Zoya tertawa sembari mengangguk melihat pangeran kecilnya bergaya sok keren di depan cermin, mengagumi wajah tampannya sendiri. Mungkin karena ia terlalu banyak memuji Elvio, hingga anak itu tumbuh dengan kepercayaan diri berlebih tentang wajahnya.
Ehm ... tentang namanya ... awalnya Zoya sedikit ragu untuk memasukkan nama Elvio dan Kalandra, tapi mengingat statusnya yang hanya seorang pekerja mini market, juga lingkungan yang tidak terlalu mengenal tentang keluarga Aldara dan Kalandra, maka akhirnya nama Elvio Gavin Kalandra ditetapkan sebagai nama putranya."Pasti, dong! Pangeran Elvio paling ganteng di dunia," ucap Zoya seraya mencubit pelan hidung mancung putranya, sebelum menuntun anak itu menuju meja makan."Hari ini Mama mau kerja, kan?"Zoya menatap kagum pipi bulat Elvio yang sedang mengunyah, tersenyum lembut ketika beberapa butir nasi menempel di sisi bibirnya."Iya. El mau ikut?"Anak lelaki itu terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Enggak, ah. Mau main aja," jawabnya jelas.Zoya kembali tersenyum, tanpa mengalihkan tatapan kagumnya dari pipi bulat yang tidak berhenti bergerak."Selesai, Ma!" Elvio mendorong piring yang sudah kosong, meminum susu cokelat hingga tandas dan melompat turun dari kursi. "Ayo berangkat," ucapnya riang seraya menyampirkan ransel merahnya di punggung.Zoya menggandeng tangan putranya yang terulur setelah mencuci piring dan gelas. Senyumnya benar-benar tidak pernah luntur."Ayo, jagoan!"Zoya mengantar putranya ke sebuah TK yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Membutuhkan lima belas menit berjalan kaki menuju ke sana, untungnya Elvio belum pernah mengeluh meski harus selalu berjalan kaki."El akan belajar dengan baik hari ini, tapi nanti Mama belikan es krim sebagai hadiah, ya?"Zoya menghentikan langkah ketika sampai di depan gerbang sekolah putranya, keningnya bertaut mendengar permintaan yang baru saja Elvio lontarkan."Sepertinya semangatnya kurang?" tanya Zoya sembari menaikkan sebelah alis.Elvio mengalihkan pandangan, sedikit merengut. "Aku akan belajar dengan sangat sangat sangat sangat baik!" ujarnya dengan memberi penekanan pada kata 'sangat'.Zoya terkekeh gemas, mengusak pelan surai kelam putranya sembari berjongkok. "Kalau begitu, nanti Mama tanyakan dulu ke Bu Guru apakah El menjadi anak penurut dan belajar dengan sangat baik hari ini. Ada atau tidaknya es krim tergantung jawaban yang Mama terima, lho!""Hmph, Mama lihat saja nanti! Hari ini aku juga akan jadi kebanggaan Bu Guru!" seru Elvio dengan mata penuh tekad.Zoya memberikan pelukan terakhir sebelum membiarkan putranya memasuki sekolah, tentu saja setelah memberikan kecupan bertubi di pipi bulat anak itu.Hari ini masa kontrak rumah mereka habis dan Zoya benar-benar melupakannya. Meski sedikit menyayangkan harus meninggalkan rumah yang menjadi tempat Elvio tumbuh, tapi Zoya tidak punya pilihan karena pemilik rumah itu ingin menjualnya pada orang lain.Wanita berstatus ibu tunggal itu segera ke mini market tempatnya bekerja setelah berkeliling untuk mencari kontrakan, sedikit lega karena tidak butuh waktu lama untuk mendapatkannya."Selamat datang," ucap seorang gadis berkucir kuda di belakang konter ketika Zoya memasuki mini market."Halo, Rein, selamat pagi! Kamu tidak tidur selama bekerja, kan?" Zoya terkekeh lucu melihat bibir mungil gadis yang dipanggilnya Rein langsung merengut."Tidak, Kak, mana mungkin aku tidur!" sanggah Rein