Kehadiran pemuda yang tidak diharapkannya membuat zoya menghela napas lelah. Padahal ia jelas bilang tidak ingin diganggu."Siapa yang menjaga Elvio kalau kamu di sini?" Arvin mendengus. "Dia tidur setelah makan dan minum obat, jadi aku meninggalkannya bersama perawat. Kamu sendiri ... kupikir akan menemukanmu yang menangis dan berteriak di sini." Kening zoya berkerut, yang benar saja menangis sambil berteriak, dia bukan lagi remaja labil. "Kalau sudah tahu aku ingin menggalau di sini, kenapa kamu datang?" "Tidak ada yang tahu apa yang akan kamu lakukan saat sendirian. Aku tidak mau mendengar berita tentang mayatmu yang terdampar." Zoya berdecih jengkel. Bagaimana pemuda di sisinya itu sangat mudah mengatakan sesuatu yang mengerikan? Tidak peduli seberapa menyedihkan hidupnya, Zoya tidak mungkin mengambil tindakan konyol dengan bunuh diri."Harusnya aku tahu kalau tidak ada gunanya bertanya sesuatu padamu." Zoya menghela napas pendek, kembali menatap hamparan ombak di depannya. K
"Hentikan, Arvin." Zoya memperingatkan dengan suara tajam. "Biar aku yang bicara pada El," ucapnya seraya mendorong tubuh Arvin menjauh.Pemuda yang sedang memeluk Zoya dari belakang itu berdecih, memilih mengikuti keinginan istrinya. "Tapi, kami berpisah karena berbeda prinsip, bukan berbeda dunia." Arvin sempat menusuk pelan pipi Elvio sebelum berbalik dan menjauh, memasuki kamar mandi tanpa mengatakan apa pun lagi.'Kamu selingkuh! Berbeda prinsip apanya!!!' Zoya membatin jengkel. Kalau saja tidak ada Elvio, dia mungkin sudah melempar Arvin dengan sesuatu. Menghela napas pelan, Zoya menarik kursi dan duduk di sisi putranya. Ia meraih tangan Elvio dan menggenggamnya erat."Ini pasti menjadi berita yang mengejutkan untuk El, tapi benar yang dikatakan Papa. Mama dan Papa memutuskan untuk menikah lagi saat kamu kecelakaan kemarin. Maaf, seharusnya Mama--""Kenapa?" tanya Elvio, memotong permintaan maaf ibunya yang terdengar tidak tulus. "Kenapa menikah saat El kecelakaan? Mama butuh
Zoya sempat bergeming beberapa saat, tapi ketika orang-orang mulai menatapnya yang tidak kunjung keluar lift, ia langsung melangkah keluar dan berniat melewati wanita itu begitu saja, berpura-pura tidak kenal dan tidak mendengarnya memanggil 'Love'."Love! Lovania!" Zoya mengerutkan kening saat lengannya dicegat. "Apa kita saling mengenal? Dari mana Anda tahu nama saya?" tanyanya tajam.Wanita di hadapan Zoya tampak terkejut, matanya berkaca-kaca."Ayo bicara sebentar, Love, sudah lama kita tidak bertemu dan bertukar cerita, kan?" Zoya langsung melepaskan lengannya dan menjauh. "Maaf, saya tidak bertukar cerita dengan orang asing!" ujarnya sebelum bergegas pergi, mengabaikan panggilan wanita yang merupakan ibu kandungnya.Kenapa tiba-tiba bersikap sok akrab setelah selama ini membuang dan mengabaikan Zoya? Zoya tidak mengerti sama sekali! Dia tidak bisa lupa hari-hari yang dilewatinya di neraka bernama Aldara, tanpa orang-orang yang telah membuatnya terlahir ke dunia memedulikannya.
