"Aku ingin bercerai," ucap Zoya ketika pria yang ditunggunya sejak setengah jam lalu akhirnya datang.
Lelaki berwajah tampan dengan tatapan setajam elang itu menatap datar wanita di hadapannya."Di mana berkas yang harus kutandatangani?"Zoya menelan ludah, menelan pahit yang membuat tenggorokannya tercekik. Wanita itu mengulurkan sebuah map berwarna merah muda yang berisi berkas-berkas perceraian. Lalu, ketika pemuda bersurai malam--Elvio Arvin Kalandra--membubuhkan tanda tangan tanpa mengatakan apa pun lagi, Zoya meremat jemarinya.Rasa sakit yang menggerogoti hatinya membuat wanita yang baru menginjak dua puluh tahun itu menarik napas pelan, menahan air mata yang hampir lolos. Zoya tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir di usia empat bulan, tanpa lelaki berstatus 'suami' itu mencoba mempertahankannya. Pemuda itu bahkan tidak membaca surat perceraiannya."Apa ada lagi yang harus dibicarakan?" tanya Arvin sembari menyodorkan kembali berkas yang sudah ditandatangani.Zoya menggeleng, seulas senyum terbit di bibirnya. "Tidak ada. Terima kasih untuk segalanya selama empat bulan ini," ucapnya tulus.Arvin mendengus sebelum beranjak. "Hubungi pengacaraku saja untuk urusan selanjutnya, termasuk uang tunjangan yang kamu inginkan. Kuharap ini terakhir kali kita bertemu," ucapnya tanpa emosi.Zoya menggertakkan gigi, menahan emosi yang membuncah dan hampir tidak terkendali. Wanita itu mendongak, menatap sosok yang diam-diam dicintai beranjak pergi, meninggalkan restaurant tanpa kata, juga meninggalkan luka teramat dalam di hatinya.Dua minggu berlalu sejak Zoya meninggalkan kediaman Kalandra, tapi jangankan menghubungi dan mencari keberadaannya, Arvin bahkan tidak bertanya sedikit pun alasan kepergian Zoya, seolah hal ini adalah sesuatu yang sudah ditunggunya sejak lama.Seandainya Arvin sedikit saja mengkhawatirkan Zoya, meski hanya pertanyaan basa-basi, tapi hingga akhir pemuda itu tidak peduli.Kenapa Arvin menerima pernikahan ini kalau dia sangat membencinya? Zoya mungkin tidak akan pernah mendapat jawaban dari pertanyaannya, karena tidak ada lagi alasan untuk menemui mantan suaminya."Sekarang, aku sendirian ...." Zoya bergumam sendu, menatap suasana restaurant yang cukup sepi.Netra cokelat terang Zoya melirik map berisi kertas-kertas bertanda tangan yang meremuk redamkan hatinya. Gadis berlesung pipi yang tidak ingat kapan terakhir kali tersenyum dengan benar itu kembali menghela napas, menenangkan dirinya.Sudah cukup dua minggu terakhir dihabiskannya dengan menangis dan meratapi diri sejak mengetahui hubungan spesial Arvin dan Aileen yang katanya 'hanya sahabat'.Menarik napas panjang, Zoya meraih map di atas meja sebelum berdiri, berniat meninggalkan restaurant dan menyerahkan berkas-berkas itu ke pengadilan. Tapi, rasa pusing yang tiba-tiba mendera kepalanya membuat Zoya kembali duduk.Akhir-akhir ini kondisinya memang tidak stabil. Mungkin terlalu lelah dengan hidupnya yang menyedihkan hingga tubuhnya ikut sakit. Zoya tidak ingat kapan dia makan dengan benar karena beberapa waktu terakhir perutnya sulit mencerna makanan.Entah sudah berapa banyak makanan yang dimuntakan olehnya. Belum lagi pusing yang sering tiba-tiba datang dan perut yang mendadak kram."Sepertinya aku harus ke rumah sakit." Zoya menarik napas panjang setelah perasaannya membaik.Wanita itu segera beranjak dari restaurant sembari membawa surat-surat perceraian yang baru ditandatangani. Kaca mata hitam melekat sempurna di hidung mancung Zoya. Setelah