Share

Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar
Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar
Author: Sang Penulis

BAB 1

Author: Sang Penulis
last update Last Updated: 2024-11-29 09:29:03

Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.

“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.

“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.

“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.

Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”

“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”

Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja, baunya tuh…”

“Ampun, parah banget,” potong lina sambil menahan tawa. “Tapi ya bener, gimana kalau dia nggak pernah sadar? Masa kita harus tahan kayak gini terus?”

Emily berdiri kaku di balik pintu pantry. Hatinya berdebar kencang. Ia tidak perlu bertanya siapa yang mereka bicarakan semua itu jelas mengarah padanya. Ia ingin masuk dan membela diri, tapi kakinya tidak mau bergerak. Ia hanya bisa berdiri di sana, mendengar semuanya dengan rasa malu yang tak tertahankan.

“Eh, diam-diam aja. Jangan sampai dia dengar,” kata Rina tiba-tiba, menurunkan suaranya.

Emily panik. Dengan cepat, ia berbalik dan melangkah pergi sebelum mereka menyadari keberadaannya. Botol minumnya masih kosong, tapi itu tidak lagi penting. Ia hanya ingin keluar dari situ, sejauh mungkin dari mereka dan komentar-komentar yang menusuk hatinya.

Lagi, dan terjadi lagi. Emily mempercepat langkahnya, menunduk, berusaha menahan tangis yang mulai membuncah. Tapi sia-sia. Air mata yang sejak tadi ia coba tahan kini jatuh tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Ia berlari kecil keluar dari gedung kantor, melewati trotoar yang sepi, menuju hutan kecil di dekat kantor, tempat pelariannya, tempat satu-satunya di mana ia merasa cukup aman untuk menangis tanpa takut dilihat siapa pun.

Begitu tiba, Emily duduk di bawah pohon besar, Kepalanya ia benamkan dalam kedua lututnya, dan isak tangisnya pecah, memenuhi kesunyian. Hatinya terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menekan dadanya.

Ia mencoba mengatur napas, tapi pikirannya terus memutar ulang kata-kata dari pantry pagi tadi—bisikan-bisikan yang tajam seperti belati. “Aku nggak kuat lagi duduk dekat dia.” “Dia nggak sadar, ya?” Kalimat-kalimat itu bergema, menghantamnya berkali-kali.

Emily mendongak, menatap daun-daun yang bergoyang diterpa angin. “Aku sudah coba segalanya…” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.

Ia teringat rutinitasnya setiap pagi—mandi dua kali sehari, menggosok tubuhnya sekuat tenaga hingga kulitnya memerah, memakai deodoran mahal yang direkomendasikan influencer, bahkan menyemprotkan parfum yang katanya bisa bertahan sepanjang hari. Tapi semua itu sia-sia. Bau itu tetap ada. Ia tidak tahu dari mana asalnya, atau mengapa ia tidak bisa menghilangkannya? Itu seperti bayang-bayang gelap yang selalu membuntutinya, membayangi setiap hari.

Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, ia tahu itu tidak akan terjadi. Kenyataan ini terlalu nyata, terlalu menyakitkan.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia kembali mendengar pembicaraan yang mungkin mereka kira ia tidak mendengarnya. leni, dina, jesselyn… mereka semua berbicara tentang dia, seolah Emily tidak punya perasaan. Seolah ia hanya sebuah masalah, sesuatu yang harus dihindari.

Setiap hari, Emily mencoba tersenyum, mencoba berpura-pura tidak peduli. Ia bekerja lebih keras, berusaha untuk tetap terlihat profesional di depan mereka. Tapi di dalam hatinya, ia hancur. Senyumnya hanyalah topeng, menutupi luka yang semakin dalam.

Di bawah naungan pohon itu, Emily mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. “Kenapa aku harus begini?” bisiknya lirih. Ia merasa sendirian dan terasing.

Angin berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang berdesir. Untuk sesaat, Emily merasa sedikit tenang. Ia menyeka air matanya, meski isakannya belum sepenuhnya reda. Di tempat ini, ia tidak perlu berpura-pura. Tidak ada yang menatapnya dengan pandangan penuh rasa jijik. Tidak ada yang menutup hidung atau melontarkan komentar tajam.

Tangis Emily mulai mereda. Dengan napas panjang yang bergetar, ia berdiri dan mengusap sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipinya. Langit yang mulai mendung seolah mencerminkan hatinya yang berat, tapi perlahan mereda. Emily memandang sekeliling hutan kecil yang menjadi pelariannya. Di sini, ia bisa menangis tanpa rasa takut, tapi ia tahu ia tak bisa terus bersembunyi.

Dengan langkah yang pelan namun pasti, Emily mulai berjalan meninggalkan hutan. Kakinya terasa berat, tapi ia memaksa dirinya untuk terus melangkah, menuju kantornya. Setiap langkah yang diambilnya seperti pertarungan melawan rasa malu dan luka yang masih menganga di dalam hatinya.

Ia menyeka wajahnya sekali lagi, memastikan tidak ada jejak air mata yang tersisa. Aku harus terlihat normal, pikirnya. Emily mencoba mengembangkan senyum kecil—senyum yang dipaksakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa senyum itu hanyalah sebuah ilusi.

Bagaimana aku bisa kembali menghadapi mereka setelah ini? pikirnya. Bisikan-bisikan tajam dari pantry masih menggema di kepalanya, dan dadanya kembali terasa sesak. Apakah ia mampu mengatasi rasa malu ini? Apakah ia bisa bertahan di tengah lingkungan yang mulai terasa asing baginya?

Langkahnya semakin melambat saat ia mendekati lobi kantor. Emily menyeka dahi dan lehernya yang mulai berkeringat. Ia tahu, keringat hanya akan memperburuk situasi. Bau yang selama ini menjadi momok baginya akan semakin menyengat. Ia berdoa dalam hati agar tubuhnya tetap tenang, agar ia bisa melewati hari ini tanpa insiden baru.

Sesampainya di lobi, Emily menarik napas dalam dan berjalan cepat menuju lift, menghindari tatapan orang-orang di sekitar. Ia menekan tombol lift, dan saat pintu terbuka, ia melangkah masuk, menunduk untuk menghindari kontak mata dengan siapa pun di dalamnya.

Lift bergerak naik ke lantai 5, membawa Emily menuju meja kerjanya—tempat yang seharusnya menjadi zona nyamannya, tetapi kini berubah menjadi medan pertempuran yang penuh bisikan dan pandangan sinis. Saat pintu lift terbuka, Emily menarik napas panjang untuk terakhir kalinya, berusaha menguatkan dirinya.

Ia berjalan ke meja kerjanya, mencoba terlihat sibuk dan tidak peduli. Tetapi setiap langkah terasa berat, seperti berjalan di tengah ruangan yang penuh dengan tatapan tak terlihat. Emily tahu, hari ini tidak akan mudah.

Related chapters

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 2

    Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"

    Last Updated : 2024-11-29
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 3

    Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang

    Last Updated : 2024-11-29
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 4

    "Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten

    Last Updated : 2024-11-29
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 5

    "Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,

    Last Updated : 2024-11-29

Latest chapter

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 5

    "Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 4

    "Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 3

    Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 2

    Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 1

    Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja

DMCA.com Protection Status