tidak terima.Zoya memasuki ruang khusus karyawan, mengganti bajunya dengan seragam berwarna biru, sebelum keluar dan segera menghampiri meja kasir.Setelah melakukan pertukaran shift, Rein melambaikan tangan dan meninggalkan Zoya sendiri. Zoya bekerja dari pukul sembilan pagi hingga pukul tujuh malam. Meski sekarang sendirian, akan ada dua orang pekerja lain yang masuk pukul sepuluh.Hari berjalan seperti biasa untuk Zoya. Wanita itu menyambut setiap pelanggan yang datang dengan ramah dan senyum sopan.Tepat pukul lima sore, sosok kecil yang dirindukan Zoya memasuki mini market. Tentu saja untuk menagih janji ibunya tentang es krim setelah Elvio bersikap sangat baik di sekolah."Kenapa dia sangat imut? Sudah tampan, keren, imut, manis, menggemaskan, pintar pula. Elvio ... kamu akan mematahkan banyak hati di masa depan!"Zoya terkekeh mendengar pujian bertubi yang diberikan seorang gadis--salah satu karyawan mini market--sejak Elvio masuk dan menampilkan senyum manis."Baiklah, Jagoan, ini es krim untukmu!" Zoya memberikan sebuah es krim rasa coklat pada Elvio yang berbinar senang."Terima kasih, Ma! Kalau begitu aku tunggu di depan, ya!"Zoya melambai pada Elvio yang keluar mini market, tersenyum melihat sosok mungil itu langsung duduk di sebuah kursi dengan es krim di tangan. Melirik jam dinding yang jarumnya sudah menunjuk angka lima lewat, Zoya bersiap untuk pulang. Ia sudah meminta izin untuk pulang lebih awal hari ini.Wanita itu akhirnya melangkah keluar setelah berpamitan pada karyawan lainnya, mengetuk meja di hadapan Elvio sebanyak tiga kali dan merentangkan tangan, meminta pelukan. Elvio tersenyum lebar, berdiri di atas kursi dan memberikan pelukan erat."Kita beneran mau pindah malam ini?" tanya Elvio seraya mendongak tanpa melepas pelukan.Zoya mengangguk, mengusap pelan rambut hitam putranya tanpa melepas senyum sedetik pun. Saat menjemput Elvio pulang sekolah sebelumnya, Zoya memang sudah memberi tahu tentang kepindahan mereka."Rumah yang kita tempati sekarang akan dijual oleh pemiliknya, jadi kita harus cari tempat baru. Mama sudah dapat tempatnya, kita bisa langsung pindah. Tidak apa-apa, kan?" Zoya menatap khawatir, merasa bersalah karena memutuskan hal penting tanpa meminta pendapat putranya terlebih dahulu."Nggak apa-apa, kok. Dimana pun, yang penting sama Mama, El ikut."Zoya hampir menangis mendengar jawaban serta senyum tulus dan hangat putranya, mendekap lebih erat sosok berharga yang akan ia lindungi dengan nyawa."Ayo pulang, kita harus beres-beres!"Elvio mengangguk patuh, melompat turun dan mengulurkan tangan, meminta tas yang dibawa Zoya, hal sederhana yang biasanya dia lakukan setiap kali menjemput ibunya dari mini market. Sangat keren, tentu saja!Zoya selalu terenyuh setiap kali putranya melakukan hal-hal yang terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat manis. Wanita itu tahu putranya akan tumbuh menjadi sosok penuh tanggung jawab, tampan dan keren."Biar Mama yang bawa hari ini, ya?" Zoya menyambut uluran tangan putranya dengan genggaman, tersenyum lembut ketika pipi bulat itu mengembung, cemberut. "Anak Mama tambah ganteng kalau manyun seperti itu, lho!"Zoya tergelak ketika Elvio semakin memajukan bibir, tawanya mengiringi langkah ringan mereka.Hanya saja, takdir menghentikan kebahagiaan Zoya sore itu. Sebuah SUV hitam menepi di depan mini market, seseorang yang keluar dari kendaraan roda empat itu membuat langkah Zoya