Victor menggenggam tangan Isabella erat, seolah takut ia akan menghilang jika dilepaskan. Mereka berhasil keluar dari pintu belakang dan langsung disambut udara malam yang dingin dan menusuk. Jalanan di belakang apartemen itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu jalan yang berkelap-kelip. Suara sirine terdengar di kejauhan, tetapi Victor tidak berhenti untuk menoleh. Ia terus berjalan dengan langkah cepat, memimpin Isabella menuju mobil hitam yang terparkir di ujung gang.
“Masuk,” perintahnya singkat sambil membuka pintu penumpang. Isabella ragu sejenak, tetapi melihat ekspresi tegas di wajah Victor, ia tak punya pilihan selain menurut. Ketika pintu tertutup, Victor segera melompat ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin. “Ke mana kita pergi?” tanya Isabella dengan suara gemetar. Victor tidak segera menjawab. Mata birunya terpaku pada jalan, ekspresinya penuh konsentrasi. Setelah beberapa saat, ia menjawab dengan nada rendah, “Tempat yang aman.” Mobil melaju meninggalkan kota, meninggalkan hiruk pikuk dan bayangan bahaya yang masih terasa mengejar mereka. Isabella duduk diam di kursinya, sesekali melirik Victor yang tetap tenang, meskipun ketegangan jelas terpancar dari rahang yang mengeras. “Kenapa mereka mengejarku?” Isabella akhirnya bertanya, suaranya hampir berbisik. Victor menghela napas dalam sebelum menjawab. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui, Isabella. Setidaknya untuk saat ini.” “Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Hidupku terancam, Victor!” protes Isabella, suaranya meninggi. Victor menoleh sejenak, tatapannya tajam namun penuh rasa bersalah. “Percayalah padaku. Aku hanya ingin melindungimu.” Jawaban itu tidak memuaskan Isabella, tetapi ia terlalu lelah dan takut untuk melanjutkan perdebatan. Ia memalingkan wajahnya ke jendela, menatap gelapnya malam yang terus menyelimuti mereka. Setelah satu jam perjalanan, mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi besar yang tampak megah dengan ornamen-ornamen rumit. Victor menurunkan kaca jendela dan memasukkan kode pada panel kecil di samping gerbang. Beberapa detik kemudian, gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh deretan pohon cemara yang menjulang tinggi, seolah menjadi penjaga setia tempat ini. “Kita sudah sampai?” tanya Isabella, suaranya terdengar kecil, nyaris tenggelam di tengah keheningan malam. “Belum,” jawab Victor singkat, lalu melanjutkan perjalanan. Jalan yang mereka lalui berliku dan semakin gelap, tetapi tak lama kemudian, sebuah pemandangan luar biasa terbentang di depan mereka. Rumah itu—lebih tepatnya seperti sebuah istana—berdiri megah di tengah lahan luas yang tampak tak berujung. Arsitekturnya bergaya klasik Eropa, dengan pilar-pilar tinggi, balkon yang dihiasi ukiran rumit, dan jendela-jendela besar yang memantulkan cahaya lampu dari dalam. “Apa ini rumahmu?” tanya Isabella dengan nada tidak percaya, matanya terpaku pada keindahan bangunan itu. Victor hanya mengangguk sambil mematikan mesin mobil. Ia keluar dengan tenang dan berjalan ke sisi Isabella, membukakan pintu untuknya. “Jangan khawatir. Kau akan aman di sini,” katanya sambil mengulurkan tangan. Isabella mengikuti Victor menaiki tangga marmer putih yang mengarah ke pintu utama. Ketika pintu besar berlapis emas itu terbuka dengan bunyi derit halus, ia dibuat tertegun oleh interior yang bahkan lebih mewah. Langit-langitnya menjulang tinggi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilauan, seperti bintang-bintang yang diturunkan ke dalam ruangan. Dinding-dindingnya dihiasi dengan panel marmer putih dan emas, dipadukan dengan lukisan-lukisan kuno yang tampak tak ternilai harganya. Beberapa patung perunggu berukuran besar berdiri di sudut-sudut ruangan, menciptakan suasana megah namun juga sedikit mengintimidasi. Lantainya terbuat dari marmer hitam berkilauan dengan pola emas, menciptakan kesan dramatis setiap kali cahaya dari lampu gantung memantul di permukaannya. Isabella memandang sekeliling dengan takjub, tetapi juga ada perasaan asing yang merayap di dadanya. Rumah ini lebih mirip museum daripada