Share

BAB 4

Penulis: Sang Penulis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-28 02:37:11

"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya.

"Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes."

"Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan.

"Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar.

"Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.

Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih tenang setelah mendengar suara ibunya. Ibu memang selalu punya cara untuk mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri.

Emily memesan taksi online. Kota besar di jam sibuk memang tidak bersahabat, dengan kemacetan yang seolah tidak ada habisnya. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa berharap agar tiba di restoran tepat waktu.

Namun, setelah setengah jam berlalu, mobil yang ditumpanginya baru menempuh setengah perjalanan. Emily mulai gelisah.

"Masih lama, ya, Pak?" tanyanya cemas kepada sopir.

"Neng, kayak baru pertama kali aja ke kota ini. Jam segini emang lagi padet-padetnya," jawab pengemudi santai, tanpa menunjukkan tanda-tanda terburu-buru.

Lima menit berlalu, tetapi mobil masih saja terjebak di tempat yang sama. Emily mulai panik. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk turun dan mencari alternatif.

"Pak, saya turun di sini saja. Terima kasih!" ucapnya sambil membayar ongkos perjalanan.

Ia segera berjalan cepat menuju stasiun kereta terdekat. Meski kelelahan, Emily tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa sampai tepat waktu. Lima menit kemudian, ia tiba di stasiun dan langsung naik kereta menuju lokasi yang lebih dekat dengan restoran.

Setibanya di stasiun tujuan, ia memesan ojek online. Beruntung, ojek datang dengan cepat, dan perjalanan ke restoran terasa jauh lebih lancar. Ketika akhirnya ia tiba, Emily melihat jam di ponselnya. Masih ada 10 menit sebelum waktu yang dijadwalkan.

"Syukurlah," gumam Emily lega. Namun, tubuhnya terasa lelah, dan ia memutuskan untuk pergi ke toilet untuk merapikan diri.

Di dalam toilet, Emily memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan akibat perjalanan tergesa-gesa. Ia juga menyegarkan wajahnya dengan sedikit semprotan face mist. Setelah merasa lebih siap, Emily mengecek ponselnya. Senyumnya langsung menghilang ketika melihat deretan panggilan tak terjawab dan belasan pesan dari manajernya, Boy, dan beberapa rekan kerja.

"Astaga! Kenapa mereka sudah mulai?" pikirnya panik.

Ia buru-buru membaca pesan terakhir dari Boy yang memberitahunya bahwa makan malam dimajukan.

Tanpa membuang waktu, Emily mengambil tasnya dan segera menuju ruangan VIP tempat makan malam berlangsung. Sesampainya di depan pintu, dengan napas yang masih tersengal-sengal karena tergesa-gesa, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Ketika pintu terbuka, semua mata langsung tertuju padanya. Emily berusaha tersenyum tipis meskipun dadanya terasa sesak.

"Maafkan saya, saya tidak tahu bahwa acara makan malamnya dipercepat," ucapnya dengan kepala tertunduk.

"Tidak apa-apa, Emily. Duduklah," sambut Beni, asisten Mr. Whiteller, dengan senyum ramah.

Emily menunduk dan berjalan menuju kursi paling ujung. Namun, dalam keterburuannya, ia tidak menyadari bahwa seorang pelayan sedang membawa nampan berisi piring makanan di dekatnya.

Brukk... pranggg!

Suara pecahan piring bergema di seluruh ruangan. Semua orang terdiam. Piring dan makanan berserakan di lantai, potongan kaca menyebar ke segala arah. Emily terpaku di tempat, wajahnya memerah seketika.

"Ya Tuhan... maafkan aku... maaf..." gumam Emily, suaranya bergetar. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.

Leni yang duduk tidak jauh dari tempat kejadian langsung berbisik dengan nada sinis. "Perempuan sembrono, pengacau... bikin malu saja," ucapnya pelan

Namun, suara Leni segera tenggelam oleh suara berat yang terdengar dari ujung meja.

"Tanganmu memerah. Pergilah ke kamar mandi dan siram dengan air dingin," ujar pria itu dengan nada tenang namun penuh otoritas.

Deg.

Emily mengangkat wajahnya perlahan, mencari sumber suara. Itu adalah Mr. Whiteller. Untuk pertama kalinya, ia mendengar suaranya—dalam, tenang, dan berwibawa. Emily merasa seolah waktu berhenti sejenak.

Beni segera mengambil alih situasi. "Leni, bisakah kau antarkan Emily? Dia terlihat sedikit syok."

"Baik, Pak," jawab Leni singkat, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.

Dengan kasar, Leni menarik tangan Emily dan membawanya keluar dari ruangan. Emily tidak melawan, tubuhnya terasa lemas. Hanya rasa malu yang memenuhi pikirannya. Di tengah perjalanan ke toilet, Leni mendesis dingin, "Dasar merepotkan."

