Share

BAB 7

Penulis: Sang Penulis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 23:13:03

Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.

Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.

Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab.

"Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

"Ada apa, El? Tumben telepon malam-malam," tanya Emily.

"Kakak jadi ke Amerika?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Emily terdiam sesaat. "Iya, kemungkinan besar," jawabnya lirih. "Kenapa, El?"

Ada jeda di seberang. Lalu, suara Elio terdengar lagi, lebih lembut kali ini. "Kakak nggak usah khawatir soal Ibu. Aku bisa jaga Ibu di sini."

Emily menarik napas panjang. "El, kamu masih muda. Kakak nggak yakin kamu bisa mengurus semuanya sendirian. Tanggung jawab ini terlalu besar untukmu."

Keheningan di ujung telepon. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Elio melanjutkan, suaranya terdengar tegas meski pelan. "Kak, Kakak sudah ngorbanin banyak hal buat kami. Giliran aku sekarang yang gantian jagain Ibu. Kakak ambil kesempatan ini. Aku janji, aku bakal kasih kabar soal Ibu terus ke Kakak."

Emily terisak kecil, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. "Tapi, El... kalau Ibu kenapa-kenapa.. “

Suara ibunya tiba-tiba terdengar di latar belakang. "Ibu nggak apa-apa, Nak," katanya lembut. " Ini giliran kamu, Emily. Pergilah. Jangan khawatirkan kami."

Suara ibunya membuat tangis Emily semakin pecah. "Tapi, Bu... kalau aku kangen, gimana?"

Terdengar tawa kecil dari Elio dan ibunya. "Kan ada videocall," jawab Elio, mencoba mencairkan suasana.

Emily tersenyum kecil di tengah tangisnya. "Tapi kalau aku mau peluk Ibu?"

"Simpan kangenmu, Nak," ujar ibunya lembut. "Nanti kalau kamu pulang, peluk Ibu sampai puas. Ibu janji bakal peluk kamu nggak lepas-lepas. Kalau perlu, Ibu kurung kamu di rumah."

Emily tertawa kecil di antara air matanya, terhibur oleh canda ibunya. Malam itu, Emily merasa beban di pundaknya sedikit lebih ringan. Cinta dan dukungan dari keluarga memberinya kekuatan baru untuk melangkah.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Emily bisa tidur dengan nyenyak. Ia tahu keputusannya sudah bulat. Keesokan harinya, ia akan menghubungi manajernya untuk menyatakan kesiapannya berangkat ke Amerika, membawa harapan keluarga bersamanya.

Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Emily berjalan memasuki bandara dengan perasaan campur aduk—antara gugup, sedih, dan sedikit antusias. Di area keberangkatan, ia segera bergabung dengan rekan-rekan timnya yang juga akan berangkat ke Amerika bersamanya: Leni, Jesselyn, dan Dimas.

"Semangat dong, Em!" ucap Dimas ceria, menyadari raut wajah Emily yang tampak berat.

Emily tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. "Iya, Dim. Terima kasih," jawabnya singkat.

Sementara itu, di sisi lain, Leni dan Jesselyn sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tertawa pelan sambil sesekali melirik ke arah Emily. Namun, Emily memilih untuk tidak terlalu memerhatikan mereka. Dia sudah cukup terbiasa dengan sikap mereka yang sedikit dingin terhadapnya.

Dimas, seperti biasanya, tetap ramah dan perhatian. Ia berjalan mendekat ke sisi Emily, lalu berkata dengan suara tenang, "Di sana sekarang sedang musim dingin. Kamu sudah persiapkan baju hangat, kan?"

Emily mengangguk. "Sudah, Dim. Terima kasih sudah mengingatkan."

Suasana sempat hening sejenak, tapi Dimas kembali memecahnya dengan suara rendah namun penuh ketulusan. "Aku tahu kamu punya banyak beban, Em. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu bisa andalkan aku di sana. Lagi pula, kita ini tim, kan? Harus saling melengkapi."

