Zoya Lovania Aldara, wanita yang mengikat satu rambut panjangnya itu memasuki kantor pusat Kalan's Company, melihat senyum ramah di wajah resepsionis dan membalas dengan riang.
"Apa Arvin ada di ruangannya?" tanya Zoya tanpa basa-basi."Selamat siang, Nona Aldara--maksudku Nyonya Kalandra!" sapa resepsionis yang sudah cukup dikenal Zoya. "Saya belum melihat beliau turun, sepertinya Pak Arvin masih di ruangannya."Zoya mengangguk. "Baiklah, aku ke sana dulu!" ujarnya sebelum memutar langkah dan tersenyum pada penjaga yang menekan tombol lift untuknya.Wanita itu meraih kartu berwarna hitam di dalam tas tangannya, sebuah kartu yang bisa digunakan untuk membuka pintu ke lantai teratas."Arvin sedang apa, ya? Awas saja kalau dia bekerja tanpa ingat makan!" sungut Zoya seraya memeluk tas bekal yang dibawanya.Hari ini Zoya sengaja datang untuk membawakan makan siang untuk Elvio Arvin Kalandra, pria yang resmi menjadi suaminya sejak empat bulan lalu.Zoya melangkah keluar dari lift setelah bunyi 'Tring!' yang khas terdengar, keningnya mengernyit saat tidak menemukan siapa pun di balik meja Sekretaris."Apa Aileen di dalam?"Suara bisikan yang terdengar dari dalam ruangan Presdir membuat Zoya melangkah mendekat. Belum sempat Zoya sampai, pintu ruangan itu sudah terbuka dengan keras.Zoya membeku di tempatnya, tangannya berkeringat dan sedikit gemetar melihat penampilan Aileen yang biasanya anggun, kini tampak berantakan dengan rambut tergerai, lipstrik memudar dan dua kancing kemejanya terbuka. Zoya juga bisa melihat ruam merah di leher jenjang wanita di hadapannya."Zoya?!" Aileen memanggil pelan, suaranya terdengar gemetar. Tatapan terkejut dan rasa bersalah terpancar di wajah Aileen."Aku bisa menjelaskan semuanya, Zo!" Ailen mendekat setelah buru-buru mengancingkan kemejanya.Zoya menggertakkan gigi, tatapannya masih lurus dan tajam meski seluruh persendian di tubuhnya terasa lemah. Matanya melirik pada ruangan Presdir yang pintunya tertutup otomatis, tapi tidak melihat tanda-tanda suaminya akan keluar dari sana."Ka-kami sudah selesai, Zoya, aku bersumpah! Aku langsung mengakhiri hubungan kami saat aku tahu tentang perjodohan kalian. Kumohon, percaya padaku, Zoya!"Kata-kata yang diucap Aileen dengan wajah pucat dan air mata berderai membuat perasaan Zoya semakin kacau. Bagaimana Zoya bisa meneriaki Aileen atau menjambak rambutnya saat wanita itu sendiri terlihat ketakutan?!"Katakan pada Arvin untuk pulang dan menjelaskan padaku malam ini!"Zoya tersenyum kecut, berbalik kembali ke dalam lift, mengabaikan panggilan Aileen di belakang. Dia tidak mau merasa patah hati, tapi air matanya jatuh begitu saja.Rasa sesak yang memenuhi dadanya membuat Zoya segera menekan tombol lift dan terduduk. Kakinya lemas. Jelas dia tidak pernah berpikir jika Arvin dan Aileen terlibat dalam hubungan seperti itu. Hatinya patah, Zoya tidak tahu akan sehancur ini saat perasaannya pada Arvin sudah berkembang.Zoya tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.Kembali ke rumah besar bak istana yang sudah menaunginya selama beberapa bulan terakhir, Zoya langsung memasuki kamar dan mengabaikan keterkejutan di wajah para pelayan yang menyambutnya."ARGGHH!!!" Zoya berteriak, melempar foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar dengan vas.Tidak peduli sebanyak apa ia berteriak dan menangis, tidak peduli seberapa banyak barang yang ia lempar dan hancurkan, perasaan Zoya masih tidak tenang. Semudah itu hatinya terbuai, semudah itu juga dihancurkan tanpa sisa.Zoya menghabiskan sisa harinya dengan mendekam di kamar, menangis dan berteriak.Wanita itu keluar dari kamar saat seorang pelayan memanggil dan mengingatkannya tentang makan malam. Tepat saat Zoya menuruni tangga, matanya bertemu pandang dengan sosok