Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.
Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu.'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?!Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvin tidak segera menyingkir meski telah menyelesaikan pekerjaannya memasang sabuk pengaman. Tatapan intens yang diberikan lelaki itu pada bibirnya membuat Zoya menahan napas.'Dia tidak akan berbuat macam-macam di depan Elvio, kan?!' Zoya membatin gelisah. Tubuhnya memanas hanya dengan menerima tatapan segelap arang milik Arvin, sebagian kewarasannya mungkin akan hilang jika pemuda itu menciumnya sekarang.Untungnya Arvin segera menyingkir, membuat Zoya segera mengembuskan napas perlahan, lega dengan kemampuan dirinya dalam menahan godaan.Tidak ada obrolan apa pun selama perjalanan. Hanya terdengar suara Zoya yang sesekali menoleh ke belakang dan bertanya apa ada yang tidak nyaman pada Elvio."Kenapa ke sini?!" Zoya bertanya saat mobil yang dikemudikan mantan suaminya memasuki sebuah area. Tempat ini terlalu mahal untuk Zoya sekarang. Bagaimana dia akan membayar makanannya nanti?"Memangnya mau mau makan di mana lagi? Aku belum tahu restaurant lain di sekitar selain tempat ini," ucap Arvin sembari mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman.Zoya yang melihat gerakan mencurigakan mantan suaminya langsung membuka sabuk pengamannya juga dan segera keluar mobil, meninggalkan Arvin yang terkekeh di dalam.Zoya membukakan pintu untuk putranya, tersenyum lembut ketika mata Elvio tampak berbinar. Bagaimana pun restaurant ini tidak pernah menjadi tempat makan darurat saat Zoya tidak memasak. Makanan paling mewah yang akan mereka beli adalah pecel ayam di warung dekat sekolah Elvio.'Sepertinya aku harus menggunakan tabunganku,' batin Zoya, sedikit merasa nelangsa."Ayo!" Arvin mendekat dan meraih tangan Elvio untuk dituntun, membuat anak itu terkesiap, apalagi setelah Zoya memegang tangannya yang lain.Memasuki sebuah restaurant bagus dengan keberadaan ayah dan ibu di sisinya. Elvio menggigit bibir, menahan tangis karena akhirnya dia mengerti perasaan teman-temannya ketika memamerkan agenda liburan mereka.Zoya mengernyit ketika Arvin menarikkan kursi untuknya, sekelebat kenangan memenuhi kepalanya sebelum wanita itu menggeleng pelan. Tidak ada gunanya mengingat apa yang terjadi di masa lalu.Meski selalu bersikap dingin dan tidak berkata apa-apa, nyatanya Arvin adalah orang yang seperti itu. Dia memperhatikan Zoya dengan hal-hal kecil yang menurutnya mungkin tidak berarti apa-apa, tanpa tahu jika sikapnya membuat setiap wanita yang diperlakukan seperti itu merasa dicintai.'Dan aku menjadi salah satu dari wanita bodoh yang pernah berpikir begitu.' Zoya menghela napas."Kamu boleh memesan apa pun selama makanan itu tidak membuatmu alergi," ucap Arvin sembari membuka buku menu dan menyodorkannya pada Elvio."Dia alergi strawberi," ucap Zoya memberi tahu.Satu alis Arvin naik. "Sama denganku?" tanyanya sembari mengerjap pelan, agak bangga dengan gen yang diberikan pada putranya."Ya, bahkan alerginya." Zoya menjawab acuh tak acuh, sedikit jengkel dengan fakta bahwa putranya tidak mirip dengannya sama sekali."Mama?" Elvio memanggil, membuat ibunya langsung memberikan atensi penuh padanya."Kenapa, Sayang? Mau pesan apa? Kamu boleh makan apa pun, kok, Papa yang bayar," ucap Zoya seraya terkekeh pelan, mengusak gemas surai putranya ketika anak itu merengut. "Mama yang akan membayarnya, jadi tidak apa-apa."Kening Arvin mengerut tidak suka mendengar penuturan Zoya, tapi memilih diam dan memanggil pelayan. Makanan disajikan lima belas menit kemudian. Untungnya tidak terlalu banyak pengunjung hingga mereka tidak perlu menunggu terlalu lama."Biar aku yang bayar," ucap Arvin setelah melihat Zoya berdiri. Wanita itu bahkan belum menghabiskan makanannya."Aku mau ke toilet," ucap Zoya berbohong.Arvin mengangguk sebelum ikut berdiri. "Kalau begitu tunggu sebentar, jangan meninggalkan Gavin sendiri. Aku akan membayar makanannya dulu," ucapnya tegas, meninggalkan Zoya yang tidak bisa berkata-kata.Zoya menghela napas. Dia tidak mau berhutang pada mantan suaminya, tapi sebenarnya dia tidak yakin bisa membayar makanannya. Uang di ATM wanita itu mungkin hanya tersisa lima juta setelah membayar sewa rumah untuk tiga bulan ke depan, juga biaya pindahan yang tidak sedikit. Dia juga baru melunasi pembayaran sekolah Elvio.'Ah, aku benar-benar miskin sekarang,' batin Zoya merana."Mama nggak punya uang, ya?" Elvio yang melihat kegelisahan ibunya bertanya. Gerakannya yang sedang menyendok makanan terhenti. "Harusnya El nggak pesan apa-apa. Maaf ya, Ma?"Zoya segera menggeleng. "Tidak, Sayang, Mama punya uang. Tapi kamu lihat kan, Papa yang memaksa untuk membayarnya. Tidak apa-apa untuk satu kali ini kita ditraktir seseorang," ucapnya lembut.Setelah Elvio menghabiskan makanan penutupnya, ponsel Arvin berdering. Zoya menghela napas lega saat menyadari jika pemuda itu harus segera pergi."Aku akan mengantar kalian pulang dulu," ucap Arvin tegas ketika melihat harapan di mata mantan istrinya. Apa sesulit itu berada satu mobil dengannya?!Zoya tidak punya pilihan selain membiarkan Arvin mengantarkannya pulang kembali. Sama seperti sebelumnya, tidak ada obrolan apa pun selama perjalanan. Zoya memilih untuk menatap ke luar jendela dan bersikap seolah sedang menaiki taksi.Mobil yang dikendarai Arvin akhirnya sampai di pekarangan kecil kontrakan Zoya. Wanita itu baru melepas sabuk pengaman dan akan segera turun sebelum Arvin mencekal tangannya."Ada yang ingin kubicarakan dengan ibumu," ucap Arvin seraya menoleh ke bangku belakang. "Kamu bisa turun lebih dulu dan tunggu di dalam," lanjutnya memberi instruksi.Zoya mengernyit jengkel, tidak tahu lagi harus bagaimana agar Arvin mengerti dan segera menghilang dari hadapannya.'Padahal dulu dia tidak banyak bicara, kenapa sekarang cerewet sekali?!' Zoya berdecak malas, ingin mengumpat, tapi statusnya sebagai seorang ibu membuatnya harus berhati-hati.Zoya menoleh ke belakang dan tersenyum pada Elvio. "El turun duluan, ya? Mama janji tidak akan terlalu lama!""Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Zoya tersenyum pahit mendengar keinginan yang diucap Mia. Dia juga ingin membawa wanita itu bersamanya, tapi kondisinya yang bukan lagi seorang Nona Muda membuat Zoya harus menelan keinginannya bulat-bulat.Jangankan untuk membawa Mia bersamanya, kedatangan Zoya kembali ke rumah ini bahkan untuk meminjam uang agar bisa membiayai operasi dan perawatan Elvio. "Aku ke sini untuk menemui Papa. Apa beliau ada?" tanya Zoya seraya melepas pelukan, mengingat jika waktunya semakin menipis. Mia menghentikan tangisnya, tatapannya menjadi lebih sendu seraya kepalanya menggeleng pelan. "Sejak Nona menghilang, Tuan Rendra juga pergi, katanya ingin mencari Nona. Begitu pun Tuan Muda Kaindra yang menyusul setelahnya," ucap Mia pelan.Zoya memejamkan mata, sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang dia pikir bisa membantu malah tidak ada. Wanita itu tidak terharu sama sekali, juga tidak pernah berpikir lelaki berstatus ayah itu benar-benar sedang mencarinya. Narendra Frandika Aldara yang terkena
Zoya tidak lagi menoleh ke belakang, meski Mia memanggil sambil menangis, wanita itu tetap melangkah pasti, kembali ke mobil dan segera meminta sopir untuk pergi. Air mata yang sedari tadi tertahan langsung tumpah tanpa bisa Zoya cegah. Luka di hatinya kian menganga mendengar setiap kata yang diucap kakek dan neneknya. Padahal Zoya menyerahkan seluruh keputusan tentang hidupnya tanpa pernah menentang, tanpa mengeluh sedikit pun. Sejak saat ia harus berpisah dari ibunya, Zoya sudah merelakan masa anak-anak hingga remajanya berada dalam peraturan ketat keluarga besar Aldara.Zoya tidak sempat memiliki kenangan tentang masa kecilnya di sekolah, juga tidak punya teman atau kenangan membolos pelajaran dan pergi ke bioskop. Zoya tidak mengeluarkan satu protes pun meski jadwal belajarnya terlihat tidak masuk akal untuk anak-anak. Gadis itu terus meyakini pilihan keluarganya selalu benar dan demi kebaikannya di masa depan. Bahkan ketika ia dijodohkan dengan seseorang begitu lulus SMA, Zoya
