Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.
Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?""Ehm, oke, deh!"Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran."Mama akan lihat siapa yang datang," ucap Zoya sembari berdiri dan bergegas menuju pintu, berpikir kalau yang datang adalah pemilik kontrakan.Sayangnya, sosok yang dilihat Zoya begitu dia membuka pintu adalah orang lain. Wanita itu terpaku dengan wajah memucat melihat kehadiran Arvin di depan pintu. Bagaimana lelaki itu bisa langsung tahu tempat tinggal barunya?"Ada urusan apa ke sini? Kurasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan," tutur Zoya tajam, menatap tidak suka lelaki yang malah mendengus di depannya."Kupikir hidupmu lebih baik setelah bercerai," ucap Arvin seraya mendorong pelan tubuh mantan istrinya agar dirinya bisa masuk. Pemuda itu menatap ruangan kecil yang masih kosong tanpa barang apa pun. Keningnya berkerut dalam ketika melangkah menuju sebuah ruangan dan melihat seorang anak tengah kesulitan menggelar tikar.Elvio yang menyadari kehadiran orang lain langsung menoleh. Matanya mengerjap kaget dengan kehadiran ayah kandungnya."Setidaknya kalau kamu tidak mau berurusan denganku lagi, hiduplah dengan benar!" Arvin berbalik setelah menutup pintu ruangan di mana putranya berada, mendekat pada wanita yang sedang menatapnya dengan aura membunuh."Hidupku sangat benar, Tuan Kalandra. Tidak ada yang salah dengan kehidupan kami!""Tinggal di kandang ayam seperti ini yang kamu bilang benar?!" Arvin berbisik tajam setelah memojokkan Zoya ke tembok, tangannya merengkuh pinggang wanita yang masih menatapnya penuh permusuhan.Zoya mendongak, tidak mengalihkan tatapannya dari netra sekelam arang milik Arvin."Tempat yang kamu sebut kandang ayam ini seribu kali lebih baik dari pada rumahmu," bisik Zoya dengan gigi bergemeletak, menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. "Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk--!"Zoya menahan napas ketika pria yang tengah merengkuhnya menjatuhkan kepala di bahunya. Napasnya tercekat ketika merasakan embusan napas Arvin di lehernya."Love ....""Lepaskan aku!" Zoya mencoba mendorong tubuh besar Arvin, sedikit takut dengan reaksi tubuhnya sendiri saat mendengar lelaki itu membisikkan nama panggilannya.Hanya ada tiga orang yang Zoya perbolehkan memanggilnya dengan sebutan Love dan Arvin tidak termasuk di dalamnya. Dari mana pria itu tahu tentang nama kecilnya?!"Berhenti bermain-main dan lepaskan aku! Aku sudah menuruti keinginanmu dengan pergi sejauh mungkin, aku juga tidak menyusahkanmu lagi, jadi kumohon--!"Tubuh Zoya menegang tatkala merasakan bibir Arvin di leher jenjangnya. Embusan napas dan lidah yang mulai menginvasi titik sensitifnya membuat Zoya menggigit bibir, masih berusaha memberontak tanpa hasil. Jelas, pria ini gila!"Lepaskan aku ... kumohon ...," pinta Zoya dengan suara tercekat. Wanita itu menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya dengan susah payah.Arvin memberikan gigitan kecil hingga terdengar lenguhan wanita di pelukannya, sebelum mengangkat kepala dan menatap netra coklat jernih yang tampak akan menangis."Aku tidak ingat pernah menyentuhmu, jadi bagaimana anak itu bisa hadir di perutmu? Keluarga Aldara melakukan sesuatu padamu?"Pertanyaan yang dilayangkan Arvin membuat Zoya semakin gemetar. Ia memang sudah menyangka Arvin tidak mengingat apa pun, tapi mendengarnya langsung