Zoya Lovania Aldara, wanita yang mengikat satu rambut panjangnya itu memasuki kantor pusat Kalan's Company, melihat senyum ramah di wajah resepsionis dan membalas dengan riang.
"Apa Arvin ada di ruangannya?" tanya Zoya tanpa basa-basi."Selamat siang, Nona Aldara--maksudku Nyonya Kalandra!" sapa resepsionis yang sudah cukup dikenal Zoya. "Saya belum melihat beliau turun, sepertinya Pak Arvin masih di ruangannya."Zoya mengangguk. "Baiklah, aku ke sana dulu!" ujarnya sebelum memutar langkah dan tersenyum pada penjaga yang menekan tombol lift untuknya.Wanita itu meraih kartu berwarna hitam di dalam tas tangannya, sebuah kartu yang bisa digunakan untuk membuka pintu ke lantai teratas."Arvin sedang apa, ya? Awas saja kalau dia bekerja tanpa ingat makan!" sungut Zoya seraya memeluk tas bekal yang dibawanya.Hari ini Zoya sengaja datang untuk membawakan makan siang untuk Elvio Arvin Kalandra, pria yang resmi menjadi suaminya sejak empat bulan lalu.Zoya melangkah keluar dari lift setelah bunyi 'Tring!' yang khas terdengar, keningnya mengernyit saat tidak menemukan siapa pun di balik meja Sekretaris."Apa Aileen di dalam?"Suara bisikan yang terdengar dari dalam ruangan Presdir membuat Zoya melangkah mendekat. Belum sempat Zoya sampai, pintu ruangan itu sudah terbuka dengan keras.Zoya membeku di tempatnya, tangannya berkeringat dan sedikit gemetar melihat penampilan Aileen yang biasanya anggun, kini tampak berantakan dengan rambut tergerai, lipstrik memudar dan dua kancing kemejanya terbuka. Zoya juga bisa melihat ruam merah di leher jenjang wanita di hadapannya."Zoya?!" Aileen memanggil pelan, suaranya terdengar gemetar. Tatapan terkejut dan rasa bersalah terpancar di wajah Aileen."Aku bisa menjelaskan semuanya, Zo!" Ailen mendekat setelah buru-buru mengancingkan kemejanya.Zoya menggertakkan gigi, tatapannya masih lurus dan tajam meski seluruh persendian di tubuhnya terasa lemah. Matanya melirik pada ruangan Presdir yang pintunya tertutup otomatis, tapi tidak melihat tanda-tanda suaminya akan keluar dari sana."Ka-kami sudah selesai, Zoya, aku bersumpah! Aku langsung mengakhiri hubungan kami saat aku tahu tentang perjodohan kalian. Kumohon, percaya padaku, Zoya!"Kata-kata yang diucap Aileen dengan wajah pucat dan air mata berderai membuat perasaan Zoya semakin kacau. Bagaimana Zoya bisa meneriaki Aileen atau menjambak rambutnya saat wanita itu sendiri terlihat ketakutan?!"Katakan pada Arvin untuk pulang dan menjelaskan padaku malam ini!"Zoya tersenyum kecut, berbalik kembali ke dalam lift, mengabaikan panggilan Aileen di belakang. Dia tidak mau merasa patah hati, tapi air matanya jatuh begitu saja.Rasa sesak yang memenuhi dadanya membuat Zoya segera menekan tombol lift dan terduduk. Kakinya lemas. Jelas dia tidak pernah berpikir jika Arvin dan Aileen terlibat dalam hubungan seperti itu. Hatinya patah, Zoya tidak tahu akan sehancur ini saat perasaannya pada Arvin sudah berkembang.Zoya tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.Kembali ke rumah besar bak istana yang sudah menaunginya selama beberapa bulan terakhir, Zoya langsung memasuki kamar dan mengabaikan keterkejutan di wajah para pelayan yang menyambutnya."ARGGHH!!!" Zoya berteriak, melempar foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar dengan vas.Tidak peduli sebanyak apa ia berteriak dan menangis, tidak peduli seberapa banyak barang yang ia lempar dan hancurkan, perasaan Zoya masih tidak tenang. Semudah itu hatinya terbuai, semudah itu juga dihancurkan tanpa sisa.Zoya menghabiskan sisa harinya dengan mendekam di kamar, menangis dan berteriak.Wanita itu keluar dari kamar saat seorang pelayan memanggil dan mengingatkannya tentang makan malam. Tepat saat Zoya menuruni tangga, matanya bertemu pandang dengan sosok