Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.
Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.
Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap kali layar komputernya menampilkan logo perusahaan Whiteller Corp, Emily tidak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa canggung yang muncul, terutama ketika ingatannya melayang kembali ke insiden malam itu. Meski terlihat sebagai kejadian sepele namun itu bukanlah hal yang bisa dibilang sepele.
…
Hari demi hari berlalu tanpa terasa, hingga suatu hari kabar mengejutkan datang menghampiri tim Emily. Mereka diminta terbang ke Amerika untuk melanjutkan dan menyelesaikan proyek di markas Whiteller Corp. Kabar ini menjadi tantangan besar bagi Emily, mungkin bahkan lebih besar daripada proyek itu sendiri.
ketika mendengar berita itu. Ekspresinya langsung berubah murung. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah baginya, berbeda dengan yang mungkin dipikirkan orang lain. Amerika terasa terlalu jauh, dan ada beban besar di hatinya yang menahan langkahnya.
Pikirannya langsung melayang pada ibunya, yang belakangan sering sakit-sakitan. Selama ini, tinggal di kota yang berbeda saja sudah cukup membuat Emily merasa bersalah karena hanya bisa menjenguk ibunya seminggu sekali—kadang bahkan dua minggu sekali jika kesibukan kantor menumpuk. Bagaimana jika ia harus tinggal di Amerika dalam waktu yang tidak sebentar? Jarak yang begitu jauh membuatnya tak mungkin bolak-balik setiap minggu.
Perusahaan memang menyediakan fasilitas transportasi untuk keberangkatan ke Amerika dan kepulangan ke Indonesia setelah proyek selesai. Namun, jika ia ingin pulang lebih awal, biaya perjalanan harus ditanggung sendiri. Emily tahu, gajinya tidak akan cukup untuk menutup biaya perjalanan mahal itu secara rutin. Hatinya semakin gelisah membayangkan semua itu.
Emily duduk termenung di meja kerjanya, menatap layar komputer tanpa fokus. Keputusan ini terasa seperti menghadapi jalan buntu. Di satu sisi, perannya dalam proyek sangat penting, dan perusahaan jelas membutuhkannya. Namun di sisi lain, ibunya adalah prioritas utama dalam hidupnya. Ia tidak bisa membayangkan meninggalkan ibunya dalam kondisi yang serba tidak pasti seperti ini.
Pikirannya berputar tanpa henti, merasakan beban yang semakin berat di hatinya. Dilema itu begitu nyata, antara kewajiban profesionalnya sebagai seorang pekerja dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Keduanya sama-sama penting, dan Emily tak tahu bagaimana cara memilih tanpa menyakiti salah satu pihak.
Waktu terus berjalan, dan Emily tahu bahwa keputusan harus segera diambil. Namun semakin lama ia memikirkannya, semakin sulit rasanya untuk menemukan jalan keluar. Setiap opsi terasa seperti mengorbankan sesuatu yang tak tergantikan. Emily hanya bisa berharap, semoga ada jalan tengah yang bisa membuat segalanya lebih mudah untuk dijalani.
Malam itu, Emily tak kunjung bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi rumit yang kini menghantui hidupnya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menggenggam ponsel dengan erat. Layar yang temaram menampilkan pesan dari manajernya, pesan yang sudah dibacanya berulang kali namun tetap membuat dadanya terasa sesak:
"Tim kita diminta terbang ke Amerika 2 minggu dari sekarang. Tolong persiapkan dokumenmu, Emily."
Kalimat itu terasa seperti beban berat yang menghimpit hati dan pikirannya. Ia tahu kesempatan ini adalah hal besar yang seharusnya membuatnya bangga. Tapi di sisi lain, pesan itu seperti sebuah lonceng peringatan yang terus menggema, mengingatkannya akan segala hal yang akan ia tinggalkan—terutama ibunya.
Emily mendesah panjang, meletakkan ponselnya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia memandang ke luar jendela, menatap bulan yang menggantung di langit malam. Keheningan malam biasanya menenangkan, tapi kali ini hanya menambah kegelisahan di hatinya.
Berbagai skenario terus melintas di kepalanya, namun tak satu pun terasa sebagai solusi yang tepat. Emily tahu bahwa menolak tugas ini bukanlah pilihan. Tapi bagaimana dengan ibunya? Bagaimana jika sesuatu terjadi saat ia jauh di Amerika?
Emily meraih ponselnya kembali, membuka galeri foto, dan melihat foto ibunya yang tersenyum hangat.