dari mulut pria itu membuat Zoya kembali terluka."Bagus kalau kamu tidak ingat karena dia memang bukan anakmu! Kamu hanya menyumbang sedikit DNA untuknya, tidak lebih!" Zoya kembali mendorong tubuh Arvin, tatapannya menajam seiring dengan hatinya yang kembali teguh."Kamu benar," ucap Arvin pelan, satu alisnya terangkat. "Tapi, dia tidak akan pernah ada di dunia ini kalau bukan karenaku. Sebaiknya kamu pikirkan tawaran yang akan kuberikan."Zoya menelan ludah, tatapannya sedikit goyah melihat keseriusan di wajah Arvin. Dia tahu Arvin akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan menghancurkan kebahagiaannya dan Elvio saat ini."Menikahlah denganku lagi, Love."Zoya memang sempat berpikir jika mantan suaminya gila, tapi perkataan lelaki itu yang seenak jidat menawarkan pernikahan membuatnya menyadari jika Arvin harus pergi ke rumah sakit jiwa."Aku tidak sudi!" ujar Zoya sembari mendorong Arvin menjauh, tatapannya menajam ketika pria di hadapannya malah terkekeh."Kenapa? Kamu bisa mendapatkan apa pun jika menikah denganku. Kurasa hubungan ranjang kita juga tidak akan buruk," ucap Arvin pelan, menatap intens wanita yang tengah melototinya."Pergi dari rumahku sekarang jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan, Tuan Kalandra. Jangan membuat keributan," ucap Zoya tajam, matanya menantang tanpa rasa takut.Arvin berdecak malas. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi, aku akan kembali untuk menagih jawabannya. Pastikan kamu memberikan jawaban yang memuaskan, Zoya.""Jawabanku tidak akan pernah berubah! Aku tidak sudi menginjakkan kaki di rumahmu lagi!" ujar Zoya penuh emosi, napasnya tidak beraturan seiring dengan dadanya yang naik turun.Pria di hadapan Zoya hanya menaikkan satu alis sebelum berbalik, tatapannya bertemu dengan netra jernih Elvio yang juga melototinya, menyeringai ketika menyadari jika anak itu benar-benar kopian dirinya."Kita akan bertemu lagi cepat atau lambat," ucap Arvin sesaat sebelum membuka pintu, keluar dari kontrakan sang mantan istri.Zoya yang baru menyadari keberadaan putranya langsung mengubah ekspresi wajahnya dan tersenyum lembut. "Maaf, apa kamu menunggu lama?" tanyanya sembari meraih tangan kecil Elvio, menuntunnya untuk kembali ke kamar."Pintunya, Ma!" peringat Elvio saat sang ibu tampak linglung meski sudah memaksakan sebuah senyum."Ah ... ya, pintunya lupa dikunci!" Zoya terkekeh pelan, mendekat pada pintu dan segera menguncinya. Perasaannya berkecamuk saat mencium aroma maskulin milik Arvin yang tertinggal.Zoya menggigit bibir, menahan air matanya yang siap tumpah kapan saja.'Kenapa kamu harus datang lagi, Arvin?!'Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?" Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menja
Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Zoya tersenyum pahit mendengar keinginan yang diucap Mia. Dia juga ingin membawa wanita itu bersamanya, tapi kondisinya yang bukan lagi seorang Nona Muda membuat Zoya harus menelan keinginannya bulat-bulat.Jangankan untuk membawa Mia bersamanya, kedatangan Zoya kembali ke rumah ini bahkan untuk meminjam uang agar bisa membiayai operasi dan perawatan Elvio. "Aku ke sini untuk menemui Papa. Apa beliau ada?" tanya Zoya seraya melepas pelukan, mengingat jika waktunya semakin menipis. Mia menghentikan tangisnya, tatapannya menjadi lebih sendu seraya kepalanya menggeleng pelan. "Sejak Nona menghilang, Tuan Rendra juga pergi, katanya ingin mencari Nona. Begitu pun Tuan Muda Kaindra yang menyusul setelahnya," ucap Mia pelan.Zoya memejamkan mata, sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang dia pikir bisa membantu malah tidak ada. Wanita itu tidak terharu sama sekali, juga tidak pernah berpikir lelaki berstatus ayah itu benar-benar sedang mencarinya. Narendra Frandika Aldara yang terkena