yang telah memporakporandakan hatinya."Tidak ada yang mau kamu bicarakan padaku?" Zoya menahan lengan Arvin saat pemuda itu terus berjalan tanpa menghiraukannya."Mau membicarakan apa? Aku lelah, jadi kalau tidak terlalu mendesak lebih baik dibicarakan besok.""Tidak mendesak?!" Zoya menjerit tanpa sadar. "Bagiku ini masalah yang sangat penting!"Arvin menghela napas, manik arangnya menatap lurus pada Zoya."Kubilang aku lelah, Lovania!"Arvin berlalu begitu saja, jawaban tegasnya sudah sangat cukup untuk menghentikan Zoya untuk mengajukan pertanyaan lain.Selalu seperti itu. Cara bicara yang acuh tak acuh, suasana dingin dan tatapan yang seolah tanpa emosi, Arvin tidak pernah berubah meski empat bulan berlalu sejak pernikahan."Aku juga lelah, Arvin." Zoya bergumam sembari menatap nanar punggung tegak yang terasa sangat jauh dari jangkauan.Arvin memasuki kamarnya sendiri tanpa menoleh sekali pun. Zoya terkekeh pelan, satu demi satu kenangannya bersama Arvin melintas. Tidak pernah sekali pun pemuda itu tersenyum dan menatapnya dengan benar. Jangankan sapaan hangat di pagi hari, mereka bahkan nyaris tidak pernah bertemu jika Zoya tidak membuat kesempatan itu."Memang aku yang bodoh ...." Zoya mengusap wajah, air matanya kembali menggenang. Kenapa ia tidak pernah curiga pada keputusan Arvin yang tidak ingin tidur di kamar yang sama?"Karena kau mencintai wanita lain? Itu jugakah alasanmu tidak pernah memanggil namaku, bahkan saat kita bercinta?" Zoya terduduk, mengingat lagi kejadian dua bulan sebelumnya, saat Arvin pulang larut dalam keadaan mabuk. Itu juga pengalaman pertama mereka.Zoya pikir akan ada perubahan setelah mereka 'resmi' menjadi suami-istri, nyatanya Arvin semakin jauh dan tidak peduli. Dan semuanya terjadi karena Aileen, karena hanya wanita itu yang mencuri seluruh atensi Arvin."Mama ...." Zoya memanggil tanpa sadar, padahal harusnya nama itu tidak lagi ada di hatinya sejak menghilang tanpa kabar bertahun-tahun lalu.Zoya menghela napas panjang, menghentikan air matanya sebelum berdiri dan memanggil sopir."Aku ingin pulang!" ujarnya setelah memasuki mobil.Pulang yang dimaksud Zoya adalah kembali ke rumah kakek dan neneknya. Ia tidak sanggup lagi jika harus melanjutkan pernikahannya dan Arvin. Hidup bersama lelaki yang jelas hatinya tidak pernah berada di rumah tidak pernah ada dalam rencana masa depan Zoya.Sampai di rumah tempatnya tumbuh dewasa, Zoya yang telah menyuruh sopir untuk langsung kembali ke kediaman Kalandra langsung menuju ruang kerja sang kakek. Tapi, belum sempat kakinya memasuki pintu utama, Zoya sudah dihadang oleh sang nenek."Oma!""Kenapa kamu di sini?! Bukannya menunggu suamimu di rumah dengan patuh, tapi malah berkeliaran tidak jelas?!"Zoya menelan ludah, sedikit takut pada wanita keras seperti neneknya, tapi ia tidak punya pilihan lain."Ada yang ingin kubicarakan dengan Opa dan Oma," ucap Zoya pelan, berharap sosok di hadapannya melembutkan hati dan mau mendengarkannya."Katakan saja terus terang, ada apa? Kamu tidak membuat suamimu marah, kan?!"Zoya menembuskan napas pelan. "A-aku ingin bercerai," ucapnya gugup. "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kami! Arvin bahkan tidak pernah menyentuh--"Plakk!"Anak tidak tahu diri! Bukannya membawa kabar kalau kamu sedang hamil, tapi apa? Bercerai?! Siapa yang mengajarimu bersikap kurang ajar seperti ini?! Ibumu?!"Sakit. Zoya merasakan pipinya berdenyut nyeri, tapi tidak lebih menyakitkan dari luka di hatinya yang semakin menganga. Air matanya berderai lagi, tidak peduli sebanyak apa Zoya menangis sejak siang tadi, nyatanya cairan bening itu kembali berlinang deras."Arvin tidak pernah mencintaiku, Oma! Aku tidak bisa hidup bersamanya lagi--""Aku tidak peduli hal-hal seperti itu! Aku hanya ingin