Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.
Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.
Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab.
"Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
"Ada apa, El? Tumben telepon malam-malam," tanya Emily.
"Kakak jadi ke Amerika?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Emily terdiam sesaat. "Iya, kemungkinan besar," jawabnya lirih. "Kenapa, El?"
Ada jeda di seberang. Lalu, suara Elio terdengar lagi, lebih lembut kali ini. "Kakak nggak usah khawatir soal Ibu. Aku bisa jaga Ibu di sini."
Emily menarik napas panjang. "El, kamu masih muda. Kakak nggak yakin kamu bisa mengurus semuanya sendirian. Tanggung jawab ini terlalu besar untukmu."
Keheningan di ujung telepon. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Elio melanjutkan, suaranya terdengar tegas meski pelan. "Kak, Kakak sudah ngorbanin banyak hal buat kami. Giliran aku sekarang yang gantian jagain Ibu. Kakak ambil kesempatan ini. Aku janji, aku bakal kasih kabar soal Ibu terus ke Kakak."
Emily terisak kecil, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. "Tapi, El... kalau Ibu kenapa-kenapa.. “
Suara ibunya tiba-tiba terdengar di latar belakang. "Ibu nggak apa-apa, Nak," katanya lembut. " Ini giliran kamu, Emily. Pergilah. Jangan khawatirkan kami."
Suara ibunya membuat tangis Emily semakin pecah. "Tapi, Bu... kalau aku kangen, gimana?"
Terdengar tawa kecil dari Elio dan ibunya. "Kan ada videocall," jawab Elio, mencoba mencairkan suasana.
Emily tersenyum kecil di tengah tangisnya. "Tapi kalau aku mau peluk Ibu?"
"Simpan kangenmu, Nak," ujar ibunya lembut. "Nanti kalau kamu pulang, peluk Ibu sampai puas. Ibu janji bakal peluk kamu nggak lepas-lepas. Kalau perlu, Ibu kurung kamu di rumah."
Emily tertawa kecil di antara air matanya, terhibur oleh canda ibunya. Malam itu, Emily merasa beban di pundaknya sedikit lebih ringan. Cinta dan dukungan dari keluarga memberinya kekuatan baru untuk melangkah.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Emily bisa tidur dengan nyenyak. Ia tahu keputusannya sudah bulat. Keesokan harinya, ia akan menghubungi manajernya untuk menyatakan kesiapannya berangkat ke Amerika, membawa harapan keluarga bersamanya.
…
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Emily berjalan memasuki bandara dengan perasaan campur aduk—antara gugup, sedih, dan sedikit antusias. Di area keberangkatan, ia segera bergabung dengan rekan-rekan timnya yang juga akan berangkat ke Amerika bersamanya: Leni, Jesselyn, dan Dimas.
"Semangat dong, Em!" ucap Dimas ceria, menyadari raut wajah Emily yang tampak berat.
Emily tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. "Iya, Dim. Terima kasih," jawabnya singkat.
Sementara itu, di sisi lain, Leni dan Jesselyn sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tertawa pelan sambil sesekali melirik ke arah Emily. Namun, Emily memilih untuk tidak terlalu memerhatikan mereka. Dia sudah cukup terbiasa dengan sikap mereka yang sedikit dingin terhadapnya.
Dimas, seperti biasanya, tetap ramah dan perhatian. Ia berjalan mendekat ke sisi Emily, lalu berkata dengan suara tenang, "Di sana sekarang sedang musim dingin. Kamu sudah persiapkan baju hangat, kan?"
Emily mengangguk. "Sudah, Dim. Terima kasih sudah mengingatkan."
Suasana sempat hening sejenak, tapi Dimas kembali memecahnya dengan suara rendah namun penuh ketulusan. "Aku tahu kamu punya banyak beban, Em. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu bisa andalkan aku di sana. Lagi pula, kita ini tim, kan? Harus saling melengkapi."
Emily menatap Dimas sejenak, hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Dimas melanjutkan, kali ini sambil melirik ke arah Leni dan Jesselyn, yang masih asyik berbincang. "Dan soal mereka berdua… nggak usah dipikirin. Fokus aja sama kerjaan kita."