Zoya tidak lagi menoleh ke belakang, meski Mia memanggil sambil menangis, wanita itu tetap melangkah pasti, kembali ke mobil dan segera meminta sopir untuk pergi. Air mata yang sedari tadi tertahan langsung tumpah tanpa bisa Zoya cegah. Luka di hatinya kian menganga mendengar setiap kata yang diucap kakek dan neneknya. Padahal Zoya menyerahkan seluruh keputusan tentang hidupnya tanpa pernah menentang, tanpa mengeluh sedikit pun. Sejak saat ia harus berpisah dari ibunya, Zoya sudah merelakan masa anak-anak hingga remajanya berada dalam peraturan ketat keluarga besar Aldara.Zoya tidak sempat memiliki kenangan tentang masa kecilnya di sekolah, juga tidak punya teman atau kenangan membolos pelajaran dan pergi ke bioskop. Zoya tidak mengeluarkan satu protes pun meski jadwal belajarnya terlihat tidak masuk akal untuk anak-anak. Gadis itu terus meyakini pilihan keluarganya selalu benar dan demi kebaikannya di masa depan. Bahkan ketika ia dijodohkan dengan seseorang begitu lulus SMA, Zoya
Zoya menatap tidak percaya pada pemuda yang baru saja mengatakan omong kosong. Tatapannya bergulir pada wanita di belakang Arvin yang wajahnya tampak mengeras. Padahal Zoya sudah menahan malu demi memohon dipinjamkan uang, tapi apa yang dikatakan lelaki itu?Bagaimana Arvin bisa semudah itu mengatakan ingin menjadikan wanita lain sebagai pemuas nafsu saat ada Aileen yang notebene wanita yang sangat dicintainya? 'Tunggu! Bukankah harusnya mereka sudah menikah setelah bertahun-tahun sejak aku dan Arvin bercerai? Mereka kan, saling mencintai?' Kening Zoya berkerut tidak mengerti."Apa tidak ada syarat lain? Aku bisa bekerja untukmu, menjadi pembantu di rumahmu pun aku bisa." Zoya mencoba bernegosiasi, mengabaikan perasaan aneh yang bercokol di dadanya."Tidak ada," tegas Arvin datar. "Menjadi istriku dan melayaniku dengan sah atau menjadi pemuasku di tempat tidur tanpa ikatan. Kalau tidak bisa memilih salah satu, maka tidak ada uang yang bisa kuberikan," lanjutnya dengan nada acuh tak a
Tepat pukul lima sore, Zoya resmi menjadi istri Arvin lagi. Seluruh surat-surat pernikahan yang ditandatangani wanita itu adalah bukti jika pernikahan mereka sah di mata hukum. Zoya tidak bisa memberikan reaksi berarti saat Arvin menciumnya setelah mengucap janji suci. Perasaannya kalut."Selamat atas pernikahan kedua kalian!" Aileen yang menjadi salah satu saksi sekaligus seseorang yang ditugaskan Arvin untuk mengurus tentang pernikahan ini, datang dengan wajah cerah dan senyum lebar. "Pastikan untuk tidak bercerai lagi kali ini, ya!" ujarnya tanpa melepas senyum.Zoya tersenyum kikuk, tidak tahu harus bersikap seperti apa saat penyebab utama perceraiannya dan Arvin malah memberi nasihat seolah dia tidak terlibat sama sekali."Ada yang ingin kubicarakan dengan Aileen sebentar. Kamu tunggu di mobil dulu, Love." Belum sempat Zoya membalas ucapan selamat yang dilontarkan Aileen, Arvin sudah lebih dulu memintanya pergi.Melihat raut datar dan tidak menyenangkan yang jelas terukir di waj
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,