Seorang wanita muda asal Indonesia, memulai perjalanan kariernya disebuah perusahaan di Jakarta. Ia mendapatkan kesempatan langka untuk mengerjakan proyek satu perusahaan besar di New York, ini merupakan batu loncatan yang dapat mengubah hidupnya. Namun, dibalik itu, ia dihantui oleh rasa minder akibat masalah bau tubuh yang ia alami. Meskipun sudah berusaha berbagai cara untuk mengatasinya, bau tubuhnya selalu menjadi bayang-bayang yang mengganggu setiap interaksi sosial, membuatnya merasa terisolasi dan tidak percaya diri. Di tengah perjuangannya untuk mengatasi rasa rendah diri, Emily bertemu dengan Mr.Whiteller, pria yang menarik dan misterius. Tatapan matanya yang tajam dan sikap profesional yang dingin membuat Emily merasa terkesan, namun juga cemas. Apakah bau tubuhnya akan mengganggu pria itu? Apakah Mr. Whiteller akan menerima dirinya dengan segala kekurangannya? Rasa takut dan harapan bercampur aduk dalam hatinya. Emily merasa terjebak antara keinginannya untuk lebih dekat dengan pria itu dan ketakutannya akan penolakan. Suatu hari, Mr. Whiteller meminta bantuan Emily untuk memilih beberapa barang dekorasi untuk rumahnya. Kesempatan ini membuat Emily semakin gugup, terlebih lagi ia khawatir bau tubuhnya akan tercium. Namun, tak disangka, kesempatan tersebut malah mengubah dinamika hubungan mereka. Mr. Whiteller mulai menunjukkan perhatian lebih padanya, dan Emily, yang awalnya merasa tak pantas, mulai merasakan ada harapan baru dalam dirinya. Apakah mungkin Mr. Whiteller melihat dirinya lebih dari sekadar partner kerja? Ataukah ia hanya merasa kasihan? Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Emily berusaha keras mengatasi insekuritasnya, sementara perasaan antara dia dan Mr. Whiteller berkembang, meskipun banyak hal yang belum terungkap di antara mereka. Emily merasa berada dipersimpangan antara memperjuangkan hubungan yang belum jelas dan tetap berfokus pada impian dan kariernya. Tantangan terbesar datang ketika Emily menyadari bahwa tak semua perjuangan membuahkan hasil yang diharapkan. Dalam perjalanan mencari penerimaan diri dan cinta sejati, Emily harus menghadapi kenyataan pahit—bahwa harapan seringkali tidak selalu terwujud.
View MoreTanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau
Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut
Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em
Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de
Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak
Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar
Sylvester menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu akhirnya menjawab, "Carol adalah seseorang yang dekat dengan keluargaku sejak lama. Orang-orang mungkin berpikir kami memiliki hubungan, tapi itu tidak benar. Kami memang pernah dekat, tapi tidak seperti yang kau pikirkan."Emily menatapnya, mencoba membaca ekspresi Sylvester. "Jadi, kau tak pernah memiliki hubungan dengannya?"Sylvester diam sejenak sebelum berkata, "Hubungan kami tidak lebih dari seorang teman.""hanya teman?" tanya Emily.Sylvester menghela napas. "Carol adalah temanku semasa sekolah dulu, dan hingga saat ini itu tidak berubah."Emily terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, kau tidak menyukainya?"Sylvester menatapnya lebih lama sebelum menjawab, "Tidak seperti itu."Emily mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?"Sylvester tersenyum kecil, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku pikir kau sudah tahu jawabannya."
Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments