"Siapa, Ma?" Elvio bertanya saat melihat tatapan ibunya tampak goyah. "Tidak tahu, Mama tidak kenal nomornya. Mungkin spam?" Zoya memilih mengabaikan ponselnya, membiarkan panggilan itu terputus dengan sendirinya. Sampai di depan kontrakan Zoya, wanita itu meminta sopir untuk kembali dan berjanji akan menelepon saat waktunya untuk pulang. Ponsel di tas Zoya kembali berdering. Wanita itu tidak repot memeriksa siapa yang menelepon, langsung memasuki kamar dan memeriksa bawah kasur. Setelah memasukkan buku hariannya ke dalam tas, Zoya dan Elvio bergegas keluar dan berjalan sambil bergandengan tangan. "Dari tadi ditelepon terus lho, Ma! Yakin bukan telepon penting?" Elvio mengerutkan dahi ketika lagi-lagi ponsel Zoya berdering. Kalau memang spam, bukankah harusnya berhenti saat diabaikan di panggilan pertama?Zoya menghela napas, meraih ponsel di tas dan mendengus melihat nama saudara kembarnya masih tertera sebagai penelepon. "Nanti, deh! Mama akan angkat setelah kita makan, itu pun
Zoya melewati harinya seperti biasa, menyambut pelanggan dengan senyum dan wajah cerah, juga berbagi cerita tentang kondisi Elvio pada Almia dan Reno. Pukul sebelas tepat, Zoya sudah membawa Elvio ke mini market setelah pulang ke kontrakan sebentar untuk mengganti pakaian.Mereka makan siang bersama sebelum Zoya kembali pada pekerjaannya. Elvio tidak mengeluh meski harus bermain sendiri di depan mini market. Ia hanya masuk saat matanya berat dan Zoya mengizinkannya untuk tidur di ruang istirahat karyawan, itu pun setelah meminta izin pada pemilik mini market dan pekerja lain.Saat matahari tergelincir dan tenggelam di ufuk brat, Zoya yang sedang bersiap untuk pulang, dikejutkan dengan kedatangan Arvin. Pemuda itu menunggu di depan mini market bersama Elvio. Zoya yang melihat dari dalam dan tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Arvin dan Elvio hanya bisa bergegas dan menyelesaikan pekerjaannya."Jadi, kenapa tidak pulang dan malah mengganggu ibumu di sini?" Arvin yang akhirnya membuk
"Seperti biasanya saja! Aku jadi kesayangan bu guru, trus pulang, deh!" Elvio menjawab sembari mengendikkan bahu. Diceritakan seperti apa pun, kehidupan anak TK tidak jauh-jauh dari memberi salam, bermain, makan bersama, bernyanyi, lalu pulang. Elvio tidak tahu apa yang ingin Arvin dengar, tapi benar-benar tidak ada yang spesial dari aktivitasnya di sekolah."Oh, teman-teman dan bu guru bertanya kenapa aku nggak boleh dijenguk, aku bilang dokter nggak kasih izin siapa pun masuk ke kamarku selain Mama." Elvio menatap ibunya, meminta persetujuan atas yang telah ia katakan di sekolah tadi.Zoya mengangguk, tangannya terulur untuk mengusak pelan helai rambut Elvio. "Padahal Mama sudah menjelaskannya, tapi mereka masih penasaran, ya? Terima kasih sudah menjawab dengan baik," ucapnya sembari menjawil hidung mancung Elvio.Arvin yang masih belum terbiasa dengan sikap putranya yang berbeda seratus delapan puluh derajat jika berada di hadapan Zoya, menggeleng pelan saat Elvio tertawa karena Z
Zoya segera berlalu, giginya bergemeletak menahan emosi yang membumbung tinggi. Tapi, langkah wanita itu terhenti saat Aileen mencekal lengannya."Kamu marah padaku, Zo?" Aileen bertanya dengan suara gemetar, matanya tampak berkaca-kaca. "Bukan aku yang menginginkan situasi ini! Padahal aku selalu mengalah padamu, Zoya. Aku selalu memberikan Arvin padamu, tapi--!""Ha, lucu sekali!" Zoya mendengus, menghempaskan tangan yang mencekalnya sebelum bersedekap, matanya memicing tajam, menatap lurus pada Aileen yang bersikap seolah dialah korbannya."Kamu memberikan Arvin padaku? Kapan?" Zoya menaikkan sebelah alis, seringai mengejek tercetak di bibirnya. "Arvin yang selalu datang padaku, entah dulu atau pun sekarang, dia yang mengejarku!""Benar, dia selalu datang padamu! Aku terus menyuruhnya untuk mencarimu dan menyakitinya. Meski aku tahu Arvin mencintaiku--" "Pfft! Kamu pikir cukup hanya dengan Arvin mencintaimu?" Zoya terkekeh pelan, terang-terangan mengejek wanita yang bergetar di de
Zoya mengulum bibir, menahan tawanya melihat wajah polos Elvio. Wajar saja bagi anak-anak untuk berpikir seperti itu. Elvio terbiasa hanya berdua dengan ibunya, jadi saat wanita itu menceritakan tentang saudaranya, apa yang bisa Elvio pikirkan selain orang itu sudah tidak ada di dunia ketika ia tidak pernah bertemu?"Dia sedang pergi ke tempat yang cukup jauh selama beberapa tahun ini, makanya tidak bisa menemui El. Tapi, kemarin dia menghubungi Mama dan bilang ingin bertemu. El mau kan, bertemu dengan om Kaindra?" Zoya mengusap pelan kepala putranya saat anak itu mengerjap dengan tatapan polos."Hmm, oke!" Elvio mengangguk cepat, senyumnya mengembang lebar saat melihat wajah lega ibunya. "Tapi, kapan kita akan ketemu om?" tanyanya."Sepertinya dalam minggu ini, kalau tidak ada halangan, kita akan segera bertemu." Zoya menutup pembicaraannya saat bubur yang ia pesan telah datang.Selesai dengan sarapan, Zoya dan Elvio memilih untuk duduk di kursi yang disediakan di depan mini market.