kau hamil dan menjadikan anakmu sebagai pewaris Kalan's Company! Jangan pernah kembali ke sini kecuali kau membawa kabar yang kuinginkan!"Pintu ditutup dengan keras. Zoya membeku di tempatnya, menatap pintu rumah yang tidak akan pernah terbuka lagi untuknya."Apakah rumah ini pernah benar-benar menjadi rumahku?" Zoya terduduk di lantai, memeluk lutut dan menangis. Jika bukan rumah ini tempatnya pulang, ke mana ia harus pergi?"Aku ingin bercerai," ucap Zoya ketika pria yang ditunggunya sejak setengah jam lalu akhirnya datang.Lelaki berwajah tampan dengan tatapan setajam elang itu menatap datar wanita di hadapannya."Di mana berkas yang harus kutandatangani?"Zoya menelan ludah, menelan pahit yang membuat tenggorokannya tercekik. Wanita itu mengulurkan sebuah map berwarna merah muda yang berisi berkas-berkas perceraian. Lalu, ketika pemuda bersurai malam--Elvio Arvin Kalandra--membubuhkan tanda tangan tanpa mengatakan apa pun lagi, Zoya meremat jemarinya.Rasa sakit yang menggerogoti hatinya membuat wanita yang baru menginjak dua puluh tahun itu menarik napas pelan, menahan air mata yang hampir lolos. Zoya tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir di usia empat bulan, tanpa lelaki berstatus 'suami' itu mencoba mempertahankannya. Pemuda itu bahkan tidak membaca surat perceraiannya."Apa ada lagi yang harus dibicarakan?" tanya Arvin sembari menyodorkan kembali berkas yang sudah ditandatangani.Zo
Zoya tertawa sembari mengangguk melihat pangeran kecilnya bergaya sok keren di depan cermin, mengagumi wajah tampannya sendiri. Mungkin karena ia terlalu banyak memuji Elvio, hingga anak itu tumbuh dengan kepercayaan diri berlebih tentang wajahnya.Ehm ... tentang namanya ... awalnya Zoya sedikit ragu untuk memasukkan nama Elvio dan Kalandra, tapi mengingat statusnya yang hanya seorang pekerja mini market, juga lingkungan yang tidak terlalu mengenal tentang keluarga Aldara dan Kalandra, maka akhirnya nama Elvio Gavin Kalandra ditetapkan sebagai nama putranya."Pasti, dong! Pangeran Elvio paling ganteng di dunia," ucap Zoya seraya mencubit pelan hidung mancung putranya, sebelum menuntun anak itu menuju meja makan."Hari ini Mama mau kerja, kan?" Zoya menatap kagum pipi bulat Elvio yang sedang mengunyah, tersenyum lembut ketika beberapa butir nasi menempel di sisi bibirnya."Iya. El mau ikut?"Anak lelaki itu terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Enggak, ah. Mau main aja," jawabnya jela
Zoya yang sempat kehilangan kesadaran setelah mendengar panggilan 'Love' keluar dari bibir mantan suaminya, segera menarik napas panjang, menenangkan dadanya yang sesak ketika seluruh kenangan bersama pria itu memenuhi kepalanya. "Ayo bicara di tempat lain," ucap Zoya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Elvio. Lima belas menit kemudian, Zoya sudah berada di tepi pantai bersama Arvin. Untungnya Elvio tidak banyak protes juga tidak bertanya. Bocah enam tahun itu menurut ketika Zoya memintanya untuk bermain di tempat lain. Suasana hening menyelimuti selama lima belas menit sejak--mau tidak mau--Zoya mengikuti lelaki berstatus mantan suami. Netra cokelat wanita itu hanya menatap gulungan ombak di hadapannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. "Jadi, penjelasan apa yang bisa kudengar?" Zoya menelan ludah gugup. Suara lelaki itu sudah menegaskan kalau tidak ada jalan baginya untuk membuat alasan atau mengalihkan pembicaraan. Wanita itu memberanikan diri menatap
Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?" "Ehm, oke, deh!" Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran. "Mama ak
Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?" Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menja
Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,