mendapatkan taksi, Zoya meluncur menuju tempat terakhir yang akan ia kunjungi di kota ini.Tiga puluh menit kemudian, wanita bersurai hitam panjang itu sampai di kantor pengacara pilihannya. Setelah menyerahkan semua berkas yang diperlukan dan keinginannya untuk absen selama persidangan, Zoya kembali menaiki taksi menuju rumah sakit. Dia harus memeriksakan kondisinya, setidaknya meminta vitamin agar perjalanannya tidak terganggu.Tapi, Zoya yang diarahkan ke bagian obgyn setelah melakukan beberapa pemeriksaan di UGD, tidak bisa menahan rasa cemas yang menjalar ke tulang belakangnya.'Kenapa ke dokter kandungan?' Zoya hanya bisa bertanya dalam hati, sedikit berharap jika apa pun yang sedang ada di kepalanya saat ini tidak benar.Lalu, ketika wanita bersurai panjang yang notabene dokter kandungan yang memeriksanya tersenyum, Zoya merasakan dingin di lehernya."Selamat, Nyonya Zoya, Anda dinyatakan hamil. Saya turut berbahagia untuk Anda!"Apa lagi yang lebih lucu dari ini?'Kenapa aku hamil saat ingin terbebas dari keluarga Aldara dan Kalandra?!' Zoya menggigit bibir, mendengarkan saran-saran yang dokter sampaikan dengan setengah hati.Selesai menebus beberapa vitamin di apotek, Zoya yang sudah mengepak semua barang-barangnya dan mengirimkannya ke tempat yang akan ia tinggali, tidak bisa membatalkan jadwal dan bergegas ke bandara."Aku yakin bisa memberi makan diriku sendiri, tapi bagaimana dengan anak ini?"Zoya mengelus perlahan perutnya yang masih rata. Kalau saja berita tentang kehamilannya diketahui tiga minggu lalu, ia pasti sudah melatih ratusan kalimat yang tepat untuk menyampaikan kebahagiaan itu pada suaminya, menyiapkan beberapa kejutan dengan hati berbunga dan penuh haru. Sayangnya, itu adalah kebahagiaan yang tidak nyata."Ironis sekali ...." Zoya terkekeh pelan, sedikit mengasihani bayi dalam kandungannya. Mengatakan pada Arvin tentang bayi mereka juga tidak akan membawa perubahan. Zoya tidak mau anaknya hidup sambil menerima tatapan dingin ayahnya."Kita akan bahagia, Nak. Kupastikan kamu tidak kekurangan kasih sayang meski harus tinggal jauh dari ayahmu," ucap Zoya lembut, tersenyum menatap perutnya sendiri.'Anakku akan tumbuh di dalam rumah yang hangat dan penuh cinta. Tidak akan kubiarkan siapa pun membuatnya merasakan neraka sepertiku!'"Tapi, seandainya saja ia tumbuh dalam keluarga yang sempurna ...."Zoya menghela napas, mencoba mengalihkan perasaan kesepian yang menyusup diam-diam di hatinya pada suara dan obrolan orang-orang di sekitar, sembari membayangkan seperti apa wajah anaknya nanti. Akan mirip siapa wajahnya nanti, seperti apa senyum serta tawanya, kata apa yang pertama kali akan dia ucapkan dan hal-hal baru lainnya yang pasti terasa seperti keajaiban.Senyum Zoya semakin lebar membayangkan bayi lucu yang akan segera meramaikan hari-harinya.Waktu berlalu, hari demi hari dilewati Zoya dalam kerja keras dan kesulitan, juga tawa dan syukur yang tidak henti-hentinya ia ucap, hingga 6 Tahun terlewat begitu saja.Elvio Gavin Kalandra, nama yang tertera pada pin persegi panjang itu tersemat apik di dada kiri. Kemeja biru polos yang dilapisi rompi kotak-kotak berwarna senada dan celana hitam panjang dengan dua gulungan di masing-masing kaki membuat penampilan anak lelaki itu tampak sempurna, setidaknya di mata Zoya yang berbinar.Zoya tidak melahirkan bayi kembar seperti bayangannya saat pertama kali mengetahui sedang hamil, hanya seorang bayi lelaki mungil yang sekarang sudah belajar di taman kanak-kanak, sebentar lagi akan