Ivan dan yang lainnya menaiki mobil Hadrian yang dikemudikan Kirman. Sang sopir mengarahakan kendaraan itu menuju pusat kota. Setibanya di tempat tujuan, mereka disambut beberapa bos PG yang telah menunggu sejak tadi. Mereka segera menaiki tangga ke lantai dua, hingga tiba di ruang VIP. Menuruti permintaan Tio, Zaara dan kedua ajudannya bergantian menerangkan apa yang mereka sampaikan pada tim penyidik di kantor polisi tadi. "Om Broto tadi nelepon aku, kemungkinan besar orang itu akan menarik laporannya. Karena bukti-bukti
Sabtu pagi, Zaara mengikuti langkah Hadrian untuk melakukan joging di seputar kompleks. Kirman dan Indriani menyusul di belakang sambil saling mencela. Keduanya bahkan tidak segan-segan beradu tinjuan, sembari tertawa-tawa. Zaara yang sempat menoleh ke belakang, menggeleng pelan menyaksikan tingkah kedua ajudan yang berlaku sama seperti semua pengawal lainnya. Ingatan Zaara melayang pada acara ulang tahun Pramudya Grup yang dihadirinya beberapa bulan silam. Di mana semua pengawal turut berjoget dengan berbagai gaya kocak yang menimbulkan gelakak penonton. Sesampainya di taman utama yang merupakan pusat berkumpulnya orang-orang perumahan tersebut, Zaara terkejut menyaksikan banyaknya lapak pedagang makanan dan berbagai dagangan lainnya. "Belanjanya nanti aja. Kita sarapan dulu," ajak Hadrian sambil menarik tangan Zaara menuju satu lapak di sisi kanan. "Ehm, aku nggak doyan kupat tahu," bisik Zaara seusai membaca menu sang pedagang. "Ada lontong sayur dan lontong kari juga." "Ena
Semenjak hari itu, Zaara tidak berani beradu pandang dengan Hadrian. Gadis berhidung bangir merasa malu, akibat kissing mereka Sabtu siang. Bahkan saat perjalanan pulang ke Jakarta, Zaara berpura-pura tidur agar tidak perlu melihat lelaki bermata besar, yang sedang berbincang dengan Kirman yang menjadi sopir. Akhir pekan yang penuh warna telah berlalu. Hadrian dan Zaara melanjutkan kehidupan mereka dengan beragam kesibukan. Bila tidak bisa berjumpa, Hadrian akan menelepon Zaara setiap malam. Hadrian sengaja melakukan itu untuk menjalin komunikasi yang baik dengan calon istrinya. Sekaligus menyelami hati Zaara yang makin membuatnya terpesona. Kamis siang, Hadrian tiba-tiba muncul di ruang kerja Zaara. Dia mengajak sang gadis untuk menemui Mutiara, yang tengah menunggu di kantor EO. Syaiful yang menggantikan posisi Kirman yang sedang libur, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebab mereka harus mengejar waktu agar tidak terlambat. Tidak sampai 30 menit, pasangan tersebut
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terlewati dengan cepat dan bulan pun berganti tanpa sanggup dicegah siapa pun. Zaara makin deg-degan, karena acara pernikahan hanya tinggal menghitung hari. Dia makin gelisah, karena Hadrian kian gencar mendekati, bahkan pria tersebut tidak segan untuk merayunya dengan berbagai cara. Seperti malam itu, Hadrian datang sambil membawa dua tas belanja sarat barang. Dia memanggil Fiona, dan memberikan satu tas penuh jajanan pada gadis kecil berambut ikal, yang menerimanya sambil berseru kegirangan. Satu tas lagi diberikan Hadrian pada Shurafa. Pria berkulit putih mengulaskan senyuman kala calon Kakak iparnya terlihat gembira, mendapatkan kue yang diinginkannya."Kamu, kok, tahu, aku pengen cake matcha?" tanya Shurafa sembari memotong-motong kue dan memindahkannya ke piring kecil yang diantarkan asisten rumah tangga. "Aku lihat SW Mas Rendra. Kebetulan lagi dekat toko kue Falea. Langsung mampir dan beli," jelas Hadrian. "Makasih banget, Ian. Aku mem