Senyum kecil muncul di wajah Emily. Kata-kata Dimas memberikan sedikit kelegaan. "Terima kasih, Dim. Aku benar-benar menghargai itu."
Dimas mengangguk santai, lalu memberi Emily jempol. "Santai aja."
Saat itu, pengumuman untuk penerbangan mereka terdengar. Mereka segera bersiap menuju pintu keberangkatan. Emily menarik napas panjang, menatap sekali lagi ke arah layar ponselnya—foto ibunya dan Elio yang ia pasang sebagai wallpaper kemudian melangkah mantap bersama timnya menuju pesawat. Perjalanan baru ini baru saja dimulai.
…
Pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Udara dingin langsung terasa begitu Emily dan timnya turun dari pesawat. Ini pertama kalinya ia merasakan musim dingin secara langsung.
Di pintu kedatangan, seorang pria yang sudah tak asing berdiri menunggu mereka. Beni, asisten Mr. Whiteller, melambaikan tangan sambil tersenyum tipis begitu melihat rombongan mereka.
"Selamat datang di New York," sapanya dengan nada sopan namun formal. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan."
Dimas menyambut dengan ramah, "Halo, Beni! Terima kasih sudah menjemput kami."
Beni hanya mengangguk sebelum beralih ke Emily. Matanya menatapnya sesaat, lalu berkata, "Kabar baik melihat mu di sini, Emily."
Emily hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Beni."
Setelah memastikan semua barang bawaan tim sudah diangkut, Beni mengantar mereka ke sebuah van hitam yang sudah menunggu di luar. Perjalanan ke apartemen yang akan mereka tinggali memakan waktu sekitar satu jam. Selama perjalanan, Emily memandangi pemandangan kota New York melalui jendela. Gedung-gedung pencakar langit yang megah membuatnya terpesona, meskipun kelelahan masih terasa di tubuhnya.
"New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u
Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki
“Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor
Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i
Dengan kepala sedikit terangkat, Leni melangkah keluar dari kantin. Teman temannya, yang sejak tadi hanya mendukungnya dari belakang, segera mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka meninggalkan kantin dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik kecil, namun Leni merasa telah berhasil menenangkan situasi—setidaknya untuk dirinya sendiri.Insiden di kantin, meskipun terlihat selesai, namun kejadian ini mulai menyebar ke seluruh lingkungan kantor, menjadi bahan perbincangan orang orang.…Setelah berganti pakaian dan merapihkan kembali penampilannya. Emily memutuskan untuk ke rooftop kantor, sambil berjalan pelan ia memakan sebungkus kue untuk mengisi perutnya dikarenakan ia belum sempat makan saat di kantin tadi. Udara sejuk menyambutnya saat ia tiba, sedikit menusuk kulit namun justru terasa menenangkan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan kota membuatnya merasa lebih ringan, meski hanya sedikit. Suasana yang sunyi dan jauh dari keramaian kantor adalah apa yang ia butuhkan.Namun, sa
Jesselyn, yang merasa situasi semakin panas, mencoba mengalihkan perhatian. "Bagaimana kalau kita selesaikan pembicaraan ini nanti, setelah semua lebih tenang?"Namun, Leni tidak peduli. Ia menunjuk ke arah Dimas. "Kamu ini kenapa, sih? Bukannya mendukung tim sendiri, kamu malah berpihak pada dia! Apa kamu nggak sadar, Dimas? Dia cuma beban buat kita! Karyawan disini banyak yang tidak nyaman dengan bau badannya dia"Dimas mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarahnya. "Kalau ada yang membuat tim kita terlihat buruk, itu bukan Emily, Itu kamu. Dengan sikapmu yang tidak profesional, dengan mulutmu yang tidak bisa dijaga. Kita ke sini untuk bekerja, bukan untuk drama seperti ini. aku tidak melihat orang orang merasa tidak nyaman, hanya kamu saja yang melebih lebihkan"Leni membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Jesselyn segera menengahi, "Oke, cukup! Leni, Dimas. Kita tim, ingat? Dan kalau kita terus bertengkar seperti ini, yang rugi adalah kita sendiri."“ kamu pun terlibat