"Kau nggak punya otak, Emily?!" bentak Leni dengan suara tajam begitu mereka tiba di toilet. Matanya menyala penuh kemarahan, dan suaranya bergema di ruangan yang sepi. "Kau tahu betapa susahnya meyakinkan perusahaan mereka untuk menggunakan jasa kita, hah? Sekarang kau bikin tim kita kelihatan ceroboh di depan mereka!"

Emily hanya bisa menunduk, menahan napas. Ia merasa lehernya seperti dicekik oleh rasa malu dan bersalah.

"Maaf, Kak," bisiknya pelan, hampir tidak terdengar di antara napasnya yang terputus-putus.

Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan amarah Leni. "Maaf?! Apa maafmu bisa memperbaiki semua ini, hah? Kalau sampai kejadian ini merusak hubungan kerja sama kita, habis kau, Emily!" Leni menuding tajam ke arahnya, seolah kemarahan itu adalah paku yang menghujam langsung ke hatinya.

Emily tidak berani mengangkat wajah, bahkan tidak sanggup membalas. Ia hanya berdiri kaku, membiarkan rasa bersalah menyelimuti dirinya.

Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Leni mendengus kasar. Ia berbalik dan melangkah keluar dari toilet, membanting pintu hingga suaranya memantul di sepanjang lorong.

Emily tetap berdiri diam di tempatnya

Sementara itu, di dalam ruangan VIP, suasana mulai kembali tenang setelah para pelayan membersihkan kekacauan akibat insiden tadi. Leni duduk di kursinya, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya memulai percakapan dengan Beni, asisten pribadi Mr. Whiteller.

"Pak Beni," kata Leni dengan senyum tipis yang terkesan sopan. "Saya ingin meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi tadi. Emily memang... pekerja keras, tapi kadang dia bisa sedikit ceroboh, terutama dalam situasi seperti ini."

"Kalau saya boleh jujur," Leni melanjutkan, suaranya sedikit diturunkan agar terdengar lebih pribadi, "Emily memiliki potensi, tapi... bagaimana ya, kadang dia membuat situasi menjadi sedikit... sulit bagi tim kami."

Beni mengangguk pelan, tapi tidak memberikan respons yang langsung mengiyakan. Tatapannya justru terlihat lebih tajam, seolah mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata Leni.

Bab terkait

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 5

    "Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 6

    Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 7

    Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab."Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu."Ada apa, El? Tumben telepon malam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 8

    "New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 9

    Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 10

    “Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 11

    Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 12

    Dengan kepala sedikit terangkat, Leni melangkah keluar dari kantin. Teman temannya, yang sejak tadi hanya mendukungnya dari belakang, segera mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka meninggalkan kantin dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik kecil, namun Leni merasa telah berhasil menenangkan situasi—setidaknya untuk dirinya sendiri.Insiden di kantin, meskipun terlihat selesai, namun kejadian ini mulai menyebar ke seluruh lingkungan kantor, menjadi bahan perbincangan orang orang.…Setelah berganti pakaian dan merapihkan kembali penampilannya. Emily memutuskan untuk ke rooftop kantor, sambil berjalan pelan ia memakan sebungkus kue untuk mengisi perutnya dikarenakan ia belum sempat makan saat di kantin tadi. Udara sejuk menyambutnya saat ia tiba, sedikit menusuk kulit namun justru terasa menenangkan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan kota membuatnya merasa lebih ringan, meski hanya sedikit. Suasana yang sunyi dan jauh dari keramaian kantor adalah apa yang ia butuhkan.Namun, sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 39

    "Amore, kau membuat kekacauan di dapur lagi?" pria itu bertanya dengan nada bercanda sambil melirik meja yang masih sedikit berantakan dengan sisa bahan-bahan masakan.Amore tersenyum lebar, lalu berjalan menghampiri pria itu untuk memeluknya. "Ayah! Aku hanya sedang mencoba resep baru bersama temanku."Pria itu mengangguk sambil menatap Emily. "Dan siapa ini? Teman baru?"Emily segera berdiri dari kursinya, merasa harus menunjukkan sopan santun. "Selamat sore, Tuan. Nama saya Emily. Saya teman Amore di Whiteller Corp."Pria itu mengulurkan tangan dengan ramah. "Emily, senang bertemu denganmu. Saya Robert. Ayahnya Amore."Emily menjabat tangannya dengan canggung. "Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Robert."Robert menatap putrinya dengan pandangan sedikit menggoda. "Jadi, kau membawa rekan kerjamu ke dapur, ya? Jangan bilang kau sedang mencari asisten untuk baking."Amore tertawa. "Bukan, Ayah. Aku hanya ingin mengajaknya mencoba sesuatu yang berbeda. Lagipula, Emily ini lumayan be

