"Seperti biasanya saja! Aku jadi kesayangan bu guru, trus pulang, deh!" Elvio menjawab sembari mengendikkan bahu. Diceritakan seperti apa pun, kehidupan anak TK tidak jauh-jauh dari memberi salam, bermain, makan bersama, bernyanyi, lalu pulang. Elvio tidak tahu apa yang ingin Arvin dengar, tapi benar-benar tidak ada yang spesial dari aktivitasnya di sekolah."Oh, teman-teman dan bu guru bertanya kenapa aku nggak boleh dijenguk, aku bilang dokter nggak kasih izin siapa pun masuk ke kamarku selain Mama." Elvio menatap ibunya, meminta persetujuan atas yang telah ia katakan di sekolah tadi.Zoya mengangguk, tangannya terulur untuk mengusak pelan helai rambut Elvio. "Padahal Mama sudah menjelaskannya, tapi mereka masih penasaran, ya? Terima kasih sudah menjawab dengan baik," ucapnya sembari menjawil hidung mancung Elvio.Arvin yang masih belum terbiasa dengan sikap putranya yang berbeda seratus delapan puluh derajat jika berada di hadapan Zoya, menggeleng pelan saat Elvio tertawa karena Z
Zoya segera berlalu, giginya bergemeletak menahan emosi yang membumbung tinggi. Tapi, langkah wanita itu terhenti saat Aileen mencekal lengannya."Kamu marah padaku, Zo?" Aileen bertanya dengan suara gemetar, matanya tampak berkaca-kaca. "Bukan aku yang menginginkan situasi ini! Padahal aku selalu mengalah padamu, Zoya. Aku selalu memberikan Arvin padamu, tapi--!""Ha, lucu sekali!" Zoya mendengus, menghempaskan tangan yang mencekalnya sebelum bersedekap, matanya memicing tajam, menatap lurus pada Aileen yang bersikap seolah dialah korbannya."Kamu memberikan Arvin padaku? Kapan?" Zoya menaikkan sebelah alis, seringai mengejek tercetak di bibirnya. "Arvin yang selalu datang padaku, entah dulu atau pun sekarang, dia yang mengejarku!""Benar, dia selalu datang padamu! Aku terus menyuruhnya untuk mencarimu dan menyakitinya. Meski aku tahu Arvin mencintaiku--" "Pfft! Kamu pikir cukup hanya dengan Arvin mencintaimu?" Zoya terkekeh pelan, terang-terangan mengejek wanita yang bergetar di de
Zoya mengulum bibir, menahan tawanya melihat wajah polos Elvio. Wajar saja bagi anak-anak untuk berpikir seperti itu. Elvio terbiasa hanya berdua dengan ibunya, jadi saat wanita itu menceritakan tentang saudaranya, apa yang bisa Elvio pikirkan selain orang itu sudah tidak ada di dunia ketika ia tidak pernah bertemu?"Dia sedang pergi ke tempat yang cukup jauh selama beberapa tahun ini, makanya tidak bisa menemui El. Tapi, kemarin dia menghubungi Mama dan bilang ingin bertemu. El mau kan, bertemu dengan om Kaindra?" Zoya mengusap pelan kepala putranya saat anak itu mengerjap dengan tatapan polos."Hmm, oke!" Elvio mengangguk cepat, senyumnya mengembang lebar saat melihat wajah lega ibunya. "Tapi, kapan kita akan ketemu om?" tanyanya."Sepertinya dalam minggu ini, kalau tidak ada halangan, kita akan segera bertemu." Zoya menutup pembicaraannya saat bubur yang ia pesan telah datang.Selesai dengan sarapan, Zoya dan Elvio memilih untuk duduk di kursi yang disediakan di depan mini market.
