Zoya sempat bergeming beberapa saat, tapi ketika orang-orang mulai menatapnya yang tidak kunjung keluar lift, ia langsung melangkah keluar dan berniat melewati wanita itu begitu saja, berpura-pura tidak kenal dan tidak mendengarnya memanggil 'Love'."Love! Lovania!" Zoya mengerutkan kening saat lengannya dicegat. "Apa kita saling mengenal? Dari mana Anda tahu nama saya?" tanyanya tajam.Wanita di hadapan Zoya tampak terkejut, matanya berkaca-kaca."Ayo bicara sebentar, Love, sudah lama kita tidak bertemu dan bertukar cerita, kan?" Zoya langsung melepaskan lengannya dan menjauh. "Maaf, saya tidak bertukar cerita dengan orang asing!" ujarnya sebelum bergegas pergi, mengabaikan panggilan wanita yang merupakan ibu kandungnya.Kenapa tiba-tiba bersikap sok akrab setelah selama ini membuang dan mengabaikan Zoya? Zoya tidak mengerti sama sekali! Dia tidak bisa lupa hari-hari yang dilewatinya di neraka bernama Aldara, tanpa orang-orang yang telah membuatnya terlahir ke dunia memedulikannya.
Zoya tidak menjawab apa pun, memilih untuk kembali ke sofa dan mulai membuka makanannya. Arvin yang pertanyaannya diabaikan mengerutkan kening, tapi memilih kembali dengan aktivitasnya menyuapi Elvio. Elvio yang merasa sudah salah bertanya juga segera menutup mulut dan melanjutkan makan. Pagi itu dilewati dengan keheningan, bahkan setelah Zoya pamit untuk pergi bekerja dan menolak tawaran Arvin untuk diantar, ruangan itu masih sama heningnya.Elvio yang sudah menelan semua obatnya dan berniat mengabaikan keberadaan Arvin seperti kemarin, langsung melupakan niatnya saat mengingat sesuatu yang harus ia katakan pada sang ayah."Tentang yang kau katakan tadi," ucap Elvio memulai pembicaraan, membuat Arvin yang baru makan beberapa suap langsung menghentikan aktivitasnya."Yang mana?" tanya Arvin tidak mengerti, banyak hal yang sudah dia katakan.Elvio memutar bola mata malas. "Tentang wanitamu, ehm ... siapa namanya? Ah, Aileen! Katakan padanya untuk tidak menggangguku dan Mama, maka aku
"Apa yang kau--!"Kata-mata Arvin tertelan saat Zoya keluar mobil tanpa mengindahkannya. Kening pemuda itu mengerut jengkel. Selalu seperti ini! Zoya akan mengatakan apa pun sesuka hati, tapi tidak pernah benar-benar mendengarkan saat Arvin bicara.Zoya yang telah membantu Elvio untuk keluar, menghela napas saat melihat sosok yang tidak diharapkannya datang sambil tersenyum lebar."Selamat datang, Zoya!" Aileen datang dan langsung memeluk Zoya, senyumnya mengembang lebar. "Selamat datang untukmu juga, Gavin," ucapnya setelah melepas pelukan dan menepuk pelan kepala Elvio.Elvio segera menjauhkan kepalanya, terang-terangan memasang raut tidak suka. Aileen yang ditolak, berdeham pelan. "Maaf, sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut kalian. Tapi, semoga kalian betah di sini, aku sudah menyiapkan kamar kalian!" Alis Zoya terangkat. Kamar kalian? Apakah itu artinya ia dan Elvio akan tinggal di satu kamar? 'Yah, baguslah kalau seperti itu!' "Ayo masuk!" Arvin meraih pinggang Zoya d
"Uwaaa!!!" Zoya tertawa melihat Elvio yang berlari menyusuri sisi pantai sambil berteriak. Seminggu lebih terkurung di kamar rumah sakit, tentu saja Elvio sudah menahan diri dengan baik meski Zoya tahu putranya sangat bosan.Mereka baru saja mengambil beberapa barang dari kontrakan Zoya dan memilih untuk jalan-jalan malam dulu sebentar. Zoya bersyukur setidaknya sopir yang melayaninya sekarang, sama dengan sopirnya tujuh tahun lalu. Selain tidak banyak bicara dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, orang itu juga mengerti tentang privasi dan tidak pernah ikut campur meski Zoya melakukan apa pun."Mama!" Elvio memanggil, tangannya melambai dengan semangat. Zoya membalas lambaian Elvio seraya duduk di atas pasir, membiarkan pakaiannya kotor. Plastik putih berisi es krim dan beberapa camilan ia letakkan di samping. "Mama nggak bermaksud makan sendirian, kan?" Elvio datang tepat saat Zoya baru saja membuka satu bungkus es krim. Wanita itu terkekeh pelan, memberikan es krim yang su
