"Apa yang kau--!"Kata-mata Arvin tertelan saat Zoya keluar mobil tanpa mengindahkannya. Kening pemuda itu mengerut jengkel. Selalu seperti ini! Zoya akan mengatakan apa pun sesuka hati, tapi tidak pernah benar-benar mendengarkan saat Arvin bicara.Zoya yang telah membantu Elvio untuk keluar, menghela napas saat melihat sosok yang tidak diharapkannya datang sambil tersenyum lebar."Selamat datang, Zoya!" Aileen datang dan langsung memeluk Zoya, senyumnya mengembang lebar. "Selamat datang untukmu juga, Gavin," ucapnya setelah melepas pelukan dan menepuk pelan kepala Elvio.Elvio segera menjauhkan kepalanya, terang-terangan memasang raut tidak suka. Aileen yang ditolak, berdeham pelan. "Maaf, sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut kalian. Tapi, semoga kalian betah di sini, aku sudah menyiapkan kamar kalian!" Alis Zoya terangkat. Kamar kalian? Apakah itu artinya ia dan Elvio akan tinggal di satu kamar? 'Yah, baguslah kalau seperti itu!' "Ayo masuk!" Arvin meraih pinggang Zoya d
"Uwaaa!!!" Zoya tertawa melihat Elvio yang berlari menyusuri sisi pantai sambil berteriak. Seminggu lebih terkurung di kamar rumah sakit, tentu saja Elvio sudah menahan diri dengan baik meski Zoya tahu putranya sangat bosan.Mereka baru saja mengambil beberapa barang dari kontrakan Zoya dan memilih untuk jalan-jalan malam dulu sebentar. Zoya bersyukur setidaknya sopir yang melayaninya sekarang, sama dengan sopirnya tujuh tahun lalu. Selain tidak banyak bicara dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, orang itu juga mengerti tentang privasi dan tidak pernah ikut campur meski Zoya melakukan apa pun."Mama!" Elvio memanggil, tangannya melambai dengan semangat. Zoya membalas lambaian Elvio seraya duduk di atas pasir, membiarkan pakaiannya kotor. Plastik putih berisi es krim dan beberapa camilan ia letakkan di samping. "Mama nggak bermaksud makan sendirian, kan?" Elvio datang tepat saat Zoya baru saja membuka satu bungkus es krim. Wanita itu terkekeh pelan, memberikan es krim yang su
Menyakiti. Satu kata yang diucap Elvio membuat Zoya tersenyum pahit. Jika mengingat betapa dingin dan tidak pedulinya Arvin dulu, Arvin yang sekarang jauh lebih baik. Setidaknya pria itu mengatakan dengan jelas apa maksud dan tujuannya menikahi Zoya.Lebih mudah berhadapan dengan seseorang yang niatnya jelas daripada orang yang hanya diam dan membunuh tanpa kata."Ayo pulang setelah kamu menghabiskan es krim! Besok kita harus bangun pagi dan bersiap ke sekolah," ucap Zoya seraya mengusak gemas surai kelam putranya. Elvio yang tahu jika ibunya tidak mau menjawab pertanyaannya, mengangguk dan segera memakan es krimnya. Tentu saja Zoya tidak akan mengatakan apa-apa, karena bagi wanita itu Elvio hanyalah anak berusia enam tahun yang tidak boleh memikirkan hal berat.Setelah Elvio selesai, keduanya berjalan beriringan menuju mobil yang menunggu. Zoya membiarkan saat sopir membukakan pintu untuknya dan Elvio. "Oh ya, El, ada yang ingin Mama katakan," ucap Zoya saat mobil yang ditumpanginy
"Siapa, Ma?" Elvio bertanya saat melihat tatapan ibunya tampak goyah. "Tidak tahu, Mama tidak kenal nomornya. Mungkin spam?" Zoya memilih mengabaikan ponselnya, membiarkan panggilan itu terputus dengan sendirinya. Sampai di depan kontrakan Zoya, wanita itu meminta sopir untuk kembali dan berjanji akan menelepon saat waktunya untuk pulang. Ponsel di tas Zoya kembali berdering. Wanita itu tidak repot memeriksa siapa yang menelepon, langsung memasuki kamar dan memeriksa bawah kasur. Setelah memasukkan buku hariannya ke dalam tas, Zoya dan Elvio bergegas keluar dan berjalan sambil bergandengan tangan. "Dari tadi ditelepon terus lho, Ma! Yakin bukan telepon penting?" Elvio mengerutkan dahi ketika lagi-lagi ponsel Zoya berdering. Kalau memang spam, bukankah harusnya berhenti saat diabaikan di panggilan pertama?Zoya menghela napas, meraih ponsel di tas dan mendengus melihat nama saudara kembarnya masih tertera sebagai penelepon. "Nanti, deh! Mama akan angkat setelah kita makan, itu pun