Hari berganti. Siang itu, Zaara kembali mendatangi kantor polisi, untuk mengetahui perkembangan kasusnya melawan Rinto. Zaara nyaris bersorak ketika kepala divisi penyidik menerangkan jika Rinto telah mencabut laporannya tadi pagi. Selain itu, pria berperut agak buncit juga menjelaskan bila pihak Rinto meminta Zaara untuk menarik laporan. Akan tetapi, Zaara bersikeras melanjutkan kasusnya. Dia didukung penuh keluarga dan kerabat, untuk meneruskan tuntutan. Firhan, asisten Broto yang menemani Nona muda Latief, berusaha menahan tawanya yang nyaris menyembur, karena menyaksikan ekspresi serius Zaara saat menuturkan keinginannya. Penyidik polisi berusaha membujuk Zaara, tetapi gadis berbaju ungu muda bersikukuh meneruskan keinginannya, untuk memberikan efek jera pada orang-orang semacam Rinto. Puluhan menit berlalu, Zaara sudah berada di mobilnya yang dikemudikan Fajrin. Gadis bermata besar tengah menelepon Ivan untuk menjelaskan kejadian tadi, ketika ponsel keduanya berdering. Zaara
60Jalinan masa terus bergulir. Kehidupan rumah tangga Hadrian dan Zaara kian harmonis. Setiap minggu pertama dan kedua, mereka akan menetap di Bandung.Bila Hadrian bekerja di restorannya ataupun melakukan rapat dengan teman-teman PG dan PC yang bermukim di Kota Bandung, maka Zaara juga menyibukkan diri dengan belajar memasak pada Ana.Seperti pagi itu, seusai sarapan, Zaara berpamitan pada asisten rumah tangga. Dia mengajak Indriani untuk bergegas ke kediaman sang mertua.Setibanya di tempat tujuan, ternyata di sana sedang ramai ibu-ibu sekitar yang dikaryakan Ana, bila kebetulan tengah mendapatkan orderan katering besar."Bu, siapa yang mesan katering?" tanya Zaara, seusai menyalami mertuanya dengan takzim."Mamanya Reinar. Nanti sore, ada pengajian di rumahnya," jelas Ana sembari melanjutkan memotong bolu ketan hitam.Zaara tertegun sesaat, kemudian dia menggeleng pelan. "Aku lupa acara itu. Padahal Karen sudah ngundang di grup.""Kita berangkat sama-sama. Ibu sekalian mau ketemu m
59Mobil-mobil lainnya muncul dari belakang. Wirya meneriaki Kirman agar menambah kecepatan mobil. Hal serupa juga dilakukan keempat sopir lainnya. Gibson dan Cedric yang berada di mobil paling belakang, menarik senapan laras panjang dari bawah. Mereka mengintip dari pintu kanan dan kiri, yang kacanya telah terbuka sepenuhnya. Rentetan tembakan diarahkan Gibson dan Cedric ke deretan mobil-mobil di belakang. Fabian yang menjadi sopir, melakukan manuver zig-zag yang sering dilstihnya bersama teman-teman pengawal lainnya. Banim yang berada di samping kiri sopir, mendengarkan penjelasan Wirya melalui sambungan telepon jarak jauh. Banim manggut-manggut, sebelum memutuskan panggilan. "Bang, dirut minta kita maju," tukas Banim. "Ke mana?" tanya Fabian. "Paling depan. Bang Kirman mundur, karena Pak Tio mau jadi koboi." Fabian mengulum senyuman. Sebagai salah satu pengawal lama, dia mengetahui jika Tio sangat ingin bisa mempraktikkan ilmu menembaknya secara maksimal. Fabian menambah ke