Zoya menatap tidak percaya pada pemuda yang baru saja mengatakan omong kosong. Tatapannya bergulir pada wanita di belakang Arvin yang wajahnya tampak mengeras. Padahal Zoya sudah menahan malu demi memohon dipinjamkan uang, tapi apa yang dikatakan lelaki itu?Bagaimana Arvin bisa semudah itu mengatakan ingin menjadikan wanita lain sebagai pemuas nafsu saat ada Aileen yang notebene wanita yang sangat dicintainya? 'Tunggu! Bukankah harusnya mereka sudah menikah setelah bertahun-tahun sejak aku dan Arvin bercerai? Mereka kan, saling mencintai?' Kening Zoya berkerut tidak mengerti."Apa tidak ada syarat lain? Aku bisa bekerja untukmu, menjadi pembantu di rumahmu pun aku bisa." Zoya mencoba bernegosiasi, mengabaikan perasaan aneh yang bercokol di dadanya."Tidak ada," tegas Arvin datar. "Menjadi istriku dan melayaniku dengan sah atau menjadi pemuasku di tempat tidur tanpa ikatan. Kalau tidak bisa memilih salah satu, maka tidak ada uang yang bisa kuberikan," lanjutnya dengan nada acuh tak a
Tepat pukul lima sore, Zoya resmi menjadi istri Arvin lagi. Seluruh surat-surat pernikahan yang ditandatangani wanita itu adalah bukti jika pernikahan mereka sah di mata hukum. Zoya tidak bisa memberikan reaksi berarti saat Arvin menciumnya setelah mengucap janji suci. Perasaannya kalut."Selamat atas pernikahan kedua kalian!" Aileen yang menjadi salah satu saksi sekaligus seseorang yang ditugaskan Arvin untuk mengurus tentang pernikahan ini, datang dengan wajah cerah dan senyum lebar. "Pastikan untuk tidak bercerai lagi kali ini, ya!" ujarnya tanpa melepas senyum.Zoya tersenyum kikuk, tidak tahu harus bersikap seperti apa saat penyebab utama perceraiannya dan Arvin malah memberi nasihat seolah dia tidak terlibat sama sekali."Ada yang ingin kubicarakan dengan Aileen sebentar. Kamu tunggu di mobil dulu, Love." Belum sempat Zoya membalas ucapan selamat yang dilontarkan Aileen, Arvin sudah lebih dulu memintanya pergi.Melihat raut datar dan tidak menyenangkan yang jelas terukir di waj
Perjalanan menuju kota tempat tinggal Zoya diisi dengan keheningan sejak Arvin bergegas menjalankan mobilnya setelah mendengar kejadian yang menimpa Elvio. Pemuda itu hanya mampir sebentar untuk membeli makanan yang bisa dikonsumsi Zoya selama perjalanan.Zoya juga tidak berani mengatakan apa pun lagi, merasakan kemarahan dan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Arvin membuat rasa bersalahnya menggunung. Dia tidak bermaksud memberi tahu Arvin saat mereka bertengkar.Zoya pikir bisa mengatakan pelan-pelan kejadian sebenarnya saat Arvin mengantarnya pulang. "Habiskan makananmu, Lovania. Jangan sampai kamu juga berakhir dirawat karena lupa makan." Suara datar yang menyuruhnya untuk makan membuat Zoya yang menatap keluar jendela sembari melamun, langsung meraih paper bag yang sejak beberapa waktu lalu dianggurinya."Kamu juga belum makan," ucap Zoya sembari mulai menggigit satu ayam goreng. "Mau kusuapi?" tanyanya pelan, sedikit ragu, mengingat Arvin sedang marah padanya."Aku bel
Zoya menghela napas pelan, tidak berniat menjawab pertanyaan Arvin. Dia memang tidak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Elvio karena tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Zoya kehilangan peran orang tuanya sejak mereka memutuskan bercerai ketika usianya masih delapan tahun.Bahkan sejak perceraian, ayahnya yang memang sibuk, bertambah semakin jauh dan tak terjangkau. Ibu yang biasanya selalu menemani pun pasa akhirnya pergi entah ke mana. Zoya hanya bersyukur masih memiliki Kaindra di sisinya."Arvin," panggil Zoya pelan, mengingat tentang saudara kembarnya membuat ia semakin mencemaskan keadaan Kaindra. "Apa kamu pernah bertemu Kaindra setelah kita bercerai?" Keheningan melanda saat Arvin tidak langsung menjawab. Pemuda itu tampak mengerutkan kening. "Dia menemuiku sekali," ucapnya pelan.Zoya langsung menoleh, menatap penuh harap. "Apa dia memberitahumu sesuatu?" "Dia hanya bertanya kemana kamu pergi dan kubilang tidak tahu karena tidak lagi berhubungan denganmu.