tempat tinggal. “Kenapa rumah ini terasa begitu ... kosong?” gumamnya tanpa sadar. Victor mendengar, tetapi ia hanya tersenyum tipis. “Kesunyian adalah sahabat baikku,” jawabnya singkat sebelum melangkah menuju ruang tamu utama. Victor berjalan ke arah perapian besar di ruang tamu utama dan menyalakan api, membuat ruangan menjadi sedikit lebih hangat. Sofa kulit mahal dan meja dari kayu mahoni yang dipernis berkilauan melengkapi ruangan tersebut. "Duduklah,” katanya sambil menunjuk sofa besar di depan perapian. Isabella menurut, meskipun ia masih merasa canggung di tengah kemewahan ini. Ia mengamati Victor yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Pria itu berjalan ke lemari kaca besar di sudut ruangan, membuka salah satu lacinya, dan mengeluarkan sebuah kotak logam kecil. “Apa itu?” tanya Isabella curiga. “Obat untuk lukamu,” jawab Victor sambil berjalan kembali ke arahnya. Isabella baru sadar bahwa ia terluka di lengan akibat pecahan kaca di apartemennya tadi. Victor berlutut di depannya dan mulai membersihkan lukanya dengan hati-hati. Sentuhannya lembut, tetapi Isabella bisa merasakan ketegangan dalam gerakannya. “Victor,” ia memanggil pelan. “Kenapa kau melakukan semua ini untukku?” Victor berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan mata yang dipenuhi emosi yang sulit ditebak. “Karena aku tidak bisa membiarkanmu terluka, Isabella. Kau penting bagiku.” Jawaban itu membuat jantung Isabella berdegup kencang. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Victor kembali fokus pada lukanya, mengalihkan perhatian mereka dari percakapan yang semakin emosional. Setelah selesai, Victor berdiri dan menyingkirkan peralatan medisnya. “Kau harus istirahat. Aku akan menunjukkan kamarmu.” Isabella mengikuti Victor menaiki tangga utama yang melingkar ke lantai atas. Koridor panjang dengan pintu-pintu berukir di kedua sisinya tampak sepi, hanya diterangi oleh lampu-lampu gantung kecil yang berjajar rapi di langit-langit. Victor berhenti di depan salah satu pintu besar berwarna putih dengan ukiran bunga emas dan membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dan mewah. Di dalamnya, ada tempat tidur besar dengan kanopi sutra putih yang menjuntai, karpet tebal yang menutupi sebagian lantai marmer, dan perabotan-perabotan yang tampak seperti barang antik berharga. Jendela besar dengan tirai beludru biru tua memperlihatkan pemandangan pekarangan luas di bawahnya. “Kau bisa tidur di sini. Kalau kau butuh apa-apa, panggil aku,” kata Victor sebelum meninggalkan Isabella sendirian. Isabella berdiri di tengah kamar, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. Dalam waktu kurang dari sehari, hidupnya berubah drastis. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau siapa yang mengincarnya, tetapi satu hal pasti—Victor adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya sekarang. Namun, dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang Victor sembunyikan. Sesuatu yang lebih besar daripada sekadar melindunginya. Di luar kamar, Victor berdiri di depan jendela besar, memandang gelapnya malam. Dalam pikirannya, ia memikirkan langkah selanjutnya. Bahaya yang mengintai Isabella tidak akan hilang begitu saja, dan rahasia yang ia sembunyikan darinya suatu saat mungkin akan terungkap. Tapi untuk malam ini, yang terpenting adalah memastikan Isabella aman.Isabella duduk di dekat jendela besar di kamar yang telah menjadi tempat tinggal sementaranya selama beberapa hari terakhir. Ia memandangi taman yang luas di luar, dengan deretan pohon cemara dan rumput hijau yang tampak terlalu rapi untuk ukuran dunia nyata.Namun, bukannya merasa nyaman, perasaan terkurung mulai menghantuinya. Rumah ini terlalu sunyi, terlalu terisolasi, dan Victor terlalu tertutup. Meski pria itu selalu menjawab pertanyaannya dengan tenang, ada sesuatu dalam cara bicaranya yang membuat Isabella yakin bahwa dia tidak menceritakan semuanya.Setiap hari terasa sama. Sarapan disiapkan oleh seorang pelayan yang jarang terlihat, lalu Victor akan sibuk dengan pekerjaannya di ruang kerja, meninggalkan Isabella sendirian dengan pikirannya. Tidak ada televisi di kamar, tidak ada akses ke ponsel, dan bahkan ketika ia mencoba bertanya apakah ia bisa menghubungi teman-temannya, Victor hanya berkata, “Itu terlalu berbahaya.”semakin lama, Isabella merasa seperti bayangannya send