Menyakiti. Satu kata yang diucap Elvio membuat Zoya tersenyum pahit. Jika mengingat betapa dingin dan tidak pedulinya Arvin dulu, Arvin yang sekarang jauh lebih baik. Setidaknya pria itu mengatakan dengan jelas apa maksud dan tujuannya menikahi Zoya.Lebih mudah berhadapan dengan seseorang yang niatnya jelas daripada orang yang hanya diam dan membunuh tanpa kata."Ayo pulang setelah kamu menghabiskan es krim! Besok kita harus bangun pagi dan bersiap ke sekolah," ucap Zoya seraya mengusak gemas surai kelam putranya. Elvio yang tahu jika ibunya tidak mau menjawab pertanyaannya, mengangguk dan segera memakan es krimnya. Tentu saja Zoya tidak akan mengatakan apa-apa, karena bagi wanita itu Elvio hanyalah anak berusia enam tahun yang tidak boleh memikirkan hal berat.Setelah Elvio selesai, keduanya berjalan beriringan menuju mobil yang menunggu. Zoya membiarkan saat sopir membukakan pintu untuknya dan Elvio. "Oh ya, El, ada yang ingin Mama katakan," ucap Zoya saat mobil yang ditumpanginy
"Siapa, Ma?" Elvio bertanya saat melihat tatapan ibunya tampak goyah. "Tidak tahu, Mama tidak kenal nomornya. Mungkin spam?" Zoya memilih mengabaikan ponselnya, membiarkan panggilan itu terputus dengan sendirinya. Sampai di depan kontrakan Zoya, wanita itu meminta sopir untuk kembali dan berjanji akan menelepon saat waktunya untuk pulang. Ponsel di tas Zoya kembali berdering. Wanita itu tidak repot memeriksa siapa yang menelepon, langsung memasuki kamar dan memeriksa bawah kasur. Setelah memasukkan buku hariannya ke dalam tas, Zoya dan Elvio bergegas keluar dan berjalan sambil bergandengan tangan. "Dari tadi ditelepon terus lho, Ma! Yakin bukan telepon penting?" Elvio mengerutkan dahi ketika lagi-lagi ponsel Zoya berdering. Kalau memang spam, bukankah harusnya berhenti saat diabaikan di panggilan pertama?Zoya menghela napas, meraih ponsel di tas dan mendengus melihat nama saudara kembarnya masih tertera sebagai penelepon. "Nanti, deh! Mama akan angkat setelah kita makan, itu pun
Zoya melewati harinya seperti biasa, menyambut pelanggan dengan senyum dan wajah cerah, juga berbagi cerita tentang kondisi Elvio pada Almia dan Reno. Pukul sebelas tepat, Zoya sudah membawa Elvio ke mini market setelah pulang ke kontrakan sebentar untuk mengganti pakaian.Mereka makan siang bersama sebelum Zoya kembali pada pekerjaannya. Elvio tidak mengeluh meski harus bermain sendiri di depan mini market. Ia hanya masuk saat matanya berat dan Zoya mengizinkannya untuk tidur di ruang istirahat karyawan, itu pun setelah meminta izin pada pemilik mini market dan pekerja lain.Saat matahari tergelincir dan tenggelam di ufuk brat, Zoya yang sedang bersiap untuk pulang, dikejutkan dengan kedatangan Arvin. Pemuda itu menunggu di depan mini market bersama Elvio. Zoya yang melihat dari dalam dan tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Arvin dan Elvio hanya bisa bergegas dan menyelesaikan pekerjaannya."Jadi, kenapa tidak pulang dan malah mengganggu ibumu di sini?" Arvin yang akhirnya membuk
"Seperti biasanya saja! Aku jadi kesayangan bu guru, trus pulang, deh!" Elvio menjawab sembari mengendikkan bahu. Diceritakan seperti apa pun, kehidupan anak TK tidak jauh-jauh dari memberi salam, bermain, makan bersama, bernyanyi, lalu pulang. Elvio tidak tahu apa yang ingin Arvin dengar, tapi benar-benar tidak ada yang spesial dari aktivitasnya di sekolah."Oh, teman-teman dan bu guru bertanya kenapa aku nggak boleh dijenguk, aku bilang dokter nggak kasih izin siapa pun masuk ke kamarku selain Mama." Elvio menatap ibunya, meminta persetujuan atas yang telah ia katakan di sekolah tadi.Zoya mengangguk, tangannya terulur untuk mengusak pelan helai rambut Elvio. "Padahal Mama sudah menjelaskannya, tapi mereka masih penasaran, ya? Terima kasih sudah menjawab dengan baik," ucapnya sembari menjawil hidung mancung Elvio.Arvin yang masih belum terbiasa dengan sikap putranya yang berbeda seratus delapan puluh derajat jika berada di hadapan Zoya, menggeleng pelan saat Elvio tertawa karena Z
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,