Share

Bertemu Masa Lalu

Zoya yang sempat kehilangan kesadaran setelah mendengar panggilan 'Love' keluar dari bibir mantan suaminya, segera menarik napas panjang, menenangkan dadanya yang sesak ketika seluruh kenangan bersama pria itu memenuhi kepalanya.

"Ayo bicara di tempat lain," ucap Zoya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Elvio.

Lima belas menit kemudian, Zoya sudah berada di tepi pantai bersama Arvin. Untungnya Elvio tidak banyak protes juga tidak bertanya. Bocah enam tahun itu menurut ketika Zoya memintanya untuk bermain di tempat lain.

Suasana hening menyelimuti selama lima belas menit sejak--mau tidak mau--Zoya mengikuti lelaki berstatus mantan suami. Netra cokelat wanita itu hanya menatap gulungan ombak di hadapannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana.

"Jadi, penjelasan apa yang bisa kudengar?"

Zoya menelan ludah gugup. Suara lelaki itu sudah menegaskan kalau tidak ada jalan baginya untuk membuat alasan atau mengalihkan pembicaraan. Wanita itu memberanikan diri menatap wajah tampan yang diam-diam dirindukannya sebelum kembali menunduk, menjadikan pasir putih di bawah kakinya sebagai pusat atensi.

"Elvio Gavin Kalandra," ucapnya lirih, merasakan suaranya tercekat di tenggorokan. Zoya meremat jemari sembari menarik napas panjang, menenangkan diri ketika sesak meremat jantungnya. "Usianya enam tahun, sebentar lagi masuk sekolah dasar. Sangat suka es krim rasa apa pun," lanjutnya tanpa melepas tatap dari pasir.

"Setidaknya kamu tidak lupa memasukkan nama ayahnya di sana. Tapi, kamu tidak berpikir aku hanya ingin mendengar beberapa kalimat itu, kan?"

Zoya menggigit bibir, embun yang sejak tadi menggenang tumpah ketika merasakan kemarahan dalam nada dingin yang terlontar.

Benar. Mana mungkin lelaki tegas seperti Arvin mau mendengar hanya penjelasan singkat. Zoya tahu penjelasan apa yang dimaksud, tapi tidak pernah berpikir akan datang hari dia harus menjelaskan.

Wanita itu tidak pernah menyiapkan mental. Dia selalu berusaha untuk abai atau mengambil jalan berbeda agar tidak bertemu masa lalunya. Pengecut memang, tapi itu adalah caranya melindungi diri.

Zoya tidak berani menghadapi masa lalu dan kembali terluka karenanya. Apalagi keluarga besar Aldara tidak akan membiarkan begitu saja kalau mereka tahu keberadaan Elvio. Zoya tidak mau putranya dimanfaatkan untuk memuaskan ambisi kakek dan neneknya.

“Aku baru tahu setelah kita bercerai,” ucap Zoya akhirnya, memilih jujur dari pada menambah masalah.

“Lalu, kamu tidak berniat mengatakan apa-apa?”

Dia tahu lelaki di sampingnya sedang menatap dengan marah, tapi Zoya hanya bisa menunduk, tidak berniat ikut tersulut emosi.

Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Zoya juga ingin merasakan bahagia ketika mendapat berita kehamilannya dan mengatakan berita itu pada Arvin, tapi hubungan mereka terlanjur berakhir dan dia tidak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak utuh.

“Aku harus mengatakan apa? Lebih baik baginya untuk tidak mengenal kamu sama sekali, dari pada harus mulai bermimpi memiliki keluarga yang utuh!”

Zoya menegakkan tubuh, memandang lelaki yang menatap tidak percaya padanya. Zoya sendiri juga tidak mempercayai kata-kata yang baru saja dia lontarkan, tapi kesulitan-kesulitan selama bertahun-tahun mengurus Elvio sendirian membuatnya lebih berani.

“Kurasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi,” ucapnya tegas sebelum melambaikan tangan pada bocah enam tahun yang segera berlari ke arahnya.

Zoya mengulurkan tangan. Elvio yang melihat bekas air mata di pipi sang ibu membalas tangan yang terulur, setelah melirik tajam pada lelaki dewasa yang dia ketahui sebagai ayah kandungnya.

"Seperti yang pernah kamu katakan dulu, kuharap kita tidak akan bertemu lagi!" ujar Zoya sebelum memutar langkah, menjauh dari sosok yang pernah dicintai dan menghancurkannya.

