Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.
Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?"Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menjawir pelan hidung mancung putranya, terkekeh ketika Elvio mengerutkan hidungnya."Iya, dong! Kalau bukan sama Mama, El mau ke mana lagi? Aku cuma punya Mama," ucap Elvio sembari mengelus pelan wajah ibunya yang menurutnya jauh lebih cantik dari siapa pun yang pernah ia lihat.Zoya tersenyum lebar sebelum memberikan kecupan bertubi di pipi putranya. Elvio sungguh anak yang manis dan pengertian. Terkadang Zoya merasa putranya lebih dewasa dan bisa bersikap bijak dibanding dirinya.Elvio segera memejamkan matanya yang memang sudah sangat berat setelah Zoya berjanji sekali lagi kalau tidak akan menangis sendirian. Meski kedatangan mantan suaminya membuat hati Zoya terusik, tapi wanita itu bisa tidur nyenyak karena memeluk seorang malaikat di sisinya.Zoya terbangun tepat pukul lima pagi, tersenyum lembut pada wajah polos Elvio sebelum mengecup keningnya pelan. Setelah membisikkan kalimat selamat pagi, Zoya memutuskan untuk langsung mandi.Untungnya air di kamar mandi sudah langsung berfungsi. Selesai dengan aktivitas mandinya, wanita itu berkutat di dapur, memasak nasi dan menyiapkan sarapan.Hari ini Zoya memang sudah meminta izin dari pemilik mini market untuk libur karena kepindahannya. Meski begitu, keberadaan Elvio membuatnya tetap bangun pagi dan beraktivitas seperti biasa."Mama?"Zoya segera menoleh saat mendengar putranya memanggil. Melirik pada jam di ponsel, Zoya terkekeh pada angka enam tepat yang tertera. Putranya selalu bangun tepat waktu tanpa perlu ia bangunkan."Ya, Sayang!" sahut Zoya kemudian, senyumnya melebar melihat Elvio datang dengan wajah kusut khas bangun tidur, rambutnya tampak mencuat ke sana ke mari.Zoya yang sudah selesai berkutat dengan sarapan buatannya langsung menghampiri Elvio dan mengangkat tubuh anak itu ke dalam gendongan."Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Ada yang sakit?" tanya Zoya lembut, tangannya mengusap punggung Elvio yang semalam hanya tidur di atas tikar dan bedcover.Elvio menggeleng beberapa kali. "Aku tidur nyenyak, kok. Trus nggak mimpi apa-apa juga! Badan El nggak sakit sama sekali," ucapnya riang, senyum polos terukir di wajahnya.Zoya terkekeh melihat keceriaan yang ditunjukkan putranya, itu adalah satu-satunya kekuatan yang ia miliki.Selesai membantu Elvio mandi dan bersiap dengan pakaian santai, pasangan ibu dan anak itu langsung duduk di atas tikar yang semalam digunakan untuk tidur.Meski sarapan hari ini dilalui dengan cara lesehan, untungnya Elvio tidak banyak bertanya dan menuntut. Pun ketika harus membantu Zoya menyapu setelahnya, anak itu tidak pernah mengeluarkan keluhan.Barang-barang yang Zoya beli secara pribadi selama tinggal di tempat sebelumnya datang ketika wanita itu baru selesai mengeringkan seluruh lantai yang sudah di pel."Ma, nggak ada makanan, ya?" Elvio bertanya setelah orang-orang yang menurunkan dan membantu meletakkan barang sudah pergi.Zoya segera melihat jam di ponselnya dan menghela napas ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Wajar saja mereka kelaparan."Kita makan di luar, yuk! Kayanya Mama terlalu lemas untuk masak," ucap Zoya seraya terkekeh pelan.Meski ada beberapa barang yang belum dibereskan, belum lagi mainan-mainan Elvio yang membuat Zoya sedikit bingung ingin diletakkan di mana, juga pakaian-pakaian serta buku-buku, Zoya memilih meninggalkan semuanya dulu untuk mencari makan."Kita makan pecel ayam di dekat sekolah El, tidak apa-apa, kan?" Zoya bertanya setelah keluar