58Pagi menjelang siang, kelompok pimpinan Kirman tiba di rumah sakit swasta terkenal di Singapura. Syuja, Gibson dan Dimas tetap berada di mobil. Sementara Loko, Michael dan Cedric menunggu di lobi, bersama lima anak buah Jeremy Cheng. Di ruang perawatan VVIP, Hadrian berbincang dengan Stefan dan Gerald Cheng. Sebab Leroy masih kesulitan untuk berbicara panjang, dia meminta kedua saudaranya untuk menyampaikan maksudnya pada sang tamu. Hadrian membaca surat permohonan izin yang telah dibuat tim kuasa hukum keluarga Cheng. Hadrian mendiskusikan hal itu dengan Tio, Dante dan Baskara, sebelum menandatangi surat itu. "Terima kasih atas bantuannya," tutur Stefan, sesaat setelah Hadrian memberikan lembaran asli surat itu padanya. Sementara salinannya dititipkan pada Tio. "Kembali kasih," jawab Hadrian. Dia memandangi pria bermata sipit yang sedang duduk menyandar di ranjang. "Cepat pulih, Leroy. Tuntaskan hukumanmu. Baru lanjutkan bisnis dengan cara yang lebih baik," ungkapnya. Leroy m
57*Grup Pasukan Penjaga Wirya*Zulfi : Astagfirullah. Grup naon deui, iyeuh?Haryono : Aku ada di mana?Yoga : Kaget aku. Logonya foto Wirya.Andri : Kayak masih muda di foto itu.Yanuar : Memang masih culun dia. Baru lulus diklat satpam.Alvaro : @Kang Ian, nemu di mana itu foto?Hadrian : Aku nyomot dari IG-nya Wirya, @Varo.Wirya : Loh, kok, ada fotoku di situ?Hadrian : Sesuai nama grup, @Wirya.Tio : Aku sampai bolak-balik ngecek. Kirain salah grup.Dante : Aku ngakak baca nama grupnya.Baskara : Tapi, memang benar, sih. Wirya harus punya pasukan bodyguard khusus.Linggha : Saya sampai bingung. Tiba-tiba ada di grup ini.Bryan : Orang Indonesia. Bisa nggak, grup chatnya off dulu? Di sini sudah jam 1 malam.Hadrian : Belum tidur, @Mas Bryan?Bryan : Aku baru nyampe rumah. Capek banget.Benigno : Habis dari mana, @Mas Bryan?Bryan : Chairns. Bareng Jourell.Alvaro : Jourell dan Mas Keven invited juga ke sini. Mereka bodyguardnya Wirya kalau lagi dinas di Australia sama New Zealan
56Alunan musik instrumental terdengar di dalam kamar bernuansa putih dan abu-abu. Dari keremangan cahaya lampu sudut, terlihat sepasang insan yang sedang dimabuk kepayang. Lenguhan terdengar bergantian dari mulut mereka, mengiringi gerakan konstan yang dilakukan bersama. Tanpa memedulikan keringat yang keluar dari pori-pori kulit, keduanya melanjutkan percintaan dengan semangat. Berbagai gaya mereka lakukan untuk mendapatkan sensasi berbeda. Sekali-sekali bibir mereka menyatu dan saling mengisap. Pagutan kian dalam saat sudah hampir tiba di ujung pendakian. Pekikan perempuan berambut panjang menjadikan lelakinya menambah kecepatan. Kemudian mereka saling mendekap dan mengeluarkan seluruh cinta, sembari menjerit tertahan. Selama beberapa saat keduanya masih berada dalam posisi yang sama. Kala Hadrian menarik diri, Zaara mengusap dahi suaminya yang berpeluh tanpa rasa jijik sedikit pun. Hadrian menunduk untuk mengecup bibir sang istri. Namun, Zaara justru menarik leher lelakinya
55Langit biru Kota Jakarta, siang itu terlihat cerah. Udara kian menghangat seiring dengan bertambahnya waktu. Menjadikan banyak orang memutuskan untuk tetap berada di dalam ruangan, daripada beraktivitas di luar. Hadrian masih terdiam di kursinya. Tatapan lurus diarahkan lelaki berkemeja biru muda, pada pigura besar di dinding yang menampilkan foto pernikahannya dengan Zaara. Pria berhidung bangir baru saja usai dihubungi Margus melalui sambungan telepon jarak jauh. Sang pengacara menerangkan keinginan keluarga Cheng, agar Hadrian dan Zaara bersedia datang mengunjungi Leroy. Kondisi musuhnya itu menimbulkan keprihatinan Hadrian. Namun dia masih meragukan niat baik Leroy untuk berdamai. Bisa saja itu hanya akal-akalan pihak lawan, demi memuluskan jalan Leroy berangkat ke Amerika untuk berobat. Hadrian akhirnya menelepon sahabatnya dan menerangkan semua cerita Margus. Hadrian meminta pendapat pria tersebut, yang langsung mengajaknya bertemu. Puluhan menit terlewati, Hadrian yang
