Restoran eksklusif itu menyala dengan kehangatan lampu-lampunya yang redup, menciptakan suasana romantis di antara dinding yang dihiasi dengan seni-seni bergaya klasik. Varisha tiba dengan gaun malam yang mempesona, memancarkan pesona yang menyulut mata siapa pun yang melihatnya. Namun, seiring langkahnya mendekati meja yang sudah dipesannya, pandangannya terfokus pada pria yang duduk di sana, menunggu dengan senyuman lembut di wajahnya."Sudah lama kita tidak bertemu seperti ini," ucap Arshaka dengan lembut, menarik kursi untuk Varisha.Varisha tersenyum, merasa kehadiran Arshaka masih mampu membuat detak jantungnya berdebar. Mereka duduk berhadapan, memulai makan malam mereka tanpa kata-kata. Suasana romantis restoran itu seolah memberikan mereka ruang untuk menggali perasaan yang terpendam.Setelah hidangan penutup tiba dan pelayan meninggalkan meja mereka, Varisha menatap Arshaka dengan tatapan intens. Diperhatikannya wajah pria itu yang semakin tampan dan matang. Sejak pertemuan
Malam itu, dapur dipenuhi dengan aroma masakan yang menggoda. Varisha sibuk mempersiapkan hidangan spesial untuk Arshaka. Setiap gerakan tangannya dipenuhi kelembutan dan keahlian, menciptakan suasana yang begitu intim. Hidangan yang lezat pun segera tersaji di atas meja, menciptakan panggung untuk pertemuan khusus ini.Arshaka memandang Varisha dengan penuh kekaguman saat wanita itu menyajikan hidangan di atas meja makan. Wanita yang beberapa bulan lalu masih menjadi istrinya, kini hadir di hadapannya dengan senyuman lembut dan tatanan rambut yang begitu memesona. Arshaka merasa bangga bahwa dia akan memiliki kesempatan untuk memulai kembali hubungan ini.Setelah selesai makan, Varisha berdiri untuk membersihkan dapur dan mencuci piring. Arshaka mendekatinya dengan langkah tenang, merangkulnya dari belakang. “Saya sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Varisha. Sebentar lagi, kamu akan menjadi istri saya kembali," ucap Arshaka dengan suara lembut.Varisha segera melepaskan diri da
Dengan langkah yang anggun, Varisha melangkah menuju altar dalam balutan gaun putih yang begitu sederhana namun memancarkan keanggunan. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan pas, mengalir ke bawah dan menyapu lantai gereja. Sebuah senyuman tersemat di wajahnya, meskipun terasa sedikit tegang. Di sampingnya, Cakra membimbingnya dengan penuh kebanggaan. Cakra tampak gagah dengan setelan jas hitamnya. Ia memandang putrinya dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. Beberapa anggota keluarga yang hadir juga tersenyum bahagia, menyaksikan momen sakral pernikahan Varisha.Sampai di depan altar, Varisha memandang mata calon suaminya dengan senyuman hangat. Raut wajah pria itu penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Pendeta, yang berdiri di depan altar, memandang mereka dengan penuh kehangatan. Varisha melepaskan tangan ayahnya setelah sampai di depan pendeta, dan tatapannya beralih ke arah calon suaminya. Pria itu berdiri di samping pendeta dengan wajah yang penuh cinta dan matanya yang berkaca-kaca
Delapan tahun berlalu, mengukir cerita kebahagiaan dalam hidup Varisha dan Sebastian. Kini, dalam pelukan pernikahan yang kokoh, mereka menikmati kebahagiaan bersama dua anak mereka, Marissa dan Stefan Richter. Rumah mereka menjadi saksi bisu dari tawa riang dan kehangatan keluarga yang dibangun bersama.Marissa, dengan mata yang mewarisi kecantikan Varisha, cerdas dan penuh semangat. Sedangkan Stefan begitu tampan dan menggemaskan, menjadi sumber keceriaan di setiap sudut rumah. Kini, dalam kebahagiaan itu, Varisha dikaruniai anugerah yang ditunggu-tunggu: kehadiran anak ketiga.Namun, bahagia yang menyelimuti kehidupan keluarga Richter ini tak lepas dari sentuhan masa lalu yang terkadang menyisakan bayang-bayang suram. Kabar sakit yang menimpa Cakra menjadi belenggu yang merangkul hati Varisha dengan kencang. Pucat dan rapuh, Cakra berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya di usianya yang hampir tujuh puluh tahun.Varisha duduk di samping ranjang ayahnya, menggenggam tangan Cak