terpaku. Netra gelap sosok itu melebar, sepertinya juga tidak berpikir akan saling bertemu.Lalu ketika lelaki itu mengalihkan tatapnya pada Elvio, keterkejutannya meningkat. Siapa pun yang melihat akan tahu, dua lelaki berbeda usia itu memiliki hubungan darah.Elvio adalah bayangan dari sang ayah. Hanya dalam sekali lihat, tanpa perlu melakukan tes DNA, Arvin tahu anak lelaki yang membalas tatapnya dengan netra hitam jernih itu merupakan putra kandungnya."Lama tidak bertemu, Love. Apa aku bisa mendengar penjelasan masuk akal tentang ini?"Zoya yang sempat kehilangan kesadaran setelah mendengar panggilan 'Love' keluar dari bibir mantan suaminya, segera menarik napas panjang, menenangkan dadanya yang sesak ketika seluruh kenangan bersama pria itu memenuhi kepalanya. "Ayo bicara di tempat lain," ucap Zoya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Elvio. Lima belas menit kemudian, Zoya sudah berada di tepi pantai bersama Arvin. Untungnya Elvio tidak banyak protes juga tidak bertanya. Bocah enam tahun itu menurut ketika Zoya memintanya untuk bermain di tempat lain. Suasana hening menyelimuti selama lima belas menit sejak--mau tidak mau--Zoya mengikuti lelaki berstatus mantan suami. Netra cokelat wanita itu hanya menatap gulungan ombak di hadapannya, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. "Jadi, penjelasan apa yang bisa kudengar?" Zoya menelan ludah gugup. Suara lelaki itu sudah menegaskan kalau tidak ada jalan baginya untuk membuat alasan atau mengalihkan pembicaraan. Wanita itu memberanikan diri menatap
Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?" "Ehm, oke, deh!" Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran. "Mama ak
Setelah memastikan pintu dan seluruh jendela terkunci, Zoya langsung membawa putranya ke kamar. Senyumnya terpatri melihat tikar yang sudah digelar dengan posisi yang cukup berantakan. Wanita itu membenarkan posisi tikar sebelum melapisinya dengan bedcover.Zoya menepuk bantal dan memberi isyarat agar Elvio mendekat. Meski hanya sempat membawa satu bantal dan satu selimut, nyatanya itu cukup untuk mereka gunakan bersama."Untung saja El tadi sudah sikat gigi, jadi kita bisa langsung tidur," ucap Zoya sembari mengecup lembut kening putranya. "Mau langsung tidur atau mau diceritakan dongeng dulu?" tanyanya lagi."Kalau aku tidur sekarang, Mama janji nggak akan nangis lagi, kan?" Pertanyaan yang diajukan Elvio membuat Zoya tersenyum kecut. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi karena tidak mau membuat khawatir putranya, tapi malah anak itu yang sekarang mengkhawatirkan kondisinya."Mama tidak akan menangis selama kamu di sini, Sayang. El janji untuk selalu sama Mama, kan?" Zoya menja
Zoya segera menjauh sebelum membuka pintu mobil dan masuk, mengabaikan kekehan mantan suami yang sepertinya memang harus mendekam di rumah sakit jiwa.Arvin membuka pintu kemudi, menoleh ke belakang untuk memastikan putranya duduk dengan benar sebelum mengalihkan atensi pada Zoya yang sedang kesulitan memasang sabuk pengaman."Coba jangan menariknya sambil marah-marah," ucap Arvin sembari mendekat, membuat pergerakan Zoya yang sedang berkutat dengan sabuk pengaman harus terhenti.Wanita itu menahan napas saat Arvin berada terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa mencium perpaduan citrus dan kopi dari tubuh lelaki itu. 'Sangat berbeda denganku yang baru saja berkeringat banyak,' batin Zoya sebelum mengernyit jengkel. Kenapa sempat-sempatnya dia merasa rendah diri?! Mereka tidak memiliki hubungan apa pun lagi selain sebagai orang tua kandung Elvio, jadi tidak ada alasan Zoya harus merasa lebih rendah dari Arvin yang bukan siapa-siapa.Kening wanita itu mengerut semakin dalam saat Arvi
