Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.
“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.
“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik. “Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”
“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja, baunya tuh…”
“Ampun, parah banget,” potong lina sambil menahan tawa. “Tapi ya bener, gimana kalau dia nggak pernah sadar? Masa kita harus tahan kayak gini terus?”
Emily berdiri kaku di balik pintu pantry. Hatinya berdebar kencang. Ia tidak perlu bertanya siapa yang mereka bicarakan semua itu jelas mengarah padanya. Ia ingin masuk dan membela diri, tapi kakinya tidak mau bergerak. Ia hanya bisa berdiri di sana, mendengar semuanya dengan rasa malu yang tak tertahankan.
“Eh, diam-diam aja. Jangan sampai dia dengar,” kata Rina tiba-tiba, menurunkan suaranya.
Emily panik. Dengan cepat, ia berbalik dan melangkah pergi sebelum mereka menyadari keberadaannya. Botol minumnya masih kosong, tapi itu tidak lagi penting. Ia hanya ingin keluar dari situ, sejauh mungkin dari mereka dan komentar-komentar yang menusuk hatinya.
Lagi, dan terjadi lagi. Emily mempercepat langkahnya, menunduk, berusaha menahan tangis yang mulai membuncah. Tapi sia-sia. Air mata yang sejak tadi ia coba tahan kini jatuh tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Ia berlari kecil keluar dari gedung kantor, melewati trotoar yang sepi, menuju hutan kecil di dekat kantor, tempat pelariannya, tempat satu-satunya di mana ia merasa cukup aman untuk menangis tanpa takut dilihat siapa pun.
Begitu tiba, Emily duduk di bawah pohon besar, Kepalanya ia benamkan dalam kedua lututnya, dan isak tangisnya pecah, memenuhi kesunyian. Hatinya terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menekan dadanya.
Ia mencoba mengatur napas, tapi pikirannya terus memutar ulang kata-kata dari pantry pagi tadi—bisikan-bisikan yang tajam seperti belati. “Aku nggak kuat lagi duduk dekat dia.” “Dia nggak sadar, ya?” Kalimat-kalimat itu bergema, menghantamnya berkali-kali.
Emily mendongak, menatap daun-daun yang bergoyang diterpa angin. “Aku sudah coba segalanya…” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.
Ia teringat rutinitasnya setiap pagi—mandi dua kali sehari, menggosok tubuhnya sekuat tenaga hingga kulitnya memerah, memakai deodoran mahal yang direkomendasikan influencer, bahkan menyemprotkan parfum yang katanya bisa bertahan sepanjang hari. Tapi semua itu sia-sia. Bau itu tetap ada. Ia tidak tahu dari mana asalnya, atau mengapa ia tidak bisa menghilangkannya? Itu seperti bayang-bayang gelap yang selalu membuntutinya, membayangi setiap hari.
Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, ia tahu itu tidak akan terjadi. Kenyataan ini terlalu nyata, terlalu menyakitkan.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia kembali mendengar pembicaraan yang mungkin mereka kira ia tidak mendengarnya. leni, dina, jesselyn… mereka semua berbicara tentang dia, seolah Emily tidak punya perasaan. Seolah ia hanya sebuah masalah, sesuatu yang harus dihindari.
Setiap hari, Emily mencoba tersenyum, mencoba berpura-pura tidak peduli. Ia bekerja lebih keras, berusaha untuk tetap terlihat profesional di depan mereka. Tapi di dalam hatinya, ia hancur. Senyumnya hanyalah topeng, menutupi luka yang semakin dalam.
Di bawah naungan pohon itu, Emily mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. “Kenapa aku harus begini?” bisiknya lirih. Ia merasa sendirian dan terasing.
Angin berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang berdesir. Untuk sesaat, Emily merasa sedikit tenang. Ia menyeka air matanya, meski isakannya belum sepenuhnya reda. Di tempat ini, ia tidak perlu berpura-pura. Tidak ada yang menatapnya dengan pandangan penuh rasa jijik. Tidak ada yang menutup hidung atau melontarkan komentar tajam.
Tangis Emily mulai mereda. Dengan napas panjang yang bergetar, ia berdiri dan mengusap sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipinya. Langit yang mulai mendung seolah mencerminkan hatinya yang berat, tapi perlahan mereda. Emily memandang sekeliling hutan kecil yang menjadi pelariannya. Di sini, ia bisa menangis tanpa rasa takut, tapi ia tahu ia tak bisa terus bersembunyi.
