Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.
Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.
Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik.
"Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."
Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang perlahan muncul di dadanya.
"Aku tidak berkhayal," jawab Emily datar, suaranya lebih tegas daripada yang ia kira.
Emily kembali mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang kini sudah tertutup. Mr. Whiteller dan timnya telah pergi, tapi bayangan pria itu masih melekat di benaknya.
Namun, Emily menggelengkan kepala perlahan, mencoba mengembalikan fokusnya.
…
Beberapa saat kemudian, Pak Boy mendekat dengan langkah cepat. Senyum profesional di wajahnya menyiratkan antusiasme yang biasanya ia tunjukkan saat membicarakan hal-hal penting.
"Emily, nanti malam kamu harus ikut makan malam," katanya dengan nada tegas namun ramah.
Emily menelan ludah. Ia merasa ragu. Makan malam dengan klien besar seperti Whiteller Corp sepertinya lebih dari sekadar acara makan malam biasa.
"Pak, maaf, sepertinya saya tidak bisa ikut nanti malam," ucap Emily hati-hati, mencoba mencari alasan tanpa terdengar tidak sopan.
Pak Boy mengerutkan dahi, jelas bingung dengan penolakannya. "Kenapa? Kamu harus datang, ini penting. Kamu punya andil besar dalam proyek ini, Emily. Presentasimu tadi sangat memukau. Klien pasti ingin mengenalmu lebih jauh."
Sebelum Emily sempat menjawab, Leni yang berdiri di dekat mereka segera menyela dengan nada santai, tapi tajam. "Aku rasa nggak apa-apa kalau Emily nggak ikut, Pak. Ini kan cuma makan malam. Toh, bukan rapat kerjaan yang harus banget dihadiri."
Pak Boy menatap Leni dengan sorot mata tajam yang membuat suasana sedikit tegang. "Bukan begitu, Leni. Mereka adalah klien penting, dan kita harus menghormati undangan mereka. Ini tentang menjaga hubungan baik, bukan sekadar pekerjaan. Emily, kamu harus datang. Urusan apa pun itu, tunda."
Tanpa menunggu jawaban Emily, Pak Boy berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan suasana yang tiba-tiba terasa sunyi.
Leni, yang sejak tadi memasang ekspresi puas, mendekat dan berbisik dengan nada dingin. "Jangan lupa mandi dulu," katanya pelan, Setelah itu, Leni melenggang pergi dengan langkah santai, meninggalkan Emily sendirian di tempatnya.
Emily tetap berdiri di sana. Sekilas, rasa marah muncul—marah pada Leni, Ia menunduk, tangannya mengepal di samping tubuhnya.
…
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Beberapa rekan kerja sudah berkemas dan beranjak pulang, sementara sebagian lainnya masih duduk di depan meja mereka, menyelesaikan sisa pekerjaan. Emily berjalan menuju ruang kerja Pak Boy. Langkahnya sedikit berat karena rasa lelah yang mulai menguasai tubuhnya setelah seharian bekerja.
Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk. Pak Boy tampak sibuk, matanya terpaku pada layar komputer, sementara tumpukan berkas di mejanya menambah kesan sibuk yang selalu melekat padanya.
"Pak, saya pamit dulu. Nanti saya langsung menyusul ke restoran, ya," ucap Emily dengan nada sopan, berdiri di dekat pintu.
Pak Boy tidak langsung menoleh. "Oke, nanti saya kirimkan alamat restorannya lewat grup," jawabnya singkat, matanya masih terpaku pada monitor.
"Baik, Pak," sahut Emily, menahan keinginan untuk meminta waktu lebih banyak. Ia tahu, mengganggu di saat seperti ini bukan ide yang bagus. Dengan langkah pelan, ia berbalik dan keluar dari ruangan, membiarkan Pak Boy kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
Di luar, Emily menghela napas panjang. Udara sore terasa berat di dadanya. matanya menatap kosong ke arah koridor yang sudah mulai sepi.
Ia berjalan keluar kantor dengan langkah lambat. Langit sore mulai gelap, dan jalanan Jakarta seperti biasa—macet, ramai, dan penuh dengan suara klakson yang bersahutan.
Setibanya di kamar kosnya yang mungil, Emily langsung meletakkan tas di kursi, merentangkan tangan, dan memejamkan mata sejenak. Rasa lelah begitu nyata, namun waktu terus berjalan. Ia tidak punya banyak waktu untuk bermalas-malasan.
Dengan langkah cepat, Emily masuk ke kamar mandi. Air hangat mengalir, membantu menghilangkan penat di tubuhnya. Ia mencuci rambutnya dengan sampo yang wangi, memastikan setiap sudut tubuhnya bersih. Dalam hati, ia bertekad bahwa malam ini, ia harus tampil sebaik mungkin.
Selesai mandi, Emily mengenakan handuk dan berdiri di depan cermin. Ia memandangi bayangannya sendiri.Tangan kirinya menyentuh wajahnya, dan mulai melakukan kegiatan perskinkeran.
Sambil berdandan di depan cermin, Emily memutuskan untuk menelepon keluarganya melalui video call. Wajahnya yang letih mulai tampak sedikit segar setelah makeup, namun ada sesuatu di hatinya yang terasa berat. Ia tahu, suara ibunya selalu bisa menenangkan, jadi ia mengambil ponselnya dan memulai panggilan.
"Kakak mau pergi ke mana?" suara lembut ibunya terdengar begitu panggilan tersambung. Wajah ibunya muncul di layar, menampilkan senyum hangat yang selalu menjadi pelipur lara Emily.
"Tim kami dapat undangan makan malam, Bu, dengan klien," jawab Emily sambil mengoleskan blush on tipis di pipinya, berusaha menutupi jejak kelelahan yang masih membekas.
"Oh, baguslah. Bagaimana pekerjaanmu, Kak? Baik-baik saja, kan?" tanya ibunya dengan suara penuh perhatian, seperti biasa.
"Pekerjaan lancar, Bu. Teman-teman di kantor baik semua, aku banyak dibantu mereka," jawab Emily, meskipun dalam hatinya ada rasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur.
"Syukurlah," jawab ibunya sambil mengangguk, senyum lega terpancar jelas di wajahnya. Senyum itu selalu membuat Emily merasa tenang, seolah semua masalahnya bisa ia simpan jauh-jauh.
"Ibu tidak perlu khawatir, ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Kakak," ucap Emily, tersenyum sambil menambahkan eyeliner di matanya
"Harusnya Ibu yang bilang begitu. Kamu jangan terlalu khawatir. Ibu baik-baik saja di sini bersama adikmu," balas sang ibu dengan lembut, membuat Emily tersenyum tipis.
"Adik mana, Bu? Kenapa nggak kelihatan?" tanya Emily sambil menatap layar, menyadari bahwa wajah adiknya tidak muncul di panggilan itu.
"Dia pergi, temannya mengajaknya main," jawab ibunya santai, seperti itu adalah hal biasa.
"Aduh, itu anak benar-benar. Bukannya menemani Ibu di rumah, malah pergi main!" ucap Emily dengan nada sedikit kesal, alisnya berkerut.
"Huss, jangan begitu. Biarkan saja, namanya juga anak remaja," tegur ibunya lembut, berusaha membela si adik.
"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten
"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap
Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab."Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu."Ada apa, El? Tumben telepon malam
"New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u
Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki
“Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor
Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i
Sylvester mengangkat pistolnya sedikit lebih tinggi."Jika dia mati... kau pun akan mati, Carol." suaranya rendah, dingin seperti es.Carol menyeringai, langkahnya pelan mengarah ke Emily."Mulai detik ini... aku menyatakan perang. Lupakan soal persahabatan kita dulu, Sylvester. Aku sudah selesai menjadi bayangan di hidupmu."Sylvester menegang. Tangannya sedikit gemetar.Namun kali ini, bukan karena takut. Tapi karena marah.Carol bergerak cepat. Ia menarik pistol kecil dari balik jaketnya dan mengarahkannya langsung ke kepala Emily."SATU LANGKAH LAGI, DAN DIA MATI!" teriaknya keras, matanya liar, suara gemetar tapi penuh tekad.Sylvester membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak."Letakkan senjatamu, Carol. Ini bukan kamu… Bukan seperti ini."Carol tertawa getir."Kamu tak pernah tahu siapa aku sebenarnya, Sylvester. Karena kamu terlalu sibuk mencintai perempuan-perempuan yang tak pantas."Ben mencoba bergerak perlahan dari samping, tapi Carol menyadarinya."JANGAN COBA-COBA!" b