menjadi siswa sekolah dasar. Wanita itu tersenyum lembut saat memberikan tanda jempol, pertanda penampilan putranya pagi itu sudah sangat sempurna."Ganteng, kan?"Zoya tertawa sembari mengangguk melihat pangeran kecilnya bergaya sok keren di depan cermin, mengagumi wajah tampannya sendiri. Mungkin karena ia terlalu banyak memuji Elvio, hingga anak itu tumbuh dengan kepercayaan diri berlebih tentang wajahnya.Ehm ... tentang namanya ... awalnya Zoya sedikit ragu untuk memasukkan nama Elvio dan Kalandra, tapi mengingat statusnya yang hanya seorang pekerja mini market, juga lingkungan yang tidak terlalu mengenal tentang keluarga Aldara dan Kalandra, maka akhirnya nama Elvio Gavin Kalandra ditetapkan sebagai nama putranya."Pasti, dong! Pangeran Elvio paling ganteng di dunia," ucap Zoya seraya mencubit pelan hidung mancung putranya, sebelum menuntun anak itu menuju meja makan."Hari ini Mama mau kerja, kan?" Zoya menatap kagum pipi bulat Elvio yang sedang mengunyah, tersenyum lembut ketika beberapa butir nasi menempel di sisi bibirnya."Iya. El mau ikut?"Anak lelaki itu terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Enggak, ah. Mau main aja," jawabnya jela
Zoya yang sempat kehilangan kesadaran setelah mendengar panggilan 'Love' keluar dari bibir mantan suaminya, segera menarik napas panjang, menenangkan dadanya yang sesak ketika seluruh kenangan bersama pria itu memenuhi kepalanya. "Ayo bicara di tempat lain," ucap Zoya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Elvio. Lima belas menit kemudian, Zoya sudah berada di tepi pantai bersama Arvin. Untungnya Elvio tidak banyak protes juga tidak bertanya. Bocah enam tahun itu menurut ketika Zoya memintanya untuk bermain di tempat lain. Suasana hening menyelimuti selama lima belas menit sejak--mau tidak mau--Zoya mengikuti lelaki berstatus mantan suami. Netra cokelat wanita itu hanya menatap gulungan ombak di hadapannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. "Jadi, penjelasan apa yang bisa kudengar?" Zoya menelan ludah gugup. Suara lelaki itu sudah menegaskan kalau tidak ada jalan baginya untuk membuat alasan atau mengalihkan pembicaraan. Wanita itu memberanikan diri menatap
Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?" "Ehm, oke, deh!" Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran. "Mama ak
Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?" Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menja
Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Zoya tersenyum pahit mendengar keinginan yang diucap Mia. Dia juga ingin membawa wanita itu bersamanya, tapi kondisinya yang bukan lagi seorang Nona Muda membuat Zoya harus menelan keinginannya bulat-bulat.Jangankan untuk membawa Mia bersamanya, kedatangan Zoya kembali ke rumah ini bahkan untuk meminjam uang agar bisa membiayai operasi dan perawatan Elvio. "Aku ke sini untuk menemui Papa. Apa beliau ada?" tanya Zoya seraya melepas pelukan, mengingat jika waktunya semakin menipis. Mia menghentikan tangisnya, tatapannya menjadi lebih sendu seraya kepalanya menggeleng pelan. "Sejak Nona menghilang, Tuan Rendra juga pergi, katanya ingin mencari Nona. Begitu pun Tuan Muda Kaindra yang menyusul setelahnya," ucap Mia pelan.Zoya memejamkan mata, sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang dia pikir bisa membantu malah tidak ada. Wanita itu tidak terharu sama sekali, juga tidak pernah berpikir lelaki berstatus ayah itu benar-benar sedang mencarinya. Narendra Frandika Aldara yang terkena