“Jadi, kau belum pernah berpacaran?” tanya Amore dengan nada penasaran, sambil mengaduk minumannya.“Ya,” jawab Emily singkat, tanpa banyak ekspresi.Amore terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara lagi. “Sepertinya temanmu itu bukan orang yang baik.”“Yang mana?” tanya Emily, meskipun sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Satu tim denganmu,” jawab Amore, mengerutkan dahi.Emily hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi.“Lalu, kau dengan Dimas?” tanya Amore lagi, kali ini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Kami tidak ada apa-apa,” jawab Emily sambil tersenyum tipis. “Kami memang cukup dekat, tapi hanya sebatas rekan kerja.”“Hmm, aku kira kalian berpacaran,” ucap Amore sambil mengangguk-angguk kecil.“Tidak mungkin,” jawab Emily cepat.“Kalau begitu, siapa pria idamanmu?” tanya Amore, alisnya terangkat seolah ingin mengungkap rahasia besar.Emily tertawa kecil. “Hmm… aku sedang tergila-gila dengan Jungkook dari BTS,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Me
Tak lama setelah itu, mata Emily menangkap sosok yang sangat ia kenali. Mr. Whiteller berjalan ke arah mereka dengan langkah santai namun penuh wibawa. Emily langsung bangkit dari kursinya, berusaha menjaga sikap seformal mungkin."Selamat malam, Sir," sapa Emily sopan sambil sedikit menundukkan kepala."Selamat malam," balas Mr. Whiteller sambil tersenyum tipis. Kemudian matanya melirik ke arah Amore yang sudah setengah terlelap di kursinya. "Terima kasih sudah menjaganya," ucapnya sambil mengangguk rngan ke arah Emily."Ahh... tampannya aku," gumam Amore di antara tawa kecilnya, membuat Emily tersenyum canggung."Ikut kami. Aku akan mengantar ke apartemen mu," tawar Mr. Whiteller."Oh, tidak, tidak perlu, Sir. Setelah ini saya masih ingin mampir ke suatu tempat. Anda bisa pulang lebih dulu," tolak Emily sopan namun tegas.Mr. Whiteller mengangguk, menghormati keputusan Emily. "Baiklah, kami akan pergi lebih dulu," ucapnya singkat. Dengan sigap, ia membungkuk dan menggendong Amore ta
"Amore, kau membuat kekacauan di dapur lagi?" pria itu bertanya dengan nada bercanda sambil melirik meja yang masih sedikit berantakan dengan sisa bahan-bahan masakan.Amore tersenyum lebar, lalu berjalan menghampiri pria itu untuk memeluknya. "Ayah! Aku hanya sedang mencoba resep baru bersama temanku."Pria itu mengangguk sambil menatap Emily. "Dan siapa ini? Teman baru?"Emily segera berdiri dari kursinya, merasa harus menunjukkan sopan santun. "Selamat sore, Tuan. Nama saya Emily. Saya teman Amore di Whiteller Corp."Pria itu mengulurkan tangan dengan ramah. "Emily, senang bertemu denganmu. Saya Robert. Ayahnya Amore."Emily menjabat tangannya dengan canggung. "Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Robert."Robert menatap putrinya dengan pandangan sedikit menggoda. "Jadi, kau membawa rekan kerjamu ke dapur, ya? Jangan bilang kau sedang mencari asisten untuk baking."Amore tertawa. "Bukan, Ayah. Aku hanya ingin mengajaknya mencoba sesuatu yang berbeda. Lagipula, Emily ini lumayan be
Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah besar yang mewah, meskipun Emily segera menyadari bahwa rumah ini tidak semegah rumah Mr. Whiteller. Namun tetap saja, ukurannya luar biasa, dan suasananya terasa hangat dan modern, berbeda dengan kesan klasik dan formal di rumah sepupu Amore itu."Ini... sungguh rumahmu?" tanya Emily, masih tak percaya sambil memandangi fasad rumah yang dipenuhi jendela besar dan desain minimalis elegan.Amore hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu dengan santai menarik tangan Emily untuk masuk ke dalam. "Ayo masuk. Kau akan lebih terkejut lagi nanti."Begitu melewati pintu utama, Emily segera melihat interior rumah yang dipenuhi sentuhan modern. Tidak ada ornamen kayu berukir seperti di rumah Mr. Whiteller, tapi setiap sudut tampak rapi dengan pencahayaan hangat dan perabotan kontemporer."Kita ke kamarku dulu," kata Amore sambil melangkah ke arah tangga besar. "Aku mau ganti baju. Setelah itu, kita bisa mulai."Emily mengangguk dan mengikuti Amore. Ketika mere
Emily mengetuk pintu ruangan Mr. Whiteller dengan sedikit ragu. Setelah mendengar suaranya yang khas dari dalam, ia membuka pintu perlahan. Sylvester sedang duduk di belakang meja kerjanya, namun begitu melihat Emily, ia langsung meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Masuklah," ucap Sylvester sambil menunjuk kursi di depannya.Emily melangkah masuk, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Anda ingin membahas bekal makan siang tadi, Tuan?" tanyanya hati-hati, duduk di kursi yang ditunjukkan.Sylvester menatapnya dengan senyum tipis. "Sylvester, Emily. Ingat? Sudah berapa kali aku bilang panggil aku dengan nama saja?"Emily mengangguk pelan. "Maaf, Sylvester.""Bagus," ucapnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi, soal bekal makan siang tadi…"Emily langsung menegakkan tubuh, siap mendengar kritik apa pun yang akan keluar dari mulutnya. "Apakah ada yang tidak sesuai? Mungkin rasanya kurang cocok? Atau terlalu asin?"Sylvester tertawa kecil, membuat Emily sediki
Emily mengangguk pelan, merasa sedikit lega setelah mendengar saran Amore. "Terima kasih, Amore."Amore mengambil cangkir kopinya dan menyesap sedikit sebelum berkata, "Kita lihat saja apa langkahnya selanjutnya. Kalau memang dia serius, dia pasti akan menunjukkan niatnya dengan jelas."Emily tersenyum kecil. "Ya, mungkin kau benar""Oh iya, kau harus coba ini. Aku baru membuatnya semalam," ucap Amore sambil menyodorkan sebuah kotak makan berisi chocolate cake. Aromanya langsung tercium menggoda.Emily mengambil sepotong kecil dan mencicipinya. “Mmm... aku yakin kau pasti pakai bahan premium,” katanya sambil tersenyum puas, menikmati rasa cokelat yang kaya dan lembut.Amore menggeleng ringan. “Aku hanya pakai bahan yang ada di dapur, itu saja. Sederhana, kok.”Emily mengangguk sambil mengambil gigitan kedua. “Kalau ini yang kau sebut sederhana, aku tidak tahu seperti apa kue yang sempurna. Tapi ini enak banget. Boleh aku ambil sepotong lagi?” tanyanya dengan mata berbinar.“Tidak bole
Sementara itu, di luar ruangan, Mr. Whiteller membuka kotak makan siangnya dan tersenyum tipis saat aroma masakan buatan Emily menguar. Ia mulai menyantap makanannya dengan tenang, menikmati setiap suapan yang terasa lebih personal dibandingkan makanan mewah yang biasa ia nikmati.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu, dan masuklah Amore. Dengan langkah percaya diri, Amore berjalan mendekati meja kerja Sylvester, tangannya bersedekap."Makanannya terlihat enak," ucap Amore dengan nada datar, matanya menatap kotak makan siang yang sedang dinikmati Sylvester."Ya," jawab Sylvester singkat tanpa mengalihkan perhatian dari makanannya.Amore mengangkat alis, tidak puas dengan respons singkat itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin?" tanyanya, mencoba memancing percakapan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke meja. "Mengapa kau sekarang begitu 'terkenal'? Hampir semua penghuni Whiteller Corp membicarakan dirimu dan Emily. Apa yang