Zoya tidak menjawab apa pun, memilih untuk kembali ke sofa dan mulai membuka makanannya. Arvin yang pertanyaannya diabaikan mengerutkan kening, tapi memilih kembali dengan aktivitasnya menyuapi Elvio. Elvio yang merasa sudah salah bertanya juga segera menutup mulut dan melanjutkan makan. Pagi itu dilewati dengan keheningan, bahkan setelah Zoya pamit untuk pergi bekerja dan menolak tawaran Arvin untuk diantar, ruangan itu masih sama heningnya.Elvio yang sudah menelan semua obatnya dan berniat mengabaikan keberadaan Arvin seperti kemarin, langsung melupakan niatnya saat mengingat sesuatu yang harus ia katakan pada sang ayah."Tentang yang kau katakan tadi," ucap Elvio memulai pembicaraan, membuat Arvin yang baru makan beberapa suap langsung menghentikan aktivitasnya."Yang mana?" tanya Arvin tidak mengerti, banyak hal yang sudah dia katakan.Elvio memutar bola mata malas. "Tentang wanitamu, ehm ... siapa namanya? Ah, Aileen! Katakan padanya untuk tidak menggangguku dan Mama, maka aku
"Apa yang kau--!"Kata-mata Arvin tertelan saat Zoya keluar mobil tanpa mengindahkannya. Kening pemuda itu mengerut jengkel. Selalu seperti ini! Zoya akan mengatakan apa pun sesuka hati, tapi tidak pernah benar-benar mendengarkan saat Arvin bicara.Zoya yang telah membantu Elvio untuk keluar, menghela napas saat melihat sosok yang tidak diharapkannya datang sambil tersenyum lebar."Selamat datang, Zoya!" Aileen datang dan langsung memeluk Zoya, senyumnya mengembang lebar. "Selamat datang untukmu juga, Gavin," ucapnya setelah melepas pelukan dan menepuk pelan kepala Elvio.Elvio segera menjauhkan kepalanya, terang-terangan memasang raut tidak suka. Aileen yang ditolak, berdeham pelan. "Maaf, sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut kalian. Tapi, semoga kalian betah di sini, aku sudah menyiapkan kamar kalian!" Alis Zoya terangkat. Kamar kalian? Apakah itu artinya ia dan Elvio akan tinggal di satu kamar? 'Yah, baguslah kalau seperti itu!' "Ayo masuk!" Arvin meraih pinggang Zoya d
"Uwaaa!!!" Zoya tertawa melihat Elvio yang berlari menyusuri sisi pantai sambil berteriak. Seminggu lebih terkurung di kamar rumah sakit, tentu saja Elvio sudah menahan diri dengan baik meski Zoya tahu putranya sangat bosan.Mereka baru saja mengambil beberapa barang dari kontrakan Zoya dan memilih untuk jalan-jalan malam dulu sebentar. Zoya bersyukur setidaknya sopir yang melayaninya sekarang, sama dengan sopirnya tujuh tahun lalu. Selain tidak banyak bicara dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, orang itu juga mengerti tentang privasi dan tidak pernah ikut campur meski Zoya melakukan apa pun."Mama!" Elvio memanggil, tangannya melambai dengan semangat. Zoya membalas lambaian Elvio seraya duduk di atas pasir, membiarkan pakaiannya kotor. Plastik putih berisi es krim dan beberapa camilan ia letakkan di samping. "Mama nggak bermaksud makan sendirian, kan?" Elvio datang tepat saat Zoya baru saja membuka satu bungkus es krim. Wanita itu terkekeh pelan, memberikan es krim yang su
Menyakiti. Satu kata yang diucap Elvio membuat Zoya tersenyum pahit. Jika mengingat betapa dingin dan tidak pedulinya Arvin dulu, Arvin yang sekarang jauh lebih baik. Setidaknya pria itu mengatakan dengan jelas apa maksud dan tujuannya menikahi Zoya.Lebih mudah berhadapan dengan seseorang yang niatnya jelas daripada orang yang hanya diam dan membunuh tanpa kata."Ayo pulang setelah kamu menghabiskan es krim! Besok kita harus bangun pagi dan bersiap ke sekolah," ucap Zoya seraya mengusak gemas surai kelam putranya. Elvio yang tahu jika ibunya tidak mau menjawab pertanyaannya, mengangguk dan segera memakan es krimnya. Tentu saja Zoya tidak akan mengatakan apa-apa, karena bagi wanita itu Elvio hanyalah anak berusia enam tahun yang tidak boleh memikirkan hal berat.Setelah Elvio selesai, keduanya berjalan beriringan menuju mobil yang menunggu. Zoya membiarkan saat sopir membukakan pintu untuknya dan Elvio. "Oh ya, El, ada yang ingin Mama katakan," ucap Zoya saat mobil yang ditumpanginy
"Siapa, Ma?" Elvio bertanya saat melihat tatapan ibunya tampak goyah. "Tidak tahu, Mama tidak kenal nomornya. Mungkin spam?" Zoya memilih mengabaikan ponselnya, membiarkan panggilan itu terputus dengan sendirinya. Sampai di depan kontrakan Zoya, wanita itu meminta sopir untuk kembali dan berjanji akan menelepon saat waktunya untuk pulang. Ponsel di tas Zoya kembali berdering. Wanita itu tidak repot memeriksa siapa yang menelepon, langsung memasuki kamar dan memeriksa bawah kasur. Setelah memasukkan buku hariannya ke dalam tas, Zoya dan Elvio bergegas keluar dan berjalan sambil bergandengan tangan. "Dari tadi ditelepon terus lho, Ma! Yakin bukan telepon penting?" Elvio mengerutkan dahi ketika lagi-lagi ponsel Zoya berdering. Kalau memang spam, bukankah harusnya berhenti saat diabaikan di panggilan pertama?Zoya menghela napas, meraih ponsel di tas dan mendengus melihat nama saudara kembarnya masih tertera sebagai penelepon. "Nanti, deh! Mama akan angkat setelah kita makan, itu pun