yang telah memporakporandakan hatinya."Tidak ada yang mau kamu bicarakan padaku?" Zoya menahan lengan Arvin saat pemuda itu terus berjalan tanpa menghiraukannya."Mau membicarakan apa? Aku lelah, jadi kalau tidak terlalu mendesak lebih baik dibicarakan besok.""Tidak mendesak?!" Zoya menjerit tanpa sadar. "Bagiku ini masalah yang sangat penting!"Arvin menghela napas, manik arangnya menatap lurus pada Zoya."Kubilang aku lelah, Lovania!"Arvin berlalu begitu saja, jawaban tegasnya sudah sangat cukup untuk menghentikan Zoya untuk mengajukan pertanyaan lain.Selalu seperti itu. Cara bicara yang acuh tak acuh, suasana dingin dan tatapan yang seolah tanpa emosi, Arvin tidak pernah berubah meski empat bulan berlalu sejak pernikahan."Aku juga lelah, Arvin." Zoya bergumam sembari menatap nanar punggung tegak yang terasa sangat jauh dari jangkauan.Arvin memasuki kamarnya sendiri tanpa menoleh sekali pun. Zoya terkekeh pelan, satu demi satu kenangannya bersama Arvin melintas. Tidak pernah sekali pun pemuda itu tersenyum dan menatapnya dengan benar. Jangankan sapaan hangat di pagi hari, mereka bahkan nyaris tidak pernah bertemu jika Zoya tidak membuat kesempatan itu."Memang aku yang bodoh ...." Zoya mengusap wajah, air matanya kembali menggenang. Kenapa ia tidak pernah curiga pada keputusan Arvin yang tidak ingin tidur di kamar yang sama?"Karena kau mencintai wanita lain? Itu jugakah alasanmu tidak pernah memanggil namaku, bahkan saat kita bercinta?" Zoya terduduk, mengingat lagi kejadian dua bulan sebelumnya, saat Arvin pulang larut dalam keadaan mabuk. Itu juga pengalaman pertama mereka.Zoya pikir akan ada perubahan setelah mereka 'resmi' menjadi suami-istri, nyatanya Arvin semakin jauh dan tidak peduli. Dan semuanya terjadi karena Aileen, karena hanya wanita itu yang mencuri seluruh atensi Arvin."Mama ...." Zoya memanggil tanpa sadar, padahal harusnya nama itu tidak lagi ada di hatinya sejak menghilang tanpa kabar bertahun-tahun lalu.Zoya menghela napas panjang, menghentikan air matanya sebelum berdiri dan memanggil sopir."Aku ingin pulang!" ujarnya setelah memasuki mobil.Pulang yang dimaksud Zoya adalah kembali ke rumah kakek dan neneknya. Ia tidak sanggup lagi jika harus melanjutkan pernikahannya dan Arvin. Hidup bersama lelaki yang jelas hatinya tidak pernah berada di rumah tidak pernah ada dalam rencana masa depan Zoya.Sampai di rumah tempatnya tumbuh dewasa, Zoya yang telah menyuruh sopir untuk langsung kembali ke kediaman Kalandra langsung menuju ruang kerja sang kakek. Tapi, belum sempat kakinya memasuki pintu utama, Zoya sudah dihadang oleh sang nenek."Oma!""Kenapa kamu di sini?! Bukannya menunggu suamimu di rumah dengan patuh, tapi malah berkeliaran tidak jelas?!"Zoya menelan ludah, sedikit takut pada wanita keras seperti neneknya, tapi ia tidak punya pilihan lain."Ada yang ingin kubicarakan dengan Opa dan Oma," ucap Zoya pelan, berharap sosok di hadapannya melembutkan hati dan mau mendengarkannya."Katakan saja terus terang, ada apa? Kamu tidak membuat suamimu marah, kan?!"Zoya menembuskan napas pelan. "A-aku ingin bercerai," ucapnya gugup. "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kami! Arvin bahkan tidak pernah menyentuh--"Plakk!"Anak tidak tahu diri! Bukannya membawa kabar kalau kamu sedang hamil, tapi apa? Bercerai?! Siapa yang mengajarimu bersikap kurang ajar seperti ini?! Ibumu?!"Sakit. Zoya merasakan pipinya berdenyut nyeri, tapi tidak lebih menyakitkan dari luka di hatinya yang semakin menganga. Air matanya berderai lagi, tidak peduli sebanyak apa Zoya menangis sejak siang tadi, nyatanya cairan bening itu kembali berlinang deras."Arvin tidak pernah mencintaiku, Oma! Aku tidak bisa hidup bersamanya lagi--""Aku tidak peduli hal-hal seperti itu! Aku hanya ingin