54Jalinan waktu terus bergulir. Liburan telah usai. Awal malam itu rombongan Hadrian sudah berada di pesawat yang akan membawa mereka pulang ke Jakarta. Jourell, Harry, Hideyoshi dan Raid beserta pasangan, tetap bertahan di Maldives, karena masih ingin berlibur. Mereka baru akan pulang tiga hari mendatang bersama ajudan masing-masing. Sepanjang perjalanan, Zaara terlelap. Sementara Hadrian sibuk berbincang dengan Endaru yang berada di samping kirinya. Sekali-sekali Hadrian akan berdiri dan jalan ke kelas eksekutif untuk mengecek kondisi Ana, Emilia dan Ahmad Yafiq. Sementara Ivan, sibuk membantu mengasuh Ardibani yang mulai bosan harus duduk lama. Sedangkan Shurafa, Fiona dan Virendra sudah terlelap."Sini, Dek. Sama Om," ajak Hadrian sembari mengambil alih sang bayi dari gendongan Ivan. "Mas istirahat aja. Ardi mau kubawa ke belakang," lanjutnya sembari mengayun bayi berjaket jin biru. "Aku tidur dulu bentar, Ian. Nanti kalau kamu mau istirahat, Ardi kasih ke mbaknya," cakap Iva
53Matahari bergerak cepat. Sinarnya yang menyengat tepat di atas kepala, menjadikan semua orang memutuskan untuk menghentikan pertandingan, yang akan dilanjutkan sore nanti. Kendatipun badan berkeringat dan kelelahan, tetapi semua orang tampak senang telah menghabiskan waktu bersama. Mereka berduyun-duyun mendatangi restoran, lalu menempati beberapa meja besar sesuai dengan kelompok masing-masing. "Gaes, perang di San Sebastian sudah selesai," ujar Heru, sesaat setelah membaca pesan dari Tio. "Tim kita, ada yang terluka parah, Mas?" tanya Endaru. "Banyak. Bahkan Carlos dan beberapa ajudan keluarga Baltissen terpaksa menginap di rumah sakit," jelas Heru. "Pengawal PBK, gimana?" desak Adelard. "Enggak ada yang luka berat. Tapi banyak yang menderita luka yang harus dijahit," beber Prabu yang sedang berbalas pesan dengan Alvaro. "Wirya nyaris bunuh orang lagi," sela Heru. "Untungnya sempat dicegah Koko Dante, Mas Tio dan Mas Ben," tambah Prabu yang menyebabkan semua orang di meja
52Malam itu, semua pengawal keluarga Latief dan Kirman, pindah ke vila dekat pantai. Sementara Ana, Hilda dan Raid tinggal di vila besar. Ahmad Yafiq yang meminta hal itu, supaya bisa lebih akrab dengan keluarga Hadrian. Pria tua tersebut memerhatikan interaksi Emilia dan Ana, yang langsung sibuk membicarakan tentang resep-resep favorit keluarga. Tatapan Ahmad Yafiq beralih pada kelompok lelaki muda. Dia turut mendengarkan percakapan antara Ivan, Virendra, Hadrian, Endaru, Raid dan yang lainnya. Pria tua berbaju biru merasa kagum dengan cara berpikir kelompok muda, yang jauh lebih maju dibandingkan dirinya. Lamunan Ahmad Yafiq terputus kala ponselnya berdering. Dia meraih benda itu dari meja, lalu segera menjawab panggilan dari sahabatnya. "Mereka lagi ngumpul di sini, Sul," cakap Ahmad Yafiq. "Tolong speakernya dinyalakan, Mas. Saya mau ngomong langsung dengan mereka," pinta Sultan Pramudya. "Sebentar." Ahmad Yafiq menekan tombol speaker, lalu meletakkan ponsel ke meja. "Silak