Emily menatap Dimas sejenak, hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Dimas melanjutkan, kali ini sambil melirik ke arah Leni dan Jesselyn, yang masih asyik berbincang. "Dan soal mereka berdua… nggak usah dipikirin. Fokus aja sama kerjaan kita."

Senyum kecil muncul di wajah Emily. Kata-kata Dimas memberikan sedikit kelegaan. "Terima kasih, Dim. Aku benar-benar menghargai itu."

Dimas mengangguk santai, lalu memberi Emily jempol. "Santai aja."

Saat itu, pengumuman untuk penerbangan mereka terdengar. Mereka segera bersiap menuju pintu keberangkatan. Emily menarik napas panjang, menatap sekali lagi ke arah layar ponselnya—foto ibunya dan Elio yang ia pasang sebagai wallpaper kemudian melangkah mantap bersama timnya menuju pesawat. Perjalanan baru ini baru saja dimulai.

Pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Udara dingin langsung terasa begitu Emily dan timnya turun dari pesawat. Ini pertama kalinya ia merasakan musim dingin secara langsung.

Di pintu kedatangan, seorang pria yang sudah tak asing berdiri menunggu mereka. Beni, asisten Mr. Whiteller, melambaikan tangan sambil tersenyum tipis begitu melihat rombongan mereka.

"Selamat datang di New York," sapanya dengan nada sopan namun formal. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan."

Dimas menyambut dengan ramah, "Halo, Beni! Terima kasih sudah menjemput kami."

Beni hanya mengangguk sebelum beralih ke Emily. Matanya menatapnya sesaat, lalu berkata, "Kabar baik melihat mu di sini, Emily."

Emily hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Beni."

Setelah memastikan semua barang bawaan tim sudah diangkut, Beni mengantar mereka ke sebuah van hitam yang sudah menunggu di luar. Perjalanan ke apartemen yang akan mereka tinggali memakan waktu sekitar satu jam. Selama perjalanan, Emily memandangi pemandangan kota New York melalui jendela. Gedung-gedung pencakar langit yang megah membuatnya terpesona, meskipun kelelahan masih terasa di tubuhnya.

Bab terkait

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 8

    "New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 9

    Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 10

    “Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 11

    Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 12

    Dengan kepala sedikit terangkat, Leni melangkah keluar dari kantin. Teman temannya, yang sejak tadi hanya mendukungnya dari belakang, segera mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka meninggalkan kantin dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik kecil, namun Leni merasa telah berhasil menenangkan situasi—setidaknya untuk dirinya sendiri.Insiden di kantin, meskipun terlihat selesai, namun kejadian ini mulai menyebar ke seluruh lingkungan kantor, menjadi bahan perbincangan orang orang.…Setelah berganti pakaian dan merapihkan kembali penampilannya. Emily memutuskan untuk ke rooftop kantor, sambil berjalan pelan ia memakan sebungkus kue untuk mengisi perutnya dikarenakan ia belum sempat makan saat di kantin tadi. Udara sejuk menyambutnya saat ia tiba, sedikit menusuk kulit namun justru terasa menenangkan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan kota membuatnya merasa lebih ringan, meski hanya sedikit. Suasana yang sunyi dan jauh dari keramaian kantor adalah apa yang ia butuhkan.Namun, sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 13

    Jesselyn, yang merasa situasi semakin panas, mencoba mengalihkan perhatian. "Bagaimana kalau kita selesaikan pembicaraan ini nanti, setelah semua lebih tenang?"Namun, Leni tidak peduli. Ia menunjuk ke arah Dimas. "Kamu ini kenapa, sih? Bukannya mendukung tim sendiri, kamu malah berpihak pada dia! Apa kamu nggak sadar, Dimas? Dia cuma beban buat kita! Karyawan disini banyak yang tidak nyaman dengan bau badannya dia"Dimas mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarahnya. "Kalau ada yang membuat tim kita terlihat buruk, itu bukan Emily, Itu kamu. Dengan sikapmu yang tidak profesional, dengan mulutmu yang tidak bisa dijaga. Kita ke sini untuk bekerja, bukan untuk drama seperti ini. aku tidak melihat orang orang merasa tidak nyaman, hanya kamu saja yang melebih lebihkan"Leni membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Jesselyn segera menengahi, "Oke, cukup! Leni, Dimas. Kita tim, ingat? Dan kalau kita terus bertengkar seperti ini, yang rugi adalah kita sendiri."“ kamu pun terlibat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 14

