Malam itu, dapur dipenuhi dengan aroma masakan yang menggoda. Varisha sibuk mempersiapkan hidangan spesial untuk Arshaka. Setiap gerakan tangannya dipenuhi kelembutan dan keahlian, menciptakan suasana yang begitu intim. Hidangan yang lezat pun segera tersaji di atas meja, menciptakan panggung untuk pertemuan khusus ini.Arshaka memandang Varisha dengan penuh kekaguman saat wanita itu menyajikan hidangan di atas meja makan. Wanita yang beberapa bulan lalu masih menjadi istrinya, kini hadir di hadapannya dengan senyuman lembut dan tatanan rambut yang begitu memesona. Arshaka merasa bangga bahwa dia akan memiliki kesempatan untuk memulai kembali hubungan ini.Setelah selesai makan, Varisha berdiri untuk membersihkan dapur dan mencuci piring. Arshaka mendekatinya dengan langkah tenang, merangkulnya dari belakang. “Saya sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Varisha. Sebentar lagi, kamu akan menjadi istri saya kembali," ucap Arshaka dengan suara lembut.Varisha segera melepaskan diri da
Dengan langkah yang anggun, Varisha melangkah menuju altar dalam balutan gaun putih yang begitu sederhana namun memancarkan keanggunan. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan pas, mengalir ke bawah dan menyapu lantai gereja. Sebuah senyuman tersemat di wajahnya, meskipun terasa sedikit tegang. Di sampingnya, Cakra membimbingnya dengan penuh kebanggaan. Cakra tampak gagah dengan setelan jas hitamnya. Ia memandang putrinya dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. Beberapa anggota keluarga yang hadir juga tersenyum bahagia, menyaksikan momen sakral pernikahan Varisha.Sampai di depan altar, Varisha memandang mata calon suaminya dengan senyuman hangat. Raut wajah pria itu penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Pendeta, yang berdiri di depan altar, memandang mereka dengan penuh kehangatan. Varisha melepaskan tangan ayahnya setelah sampai di depan pendeta, dan tatapannya beralih ke arah calon suaminya. Pria itu berdiri di samping pendeta dengan wajah yang penuh cinta dan matanya yang berkaca-kaca
Delapan tahun berlalu, mengukir cerita kebahagiaan dalam hidup Varisha dan Sebastian. Kini, dalam pelukan pernikahan yang kokoh, mereka menikmati kebahagiaan bersama dua anak mereka, Marissa dan Stefan Richter. Rumah mereka menjadi saksi bisu dari tawa riang dan kehangatan keluarga yang dibangun bersama.Marissa, dengan mata yang mewarisi kecantikan Varisha, cerdas dan penuh semangat. Sedangkan Stefan begitu tampan dan menggemaskan, menjadi sumber keceriaan di setiap sudut rumah. Kini, dalam kebahagiaan itu, Varisha dikaruniai anugerah yang ditunggu-tunggu: kehadiran anak ketiga.Namun, bahagia yang menyelimuti kehidupan keluarga Richter ini tak lepas dari sentuhan masa lalu yang terkadang menyisakan bayang-bayang suram. Kabar sakit yang menimpa Cakra menjadi belenggu yang merangkul hati Varisha dengan kencang. Pucat dan rapuh, Cakra berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya di usianya yang hampir tujuh puluh tahun.Varisha duduk di samping ranjang ayahnya, menggenggam tangan Cak
Varisha memasuki hotel dengan langkah ragu. Setiap lorong, setiap sudut, menyimpan kenangan manis dan pahit. Kembali ke tempat yang penuh cerita dengan Arshaka memang membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan.Langkah Varisha terhenti di depan pintu kamar yang dulu mereka tempati. Sesak napasnya sejenak. Ia menelan ludah, mencoba mengatasi kecemasan dalam dirinya. Dengan keberanian yang baru ditemukannya, Varisha mengetuk pintu.Suara langkah kaki di dalam terdengar mendekat, dan detik berikutnya pintu terbuka. Namun, apa yang ditemui Varisha melebihi segala ekspektasinya. Seorang wanita berambut pirang, mengenakan gaun tidur transparan, berdiri di ambang pintu. Tatapannya seolah mengukir pertanyaan di wajah Varisha.Varisha hampir saja berbalik, menyerah pada rasa malu dan kecewa yang menyergapnya. Namun, wanita itu menghentikannya."Come in," kata wanita berambut pirang itu dalam bahasa Inggris yang fasih, mempersilakan Varisha masuk.Dengan hati-hati, Varisha melangkah masuk,