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 38

    Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah besar yang mewah, meskipun Emily segera menyadari bahwa rumah ini tidak semegah rumah Mr. Whiteller. Namun tetap saja, ukurannya luar biasa, dan suasananya terasa hangat dan modern, berbeda dengan kesan klasik dan formal di rumah sepupu Amore itu."Ini... sungguh rumahmu?" tanya Emily, masih tak percaya sambil memandangi fasad rumah yang dipenuhi jendela besar dan desain minimalis elegan.Amore hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu dengan santai menarik tangan Emily untuk masuk ke dalam. "Ayo masuk. Kau akan lebih terkejut lagi nanti."Begitu melewati pintu utama, Emily segera melihat interior rumah yang dipenuhi sentuhan modern. Tidak ada ornamen kayu berukir seperti di rumah Mr. Whiteller, tapi setiap sudut tampak rapi dengan pencahayaan hangat dan perabotan kontemporer."Kita ke kamarku dulu," kata Amore sambil melangkah ke arah tangga besar. "Aku mau ganti baju. Setelah itu, kita bisa mulai."Emily mengangguk dan mengikuti Amore. Ketika mere

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 37

    Emily mengetuk pintu ruangan Mr. Whiteller dengan sedikit ragu. Setelah mendengar suaranya yang khas dari dalam, ia membuka pintu perlahan. Sylvester sedang duduk di belakang meja kerjanya, namun begitu melihat Emily, ia langsung meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Masuklah," ucap Sylvester sambil menunjuk kursi di depannya.Emily melangkah masuk, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Anda ingin membahas bekal makan siang tadi, Tuan?" tanyanya hati-hati, duduk di kursi yang ditunjukkan.Sylvester menatapnya dengan senyum tipis. "Sylvester, Emily. Ingat? Sudah berapa kali aku bilang panggil aku dengan nama saja?"Emily mengangguk pelan. "Maaf, Sylvester.""Bagus," ucapnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi, soal bekal makan siang tadi…"Emily langsung menegakkan tubuh, siap mendengar kritik apa pun yang akan keluar dari mulutnya. "Apakah ada yang tidak sesuai? Mungkin rasanya kurang cocok? Atau terlalu asin?"Sylvester tertawa kecil, membuat Emily sediki

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 36

    Emily mengangguk pelan, merasa sedikit lega setelah mendengar saran Amore. "Terima kasih, Amore."Amore mengambil cangkir kopinya dan menyesap sedikit sebelum berkata, "Kita lihat saja apa langkahnya selanjutnya. Kalau memang dia serius, dia pasti akan menunjukkan niatnya dengan jelas."Emily tersenyum kecil. "Ya, mungkin kau benar""Oh iya, kau harus coba ini. Aku baru membuatnya semalam," ucap Amore sambil menyodorkan sebuah kotak makan berisi chocolate cake. Aromanya langsung tercium menggoda.Emily mengambil sepotong kecil dan mencicipinya. “Mmm... aku yakin kau pasti pakai bahan premium,” katanya sambil tersenyum puas, menikmati rasa cokelat yang kaya dan lembut.Amore menggeleng ringan. “Aku hanya pakai bahan yang ada di dapur, itu saja. Sederhana, kok.”Emily mengangguk sambil mengambil gigitan kedua. “Kalau ini yang kau sebut sederhana, aku tidak tahu seperti apa kue yang sempurna. Tapi ini enak banget. Boleh aku ambil sepotong lagi?” tanyanya dengan mata berbinar.“Tidak bole

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 35

    Sementara itu, di luar ruangan, Mr. Whiteller membuka kotak makan siangnya dan tersenyum tipis saat aroma masakan buatan Emily menguar. Ia mulai menyantap makanannya dengan tenang, menikmati setiap suapan yang terasa lebih personal dibandingkan makanan mewah yang biasa ia nikmati.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu, dan masuklah Amore. Dengan langkah percaya diri, Amore berjalan mendekati meja kerja Sylvester, tangannya bersedekap."Makanannya terlihat enak," ucap Amore dengan nada datar, matanya menatap kotak makan siang yang sedang dinikmati Sylvester."Ya," jawab Sylvester singkat tanpa mengalihkan perhatian dari makanannya.Amore mengangkat alis, tidak puas dengan respons singkat itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin?" tanyanya, mencoba memancing percakapan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke meja. "Mengapa kau sekarang begitu 'terkenal'? Hampir semua penghuni Whiteller Corp membicarakan dirimu dan Emily. Apa yang