    “Jadi, kau belum pernah berpacaran?” tanya Amore dengan nada penasaran, sambil mengaduk minumannya.“Ya,” jawab Emily singkat, tanpa banyak ekspresi.Amore terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara lagi. “Sepertinya temanmu itu bukan orang yang baik.”“Yang mana?” tanya Emily, meskipun sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Satu tim denganmu,” jawab Amore, mengerutkan dahi.Emily hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi.“Lalu, kau dengan Dimas?” tanya Amore lagi, kali ini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Kami tidak ada apa-apa,” jawab Emily sambil tersenyum tipis. “Kami memang cukup dekat, tapi hanya sebatas rekan kerja.”“Hmm, aku kira kalian berpacaran,” ucap Amore sambil mengangguk-angguk kecil.“Tidak mungkin,” jawab Emily cepat.“Kalau begitu, siapa pria idamanmu?” tanya Amore, alisnya terangkat seolah ingin mengungkap rahasia besar.Emily tertawa kecil. “Hmm… aku sedang tergila-gila dengan Jungkook dari BTS,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 15

    Tak lama setelah itu, mata Emily menangkap sosok yang sangat ia kenali. Mr. Whiteller berjalan ke arah mereka dengan langkah santai namun penuh wibawa. Emily langsung bangkit dari kursinya, berusaha menjaga sikap seformal mungkin."Selamat malam, Sir," sapa Emily sopan sambil sedikit menundukkan kepala."Selamat malam," balas Mr. Whiteller sambil tersenyum tipis. Kemudian matanya melirik ke arah Amore yang sudah setengah terlelap di kursinya. "Terima kasih sudah menjaganya," ucapnya sambil mengangguk rngan ke arah Emily."Ahh... tampannya aku," gumam Amore di antara tawa kecilnya, membuat Emily tersenyum canggung."Ikut kami. Aku akan mengantar ke apartemen mu," tawar Mr. Whiteller."Oh, tidak, tidak perlu, Sir. Setelah ini saya masih ingin mampir ke suatu tempat. Anda bisa pulang lebih dulu," tolak Emily sopan namun tegas.Mr. Whiteller mengangguk, menghormati keputusan Emily. "Baiklah, kami akan pergi lebih dulu," ucapnya singkat. Dengan sigap, ia membungkuk dan menggendong Amore ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09

Bab terbaru

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 85

    Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 84

    Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 83

    Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 82

    Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 81

    Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 80

    Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 79

    Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 78

    Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 77

    Sylvester menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu akhirnya menjawab, "Carol adalah seseorang yang dekat dengan keluargaku sejak lama. Orang-orang mungkin berpikir kami memiliki hubungan, tapi itu tidak benar. Kami memang pernah dekat, tapi tidak seperti yang kau pikirkan."Emily menatapnya, mencoba membaca ekspresi Sylvester. "Jadi, kau tak pernah memiliki hubungan dengannya?"Sylvester diam sejenak sebelum berkata, "Hubungan kami tidak lebih dari seorang teman.""hanya teman?" tanya Emily.Sylvester menghela napas. "Carol adalah temanku semasa sekolah dulu, dan hingga saat ini itu tidak berubah."Emily terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, kau tidak menyukainya?"Sylvester menatapnya lebih lama sebelum menjawab, "Tidak seperti itu."Emily mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?"Sylvester tersenyum kecil, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku pikir kau sudah tahu jawabannya."

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status