Malam semakin larut, tapi Emily masih terjaga, pikirannya bergulat antara karir atau keluarga
Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab."Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu."Ada apa, El? Tumben telepon malam
"New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u
Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki
“Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor
Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i
Dengan kepala sedikit terangkat, Leni melangkah keluar dari kantin. Teman temannya, yang sejak tadi hanya mendukungnya dari belakang, segera mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka meninggalkan kantin dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik kecil, namun Leni merasa telah berhasil menenangkan situasi—setidaknya untuk dirinya sendiri.Insiden di kantin, meskipun terlihat selesai, namun kejadian ini mulai menyebar ke seluruh lingkungan kantor, menjadi bahan perbincangan orang orang.…Setelah berganti pakaian dan merapihkan kembali penampilannya. Emily memutuskan untuk ke rooftop kantor, sambil berjalan pelan ia memakan sebungkus kue untuk mengisi perutnya dikarenakan ia belum sempat makan saat di kantin tadi. Udara sejuk menyambutnya saat ia tiba, sedikit menusuk kulit namun justru terasa menenangkan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan kota membuatnya merasa lebih ringan, meski hanya sedikit. Suasana yang sunyi dan jauh dari keramaian kantor adalah apa yang ia butuhkan.Namun, sa
Jesselyn, yang merasa situasi semakin panas, mencoba mengalihkan perhatian. "Bagaimana kalau kita selesaikan pembicaraan ini nanti, setelah semua lebih tenang?"Namun, Leni tidak peduli. Ia menunjuk ke arah Dimas. "Kamu ini kenapa, sih? Bukannya mendukung tim sendiri, kamu malah berpihak pada dia! Apa kamu nggak sadar, Dimas? Dia cuma beban buat kita! Karyawan disini banyak yang tidak nyaman dengan bau badannya dia"Dimas mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarahnya. "Kalau ada yang membuat tim kita terlihat buruk, itu bukan Emily, Itu kamu. Dengan sikapmu yang tidak profesional, dengan mulutmu yang tidak bisa dijaga. Kita ke sini untuk bekerja, bukan untuk drama seperti ini. aku tidak melihat orang orang merasa tidak nyaman, hanya kamu saja yang melebih lebihkan"Leni membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Jesselyn segera menengahi, "Oke, cukup! Leni, Dimas. Kita tim, ingat? Dan kalau kita terus bertengkar seperti ini, yang rugi adalah kita sendiri."“ kamu pun terlibat
“Jadi, kau belum pernah berpacaran?” tanya Amore dengan nada penasaran, sambil mengaduk minumannya.“Ya,” jawab Emily singkat, tanpa banyak ekspresi.Amore terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara lagi. “Sepertinya temanmu itu bukan orang yang baik.”“Yang mana?” tanya Emily, meskipun sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Satu tim denganmu,” jawab Amore, mengerutkan dahi.Emily hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi.“Lalu, kau dengan Dimas?” tanya Amore lagi, kali ini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Kami tidak ada apa-apa,” jawab Emily sambil tersenyum tipis. “Kami memang cukup dekat, tapi hanya sebatas rekan kerja.”“Hmm, aku kira kalian berpacaran,” ucap Amore sambil mengangguk-angguk kecil.“Tidak mungkin,” jawab Emily cepat.“Kalau begitu, siapa pria idamanmu?” tanya Amore, alisnya terangkat seolah ingin mengungkap rahasia besar.Emily tertawa kecil. “Hmm… aku sedang tergila-gila dengan Jungkook dari BTS,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Me
"Amore, kau membuat kekacauan di dapur lagi?" pria itu bertanya dengan nada bercanda sambil melirik meja yang masih sedikit berantakan dengan sisa bahan-bahan masakan.Amore tersenyum lebar, lalu berjalan menghampiri pria itu untuk memeluknya. "Ayah! Aku hanya sedang mencoba resep baru bersama temanku."Pria itu mengangguk sambil menatap Emily. "Dan siapa ini? Teman baru?"Emily segera berdiri dari kursinya, merasa harus menunjukkan sopan santun. "Selamat sore, Tuan. Nama saya Emily. Saya teman Amore di Whiteller Corp."Pria itu mengulurkan tangan dengan ramah. "Emily, senang bertemu denganmu. Saya Robert. Ayahnya Amore."Emily menjabat tangannya dengan canggung. "Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Robert."Robert menatap putrinya dengan pandangan sedikit menggoda. "Jadi, kau membawa rekan kerjamu ke dapur, ya? Jangan bilang kau sedang mencari asisten untuk baking."Amore tertawa. "Bukan, Ayah. Aku hanya ingin mengajaknya mencoba sesuatu yang berbeda. Lagipula, Emily ini lumayan be
Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah besar yang mewah, meskipun Emily segera menyadari bahwa rumah ini tidak semegah rumah Mr. Whiteller. Namun tetap saja, ukurannya luar biasa, dan suasananya terasa hangat dan modern, berbeda dengan kesan klasik dan formal di rumah sepupu Amore itu."Ini... sungguh rumahmu?" tanya Emily, masih tak percaya sambil memandangi fasad rumah yang dipenuhi jendela besar dan desain minimalis elegan.Amore hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu dengan santai menarik tangan Emily untuk masuk ke dalam. "Ayo masuk. Kau akan lebih terkejut lagi nanti."Begitu melewati pintu utama, Emily segera melihat interior rumah yang dipenuhi sentuhan modern. Tidak ada ornamen kayu berukir seperti di rumah Mr. Whiteller, tapi setiap sudut tampak rapi dengan pencahayaan hangat dan perabotan kontemporer."Kita ke kamarku dulu," kata Amore sambil melangkah ke arah tangga besar. "Aku mau ganti baju. Setelah itu, kita bisa mulai."Emily mengangguk dan mengikuti Amore. Ketika mere
Emily mengetuk pintu ruangan Mr. Whiteller dengan sedikit ragu. Setelah mendengar suaranya yang khas dari dalam, ia membuka pintu perlahan. Sylvester sedang duduk di belakang meja kerjanya, namun begitu melihat Emily, ia langsung meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Masuklah," ucap Sylvester sambil menunjuk kursi di depannya.Emily melangkah masuk, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Anda ingin membahas bekal makan siang tadi, Tuan?" tanyanya hati-hati, duduk di kursi yang ditunjukkan.Sylvester menatapnya dengan senyum tipis. "Sylvester, Emily. Ingat? Sudah berapa kali aku bilang panggil aku dengan nama saja?"Emily mengangguk pelan. "Maaf, Sylvester.""Bagus," ucapnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi, soal bekal makan siang tadi…"Emily langsung menegakkan tubuh, siap mendengar kritik apa pun yang akan keluar dari mulutnya. "Apakah ada yang tidak sesuai? Mungkin rasanya kurang cocok? Atau terlalu asin?"Sylvester tertawa kecil, membuat Emily sediki
Emily mengangguk pelan, merasa sedikit lega setelah mendengar saran Amore. "Terima kasih, Amore."Amore mengambil cangkir kopinya dan menyesap sedikit sebelum berkata, "Kita lihat saja apa langkahnya selanjutnya. Kalau memang dia serius, dia pasti akan menunjukkan niatnya dengan jelas."Emily tersenyum kecil. "Ya, mungkin kau benar""Oh iya, kau harus coba ini. Aku baru membuatnya semalam," ucap Amore sambil menyodorkan sebuah kotak makan berisi chocolate cake. Aromanya langsung tercium menggoda.Emily mengambil sepotong kecil dan mencicipinya. “Mmm... aku yakin kau pasti pakai bahan premium,” katanya sambil tersenyum puas, menikmati rasa cokelat yang kaya dan lembut.Amore menggeleng ringan. “Aku hanya pakai bahan yang ada di dapur, itu saja. Sederhana, kok.”Emily mengangguk sambil mengambil gigitan kedua. “Kalau ini yang kau sebut sederhana, aku tidak tahu seperti apa kue yang sempurna. Tapi ini enak banget. Boleh aku ambil sepotong lagi?” tanyanya dengan mata berbinar.“Tidak bole
Sementara itu, di luar ruangan, Mr. Whiteller membuka kotak makan siangnya dan tersenyum tipis saat aroma masakan buatan Emily menguar. Ia mulai menyantap makanannya dengan tenang, menikmati setiap suapan yang terasa lebih personal dibandingkan makanan mewah yang biasa ia nikmati.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu, dan masuklah Amore. Dengan langkah percaya diri, Amore berjalan mendekati meja kerja Sylvester, tangannya bersedekap."Makanannya terlihat enak," ucap Amore dengan nada datar, matanya menatap kotak makan siang yang sedang dinikmati Sylvester."Ya," jawab Sylvester singkat tanpa mengalihkan perhatian dari makanannya.Amore mengangkat alis, tidak puas dengan respons singkat itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin?" tanyanya, mencoba memancing percakapan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke meja. "Mengapa kau sekarang begitu 'terkenal'? Hampir semua penghuni Whiteller Corp membicarakan dirimu dan Emily. Apa yang