dari rumah, berjalan beriringan dengan tangan kecil Elvio di genggamannya.Elvio segera mengangguk. "Di mana saja boleh, Ma!" ujarnya sedikit tidak sabar.Zoya terkekeh melihat reaksi putranya, sudah pasti anak itu kelaparan karena jadwal makan siangnya terlambat. Sayangnya, kebahagiaan kecil itu harus kembali tertelan saat sebuah mobil mewah datang dan berhenti di hadapan Zoya dan putranya.Zoya menghela napas jengkel saat mantan suaminya keluar dari mobil."Aku ke mini market tempatmu bekerja, tapi katanya kamu cuti. Jadi ... kalian mau ke mana sekarang? Aku berencana mengajak kalian makan siang," ucap Arvin to the point, tidak memedulikan dengusan mantan istrinya yang jelas menunjukkan permusuhan."Kami bisa mencari makan sendiri!""Aku tahu kalian bisa mencari makan sendiri, tapi aku ingin makan bersama." Arvin mulai membukakan pintu penumpang di belakang, memberi isyarat pada bocah yang juga sedang menatap galak padanya untuk segera masuk.Elvio merengut, mengeratkan genggamannya pada sang ibu. Dia memang masih kecil, usianya belum genap enam tahun, tapi sedikitnya dia mengerti tentang hak asuh anak dan rasa takut kehilangan sosok yang dicintainya.Zoya yang segera menyadari ekspresi tidak menyenangkan putranya langsung menghela napas pelan. Dia tidak bisa menunjukkan ketidaksukaannya pada Arvin secara terang-terangan."Kita akan makan siang bersama Papa, tidak apa-apa, kan?" Zoya bertanya sembari berjongkok, mengusak lembut surai kelam Elvio.Tampak keraguan di netra malam Elvio. "Aku mau sama Mama," ucapnya pelan.Zoya tersenyum. "Tentu saja bersama Mama juga," ucapnya seraya mengecup singkat pipi gembil putranya.Wanita menghela napas panjang setelah memastikan Elvio masuk ke dalam mobil tanpa melayangkan protes karena harus duduk sendiri di belakang."Untukku mana?"Zoya mengernyit mendengar pertanyaan yang dilayangkan mantan suaminya. "Apanya?!" tanyanya agak jengkel.Arvin segera menarik pinggang Zoya mendekat, membuat wanita itu berjengit kaget."Ciumanku ... mana?" tanya Arvin seraya menatap bibir mantan istrinya terang-terangan."Dasar gila!" umpat Zoya sembari menginjak kaki Arvin dengan kuat hingga membuat pemuda itu meringis.Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Zoya tersenyum pahit mendengar keinginan yang diucap Mia. Dia juga ingin membawa wanita itu bersamanya, tapi kondisinya yang bukan lagi seorang Nona Muda membuat Zoya harus menelan keinginannya bulat-bulat.Jangankan untuk membawa Mia bersamanya, kedatangan Zoya kembali ke rumah ini bahkan untuk meminjam uang agar bisa membiayai operasi dan perawatan Elvio. "Aku ke sini untuk menemui Papa. Apa beliau ada?" tanya Zoya seraya melepas pelukan, mengingat jika waktunya semakin menipis. Mia menghentikan tangisnya, tatapannya menjadi lebih sendu seraya kepalanya menggeleng pelan. "Sejak Nona menghilang, Tuan Rendra juga pergi, katanya ingin mencari Nona. Begitu pun Tuan Muda Kaindra yang menyusul setelahnya," ucap Mia pelan.Zoya memejamkan mata, sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang dia pikir bisa membantu malah tidak ada. Wanita itu tidak terharu sama sekali, juga tidak pernah berpikir lelaki berstatus ayah itu benar-benar sedang mencarinya. Narendra Frandika Aldara yang terkena