Emily tertawa kecil, merasa makin aneh. "Rasanya aneh sekali dipanggil Nyonya," gumamnya pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Sylvester, yang menyaksikan percakapan itu dari dekat, tersenyum simpul. "Kau harus terbiasa. Di rumah ini, tamu kehormatan selalu dipanggil seperti itu," katanya santai.Emily memutar bola matanya sambil tersenyum kecil. "Tamu kehormatan, ya? Saya hanya merasa ini terlalu formal. Apalagi, saya bukan siapa-siapa.""Tidak semua orang bisa memasak dengan rasa seperti masakanmu," balas Sylvester ringan, namun ada nada tersirat yang membuat Emily sedikit salah tingkah.Emily memilih untuk tidak melanjutkan obrolan itu dan hanya mengangguk sopan pada maid tersebut. "Kalau begitu, saya serahkan semuanya padamu. Terima kasih," ucapnya.Sementara maid itu mulai merapikan meja, Sylvester menatap Emily sekilas sebelum beranjak dari kursinya. "Kau memang bukan siapa-siapa di rumah ini," ucapnya dengan nada datar, sebelum
"Bumbu-bumbu ini ada di sini, kalau kamu butuh," tambah Mr. Whiteller sambil menunjuk laci tersebut.Emily memandangi bahan-bahan itu, merasa sedikit lega tapi tetap bingung. "Tuan, apakah Anda sering memasak masakan Indonesia?"Mr. Whiteller tersenyum tipis. "Tidak. Tapi, aku tahu kamu suka masakan seperti itu, jadi aku meminta seseorang untuk menyiapkan semua ini. Jadi, tunjukkan kemampuanmu."Emily menelan ludah, masih sulit percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, tanpa banyak kata lagi, ia akhirnya mengumpulkan keberanian dan mulai memikirkan menu sederhana untuk malam ini.Sambil mencari menu yang tepat di internet, Emily memutuskan untuk memasak nasi lebih dulu. Ia yakin, apa pun menu yang nanti ia pilih, nasi akan menjadi pelengkap yang tidak bisa dilewatkan. Tangan Emily terampil mencuci beras dan menyiapkan rice cooker, meski pikirannya masih sibuk memikirkan suasana aneh malam itu.Saat sedang menunggu nasi matang, Mr. Whiteller berdiri di dekat pintu dapur, menyilangkan t
Saat Emily dan Dimas berjalan menuju lift untuk pulang, suasana koridor kantor mulai lengang. Hanya ada beberapa karyawan yang masih sibuk di meja mereka. Emily dan Dimas berbincang ringan tentang proyek yang hampir selesai ketika tiba-tiba Beni muncul dari arah berlawanan dan menghentikan langkah mereka."Emily," panggil Beni. "Ada yang perlu kamu urus sebentar."Emily menatapnya bingung. "Apa ada yang mendesak, Beni?""Ikut saja denganku," jawab Beni tanpa menjelaskan lebih lanjut. Tatapan matanya tegas, membuat Emily merasa tak punya pilihan lain.Dimas mengerutkan kening, tampak bingung. "Ada apa, pak Ben? Kalau butuh bantuan, aku juga bisa ikut."Beni menggeleng cepat. "Tidak, ini hanya untuk Emily. Kamu bisa langsung pulang, Dimas."Emily menghela napas dan menatap Dimas dengan canggung. "Kalau begitu, aku duluan, ya. Hati-hati di jalan."Dimas mengangguk, meski jelas masih bingung. "Baiklah."Beni memimpin Emily ke lift yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan. Emily melirik
Dengan hati-hati, Emily mengetik balasan:"Terima kasih telah membersihkan nama saya, Tuan. Tapi soal membantu menata kamar Anda, saya rasa saya harus menolak. Saya tidak ingin ada gosip lain yang muncul. Terima kasih atas pengertiannya."Emily menekan tombol "Kirim" dan meletakkan ponselnya di meja. Ia berpikir bahwa balasan itu cukup sopan tetapi tetap menjaga jarak. Bagaimanapun, ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang membuatnya menjadi bahan gosip lagi.Namun, hanya beberapa detik setelah ia mengirim pesan itu, ponselnya kembali berbunyi. Pesan balasan datang lebih cepat dari yang ia duga."Saya pikir kau sudah tahu saya tidak peduli dengan gosip. Tapi kalau kau keberatan, saya tidak akan memaksa. Mungkin lain kali."Emily menghela napas panjang. Apa maksudnya “lain kali”? pikirnya. Lagi-lagi, Mr. Whiteller membuatnya merasa bingung dengan sikapnya.Sore itu, Emily mencoba mengalihkan pikirannya dengan menatap layar komputernya, tetapi konsentrasinya terusik oleh pesan-pesan t