Penjaga mendorongnya lebih dekat. Ben terhuyung dan jatuh berlutut di samping Emily."Maaf, Em... aku tak cukup cepat," bisiknya lemah. Emily langsung memeluknya sejenak sebelum melepaskannya dan menatapnya dengan khawatir.Sylvester menatap Ben, lalu beralih ke Carol dengan sorot mata dingin membeku."Apa maksudmu dengan semua ini, Carol?"Carol melangkah perlahan ke arah mereka."Kau tak lihat? Aku menangkap mereka saat mereka bersama. Kau tahu, Mereka beberapa kali bertemu diam-diam di belakangmu.""Cukup!" bentak Sylvester.Ia merangkul Emily dan membantunya berdiri."Kita pulang."Carol tersenyum tipis. Lalu tawanya keluar, pelan, datar, getir."Kalian pikir bisa pergi begitu saja?"Beberapa penjaga di sekitar pintu mengangkat senjata dan menarik pelatuknya.Bodoh. Aku terlalu meremehkannya… datang tanpa persiapan, pikir Sylvester.Carol menatap Emily."Emily... kau ingin tahu
Seorang penjaga berlari tergesa melewati lorong yang gelap, napasnya memburu. Saat ia mencapai area dalam yang lebih terang, ia mendobrak pintu dan berteriak,“Nona Carol! Tahanan—Ben, dia kabur!”Carol yang sedang berdiri menatap monitor pengawas CCTV langsung memutar tubuhnya, ekspresinya berubah dari tenang menjadi tajam dan berbahaya.“Apa maksudmu kabur?” suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.“Dia memukul penjaga dan melarikan diri ke arah tangga atap. Kami sedang mengejarnya.”Carol mengepalkan rahangnya, menahan amarah yang mulai mendidih.Tiba-tiba, seorang penjaga lain masuk terburu-buru, memotong momen tegang itu.“Nona Carol… ada tamu. Seorang pria... katanya ia ingin berbicara dengan Anda. Mendesak.”Carol menoleh cepat, matanya menyipit curiga. “Siapa?”“Dia tidak mau menyebutkan nama. Tapi… Dia tahu nona, dan… dia terlihat tenang. Terlalu tenang.”Carol terdiam beberapa detik. Matanya memandang kosong ke arah layar CCTV yang kini menampilkan Ben berlari menaiki
"Emily, lihat itu," ucap Ben, menunjuk ke arah atas ruangan. "Di sana… corong udara."Emily mendongak. Di langit-langit yang tinggi dan berdebu, tampak sebuah corong ventilasi besi. Tidak terlalu besar, tapi mungkin cukup untuk tubuhnya yang kecil."Kau pikir aku bisa muat?" tanyanya, napasnya mulai memburu karena harapan kecil mulai tumbuh di hatinya."Sepertinya iya. Kau lebih kecil dariku, dan… sepertinya itu satu-satunya jalan keluar." Ben memeriksa sekeliling. "Kita harus naik. Kursi itu, dan... lemari tua, kita bisa susun."Tanpa banyak bicara, mereka mulai bergerak. Emily menarik kursi tua ke bawah ventilasi sementara Ben mendorong lemari besar, berdecit pelan di lantai beton yang dingin.Mereka bekerja cepat meski tubuh masih terasa lemah. Ben menopang kursi di atas lemari, lalu membantu Emily naik."Pelan-pelan. Aku tahan dari bawah," ucap Ben sambil menahan kursi agar tidak goyah.Emily melangkah ke atas lemari, lalu naik ke kursi dengan hati-hati. Tangannya meraih jeruji ve
"Kau..." bisik Emily, hampir tak percaya."Ya, sayang. Aku." Suara Carol begitu tenang, seperti sedang menyapa tamu yang datang untuk minum teh."Kupikir kalian akan sedikit lebih kuat… tapi ternyata baru dua hari saja sudah seperti ini."Emily menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar karena amarah dan ketakutan."Apa yang kau mau dariku?"Carol mendekat. Suara sepatunya terdengar hanya beberapa langkah dari kepala Emily."aku butuh dia, butuh spermanya." Suaranya penuh sindiran."dan kau sebagai... penampungnya."Ben menelan ludah, wajahnya memucat."Carol, hentikan ini..." ucapnya pelan.Carol tertawa kecil, renyah, tapi tajam seperti pisau."Ben, Ben… kau sangat luar biasa. Aku akan memberimu apapun yang kau mau jika kau mau menurutiku, dan aku akan melepaskanmu sehingga kau dengan bebas menjamahnya."Emily mengepalkan tangan. Meski tubuhnya terikat dan tak berdaya, ada nyala kecil dalam dirinya yang mulai membara."Kau sakit, Carol. Kau membutuhkan bantuan.""Oh, sayangku… yang sa