Zoya tidak lagi menoleh ke belakang, meski Mia memanggil sambil menangis, wanita itu tetap melangkah pasti, kembali ke mobil dan segera meminta sopir untuk pergi. Air mata yang sedari tadi tertahan langsung tumpah tanpa bisa Zoya cegah. Luka di hatinya kian menganga mendengar setiap kata yang diucap kakek dan neneknya. Padahal Zoya menyerahkan seluruh keputusan tentang hidupnya tanpa pernah menentang, tanpa mengeluh sedikit pun. Sejak saat ia harus berpisah dari ibunya, Zoya sudah merelakan masa anak-anak hingga remajanya berada dalam peraturan ketat keluarga besar Aldara.Zoya tidak sempat memiliki kenangan tentang masa kecilnya di sekolah, juga tidak punya teman atau kenangan membolos pelajaran dan pergi ke bioskop. Zoya tidak mengeluarkan satu protes pun meski jadwal belajarnya terlihat tidak masuk akal untuk anak-anak. Gadis itu terus meyakini pilihan keluarganya selalu benar dan demi kebaikannya di masa depan. Bahkan ketika ia dijodohkan dengan seseorang begitu lulus SMA, Zoya
Zoya menatap tidak percaya pada pemuda yang baru saja mengatakan omong kosong. Tatapannya bergulir pada wanita di belakang Arvin yang wajahnya tampak mengeras. Padahal Zoya sudah menahan malu demi memohon dipinjamkan uang, tapi apa yang dikatakan lelaki itu?Bagaimana Arvin bisa semudah itu mengatakan ingin menjadikan wanita lain sebagai pemuas nafsu saat ada Aileen yang notebene wanita yang sangat dicintainya? 'Tunggu! Bukankah harusnya mereka sudah menikah setelah bertahun-tahun sejak aku dan Arvin bercerai? Mereka kan, saling mencintai?' Kening Zoya berkerut tidak mengerti."Apa tidak ada syarat lain? Aku bisa bekerja untukmu, menjadi pembantu di rumahmu pun aku bisa." Zoya mencoba bernegosiasi, mengabaikan perasaan aneh yang bercokol di dadanya."Tidak ada," tegas Arvin datar. "Menjadi istriku dan melayaniku dengan sah atau menjadi pemuasku di tempat tidur tanpa ikatan. Kalau tidak bisa memilih salah satu, maka tidak ada uang yang bisa kuberikan," lanjutnya dengan nada acuh tak a
Tepat pukul lima sore, Zoya resmi menjadi istri Arvin lagi. Seluruh surat-surat pernikahan yang ditandatangani wanita itu adalah bukti jika pernikahan mereka sah di mata hukum. Zoya tidak bisa memberikan reaksi berarti saat Arvin menciumnya setelah mengucap janji suci. Perasaannya kalut."Selamat atas pernikahan kedua kalian!" Aileen yang menjadi salah satu saksi sekaligus seseorang yang ditugaskan Arvin untuk mengurus tentang pernikahan ini, datang dengan wajah cerah dan senyum lebar. "Pastikan untuk tidak bercerai lagi kali ini, ya!" ujarnya tanpa melepas senyum.Zoya tersenyum kikuk, tidak tahu harus bersikap seperti apa saat penyebab utama perceraiannya dan Arvin malah memberi nasihat seolah dia tidak terlibat sama sekali."Ada yang ingin kubicarakan dengan Aileen sebentar. Kamu tunggu di mobil dulu, Love." Belum sempat Zoya membalas ucapan selamat yang dilontarkan Aileen, Arvin sudah lebih dulu memintanya pergi.Melihat raut datar dan tidak menyenangkan yang jelas terukir di waj
Perjalanan menuju kota tempat tinggal Zoya diisi dengan keheningan sejak Arvin bergegas menjalankan mobilnya setelah mendengar kejadian yang menimpa Elvio. Pemuda itu hanya mampir sebentar untuk membeli makanan yang bisa dikonsumsi Zoya selama perjalanan.Zoya juga tidak berani mengatakan apa pun lagi, merasakan kemarahan dan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Arvin membuat rasa bersalahnya menggunung. Dia tidak bermaksud memberi tahu Arvin saat mereka bertengkar.Zoya pikir bisa mengatakan pelan-pelan kejadian sebenarnya saat Arvin mengantarnya pulang. "Habiskan makananmu, Lovania. Jangan sampai kamu juga berakhir dirawat karena lupa makan." Suara datar yang menyuruhnya untuk makan membuat Zoya yang menatap keluar jendela sembari melamun, langsung meraih paper bag yang sejak beberapa waktu lalu dianggurinya."Kamu juga belum makan," ucap Zoya sembari mulai menggigit satu ayam goreng. "Mau kusuapi?" tanyanya pelan, sedikit ragu, mengingat Arvin sedang marah padanya."Aku bel