Dengan langkah yang pelan namun pasti, Emily mulai berjalan meninggalkan hutan. Kakinya terasa berat, tapi ia memaksa dirinya untuk terus melangkah, menuju kantornya. Setiap langkah yang diambilnya seperti pertarungan melawan rasa malu dan luka yang masih menganga di dalam hatinya.
Ia menyeka wajahnya sekali lagi, memastikan tidak ada jejak air mata yang tersisa. Aku harus terlihat normal, pikirnya. Emily mencoba mengembangkan senyum kecil—senyum yang dipaksakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa senyum itu hanyalah sebuah ilusi.
Bagaimana aku bisa kembali menghadapi mereka setelah ini? pikirnya. Bisikan-bisikan tajam dari pantry masih menggema di kepalanya, dan dadanya kembali terasa sesak. Apakah ia mampu mengatasi rasa malu ini? Apakah ia bisa bertahan di tengah lingkungan yang mulai terasa asing baginya?
Langkahnya semakin melambat saat ia mendekati lobi kantor. Emily menyeka dahi dan lehernya yang mulai berkeringat. Ia tahu, keringat hanya akan memperburuk situasi. Bau yang selama ini menjadi momok baginya akan semakin menyengat. Ia berdoa dalam hati agar tubuhnya tetap tenang, agar ia bisa melewati hari ini tanpa insiden baru.
Sesampainya di lobi, Emily menarik napas dalam dan berjalan cepat menuju lift, menghindari tatapan orang-orang di sekitar. Ia menekan tombol lift, dan saat pintu terbuka, ia melangkah masuk, menunduk untuk menghindari kontak mata dengan siapa pun di dalamnya.
Lift bergerak naik ke lantai 5, membawa Emily menuju meja kerjanya—tempat yang seharusnya menjadi zona nyamannya, tetapi kini berubah menjadi medan pertempuran yang penuh bisikan dan pandangan sinis. Saat pintu lift terbuka, Emily menarik napas panjang untuk terakhir kalinya, berusaha menguatkan dirinya.
Ia berjalan ke meja kerjanya, mencoba terlihat sibuk dan tidak peduli. Tetapi setiap langkah terasa berat, seperti berjalan di tengah ruangan yang penuh dengan tatapan tak terlihat. Emily tahu, hari ini tidak akan mudah.
Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"
Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang
"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten
"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap
Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab."Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu."Ada apa, El? Tumben telepon malam
"New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u
Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki
Dengan Amore yang kini tinggal bersamanya, Emily mulai merasakan perubahan suasana di kamar kecilnya yang biasanya tenang. Malam itu, setelah mereka selesai membereskan koper dan menata barang-barang Amore di sudut ruangan, mereka duduk berdampingan di atas tempat tidur yang kini terasa lebih sempit dari biasanya.“Kau tahu,” gumam Emily sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya, “aku masih belum bisa percaya kau benar-benar ada di sini.”Ia menoleh pada Amore.“Sebenarnya… tujuanmu ke Indonesia itu apa?”“Kau tidak senang aku di sini?” Amore balik bertanya, menaikkan alisnya.“Bukan begitu,” Emily cepat menanggapi, “maksudku, ini dalam rangka apa? Pekerjaan? Liburan? Atau… ada hal lain?”Amore hanya mengedikkan bahu.“Aku hanya ingin ke sini, itu saja.”Emily menghela napas, mencoba memahami.“Tapi kau datang di waktu yang kurang tepat. Ini bukan musim liburan, dan aku harus bekerja setiap hari. Kau akan sendirian, apakah itu tidak masalah?”Sambil menyentuh dagunya dengan gaya dram