Arshaka menoleh lalu mengangkat kedua alisnya. “Adakah sesuatu yang masih harus kita bicarakan?” “Saya tahu kamu membenci saya, Mas. Tapi, ada hal yang harus saya bicarakan,” kata Varisha dengan lebih tegas. Arshaka memandang Varisha tanpa ekspresi lalu pria itu tampak berbicara dengan wanita di sebelahnya agar meninggalkan mereka. Wanita itu mengangguk tanpa ekspresi yang berarti, ia mencium bibir Arshaka sekilas sebelum pergi melewati Varisha dengan sinis.“Masuklah! Waktumu tidak banyak!” Arshaka membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Varisha masuk lebih dulu.Varisha melangkah dengan penuh keragu-raguan. Untuk pertama kali akhirnya ia mampu menatap mata Arshaka cukup lama. Pria itu tampak semakin tampan dan matang di usianya yang sudah empat puluh tahunan. Arshaka melangkah menuju mini bar lalu mengambil sebotol wine dan menuangkannya di dalam gelas. Ia sempat mengangkat gelas itu sambil memandang ke arah Varisha.“Saya tidak minum, Mas,” jawab Varisha, dengan refleks mengus
Varisha kembali ke kamarnya setelah menenangkan diri. Ia melangkah dengan perlahan agar tidak mengganggu Sebastian. Namun, saat baru saja membuka cardigannya, Varisha merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya.“Kamu pergi ke mana?” tanya Sebastian dengan suara serak.“Maaf, Tian. Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku berjalan-jalan sebentar,” sahut Varisha dengan suara setenang mungkin.“Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Aku bisa menemani kamu.”“Aku tidak mau mengganggu kamu, Tian. Kamu tidur seperti bayi,” balas Varisha sambil mengusap tangan Sebastian di atas perutnya.Sebastian membalik tubuh Varisha. Ia tersentak ketika melihat sisa air mata di wajah istrinya. “Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi, Sayang?” tanya Sebastian dengan cemas.Varisha panik, ia belum sempat menyegarkan wajahnya. Jantungnya berdetak kencang saat melihat tatapan cemas di mata suaminya. Varisha benci ketika dirinya harus membohongi pria sebaik Sebastian. Namun, tidak ada cara lain yang dapat ia lakukan.
Beberapa hari kemudian, ketika melihat kondisi Cakra yang semakin menurun Varisha merasakan berbagai perasaan yang menerjangnya. Sakit sekali rasanya melihat ayahnya tampak tak berdaya, namun yang lebih menyakitkan adalah saat dirinya tidak bisa memenuhi keinginan Cakra untuk bertemu dengan Arshaka. Varisha merasa telah gagal menjadi seorang anak di saat-saat terakhir Cakra.Sejak tadi, Anindya terus berdoa di samping Cakra sambil terus memegang tangannya. Sementara Sebastian terus mendampingi Varisha. Arini dan Arseno pun berada di sana menemani Anindya.Varisha mengusap air matanya. “Aku mau istirahat, Tian,” bisik Varisha.“Aku antar ke apartemen, ya?” kata Sebastian dengan penuh perhatian.Varisha hanya mengangguk lalu mereka pamit. Sepanjang jalan Varisha hanya merenung memikirkan Cakra. Sebastian terus menguatkan Varisha dengan mendekap tubuh istrinya. Sesampainya di apartemen, Varisha segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Sebastian.Vari
Varisha membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu lemah dan hatinya terasa sakit. Ia menoleh ke arah suaminya yang berada di sampingnya sambil terus menggenggam tangannya.“Akhirnya kamu sudah sadar, Sayang.” Sebastian mencium kening istrinya dengan lembut. “Maafkan aku, Tian,” bisik Varisha dengan lemah. Ada rasa sakit di matanya ketika melihat Sebastian yang menatapnya dengan penuh cinta dan kekhawatiran.“Maaf aku tidak bisa menjaga bayi kita,” lanjut Varisha dengan lirih dan air mata yang tak hentinya mengalir. Varisha masih mengingat apa yang terjadi. Ketika darah mengalir di bawah kakinya tepat saat dirinya baru saja sampai di kamar apartemennya setelah menemui Arshaka. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana rasa sakit yang menghujam perutnya. Rintihan kesakitan dan air mata mengalir bersamaan, sampai samar-samar ia merasakan tangan Sebastian yang menopang tubuhnya. “Sst… jangan katakan apa pun lagi.” Sebastian meraih tubuh Varisha dengan lembut dan mendekapnya.