Kaindra terkekeh pelan, mengusak surai panjang Zoya sebelum mengalihkan tatapnya pada Elvio."Halo, namamu Elvio, kan? Kamu boleh tanya langsung padaku, pasti akan kujawab dengan jujur." Kaindra tersenyum pada Elvio yang mengerjap di tempatnya."Kalian ... benar-benar mirip," ucap Elvio setelah terpana beberapa saat. Kaindra adalah versi laki-laki dari ibunya. 'Bisa juga dikatakan Mama adalah versi wanita dari orang ini, kan?' Elvio membatin, memperhatikan wajah tampan Kaindra yang tampak lembut ketika tersenyum. "Menurutmu begitu? Padahal orang-orang sering membandingkan karena kami tidak mirip sama sekali. Tapi, aku lebih setuju dengan pendapatmu, El!" Kaindra mengedipkan sebelah mata, bertingkah seolah ia dan Elvio sudah kenal sejak lama.Elvio yang mendapati jika sikap dan cara bicara Kaindra juga mirip dengan ibunya, langsung tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Zoya yang memperhatikan bagaimana Kaindra dengan cepat mengambil atensi Elvio dengan senyum dan sikap ramahnya,
Zoya memilih untuk menceritakan segalanya, tentang rumah tangganya yang dingin, tentang Arvin yang selalu mengabaikannya, juga tentang hubungan antara suaminya dan Aileen. Zoya juga menceritakan apa yang telah dikatakan oleh sang nenek, bagaimana wanita itu memutus hubungan dan mengusirnya."Pikiran tidak memiliki tempat untuk pulang membuatku menyerah, Kai. Aku lelah sendirian, tidak punya teman, juga tidak memiliki keluarga." Zoya menarik napas panjang, berusaha menghentikan air mata yang terus mengalir. "Pada saat itu ... kamu dan Papa pun tidak tahu di mana keberadaannya."Kaindra terdiam, dadanya sesak membayangkan saudarinya melalui semua kesulitan itu sendirian. Bagaimana dia bisa bertingkah kekanakkan dan tidak mengunjungi Zoya sama sekali setelah pernikahannya?!"Kehadiran Elvio membuatku mengerti apa itu keluarga. Dia adalah alasan aku bertahan dan tetap hidup hingga saat ini. Tapi, bahkan takdir pun tidak merestui kebahagiaanku. Kalian datang lagi dan mengacaukan segalanya.
Zoya kembali tidak bertemu dengan Aileen maupun Arvin sesuai harapannya. Rasa lelah membuat wanita itu langsung berganti pakaian dan tidur, berniat untuk memejamkan mata meski hanya sesaat dan bangun saat waktunya makan malam.Sayangnya, Zoya terbangun saat sudah tengah malam. Bahkan Elvio juga tidur nyenyak. 'Aku sudah makan dan minum obat!'Zoya tersenyum melihat catatan yang ditulis Elvio dan diletakkan di atas nakas. Sepertinya hanya dia yang terlalu lelah dan tidak bisa bangun, mengingat Elvio makan malam dan menelan obatnya."Aku haus ...." Zoya menelan ludah, meraih botol minum dan menghela napas saat tidak ada setetes pun air di dalamnya. Melirik lagi jam yang tertera di ponselnya, Zoya menarik napas panjang saat angka satu tertera. Sudah hampir dini hari ternyata. "Well, ini bukan cerita horor!" ujar Zoya sembari bangkit dari ranjang, membawa botol air minumnya keluar kamar. Lorong panjang yang sepi dan agak remang membuat Zoya menekan dadanya yang berdebar. Wanita itu be
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,