Emily turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menarik tirai lebih lebar. Sinar matahari pagi menyapu masuk, menyoroti interior kayu hangat kabin itu.“Tempat ini terlalu indah untuk ditinggalkan cepat-cepat,” gumamnya, lebih pada diri sendiri.“Kalau begitu… bagaimana kalau kau terlambat masuk kerja hari ini?”Sylvester muncul di sampingnya, menggoda.Emily mengerutkan dahi, setengah geli, setengah tergoda.“ Tetap akan terlambat meskipun kita berangkat Pagi pagi buta. Kau benar-benar suka bermain dengan waktu ya.”“Hanya ingin bermain lebih lama denganmu.”Emily menatapnya, lalu menghela napas sambil tersenyum.“Kau membuatku ingin mengatakan ya.”“Maka katakan saja.”“Aku akan pikirkan,” jawab Emily, lalu mencubit pipi Sylvester sebelum berjalan ke dapur kecil.Sylvester mengikuti dari belakang sambil tertawa.“Ayo, kita buat sarapan paling enak yang pernah kita masak bersama. Dan setelah itu…”“Jangan bilang kau mau bikin rencana spontan lainnya,” potong Emily sambil menga
Kata-katanya menggantung di udara, perlahan masuk ke dalam dada Emily, seperti panas api yang meresap pelan ke kulit.Emily menunduk, memeluk lututnya sebentar.“Aku takut, Sylvester…”“Takut apa?” tanyanya lembut.“Takut jatuh terlalu dalam. Takut kecewa. Takut semua ini cuma sementara.”Sylvester diam sejenak, lalu menyentuh tangan Emily, menggenggamnya erat.“Kalau kau jatuh, aku akan jadi alas yang menampungmu. Kalau kau kecewa, aku akan jadi alasan untukmu percaya lagi. Dan kalau semua ini hanya sementara, maka biarlah aku menjadikannya kenangan yang abadi.”Emily terdiam. Matanya mulai berkaca, tapi bukan karena sedih—melainkan karena hatinya akhirnya sudah benar benar terbuka untuk sylvester.“Kau tahu, Sylvester?” ucap Emily, suaranya nyaris berbisik.“Hm?”“Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin kembali ke kota malam ini.”Sylvester menoleh cepat.“Kau serius?”Emily mengangguk pelan.“Tapi hanya malam ini. Karena besok pagi aku tetap harus kembali jadi karyawan biasa.”Sylve
Sylvester melirik sekilas ke arah Emily yang masih diam. Suasana di dalam mobil menjadi sunyi, hanya suara mesin dan desiran angin dari luar yang menemani.Setelah beberapa menit, ia memperlambat laju mobil dan menepi di rest area kecil di pinggir jalan tol. Ia mematikan mesin, lalu menoleh penuh ke arah Emily."Aku tahu aku keterlaluan," katanya pelan. "Aku hanya… aku ingin memberimu jeda dari kesibukanmu. Tapi seharusnya aku tetap menghargai keputusanmu."Emily masih menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras."Kau tahu aku sangat mencintaimu, Emily. Tapi kadang aku lupa, mencintai juga berarti mendengarkan, bukan memaksakan."Perlahan, Emily menoleh padanya, matanya kini lebih tenang."Aku tahu niatmu baik," katanya. "Tapi jangan pernah lagi membuatku merasa seolah keputusanku tidak penting, Sylvester. Aku butuh merasa dihargai juga."Sylvester mengangguk, ekspresinya tulus. "Kau benar. Maafkan aku."Suasana kembali hening sejenak."Kalau kau masih ingin kembali ke kantor, aku akan
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat makan bergaya semi-outdoor, dikelilingi tanaman hijau dan suara gemericik air dari kolam kecil di sudut halaman. Tempat itu sepi dan tenang, seakan waktu berjalan lebih lambat di sana."Wow… ini indah sekali," gumam Emily saat mereka duduk di meja dekat jendela terbuka."Kataku juga. Dan sekarang, tempat ini jadi lebih indah karena ada kamu," ucap Sylvester ringan.Emily tertawa pelan, menunduk sedikit sambil menyembunyikan rona merah di pipinya. "Kau benar-benar harus mulai menyaring kata-katamu.""Kenapa? Kalau itu membuatmu tersenyum, berarti berhasil."Mereka memesan makanan, dan saat makanan datang, mereka berbagi cerita ringan—tentang masa kecil, tentang mimpi, dan tentang hal-hal konyol yang membuat mereka tertawa.Di sela obrolan, Emily sempat menatap wajah Sylvester yang tersinari cahaya siang dari jendela. Hatinya terasa hangat.Sylvester mengulurkan garpunya ke arah piring Emily dan berkata, "Aku boleh coba sedikit?", Emily ha