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 34

    Emily tertawa kecil, merasa makin aneh. "Rasanya aneh sekali dipanggil Nyonya," gumamnya pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Sylvester, yang menyaksikan percakapan itu dari dekat, tersenyum simpul. "Kau harus terbiasa. Di rumah ini, tamu kehormatan selalu dipanggil seperti itu," katanya santai.Emily memutar bola matanya sambil tersenyum kecil. "Tamu kehormatan, ya? Saya hanya merasa ini terlalu formal. Apalagi, saya bukan siapa-siapa.""Tidak semua orang bisa memasak dengan rasa seperti masakanmu," balas Sylvester ringan, namun ada nada tersirat yang membuat Emily sedikit salah tingkah.Emily memilih untuk tidak melanjutkan obrolan itu dan hanya mengangguk sopan pada maid tersebut. "Kalau begitu, saya serahkan semuanya padamu. Terima kasih," ucapnya.Sementara maid itu mulai merapikan meja, Sylvester menatap Emily sekilas sebelum beranjak dari kursinya. "Kau memang bukan siapa-siapa di rumah ini," ucapnya dengan nada datar, sebelum

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 33

    "Bumbu-bumbu ini ada di sini, kalau kamu butuh," tambah Mr. Whiteller sambil menunjuk laci tersebut.Emily memandangi bahan-bahan itu, merasa sedikit lega tapi tetap bingung. "Tuan, apakah Anda sering memasak masakan Indonesia?"Mr. Whiteller tersenyum tipis. "Tidak. Tapi, aku tahu kamu suka masakan seperti itu, jadi aku meminta seseorang untuk menyiapkan semua ini. Jadi, tunjukkan kemampuanmu."Emily menelan ludah, masih sulit percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, tanpa banyak kata lagi, ia akhirnya mengumpulkan keberanian dan mulai memikirkan menu sederhana untuk malam ini.Sambil mencari menu yang tepat di internet, Emily memutuskan untuk memasak nasi lebih dulu. Ia yakin, apa pun menu yang nanti ia pilih, nasi akan menjadi pelengkap yang tidak bisa dilewatkan. Tangan Emily terampil mencuci beras dan menyiapkan rice cooker, meski pikirannya masih sibuk memikirkan suasana aneh malam itu.Saat sedang menunggu nasi matang, Mr. Whiteller berdiri di dekat pintu dapur, menyilangkan t

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 32

    Saat Emily dan Dimas berjalan menuju lift untuk pulang, suasana koridor kantor mulai lengang. Hanya ada beberapa karyawan yang masih sibuk di meja mereka. Emily dan Dimas berbincang ringan tentang proyek yang hampir selesai ketika tiba-tiba Beni muncul dari arah berlawanan dan menghentikan langkah mereka."Emily," panggil Beni. "Ada yang perlu kamu urus sebentar."Emily menatapnya bingung. "Apa ada yang mendesak, Beni?""Ikut saja denganku," jawab Beni tanpa menjelaskan lebih lanjut. Tatapan matanya tegas, membuat Emily merasa tak punya pilihan lain.Dimas mengerutkan kening, tampak bingung. "Ada apa, pak Ben? Kalau butuh bantuan, aku juga bisa ikut."Beni menggeleng cepat. "Tidak, ini hanya untuk Emily. Kamu bisa langsung pulang, Dimas."Emily menghela napas dan menatap Dimas dengan canggung. "Kalau begitu, aku duluan, ya. Hati-hati di jalan."Dimas mengangguk, meski jelas masih bingung. "Baiklah."Beni memimpin Emily ke lift yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan. Emily melirik

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 31

    Dengan hati-hati, Emily mengetik balasan:"Terima kasih telah membersihkan nama saya, Tuan. Tapi soal membantu menata kamar Anda, saya rasa saya harus menolak. Saya tidak ingin ada gosip lain yang muncul. Terima kasih atas pengertiannya."Emily menekan tombol "Kirim" dan meletakkan ponselnya di meja. Ia berpikir bahwa balasan itu cukup sopan tetapi tetap menjaga jarak. Bagaimanapun, ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang membuatnya menjadi bahan gosip lagi.Namun, hanya beberapa detik setelah ia mengirim pesan itu, ponselnya kembali berbunyi. Pesan balasan datang lebih cepat dari yang ia duga."Saya pikir kau sudah tahu saya tidak peduli dengan gosip. Tapi kalau kau keberatan, saya tidak akan memaksa. Mungkin lain kali."Emily menghela napas panjang. Apa maksudnya “lain kali”? pikirnya. Lagi-lagi, Mr. Whiteller membuatnya merasa bingung dengan sikapnya.Sore itu, Emily mencoba mengalihkan pikirannya dengan menatap layar komputernya, tetapi konsentrasinya terusik oleh pesan-pesan t

DMCA.com Protection Status