kau hamil dan menjadikan anakmu sebagai pewaris Kalan's Company! Jangan pernah kembali ke sini kecuali kau membawa kabar yang kuinginkan!"Pintu ditutup dengan keras. Zoya membeku di tempatnya, menatap pintu rumah yang tidak akan pernah terbuka lagi untuknya."Apakah rumah ini pernah benar-benar menjadi rumahku?" Zoya terduduk di lantai, memeluk lutut dan menangis. Jika bukan rumah ini tempatnya pulang, ke mana ia harus pergi?"Aku ingin bercerai," ucap Zoya ketika pria yang ditunggunya sejak setengah jam lalu akhirnya datang.Lelaki berwajah tampan dengan tatapan setajam elang itu menatap datar wanita di hadapannya."Di mana berkas yang harus kutandatangani?"Zoya menelan ludah, menelan pahit yang membuat tenggorokannya tercekik. Wanita itu mengulurkan sebuah map berwarna merah muda yang berisi berkas-berkas perceraian. Lalu, ketika pemuda bersurai malam--Elvio Arvin Kalandra--membubuhkan tanda tangan tanpa mengatakan apa pun lagi, Zoya meremat jemarinya.Rasa sakit yang menggerogoti hatinya membuat wanita yang baru menginjak dua puluh tahun itu menarik napas pelan, menahan air mata yang hampir lolos. Zoya tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir di usia empat bulan, tanpa lelaki berstatus 'suami' itu mencoba mempertahankannya. Pemuda itu bahkan tidak membaca surat perceraiannya."Apa ada lagi yang harus dibicarakan?" tanya Arvin sembari menyodorkan kembali berkas yang sudah ditandatangani.Zo
Zoya tertawa sembari mengangguk melihat pangeran kecilnya bergaya sok keren di depan cermin, mengagumi wajah tampannya sendiri. Mungkin karena ia terlalu banyak memuji Elvio, hingga anak itu tumbuh dengan kepercayaan diri berlebih tentang wajahnya.Ehm ... tentang namanya ... awalnya Zoya sedikit ragu untuk memasukkan nama Elvio dan Kalandra, tapi mengingat statusnya yang hanya seorang pekerja mini market, juga lingkungan yang tidak terlalu mengenal tentang keluarga Aldara dan Kalandra, maka akhirnya nama Elvio Gavin Kalandra ditetapkan sebagai nama putranya."Pasti, dong! Pangeran Elvio paling ganteng di dunia," ucap Zoya seraya mencubit pelan hidung mancung putranya, sebelum menuntun anak itu menuju meja makan."Hari ini Mama mau kerja, kan?" Zoya menatap kagum pipi bulat Elvio yang sedang mengunyah, tersenyum lembut ketika beberapa butir nasi menempel di sisi bibirnya."Iya. El mau ikut?"Anak lelaki itu terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Enggak, ah. Mau main aja," jawabnya jela
Zoya yang sempat kehilangan kesadaran setelah mendengar panggilan 'Love' keluar dari bibir mantan suaminya, segera menarik napas panjang, menenangkan dadanya yang sesak ketika seluruh kenangan bersama pria itu memenuhi kepalanya. "Ayo bicara di tempat lain," ucap Zoya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Elvio. Lima belas menit kemudian, Zoya sudah berada di tepi pantai bersama Arvin. Untungnya Elvio tidak banyak protes juga tidak bertanya. Bocah enam tahun itu menurut ketika Zoya memintanya untuk bermain di tempat lain. Suasana hening menyelimuti selama lima belas menit sejak--mau tidak mau--Zoya mengikuti lelaki berstatus mantan suami. Netra cokelat wanita itu hanya menatap gulungan ombak di hadapannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. "Jadi, penjelasan apa yang bisa kudengar?" Zoya menelan ludah gugup. Suara lelaki itu sudah menegaskan kalau tidak ada jalan baginya untuk membuat alasan atau mengalihkan pembicaraan. Wanita itu memberanikan diri menatap
Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?" "Ehm, oke, deh!" Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran. "Mama ak
Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?" Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menja
Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h