Perjalanan menuju kota tempat tinggal Zoya diisi dengan keheningan sejak Arvin bergegas menjalankan mobilnya setelah mendengar kejadian yang menimpa Elvio. Pemuda itu hanya mampir sebentar untuk membeli makanan yang bisa dikonsumsi Zoya selama perjalanan.Zoya juga tidak berani mengatakan apa pun lagi, merasakan kemarahan dan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Arvin membuat rasa bersalahnya menggunung. Dia tidak bermaksud memberi tahu Arvin saat mereka bertengkar.Zoya pikir bisa mengatakan pelan-pelan kejadian sebenarnya saat Arvin mengantarnya pulang. "Habiskan makananmu, Lovania. Jangan sampai kamu juga berakhir dirawat karena lupa makan." Suara datar yang menyuruhnya untuk makan membuat Zoya yang menatap keluar jendela sembari melamun, langsung meraih paper bag yang sejak beberapa waktu lalu dianggurinya."Kamu juga belum makan," ucap Zoya sembari mulai menggigit satu ayam goreng. "Mau kusuapi?" tanyanya pelan, sedikit ragu, mengingat Arvin sedang marah padanya."Aku bel
Zoya menghela napas pelan, tidak berniat menjawab pertanyaan Arvin. Dia memang tidak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Elvio karena tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Zoya kehilangan peran orang tuanya sejak mereka memutuskan bercerai ketika usianya masih delapan tahun.Bahkan sejak perceraian, ayahnya yang memang sibuk, bertambah semakin jauh dan tak terjangkau. Ibu yang biasanya selalu menemani pun pasa akhirnya pergi entah ke mana. Zoya hanya bersyukur masih memiliki Kaindra di sisinya."Arvin," panggil Zoya pelan, mengingat tentang saudara kembarnya membuat ia semakin mencemaskan keadaan Kaindra. "Apa kamu pernah bertemu Kaindra setelah kita bercerai?" Keheningan melanda saat Arvin tidak langsung menjawab. Pemuda itu tampak mengerutkan kening. "Dia menemuiku sekali," ucapnya pelan.Zoya langsung menoleh, menatap penuh harap. "Apa dia memberitahumu sesuatu?" "Dia hanya bertanya kemana kamu pergi dan kubilang tidak tahu karena tidak lagi berhubungan denganmu.
Zoya terdiam, tidak bisa membantah apa yang Kaindra katakan. Sulit memang menganggap tempat yang lebih cocok disebut neraka itu sebagai rumah untuk pulang."Aku mungkin sudah tidak diperbolehkan kembali, Love. Kamu pasti tahu sekeras apa hati para orang tua itu. Mereka hanya memikirkan nama baik Aldara, tapi tidak pernah benar-benar menganggap kita sebagai bagian dari mereka." Bagi kakek dan neneknya, keberadaan Zoya dan Kaindra pasti hanyalah duri yang merusak tatanan keluarga. Baik Zoya maupun Kaindra tidak bisa mengubah darah yang mengalir di tubuh mereka, darah wanita yatim piatu yang tidak jelas asal-usulnya.Zoya sendiri tidak mengerti tentang hubungan orang tuanya karena mereka tidak terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Mungkin saja ... keberadaan Zoya dan Kaindra awalnya tidak pernah ada dalam rencana, sama seperti Zoya yang kini memiliki Elvio. Mungkin saja tujuan pernikahan mereka adalah bentuk pemberontakan Narendra pada keluarganya.Entah apa pun alasannya, Zo
Zoya kembali ke ruang rawat Elvio setelah memastikan tidak ada lagi air mata tersisa di wajahnya. Wanita itu menemukan putranya sedang menatap kosong pada langit-langit saat ia masuk."El? Apa ada yang sakit?" Zoya langsung mendekat, senyumnya terpatri saat Elvio menatapnya. "Aku di rumah sakit, ya?" Pertanyaan Elvio membuat senyum Zoya melebar. Ia memang sudah menebak jika Elvio akan melupakan kejadian pagi ini. "Benar, Sayang. Apa ada yang tidak nyaman?" Elvio menggeleng pelan, matanya mengerjap melihat raut lelah yang tercetak di wajah ibunya."Aku pasti membuat Mama menangis dan khawatir sepanjang malam, ya? Maaf, El nggak bisa jaga diri." Zoya segera menggeleng, tangannya mengusap lembut pipi putih Elvio. "Minta maaflah nanti saat kamu benar-benar sudah sembuh, El. Tapi, terima kasih karena sudah bangun, kamu pasti kesakitan sejak kemarin. Terima kasih sudah bertahan dan kembali pada Mama." Zoya tersenyum lembut, menunjukkan wajah lega dan syukur tak terhingga. Hari itu Elv