Varisha memasuki hotel dengan langkah ragu. Setiap lorong, setiap sudut, menyimpan kenangan manis dan pahit. Kembali ke tempat yang penuh cerita dengan Arshaka memang membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan.Langkah Varisha terhenti di depan pintu kamar yang dulu mereka tempati. Sesak napasnya sejenak. Ia menelan ludah, mencoba mengatasi kecemasan dalam dirinya. Dengan keberanian yang baru ditemukannya, Varisha mengetuk pintu.Suara langkah kaki di dalam terdengar mendekat, dan detik berikutnya pintu terbuka. Namun, apa yang ditemui Varisha melebihi segala ekspektasinya. Seorang wanita berambut pirang, mengenakan gaun tidur transparan, berdiri di ambang pintu. Tatapannya seolah mengukir pertanyaan di wajah Varisha.Varisha hampir saja berbalik, menyerah pada rasa malu dan kecewa yang menyergapnya. Namun, wanita itu menghentikannya."Come in," kata wanita berambut pirang itu dalam bahasa Inggris yang fasih, mempersilakan Varisha masuk.Dengan hati-hati, Varisha melangkah masuk,
Arshaka menoleh lalu mengangkat kedua alisnya. “Adakah sesuatu yang masih harus kita bicarakan?” “Saya tahu kamu membenci saya, Mas. Tapi, ada hal yang harus saya bicarakan,” kata Varisha dengan lebih tegas. Arshaka memandang Varisha tanpa ekspresi lalu pria itu tampak berbicara dengan wanita di sebelahnya agar meninggalkan mereka. Wanita itu mengangguk tanpa ekspresi yang berarti, ia mencium bibir Arshaka sekilas sebelum pergi melewati Varisha dengan sinis.“Masuklah! Waktumu tidak banyak!” Arshaka membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Varisha masuk lebih dulu.Varisha melangkah dengan penuh keragu-raguan. Untuk pertama kali akhirnya ia mampu menatap mata Arshaka cukup lama. Pria itu tampak semakin tampan dan matang di usianya yang sudah empat puluh tahunan. Arshaka melangkah menuju mini bar lalu mengambil sebotol wine dan menuangkannya di dalam gelas. Ia sempat mengangkat gelas itu sambil memandang ke arah Varisha.“Saya tidak minum, Mas,” jawab Varisha, dengan refleks mengus
Varisha kembali ke kamarnya setelah menenangkan diri. Ia melangkah dengan perlahan agar tidak mengganggu Sebastian. Namun, saat baru saja membuka cardigannya, Varisha merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya.“Kamu pergi ke mana?” tanya Sebastian dengan suara serak.“Maaf, Tian. Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku berjalan-jalan sebentar,” sahut Varisha dengan suara setenang mungkin.“Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Aku bisa menemani kamu.”“Aku tidak mau mengganggu kamu, Tian. Kamu tidur seperti bayi,” balas Varisha sambil mengusap tangan Sebastian di atas perutnya.Sebastian membalik tubuh Varisha. Ia tersentak ketika melihat sisa air mata di wajah istrinya. “Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi, Sayang?” tanya Sebastian dengan cemas.Varisha panik, ia belum sempat menyegarkan wajahnya. Jantungnya berdetak kencang saat melihat tatapan cemas di mata suaminya. Varisha benci ketika dirinya harus membohongi pria sebaik Sebastian. Namun, tidak ada cara lain yang dapat ia lakukan.
Beberapa hari kemudian, ketika melihat kondisi Cakra yang semakin menurun Varisha merasakan berbagai perasaan yang menerjangnya. Sakit sekali rasanya melihat ayahnya tampak tak berdaya, namun yang lebih menyakitkan adalah saat dirinya tidak bisa memenuhi keinginan Cakra untuk bertemu dengan Arshaka. Varisha merasa telah gagal menjadi seorang anak di saat-saat terakhir Cakra.Sejak tadi, Anindya terus berdoa di samping Cakra sambil terus memegang tangannya. Sementara Sebastian terus mendampingi Varisha. Arini dan Arseno pun berada di sana menemani Anindya.Varisha mengusap air matanya. “Aku mau istirahat, Tian,” bisik Varisha.“Aku antar ke apartemen, ya?” kata Sebastian dengan penuh perhatian.Varisha hanya mengangguk lalu mereka pamit. Sepanjang jalan Varisha hanya merenung memikirkan Cakra. Sebastian terus menguatkan Varisha dengan mendekap tubuh istrinya. Sesampainya di apartemen, Varisha segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Sebastian.Vari
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s