Zoya melewati harinya seperti biasa, menyambut pelanggan dengan senyum dan wajah cerah, juga berbagi cerita tentang kondisi Elvio pada Almia dan Reno. Pukul sebelas tepat, Zoya sudah membawa Elvio ke mini market setelah pulang ke kontrakan sebentar untuk mengganti pakaian.Mereka makan siang bersama sebelum Zoya kembali pada pekerjaannya. Elvio tidak mengeluh meski harus bermain sendiri di depan mini market. Ia hanya masuk saat matanya berat dan Zoya mengizinkannya untuk tidur di ruang istirahat karyawan, itu pun setelah meminta izin pada pemilik mini market dan pekerja lain.Saat matahari tergelincir dan tenggelam di ufuk brat, Zoya yang sedang bersiap untuk pulang, dikejutkan dengan kedatangan Arvin. Pemuda itu menunggu di depan mini market bersama Elvio. Zoya yang melihat dari dalam dan tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Arvin dan Elvio hanya bisa bergegas dan menyelesaikan pekerjaannya."Jadi, kenapa tidak pulang dan malah mengganggu ibumu di sini?" Arvin yang akhirnya membuk
"Seperti biasanya saja! Aku jadi kesayangan bu guru, trus pulang, deh!" Elvio menjawab sembari mengendikkan bahu. Diceritakan seperti apa pun, kehidupan anak TK tidak jauh-jauh dari memberi salam, bermain, makan bersama, bernyanyi, lalu pulang. Elvio tidak tahu apa yang ingin Arvin dengar, tapi benar-benar tidak ada yang spesial dari aktivitasnya di sekolah."Oh, teman-teman dan bu guru bertanya kenapa aku nggak boleh dijenguk, aku bilang dokter nggak kasih izin siapa pun masuk ke kamarku selain Mama." Elvio menatap ibunya, meminta persetujuan atas yang telah ia katakan di sekolah tadi.Zoya mengangguk, tangannya terulur untuk mengusak pelan helai rambut Elvio. "Padahal Mama sudah menjelaskannya, tapi mereka masih penasaran, ya? Terima kasih sudah menjawab dengan baik," ucapnya sembari menjawil hidung mancung Elvio.Arvin yang masih belum terbiasa dengan sikap putranya yang berbeda seratus delapan puluh derajat jika berada di hadapan Zoya, menggeleng pelan saat Elvio tertawa karena Z
Zoya segera berlalu, giginya bergemeletak menahan emosi yang membumbung tinggi. Tapi, langkah wanita itu terhenti saat Aileen mencekal lengannya."Kamu marah padaku, Zo?" Aileen bertanya dengan suara gemetar, matanya tampak berkaca-kaca. "Bukan aku yang menginginkan situasi ini! Padahal aku selalu mengalah padamu, Zoya. Aku selalu memberikan Arvin padamu, tapi--!""Ha, lucu sekali!" Zoya mendengus, menghempaskan tangan yang mencekalnya sebelum bersedekap, matanya memicing tajam, menatap lurus pada Aileen yang bersikap seolah dialah korbannya."Kamu memberikan Arvin padaku? Kapan?" Zoya menaikkan sebelah alis, seringai mengejek tercetak di bibirnya. "Arvin yang selalu datang padaku, entah dulu atau pun sekarang, dia yang mengejarku!""Benar, dia selalu datang padamu! Aku terus menyuruhnya untuk mencarimu dan menyakitinya. Meski aku tahu Arvin mencintaiku--" "Pfft! Kamu pikir cukup hanya dengan Arvin mencintaimu?" Zoya terkekeh pelan, terang-terangan mengejek wanita yang bergetar di de
Zoya mengulum bibir, menahan tawanya melihat wajah polos Elvio. Wajar saja bagi anak-anak untuk berpikir seperti itu. Elvio terbiasa hanya berdua dengan ibunya, jadi saat wanita itu menceritakan tentang saudaranya, apa yang bisa Elvio pikirkan selain orang itu sudah tidak ada di dunia ketika ia tidak pernah bertemu?"Dia sedang pergi ke tempat yang cukup jauh selama beberapa tahun ini, makanya tidak bisa menemui El. Tapi, kemarin dia menghubungi Mama dan bilang ingin bertemu. El mau kan, bertemu dengan om Kaindra?" Zoya mengusap pelan kepala putranya saat anak itu mengerjap dengan tatapan polos."Hmm, oke!" Elvio mengangguk cepat, senyumnya mengembang lebar saat melihat wajah lega ibunya. "Tapi, kapan kita akan ketemu om?" tanyanya."Sepertinya dalam minggu ini, kalau tidak ada halangan, kita akan segera bertemu." Zoya menutup pembicaraannya saat bubur yang ia pesan telah datang.Selesai dengan sarapan, Zoya dan Elvio memilih untuk duduk di kursi yang disediakan di depan mini market.