"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil."Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu
Zoya terdiam, mencoba menarik napas pelan dan tidak panik. "Elvio kenapa?" tanyanya tenang.Pemuda yang berdiri di ambang pintu tampak menggigit bibir. "Katanya dia terjatuh saat sedang main dan kepalanya terluka. Salah satu guru TK-nya datang dan memberitahu jika Elvio sudah dibawa ke rumah sakit," jelasnya dengan suara gemetar."Aku ...." "Tenang, Mbak! Pasti tidak akan terjadi apa-apa," ucap gadis berkucir kuda di samping Zoya.Zoya mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak ke rumah sakit dulu," ucapnya sembari menarik napas panjang.Setelah mengambil tas dan mengganti pakaiannya, Zoya bergegas menemui seorang wanita yang tengah menunggu di depan mini market. Duduk di boncengan motor salah satu guru putranya, Zoya mendengarkan kronologi kejadian sambil berusaha tenang.Sampai di unit gawat darurat, Zoya bergegas menenui dua orang guru yang membawa Elvio ke sana dan bertanya keadaannya. Penjelasan yang diberikan cukup membuat wanita itu menahan napas. Terlalu banyak darah yang keluar h
Zoya tersenyum pahit mendengar keinginan yang diucap Mia. Dia juga ingin membawa wanita itu bersamanya, tapi kondisinya yang bukan lagi seorang Nona Muda membuat Zoya harus menelan keinginannya bulat-bulat.Jangankan untuk membawa Mia bersamanya, kedatangan Zoya kembali ke rumah ini bahkan untuk meminjam uang agar bisa membiayai operasi dan perawatan Elvio. "Aku ke sini untuk menemui Papa. Apa beliau ada?" tanya Zoya seraya melepas pelukan, mengingat jika waktunya semakin menipis. Mia menghentikan tangisnya, tatapannya menjadi lebih sendu seraya kepalanya menggeleng pelan. "Sejak Nona menghilang, Tuan Rendra juga pergi, katanya ingin mencari Nona. Begitu pun Tuan Muda Kaindra yang menyusul setelahnya," ucap Mia pelan.Zoya memejamkan mata, sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang dia pikir bisa membantu malah tidak ada. Wanita itu tidak terharu sama sekali, juga tidak pernah berpikir lelaki berstatus ayah itu benar-benar sedang mencarinya. Narendra Frandika Aldara yang terkena
Zoya tidak lagi menoleh ke belakang, meski Mia memanggil sambil menangis, wanita itu tetap melangkah pasti, kembali ke mobil dan segera meminta sopir untuk pergi. Air mata yang sedari tadi tertahan langsung tumpah tanpa bisa Zoya cegah. Luka di hatinya kian menganga mendengar setiap kata yang diucap kakek dan neneknya. Padahal Zoya menyerahkan seluruh keputusan tentang hidupnya tanpa pernah menentang, tanpa mengeluh sedikit pun. Sejak saat ia harus berpisah dari ibunya, Zoya sudah merelakan masa anak-anak hingga remajanya berada dalam peraturan ketat keluarga besar Aldara.Zoya tidak sempat memiliki kenangan tentang masa kecilnya di sekolah, juga tidak punya teman atau kenangan membolos pelajaran dan pergi ke bioskop. Zoya tidak mengeluarkan satu protes pun meski jadwal belajarnya terlihat tidak masuk akal untuk anak-anak. Gadis itu terus meyakini pilihan keluarganya selalu benar dan demi kebaikannya di masa depan. Bahkan ketika ia dijodohkan dengan seseorang begitu lulus SMA, Zoya