Emily tertawa kecil, merasa makin aneh. "Rasanya aneh sekali dipanggil Nyonya," gumamnya pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Sylvester, yang menyaksikan percakapan itu dari dekat, tersenyum simpul. "Kau harus terbiasa. Di rumah ini, tamu kehormatan selalu dipanggil seperti itu," katanya santai.Emily memutar bola matanya sambil tersenyum kecil. "Tamu kehormatan, ya? Saya hanya merasa ini terlalu formal. Apalagi, saya bukan siapa-siapa.""Tidak semua orang bisa memasak dengan rasa seperti masakanmu," balas Sylvester ringan, namun ada nada tersirat yang membuat Emily sedikit salah tingkah.Emily memilih untuk tidak melanjutkan obrolan itu dan hanya mengangguk sopan pada maid tersebut. "Kalau begitu, saya serahkan semuanya padamu. Terima kasih," ucapnya.Sementara maid itu mulai merapikan meja, Sylvester menatap Emily sekilas sebelum beranjak dari kursinya. "Kau memang bukan siapa-siapa di rumah ini," ucapnya dengan nada datar, sebelum
"Bumbu-bumbu ini ada di sini, kalau kamu butuh," tambah Mr. Whiteller sambil menunjuk laci tersebut.Emily memandangi bahan-bahan itu, merasa sedikit lega tapi tetap bingung. "Tuan, apakah Anda sering memasak masakan Indonesia?"Mr. Whiteller tersenyum tipis. "Tidak. Tapi, aku tahu kamu suka masakan seperti itu, jadi aku meminta seseorang untuk menyiapkan semua ini. Jadi, tunjukkan kemampuanmu."Emily menelan ludah, masih sulit percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, tanpa banyak kata lagi, ia akhirnya mengumpulkan keberanian dan mulai memikirkan menu sederhana untuk malam ini.Sambil mencari menu yang tepat di internet, Emily memutuskan untuk memasak nasi lebih dulu. Ia yakin, apa pun menu yang nanti ia pilih, nasi akan menjadi pelengkap yang tidak bisa dilewatkan. Tangan Emily terampil mencuci beras dan menyiapkan rice cooker, meski pikirannya masih sibuk memikirkan suasana aneh malam itu.Saat sedang menunggu nasi matang, Mr. Whiteller berdiri di dekat pintu dapur, menyilangkan t
Saat Emily dan Dimas berjalan menuju lift untuk pulang, suasana koridor kantor mulai lengang. Hanya ada beberapa karyawan yang masih sibuk di meja mereka. Emily dan Dimas berbincang ringan tentang proyek yang hampir selesai ketika tiba-tiba Beni muncul dari arah berlawanan dan menghentikan langkah mereka."Emily," panggil Beni. "Ada yang perlu kamu urus sebentar."Emily menatapnya bingung. "Apa ada yang mendesak, Beni?""Ikut saja denganku," jawab Beni tanpa menjelaskan lebih lanjut. Tatapan matanya tegas, membuat Emily merasa tak punya pilihan lain.Dimas mengerutkan kening, tampak bingung. "Ada apa, pak Ben? Kalau butuh bantuan, aku juga bisa ikut."Beni menggeleng cepat. "Tidak, ini hanya untuk Emily. Kamu bisa langsung pulang, Dimas."Emily menghela napas dan menatap Dimas dengan canggung. "Kalau begitu, aku duluan, ya. Hati-hati di jalan."Dimas mengangguk, meski jelas masih bingung. "Baiklah."Beni memimpin Emily ke lift yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan. Emily melirik
Dengan hati-hati, Emily mengetik balasan:"Terima kasih telah membersihkan nama saya, Tuan. Tapi soal membantu menata kamar Anda, saya rasa saya harus menolak. Saya tidak ingin ada gosip lain yang muncul. Terima kasih atas pengertiannya."Emily menekan tombol "Kirim" dan meletakkan ponselnya di meja. Ia berpikir bahwa balasan itu cukup sopan tetapi tetap menjaga jarak. Bagaimanapun, ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang membuatnya menjadi bahan gosip lagi.Namun, hanya beberapa detik setelah ia mengirim pesan itu, ponselnya kembali berbunyi. Pesan balasan datang lebih cepat dari yang ia duga."Saya pikir kau sudah tahu saya tidak peduli dengan gosip. Tapi kalau kau keberatan, saya tidak akan memaksa. Mungkin lain kali."Emily menghela napas panjang. Apa maksudnya “lain kali”? pikirnya. Lagi-lagi, Mr. Whiteller membuatnya merasa bingung dengan sikapnya.Sore itu, Emily mencoba mengalihkan pikirannya dengan menatap layar komputernya, tetapi konsentrasinya terusik oleh pesan-pesan t