Kaindra terkekeh pelan, mengusak surai panjang Zoya sebelum mengalihkan tatapnya pada Elvio."Halo, namamu Elvio, kan? Kamu boleh tanya langsung padaku, pasti akan kujawab dengan jujur." Kaindra tersenyum pada Elvio yang mengerjap di tempatnya."Kalian ... benar-benar mirip," ucap Elvio setelah terpana beberapa saat. Kaindra adalah versi laki-laki dari ibunya. 'Bisa juga dikatakan Mama adalah versi wanita dari orang ini, kan?' Elvio membatin, memperhatikan wajah tampan Kaindra yang tampak lembut ketika tersenyum. "Menurutmu begitu? Padahal orang-orang sering membandingkan karena kami tidak mirip sama sekali. Tapi, aku lebih setuju dengan pendapatmu, El!" Kaindra mengedipkan sebelah mata, bertingkah seolah ia dan Elvio sudah kenal sejak lama.Elvio yang mendapati jika sikap dan cara bicara Kaindra juga mirip dengan ibunya, langsung tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Zoya yang memperhatikan bagaimana Kaindra dengan cepat mengambil atensi Elvio dengan senyum dan sikap ramahnya,
Zoya memilih untuk menceritakan segalanya, tentang rumah tangganya yang dingin, tentang Arvin yang selalu mengabaikannya, juga tentang hubungan antara suaminya dan Aileen. Zoya juga menceritakan apa yang telah dikatakan oleh sang nenek, bagaimana wanita itu memutus hubungan dan mengusirnya."Pikiran tidak memiliki tempat untuk pulang membuatku menyerah, Kai. Aku lelah sendirian, tidak punya teman, juga tidak memiliki keluarga." Zoya menarik napas panjang, berusaha menghentikan air mata yang terus mengalir. "Pada saat itu ... kamu dan Papa pun tidak tahu di mana keberadaannya."Kaindra terdiam, dadanya sesak membayangkan saudarinya melalui semua kesulitan itu sendirian. Bagaimana dia bisa bertingkah kekanakkan dan tidak mengunjungi Zoya sama sekali setelah pernikahannya?!"Kehadiran Elvio membuatku mengerti apa itu keluarga. Dia adalah alasan aku bertahan dan tetap hidup hingga saat ini. Tapi, bahkan takdir pun tidak merestui kebahagiaanku. Kalian datang lagi dan mengacaukan segalanya.
Zoya kembali tidak bertemu dengan Aileen maupun Arvin sesuai harapannya. Rasa lelah membuat wanita itu langsung berganti pakaian dan tidur, berniat untuk memejamkan mata meski hanya sesaat dan bangun saat waktunya makan malam.Sayangnya, Zoya terbangun saat sudah tengah malam. Bahkan Elvio juga tidur nyenyak. 'Aku sudah makan dan minum obat!'Zoya tersenyum melihat catatan yang ditulis Elvio dan diletakkan di atas nakas. Sepertinya hanya dia yang terlalu lelah dan tidak bisa bangun, mengingat Elvio makan malam dan menelan obatnya."Aku haus ...." Zoya menelan ludah, meraih botol minum dan menghela napas saat tidak ada setetes pun air di dalamnya. Melirik lagi jam yang tertera di ponselnya, Zoya menarik napas panjang saat angka satu tertera. Sudah hampir dini hari ternyata. "Well, ini bukan cerita horor!" ujar Zoya sembari bangkit dari ranjang, membawa botol air minumnya keluar kamar. Lorong panjang yang sepi dan agak remang membuat Zoya menekan dadanya yang berdebar. Wanita itu be
Zoya hampir berhenti bernapas dan terdiam. Suara helaan kasar dari pemuda di hadapannya terus bergema di pendengar Zoya, memberinya peringatan untuk melarikan diri saat ini juga. "Bukankah kamu harus bertanggung jawab atas yang terjadi padaku?" Arvin memperingatkan dengan suara berbisik rendah, menarik pinggang Zoya mendekat dan membawanya ke pangkuan. Zoya bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah tubuhnya. Pikirannya melayang pada kehangatan yang pernah menyelubunginya bertahun lalu.Lari. Bisikan rendah bergema di kepala Zoya. Peringatan itu membuatnya takut, juga khawatir.Seluruh tubuh Zoya seakan dikuasai oleh detak jantungnya sendiri, dentuman keras memenuhi dadanya. Zoya menahan napas, berusaha agar tubuhnya tidak gemetar, tapi jari-jarinya tetap terasa dingin saat menyentuh wajah Arvin perlahan."Arvin ...." Hanya satu kata yang keluar dari mulut Zoya. Napasnya terasa berat seiring dengan kata-katanya yang penuh tekad."Aku akan bertanggung jawab," bisik Zoya.Sebenarny
Zoya menaikkan sebelah alis melihat Aileen memasuki dapur dengan gaun malam yang sangat tipis dan terbuka. Keningnya berkerut semakin dalam saat Aileen tampak terkejut sambil menutupi lehernya yang terdapat beberapa bercak."Itu ... Zoya ... aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya." Aileen menunduk, wajahnya jelas menunjukkan perasaan bersalah yang pekat."Menjelaskan apa?" tanya Zoya tidak tahan, sedikit heran dengan kedatangan Aileen yang tiba-tiba, padahal selama seminggu ini wanita itu tidak pernah terlihat setiap kali Zoya bangun subuh.Ailen berdeham, tampak salah tingkah. "Aku memikirkan perkataanmu waktu itu dan sudah berusaha untuk tidak lagi mempercayai cinta Arvin padaku," ucapnya sebelum menatap tepat di manik Zoya secara perlahan. "Tapi, aku tidak bisa, maksudku tubuhku tidak bisa menolak Arvin. Maafkan aku ...."Ha? Zoya mengerjap di tempatnya, dahinya berkerut tanpa sadar. Sebenarnya siapa yang sedang bermimpi? Jelas-jelas semalam Arvin bersamanya, tapi Zoya tidak bisa