Narendra Frandika Aldara, sosok yang wajahnya selalu memenuhi majalah bisnis dunia karena kesuksesannya, seseorang yang menjadi motivasi dan idola bagi para pengusaha muda, sekaligus pria pertama yang mematahkan hati Zoya.Zoya tidak tahu ke mana takdir sedang membawanya, tapi sejak beberapa hari lalu, kehidupan Zoya yang damai dan bahagia terus saja terganggu, seolah seseorang sedang mencoba menghancurkan lagi 'rumah' yang telah Zoya bangun.Tidak cukup dengan kedatangan Arvin dan permintaannya untuk menikah lagi, Zoya juga harus menghadapi putranya yang sekarat dan nyaris kehilangannya, ditambah hubungannya dengan Aldara benar-benar hancur tak bersisa. Setelah menerima tawaran Arvin dan menikah dengan pria itu lagi, seolah belum cukup, takdir membawa seseorang berstatus 'Ibu' ke hadapan Zoya.'Lalu, sekarang Papa? Tidak cukupkah aku menghadapi Aileen hari ini? Sebanyak apa luka yang harus kuingat dan seberapa jauh takdir akan mempermainkanku?!' "Kamu ingin turun dan menemuinya?" Ar
Uang? Zoya semakin mengernyit tidak mengerti. Haruskah dia keluar sekarang dan menanyakan langsung pada Kaindra?"Memangnya itu urusanku? Aku hanya ingin uangku kembali. Kalau kau tidak bisa membayar kembali uangnya, bayar dengan tubuhmu!" Deg! Zoya memegang dadanya yang bergemuruh, cara Kaindra bicara dan menatap rendah Rein mengingatkannya pada Arvin. "Aku akan membayarnya! Kupastikan akan melunasi semua hingga bunganya!" Rein berseru, napasnya terengah dengan kemarahan serta kebencian terlukis jelas di matanya. "Aku bukan rentenir. Kembalikan saja uang tiga miliar yang kuberikan pada ayahmu. Kutunggu hingga bulan depan, kalau kau mencoba melarikan diri, aku tidak menjamin kematianmu akan mudah." Zoya menahan napas mendengar nada dingin dan ancaman yang dikeluarkan adiknya. Menatap punggung tegak yang keluar mini market dengan aura sombong membuat satu kata terlintas di benak Zoya. Aldara. Cara adiknya menatap, bicara dan aura yang dikeluarkannya adalah khas seorang Aldara."Apa
Kehadiran pemuda yang tidak diharapkannya membuat zoya menghela napas lelah. Padahal ia jelas bilang tidak ingin diganggu."Siapa yang menjaga Elvio kalau kamu di sini?" Arvin mendengus. "Dia tidur setelah makan dan minum obat, jadi aku meninggalkannya bersama perawat. Kamu sendiri ... kupikir akan menemukanmu yang menangis dan berteriak di sini." Kening zoya berkerut, yang benar saja menangis sambil berteriak, dia bukan lagi remaja labil. "Kalau sudah tahu aku ingin menggalau di sini, kenapa kamu datang?" "Tidak ada yang tahu apa yang akan kamu lakukan saat sendirian. Aku tidak mau mendengar berita tentang mayatmu yang terdampar." Zoya berdecih jengkel. Bagaimana pemuda di sisinya itu sangat mudah mengatakan sesuatu yang mengerikan? Tidak peduli seberapa menyedihkan hidupnya, Zoya tidak mungkin mengambil tindakan konyol dengan bunuh diri."Harusnya aku tahu kalau tidak ada gunanya bertanya sesuatu padamu." Zoya menghela napas pendek, kembali menatap hamparan ombak di depannya. K
"Hentikan, Arvin." Zoya memperingatkan dengan suara tajam. "Biar aku yang bicara pada El," ucapnya seraya mendorong tubuh Arvin menjauh.Pemuda yang sedang memeluk Zoya dari belakang itu berdecih, memilih mengikuti keinginan istrinya. "Tapi, kami berpisah karena berbeda prinsip, bukan berbeda dunia." Arvin sempat menusuk pelan pipi Elvio sebelum berbalik dan menjauh, memasuki kamar mandi tanpa mengatakan apa pun lagi.'Kamu selingkuh! Berbeda prinsip apanya!!!' Zoya membatin jengkel. Kalau saja tidak ada Elvio, dia mungkin sudah melempar Arvin dengan sesuatu. Menghela napas pelan, Zoya menarik kursi dan duduk di sisi putranya. Ia meraih tangan Elvio dan menggenggamnya erat."Ini pasti menjadi berita yang mengejutkan untuk El, tapi benar yang dikatakan Papa. Mama dan Papa memutuskan untuk menikah lagi saat kamu kecelakaan kemarin. Maaf, seharusnya Mama--""Kenapa?" tanya Elvio, memotong permintaan maaf ibunya yang terdengar tidak tulus. "Kenapa menikah saat El kecelakaan? Mama butuh
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,