Sylvester menatapnya dari samping. "Kau mengantuk?"Emily mengangguk kecil. "Sedikit. Ini hari yang panjang."Sylvester tersenyum lalu, dengan lembut, ia meraih tangan Emily dan menggenggamnya."Terima kasih sudah menghabiskan waktumu denganku hari ini," katanya pelan.Emily membuka matanya, menatap Sylvester dengan lembut. "Aku juga berterima kasih"Mereka saling tersenyum, membiarkan kehangatan kecil itu tumbuh di antara mereka, tanpa kata-kata berlebihan.Taksi terus melaju menembus jalanan kota yang mulai lengang, ditemani cahaya lampu jalan yang menari di kaca jendela. Di dalam kabin yang hening, hanya suara pelan dari radio yang mengalun sebagai latar.Emily bersandar pada jendela, matanya setengah terpejam. Kelelahan tampak di wajahnya, namun ada ketenangan yang begitu indah terpancar dari ekspresinya. Tangan mereka masih bertaut, jemarinya bersarang nyaman di genggaman Sylvester.Sesekali, Sylvester mencuri pandang ke arahnya. Tatapannya lembut, penuh kekaguman dan kasih. Ia m
Mereka masuk ke dalam dan memilih meja di dekat jendela. Lampu-lampu kuning redup menciptakan suasana hangat, sementara aroma masakan yang menggoda tercium di udara."Apa yang kau rekomendasikan?" tanya Sylvester sambil membuka menu.Emily berpikir sejenak. "Mereka punya nasi goreng yang enak, juga sate ayam dan sup buntut. Tapi kalau kau ingin sesuatu yang ringan, mie gorengnya juga enak."Sylvester mengangguk. "Baiklah, aku coba nasi goreng spesial. Kau?""Aku pesan mie goreng saja," jawab Emily, lalu mereka memanggil pelayan dan memberikan pesanan mereka.Setelah pelayan pergi, Sylvester menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Emily dengan ekspresi santai."Aku merasa seperti sedang kencan malam ini," katanya tiba-tiba.Emily hampir tersedak air putihnya. "Apa?"Sylvester terkekeh melihat reaksinya. "Apa ini bukan kencan? Kita pergi bersama, menikmati pemandangan indah, lalu sekarang makan malam berdua."Emily menatapnya dengan tatapan setengah geli, setengah kesal. "Kalau ini kenc
Sylvester tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu perlahan-lahan mendekat. Emily bisa merasakan jantungnya mulai berdebar tanpa alasan yang jelas."Sylvester…?"Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Sylvester sudah mengangkat tangan dan dengan lembut merapikan helai rambut Emily yang tertiup angin, menyelipkannya ke belakang telinga."Aku hanya ingin melihat wajahmu lebih jelas," gumamnya, suaranya terdengar begitu dalam dan hangat.Emily terdiam, mendadak kehabisan kata-kata..Sylvester tersenyum kecil. "Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu hari ini."Emily menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran di dadanya. Ia tersenyum tipis, lalu berpaling kembali ke pemandangan kota."Aku juga," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Mereka kembali menikmati kebersamaan mereka, membiarkan angin malam membawa perasaan yang perlahan semakin dalam di antara mereka.Emily tetap menatap ke arah gemerlap
Seusai makan siang, Emily dan Sylvester kembali ke kantor. Saat mobil mereka berhenti di parkiran, Emily menoleh ke arah Sylvester."Jadi, kau akan ke mana setelah ini?" tanyanya."Aku ke ruangan Carol," jawab Sylvester santai.Begitu melihat ekspresi Emily yang tiba-tiba cemberut, Sylvester tersenyum kecil dan menatapnya lembut."Percayalah padaku, Em. Aku dan Carol tidak akan ada apa-apa. Dia murni hanya teman untukku," ucapnya meyakinkan.Emily mendengus kecil. "Tapi kalau dia menggodamu, siapa yang bisa menjamin kau tidak tergoda?"Sylvester tertawa pelan, menggelengkan kepala. "Kau ini lucu sekali."Emily melipat tangan di depan dada. "Apa sekarang kau sudah bangkrut sampai tidak bisa membayar orang untuk mengurus pendirian perusahaanmu disini"Sylvester terkekeh, lalu mendekat, berniat memeluk Emily. Namun, Emily buru-buru mundur selangkah."Akan ada yang melihat nanti," bisiknya sambil melirik sekitar."Bukankah itu bagus? Jadi tak ada lagi yang berpikir aku ini kekasih Carol,"