Beberapa hari kemudian, ketika melihat kondisi Cakra yang semakin menurun Varisha merasakan berbagai perasaan yang menerjangnya. Sakit sekali rasanya melihat ayahnya tampak tak berdaya, namun yang lebih menyakitkan adalah saat dirinya tidak bisa memenuhi keinginan Cakra untuk bertemu dengan Arshaka. Varisha merasa telah gagal menjadi seorang anak di saat-saat terakhir Cakra.Sejak tadi, Anindya terus berdoa di samping Cakra sambil terus memegang tangannya. Sementara Sebastian terus mendampingi Varisha. Arini dan Arseno pun berada di sana menemani Anindya.Varisha mengusap air matanya. “Aku mau istirahat, Tian,” bisik Varisha.“Aku antar ke apartemen, ya?” kata Sebastian dengan penuh perhatian.Varisha hanya mengangguk lalu mereka pamit. Sepanjang jalan Varisha hanya merenung memikirkan Cakra. Sebastian terus menguatkan Varisha dengan mendekap tubuh istrinya. Sesampainya di apartemen, Varisha segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Sebastian.Vari
Varisha membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu lemah dan hatinya terasa sakit. Ia menoleh ke arah suaminya yang berada di sampingnya sambil terus menggenggam tangannya.“Akhirnya kamu sudah sadar, Sayang.” Sebastian mencium kening istrinya dengan lembut. “Maafkan aku, Tian,” bisik Varisha dengan lemah. Ada rasa sakit di matanya ketika melihat Sebastian yang menatapnya dengan penuh cinta dan kekhawatiran.“Maaf aku tidak bisa menjaga bayi kita,” lanjut Varisha dengan lirih dan air mata yang tak hentinya mengalir. Varisha masih mengingat apa yang terjadi. Ketika darah mengalir di bawah kakinya tepat saat dirinya baru saja sampai di kamar apartemennya setelah menemui Arshaka. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana rasa sakit yang menghujam perutnya. Rintihan kesakitan dan air mata mengalir bersamaan, sampai samar-samar ia merasakan tangan Sebastian yang menopang tubuhnya. “Sst… jangan katakan apa pun lagi.” Sebastian meraih tubuh Varisha dengan lembut dan mendekapnya.
Cakra hanya termenung di ranjang. Sejak Arshaka pergi dari kamar perawatannya. Cakra terus diam dan tidak mau diajak bicara, bahkan kepada dokter dan perawat yang memeriksa kondisinya. Anindya merasa sedih melihat keadaan suaminya. Tatapan mata Cakra begitu kosong dan hampa seolah sesuatu telah merenggut cahaya dan sinar matanya. “Apa yang sudah Arshaka katakan, Mas. Kenapa kamu jadi seperti ini?” tuntut Anindya dengan kesal saat suaminya itu hanya diam saja.“Saya akan menemuinya. Anak itu sudah keterlaluan, saya akan menyeretnya dan menyuruhnya meminta maaf,” lanjut Anindya dengan geram. Arshaka sudah sangat keterlaluan, pikir Anindya. Cakra hanya menggeleng sambil meletakkan tangannya di atas punggung tangan istrinya.Anindya menjadi semakin frustrasi, entah apa yang sudah Arshaka katakan pada Cakra. Kali ini, Anindya tidak akan memaafkannya dengan begitu mudah. “Kalau begitu katakan, Mas. Apa yang sudah Arshaka lakukan?”Cakra tidak meresponnya, membuat Anindya semakin putus a
Kondisi Cakra semakin menurun beberapa hari kemudian. Semua orang sudah berkumpul di dalam kamarnya. “Maafkan Papa ya, Rin. Maaf kalau selama ini Papa belum bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu,” kata Cakra sambil mengusap kepala Arini.“Arini juga minta maaf, Pa. Maafkan semua kesalahan Rini,” bala Arini dengan air mata berlinang. “Tolong jaga putri Papa ya, No.” Cakra menyatukan tangan Arini dan juga Arseno yang kini menganggukan kepalanya seolah mengatakan jika Cakra tidak perlu khawatir.Setelah berbicara dengan Arini dan Arseno. Cakra menatap ke arah Varisha dan Sebastian. “Terima kasih, Pa. Terima kasih sudah hadir dalam hidup Varisha dan memberikan kasih sayang yang tidak pernah Varisha bayangkan. Varisha sayang Papa,” ucap Varisha sebelum Cakra sempat berbicara. Ia mendekat beberapa langkah lalu mencium kening ayahnya. Cakra tersenyum sambil mengusap sisa-sisa air mata di wajah putrinya. “Jangan menangis lagi, Varisha. Nikmatilah hidupmu. Mulai sekarang, apa pun pilihan