"Mama baik, kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Elvio membuat langkah wanita bersurai panjang itu terhenti. Zoya menatap ekspresi khawatir putranya dan menyadari bahwa dia gagal mengatur raut wajahnya.

"Mama akan selalu baik karena ada El bersama Mama," ucap Zoya sembari mengeratkan genggaman tangannya.

Mereka kembali berjalan pelan. Zoya sedikit bersyukur Arvin tidak bersikap keras kepala dan mengejar, juga tidak mendebat ketika Zoya meninggalkannya setelah mengatakan sesuatu yang cukup kasar.

"El tahu orang tadi siapa?" Zoya bertanya pelan. Meski tenggorokannya terasa tercekat, tapi dia tidak bisa menunda untuk bertanya.

"Papa, kan? Aku ingat karena wajahnya sering muncul di tv," ucap Elvio sembari mendongak, menatap tepat di netra coklat ibunya.

Zoya mengangguk, sebuah senyum terpatri di bibirnya. "Maaf, harusnya tadi Mama memperkenalkan kalian secara resmi. Kapan-kapan ... kalau bertemu lagi, Mama pasti akan mengenalkannya padamu."

Elvio menggeleng, matanya menyipit ketika senyumnya terkembang lebar. "Aku baik-baik saja, kok. Selama bisa bersama Mama, aku akan selalu baik!"

Lagi-lagi Zoya hampir menangis mendengar kata-kata dan senyum tulus putranya. Kalau ada yang bertanya kehidupan mana yang membuatnya bahagia, Zoya akan lantang mengatakan hidupnya bersama Elvio sekarang jauh lebih bahagia daripada dua puluh tahun yang ia habiskan sebagai Tuan Putri.

Zoya merasa penuh oleh cinta, kasih sayang serta kehangatan yang ia bagi bersama putranya. Tidak pernah sekali pun wanita itu menyesali keputusannya enam setengah tahun lalu.

"Terima kasih, Sayang. Bagaimana kalau nanti malam kita makan es krim lagi? Mama juga mau sesuatu yang manis-manis," ucap Zoya sembari menggoyangkan tautan tangannya dan Elvio.

Elvio yang matanya berbinar sejak mendengar ajakan ibunya mengangguk cepat, senyumnya terbit lebih cerah dari matahari.

Sampai di rumah yang sudah ditinggali selama hampir tujuh tahun, Zoya sempat merasa sedih ketika mulai mengemasi barang-barangnya. Wanita itu hanya mengemasi pakaiannya dan Elvio, memasukkannya ke dalam koper-koper besar dan segera membawanya keluar ketika taksi yang dipesan sudah datang.

"Lalu, mainan El dan yang lainnya gimana, Ma?" Elvio yang keluar kamar sambil memeluk salah satu mobil mainannya menatap sedih pada sebuah ruangan, tempat di mana mainan dan semua bukunya berada.

Zoya mengusak lembut surai kelam putranya. "Mama sudah menyewa orang untuk membawa barang-barang lain, untuk sekarang kita pindah dulu. Besok El mau ikut membereskan barang di sini juga?"

Elvio mengangguk cepat, senyumnya segera terbit sejak mendengar bahwa mainannya tidak akan ditinggal.

Zoya menuntun putranya memasuki taksi. Meninggalkan rumah pertama yang membuatnya bahagia, Zoya menatap dengan senyum teduh. Meski sedih karena rumah itu merupakan saksi tumbuh kembang Elvio, Zoya tidak mampu melakukan apa pun.

Entah bagaimana takdir mempertemukannya lagi dengan mantan suaminya. Dari semua tempat yang ada di muka bumi, kenapa Arvin harus datang ke tempat ini?

"Ma, jangan melamun!"

Teguran dari bocah enam tahun di sisinya membuat Zoya yang sempat terdiam sambil memandang keluar jendela, langsung menoleh dan tersenyum.

"Maaf, ya, Mama hanya sedang memikirkan sesuatu." Zoya meraih bahu putranya sebelum mendekatkan tubuh mereka. Wanita itu menumpukan pipinya di kepala Elvio. "Mama bersyukur sekali karena ada El di sini," ucapnya lembut.

Zoya tidak bisa membenci kehidupannya sebagai seorang Aldara secara penuh, juga tidak akan pernah menyesal sempat menikahi Arvin, karena dengan itu ia memiliki Elvio sekarang.

"Aku juga! Aku suka Mama!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Agura Senja
Salahnya sendiri kaan
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
hayo loh Arvin anaknya tau kamu tapi ga mau mengakui
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status