Victor mengangguk perlahan, matanya tetap tertuju pada Isabella. Sementara itu, Isabella menggelengkan kepala dengan frustrasi. Ia tidak habis pikir—apa sebenarnya yang diinginkan pria ini? Mengurungnya, mengawasinya, lalu apa lagi selanjutnya?"Kau?! Apa yang kau inginkan sebenarnya, Victor? Keluarkan aku dari sini sekarang juga!" seru Isabella dengan suara penuh kemarahan.Kesabarannya telah habis. Ia tidak peduli lagi dengan alasan-alasan Victor. Wajahnya memerah, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap. Namun, Victor hanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah kemarahan Isabella tidak berarti apa-apa."Tidak ada gunanya kau marah-marah, Isabella. Lebih baik kembali ke dalam sekarang juga," ucapnya dengan nada dingin.Tatapannya semakin tajam, menciptakan suasana yang begitu menekan hingga membuat Isabella merasa diintimidasi. Ia menarik napas kasar, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi hatinya dipenuhi kebencian. Beberapa hari terakhir di rumah ini terasa seperti si
Gaun hitam mewah itu membalut tubuh Isabella dengan sempurna, memancarkan aura elegan yang tampaknya sudah dirancang dengan cermat oleh Victor. Ia berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Kristal-kristal kecil yang menghiasi gaun itu memantulkan cahaya redup dari lampu gantung di atasnya, memberikan kesan seolah-olah tubuhnya diselimuti bintang-bintang yang berkilauan. Namun, tidak ada keindahan yang bisa menghapus kegelisahan yang bersemayam di hatinya. Di sekelilingnya, beberapa pelayan sibuk menata rambut dan merapikan gaunnya, memastikan tidak ada satu helai pun yang tidak pada tempatnya. Mereka bekerja dalam diam, seakan takut membuat kesalahan sekecil apa pun di hadapan Isabella. Atau mungkin mereka takut pada Victor? Isabella mengembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan diri. "Apa ini tidak berlebihan?" gumamnya, matanya menatap pantulan gaun mahal itu dengan perasaan bercampur aduk. Lorenzo, yang berdiri tak jauh dari pintu, tetap mema
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang sepi. Gemuruh guntur bersahutan, mengiringi langkah seorang wanita yang berjalan tanpa tujuan. Isabella memeluk tubuhnya sendiri, menggigil dalam dingin dan putus asa. Matanya yang sembab tak mampu lagi menahan air mata yang terus mengalir. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Baru saja, dunia yang ia kenal, dunia yang penuh dengan harapan, telah runtuh dalam sekejap. Kekasihnya, seorang dokter yang selama ini ia percayai dengan sepenuh hati, kini tampak begitu tak berharga di matanya. Pemandangan yang paling menyakitkan dalam hidupnya—pacarnya, yang ia anggap sebagai bagian dari dirinya, sedang berada dalam pelukan seorang wanita lain, seorang teman sejawat yang selama ini ia anggap sahabat. Kepalanya terasa pening, setiap langkah yang diambilnya seakan semakin berat, seakan menuntutnya untuk berhenti dan menyerah. Namun, ia terus berjalan, entah ke mana, entah untuk apa. Semua terasa hampa. Isabella berhenti di pinggir j
Victor menggenggam pistol yang dia rasa pelurunya hampir habis di tangannya. Tubuhnya bergetar, napasnya berat, dan darah masih mengalir dari luka di bahunya. Di depan matanya, beberapa pria bersenjata berjalan mendekat, wajah mereka penuh niat membunuh. Langkah kaki mereka menggema di gang sempit itu, seolah menghitung detik-detik terakhir hidup Victor. “Kali ini, kau tidak akan lolos, Victor,” ucap salah satu dari mereka dengan suara dingin. “Dan siapa pun yang berani menyelamatkanmu … kami akan mencarinya. Kami akan memastikan mereka mati lebih mengenaskan daripada dirimu.” Victor merasa dunia berputar. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya hampir ambruk. Ia mencoba mengangkat pisau di tangannya, meskipun tahu usahanya sia-sia. Tidak ada yang bisa melawan kematian ketika ia sudah sedekat ini. Tapi, entah bagaimana, semangat untuk bertahan tetap membara dalam dirinya. Salah satu pria itu mengangkat senjatanya, mengarahkannya tepat ke kepala Victor. Jari mereka sudah di pelatuk ketik