Arshaka memasuki ruang kerja ayahnya dengan langkah-langkah berat. Udara yang terasa pengap dan harum kertas bergelayutan di sekitarnya, menyapa Arshaka dengan kenangan lama yang sudah hampir terlupakan. Delapan tahun tak melangkah ke sini, namun ruangan ini seolah membawa kembali alur masa lalu.Ruangan itu masih seperti yang ia kenal, meski terlihat sedikit berbeda. Lukisan-lukisan megah yang menghiasi dinding memberikan aura kesan klasik pada ruangan tersebut. Arshaka melihat lukisan favorit ayahnya, sebuah karya seni yang selalu mencuri perhatiannya. Di antara gambar-gambar itu, ada tambahan beberapa karya lain yang tak terlalu diperhatikan oleh Arshaka.Lalu, pandangannya beralih ke meja kayu yang sudah menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka dalam beberapa tahun terakhir. Di antara tumpukan kertas, pena, dan alat tulis, terdapat bingkai foto yang membawa Arshaka kembali ke masa kecilnya. Di situ, senyumnya bersanding dengan senyum bahagia sang ayah. Saat itu, dunia terasa be
Dua tahun kemudian, segalanya berubah total. Kata-kata Arshaka yang seperti kutukan itu seolah berhasil meluluhlantahkan kehidupan Varisha yang bahagia. Varisha kembali merasakan duka mendalam karena Sebastian telah meninggalkannya untuk selamanya dalam kecelakaan pesawat yang menimpanya. Varisha merasa sangat terpukul. Masih terbayang jerit tangis dan sesak di dadanya ketika mendengar kabar mengejutkan itu. Varisha tidak bisa merasakan apa pun kecuali rasa sakit yang teramat dalam. Mereka baru saja merayakan anniversary yang ke sepuluh. Namun, takdir seolah kembali merenggut semuanya. Seolah Varisha masih bertahan hanya demi anak-anaknya yang masih membutuhkannya. Varisha harus berjuang seorang diri setelah kepergian suaminya. Ia mengambil alih perusahaan Sebastian dan terus menyibukkan waktunya. Hubungannya dengan anak-anaknya menjadi sedikit terganggu karena kesibukan Varisha yang tidak ada habisnya. Bahkan, ia hampir tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. “Rissa mau pergi
Varisha membelai kepala putrinya dengan lembut. Perhatiannya tercurahkan ke wajah damai Marissa yang sedang tertidur pulas. Napasnya yang teratur membuat Varisha bersyukur karena beberapa waktu lalu hampir saja napas itu berhenti berdetak.Air mata Varisha kembali mengalir, ketakutan dan kegelisahan menyelimuti hatinya ketika mengingat pertemuannya dengan Arshaka tadi. Pria itu masih tidak banyak berubah dalam dua tahun, masih tampan, tubuhnya tegap, dan pandangannya selalu dingin dan tajam. Namun, kali ini, Arshaka bersikap seolah tidak mengenalnya. Mungkin memang itulah jalan yang terbaik. Tapi entah mengapa Varisha merasakan rasa sakit di hatinya melihat keasingan yang ditunjukkan oleh pria itu.Pria itu kembali menghilang saat Varisha mencarinya untuk berterima kasih. Arshaka seolah kembali menghilang ditelan bumi. Begitu pun ketika Varisha mencari pria itu keesokan harinya di hotel yang masih menjadi tempat bersejarah bagi keduanya, Arshaka tidak ada di sana. Varisha menyerah da
Varisha tidak mau menyia-nyiakan waktunya yang tidak banyak. Setelah turun dari pesawat, ia segera memesan taksi yang mengantarnya ke alamat yang sudah ia tunjukkan pada sang supir. Butuh waktu satu jam, hingga akhirnya Varisha sampai di sebuah apartemen mewah di kota tersebut. Kemegahan apartemen itu segera mencuri perhatian Varisha begitu ia tiba. Penjagaan yang ketat menambah aura eksklusif di sekitarnya. Setelah beberapa menit, Varisha diberi izin untuk masuk. Tanpa banyak menunggu, ia naik ke lantai apartemen tempat Arshaka berada. Ia melangkah keluar dengan harap-harap cemas. Semoga harapannya untuk bertemu dengan pria itu bisa terjadi tanpa banyak drama lagi.Merasa tegang, Varisha menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu dengan tegas. Detak jantungnya berdegup kencang ketika pintu terbuka, mengungkap seorang wanita berambut pirang dengan postur tubuh yang memikat, melengkung indah dengan pesona yang tak terbantahkan. Wanita tersebut jauh lebih tinggi dari Va