Di layar, keduanya berbicara selama beberapa saat. Lalu…Sosok lain mendekat dari belakang.Gerakannya cepat. Seketika suasana menjadi kacau—Emily jatuh. Ben tampak terserang.Layar mendadak gelap.“Rekaman selanjutnya hilang. Sinyal kamera terputus setelah itu.” jelas Amore, suaranya serius.Sylvester mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Kita harus temukan mereka sekarang.”“Aku mencoba melacak keberadaan Ben lewat sinyal ponsel dan kartu identitasnya,” lanjut Amore, “Tapi jejaknya hanya sampai bandara. Setelah itu… hilang. Tak terdeteksi.”Sylvester mengumpat pelan. “Mereka pasti menggunakan pesawat. Ini kerjaan orang-orang yang tahu cara menyembunyikan jejak. Mereka bukan penjahat jalanan biasa.”Amore menatapnya lekat. “Apa kau punya musuh, Sylvester?”Pertanyaan itu menggantung.Sylvester terdiam. Matanya menatap kosong sejenak, lalu berubah tajam.“Cari tahu semua penerbangan hari itu. Semua. Tak peduli kemana arahnya.”Amore mengerutkan dahi. “Kau gila? Ini bandara internas
TOK TOK TOK...Pintu kos terbuka perlahan, menampilkan wajah Amore yang terlihat agak kaget melihat siapa yang berdiri di depannya.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.“Aku mau menemui Emily,” jawab Sylvester tanpa basa-basi.Amore mengangkat alis. “Bukankah dia bersamamu? Semalam dia mengirim pesan padaku katanya menginap di tempatmu.”“Iya, memang. Tapi pagi tadi dia pulang sendiri... Aku nggak sempat mengantarnya,” ucap Sylvester sambil merogoh ponsel dari sakunya, berusaha menghubungi Emily.Namun layar ponsel hanya menunjukkan satu hal: tidak tersambung.Wajah Sylvester semakin tegang. Ia buru-buru menekan kontak lain.“Dim, apa kau bersama Emily?”Suara Dimas terdengar dari seberang, terdengar bising di latar.“Tidak, Tuan Whiteller. Saya sedang bekerja sekarang.”“Baiklah.” Sylvester mengakhiri panggilan, napasnya mulai berat.“Mungkin dia cuma sedang cari makan, atau jalan-jalan sebentar. Atau bisa juga pergi ke suatu tempat. Nggak usah khawatir, nanti juga pulang,” ujar Am
“Aku menyakitinya, Em…” lanjut Sylvester, suaranya bergetar. “Seharusnya aku mengajaknya bicara baik-baik… seharusnya aku tenang. Tapi aku terlalu emosi. Aku melukai dia… secara fisik dan batin. Aku jahat, Em. Aku jahat…”Ia menggenggam bantal di pangkuannya, mencoba menahan isak yang meledak.“Dia pergi… karena aku. Bersama anak dalam kandungannya. Aku bahkan tak tahu anak siapa itu… tapi aku... aku telah membunuh dua makhluk hidup, Em. Dua nyawa.”Emily menundukkan kepalanya, air matanya jatuh satu demi satu. Tapi ia tetap memeluk Sylvester, lebih erat ia bisa merasakannya.“Aku tak tahu bagaimana harus menebusnya. Tak ada yang bisa mengembalikan mereka. Aku hidup dengan bayang-bayang itu setiap hari…”Emily mengangkat wajahnya, menatap Sylvester dalam-dalam, matanya sembab namun penuh kelembutan.“Sylvester… kau memang melakukan kesalahan. Kau menyakiti seseorang, dan kau menyesalinya. Kau bukan jahat. Jika kau jahat, kau tak akan menangis malam ini… kau tak akan terbuka seperti in
Emily masih menatap Sylvester, menunggu dengan sabar jawaban yang tak kunjung keluar. Hening menyelimuti mereka, seolah waktu pun ikut menahan napas.Tepat saat Sylvester hendak membuka mulut untuk bicara, suara langkah kaki pelayan memecah ketegangan.“Permisi, pesanannya, Kak,” ucap pelayan dengan senyum ramah, namun matanya sempat melirik Sylvester sejenak sebelum meletakkan makanan di atas meja mereka.Emily yang melihat itu hanya mengerjap pelan, menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul.“Terima kasih, Kak,” ucap Emily dengan senyum tipis namun suaranya terdengar dingin.“Sama-sama, Kak. Selamat menikmati,” balas si pelayan sebelum akhirnya berlalu, tak lupa melirik sekali lagi ke arah Sylvester.“She is my girlfriend,” ucap Sylvester tiba-tiba, lantang dan jelas, membuat Emily menoleh cepat, cukup terkejut dengan pernyataan itu.Pelayan yang masih berada tak jauh langsung menghentikan langkahnya.“Ah… maaf, Kak,” ucapnya terbata, lalu buru-buru menambahkan,“Ini pesanan yan