Victor berdiri di balkon penthouse-nya yang menjulang tinggi, memandang kerlip lampu kota di bawah sana. Gelas kristal berisi bourbon di tangannya hanya sesekali ia sentuh, sementara pikirannya sibuk memutar ulang pertemuan singkat dengan Isabella. Wajah wanita itu, tatapan matanya, bahkan suaranya—semua terus menghantui Victor sejak malam hujan itu. Ia telah bertemu ratusan, bahkan ribuan wanita selama hidupnya. Sebagian besar mendekatinya karena kekayaan dan kekuasaannya, tetapi Isabella berbeda. Wanita itu tidak menunjukkan rasa takut, apalagi ketertarikan padanya. Dia hanya seorang perawat sederhana yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Namun, entah bagaimana, justru kesederhanaan dan keberaniannya yang membuat Victor tak bisa berhenti memikirkan Isabella. Di meja kerja Victor, sebuah berkas tebal tergeletak rapi. Di dalamnya terdapat informasi lengkap tentang Isabella Grey—riwayat hidupnya, latar belakang keluarganya, hingga kebiasaan sehari-hari yang diperoleh
Gaun hitam mewah itu membalut tubuh Isabella dengan sempurna, memancarkan aura elegan yang tampaknya sudah dirancang dengan cermat oleh Victor. Ia berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Kristal-kristal kecil yang menghiasi gaun itu memantulkan cahaya redup dari lampu gantung di atasnya, memberikan kesan seolah-olah tubuhnya diselimuti bintang-bintang yang berkilauan. Namun, tidak ada keindahan yang bisa menghapus kegelisahan yang bersemayam di hatinya. Di sekelilingnya, beberapa pelayan sibuk menata rambut dan merapikan gaunnya, memastikan tidak ada satu helai pun yang tidak pada tempatnya. Mereka bekerja dalam diam, seakan takut membuat kesalahan sekecil apa pun di hadapan Isabella. Atau mungkin mereka takut pada Victor? Isabella mengembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan diri. "Apa ini tidak berlebihan?" gumamnya, matanya menatap pantulan gaun mahal itu dengan perasaan bercampur aduk. Lorenzo, yang berdiri tak jauh dari pintu, tetap mema
Victor mengangguk perlahan, matanya tetap tertuju pada Isabella. Sementara itu, Isabella menggelengkan kepala dengan frustrasi. Ia tidak habis pikir—apa sebenarnya yang diinginkan pria ini? Mengurungnya, mengawasinya, lalu apa lagi selanjutnya?"Kau?! Apa yang kau inginkan sebenarnya, Victor? Keluarkan aku dari sini sekarang juga!" seru Isabella dengan suara penuh kemarahan.Kesabarannya telah habis. Ia tidak peduli lagi dengan alasan-alasan Victor. Wajahnya memerah, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap. Namun, Victor hanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah kemarahan Isabella tidak berarti apa-apa."Tidak ada gunanya kau marah-marah, Isabella. Lebih baik kembali ke dalam sekarang juga," ucapnya dengan nada dingin.Tatapannya semakin tajam, menciptakan suasana yang begitu menekan hingga membuat Isabella merasa diintimidasi. Ia menarik napas kasar, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi hatinya dipenuhi kebencian. Beberapa hari terakhir di rumah ini terasa seperti si
Isabella duduk di dekat jendela besar di kamar yang telah menjadi tempat tinggal sementaranya selama beberapa hari terakhir. Ia memandangi taman yang luas di luar, dengan deretan pohon cemara dan rumput hijau yang tampak terlalu rapi untuk ukuran dunia nyata.Namun, bukannya merasa nyaman, perasaan terkurung mulai menghantuinya. Rumah ini terlalu sunyi, terlalu terisolasi, dan Victor terlalu tertutup. Meski pria itu selalu menjawab pertanyaannya dengan tenang, ada sesuatu dalam cara bicaranya yang membuat Isabella yakin bahwa dia tidak menceritakan semuanya.Setiap hari terasa sama. Sarapan disiapkan oleh seorang pelayan yang jarang terlihat, lalu Victor akan sibuk dengan pekerjaannya di ruang kerja, meninggalkan Isabella sendirian dengan pikirannya. Tidak ada televisi di kamar, tidak ada akses ke ponsel, dan bahkan ketika ia mencoba bertanya apakah ia bisa menghubungi teman-temannya, Victor hanya berkata, “Itu terlalu berbahaya.”semakin lama, Isabella merasa seperti bayangannya send
Victor menggenggam tangan Isabella erat, seolah takut ia akan menghilang jika dilepaskan. Mereka berhasil keluar dari pintu belakang dan langsung disambut udara malam yang dingin dan menusuk. Jalanan di belakang apartemen itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu jalan yang berkelap-kelip. Suara sirine terdengar di kejauhan, tetapi Victor tidak berhenti untuk menoleh. Ia terus berjalan dengan langkah cepat, memimpin Isabella menuju mobil hitam yang terparkir di ujung gang. “Masuk,” perintahnya singkat sambil membuka pintu penumpang. Isabella ragu sejenak, tetapi melihat ekspresi tegas di wajah Victor, ia tak punya pilihan selain menurut. Ketika pintu tertutup, Victor segera melompat ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin. “Ke mana kita pergi?” tanya Isabella dengan suara gemetar. Victor tidak segera menjawab. Mata birunya terpaku pada jalan, ekspresinya penuh konsentrasi. Setelah beberapa saat, ia menjawab dengan nada rendah, “Tempat yang aman.” Mobil melaju men
Victor berdiri di balkon penthouse-nya yang menjulang tinggi, memandang kerlip lampu kota di bawah sana. Gelas kristal berisi bourbon di tangannya hanya sesekali ia sentuh, sementara pikirannya sibuk memutar ulang pertemuan singkat dengan Isabella. Wajah wanita itu, tatapan matanya, bahkan suaranya—semua terus menghantui Victor sejak malam hujan itu. Ia telah bertemu ratusan, bahkan ribuan wanita selama hidupnya. Sebagian besar mendekatinya karena kekayaan dan kekuasaannya, tetapi Isabella berbeda. Wanita itu tidak menunjukkan rasa takut, apalagi ketertarikan padanya. Dia hanya seorang perawat sederhana yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Namun, entah bagaimana, justru kesederhanaan dan keberaniannya yang membuat Victor tak bisa berhenti memikirkan Isabella. Di meja kerja Victor, sebuah berkas tebal tergeletak rapi. Di dalamnya terdapat informasi lengkap tentang Isabella Grey—riwayat hidupnya, latar belakang keluarganya, hingga kebiasaan sehari-hari yang diperoleh
Victor menggenggam pistol yang dia rasa pelurunya hampir habis di tangannya. Tubuhnya bergetar, napasnya berat, dan darah masih mengalir dari luka di bahunya. Di depan matanya, beberapa pria bersenjata berjalan mendekat, wajah mereka penuh niat membunuh. Langkah kaki mereka menggema di gang sempit itu, seolah menghitung detik-detik terakhir hidup Victor. “Kali ini, kau tidak akan lolos, Victor,” ucap salah satu dari mereka dengan suara dingin. “Dan siapa pun yang berani menyelamatkanmu … kami akan mencarinya. Kami akan memastikan mereka mati lebih mengenaskan daripada dirimu.” Victor merasa dunia berputar. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya hampir ambruk. Ia mencoba mengangkat pisau di tangannya, meskipun tahu usahanya sia-sia. Tidak ada yang bisa melawan kematian ketika ia sudah sedekat ini. Tapi, entah bagaimana, semangat untuk bertahan tetap membara dalam dirinya. Salah satu pria itu mengangkat senjatanya, mengarahkannya tepat ke kepala Victor. Jari mereka sudah di pelatuk ketik
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang sepi. Gemuruh guntur bersahutan, mengiringi langkah seorang wanita yang berjalan tanpa tujuan. Isabella memeluk tubuhnya sendiri, menggigil dalam dingin dan putus asa. Matanya yang sembab tak mampu lagi menahan air mata yang terus mengalir. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Baru saja, dunia yang ia kenal, dunia yang penuh dengan harapan, telah runtuh dalam sekejap. Kekasihnya, seorang dokter yang selama ini ia percayai dengan sepenuh hati, kini tampak begitu tak berharga di matanya. Pemandangan yang paling menyakitkan dalam hidupnya—pacarnya, yang ia anggap sebagai bagian dari dirinya, sedang berada dalam pelukan seorang wanita lain, seorang teman sejawat yang selama ini ia anggap sahabat. Kepalanya terasa pening, setiap langkah yang diambilnya seakan semakin berat, seakan menuntutnya untuk berhenti dan menyerah. Namun, ia terus berjalan, entah ke mana, entah untuk apa. Semua terasa hampa. Isabella berhenti di pinggir j