“Jadi, kau belum pernah berpacaran?” tanya Amore dengan nada penasaran, sambil mengaduk minumannya.“Ya,” jawab Emily singkat, tanpa banyak ekspresi.Amore terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara lagi. “Sepertinya temanmu itu bukan orang yang baik.”“Yang mana?” tanya Emily, meskipun sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Satu tim denganmu,” jawab Amore, mengerutkan dahi.Emily hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi.“Lalu, kau dengan Dimas?” tanya Amore lagi, kali ini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Kami tidak ada apa-apa,” jawab Emily sambil tersenyum tipis. “Kami memang cukup dekat, tapi hanya sebatas rekan kerja.”“Hmm, aku kira kalian berpacaran,” ucap Amore sambil mengangguk-angguk kecil.“Tidak mungkin,” jawab Emily cepat.“Kalau begitu, siapa pria idamanmu?” tanya Amore, alisnya terangkat seolah ingin mengungkap rahasia besar.Emily tertawa kecil. “Hmm… aku sedang tergila-gila dengan Jungkook dari BTS,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Me
Tak lama setelah itu, mata Emily menangkap sosok yang sangat ia kenali. Mr. Whiteller berjalan ke arah mereka dengan langkah santai namun penuh wibawa. Emily langsung bangkit dari kursinya, berusaha menjaga sikap seformal mungkin."Selamat malam, Sir," sapa Emily sopan sambil sedikit menundukkan kepala."Selamat malam," balas Mr. Whiteller sambil tersenyum tipis. Kemudian matanya melirik ke arah Amore yang sudah setengah terlelap di kursinya. "Terima kasih sudah menjaganya," ucapnya sambil mengangguk rngan ke arah Emily."Ahh... tampannya aku," gumam Amore di antara tawa kecilnya, membuat Emily tersenyum canggung."Ikut kami. Aku akan mengantar ke apartemen mu," tawar Mr. Whiteller."Oh, tidak, tidak perlu, Sir. Setelah ini saya masih ingin mampir ke suatu tempat. Anda bisa pulang lebih dulu," tolak Emily sopan namun tegas.Mr. Whiteller mengangguk, menghormati keputusan Emily. "Baiklah, kami akan pergi lebih dulu," ucapnya singkat. Dengan sigap, ia membungkuk dan menggendong Amore ta
Setelah beberapa saat berbasa-basi, "Kenapa kita tidak makan bersama? Aku tahu tempat yang bagus di dekat sini."Emily dan Dimas saling pandang. Emily terlihat ragu, sementara Dimas hanya mengangkat bahu seolah menyerahkan keputusan padanya."Kami sebenarnya sedang berencana langsung pulang setelah ini," ucap Emily pelan, mencoba mencari alasan."Ah, ayolah," bujuk Alice. "Ini cuma makan santai. Lagipula, kau pasti lapar setelah belanja lama seperti ini. Aku akan traktir kalian."Dimas langsung merespons, "Kalau ditraktir, aku setuju!" katanya setengah bercanda, membuat Emily mendengus kecil."Baiklah," kata Emily akhirnya, merasa sulit untuk menolak.Alice tersenyum senang. "Bagus! Tempatnya tidak jauh, hanya lima menit dari sini. Ayo, kita pergi bersama."…Mereka tiba di sebuah restoran kecil namun elegan dengan suasana hangat dan pencahayaan redup. Alice memilih meja di sudut yang nyaman, dan mereka segera duduk.Setelah memesan makanan, Alice mulai berbicara. "Dimas, bagaimana me
"Jadi, bagaimana pengalaman kalian selama di apartemen? Adakah kendala?" tanya Mr. Whiteller begitu mobil yang mereka tumpangi berbelok keluar dari lingkungan restoran tadi. Suara tenangnya memecah keheningan di dalam mobil."Sejauh ini tidak ada kendala, Sir. Terima kasih atas fasilitas yang Mr. Whiteller berikan kepada kami," jawab Dimas yang duduk di sebelah Mr. Whiteller, yang sedang mengemudi."Saya senang jika tamu-tamu saya merasa nyaman," balas Mr. Whiteller sambil sesekali melirik ke arah jalan."Kami merasa sangat nyaman, Sir," tambah Dimas dengan nada penuh keyakinan.Mr. Whiteller melirik kaca spion tengah, kali ini tatapannya tertuju pada Emily. "Bagaimana denganmu, Emily? Apakah ada kendala selama di sini?" tanyanya.Emily sedikit terkejut mendapatkan perhatian langsung, tetapi dengan cepat menjawab, "Tidak ada, Sir. Terima kasih untuk semua fasilitas yang telah dipersiapkan untuk kami."Mr. Whiteller mengangguk pelan, tampak puas dengan jawaban itu. Namun, jeda sesaat m
Setelah makan siang, Emily dan Leni, yang diikuti oleh Dimas, akhirnya menuju lantai 11 untuk melihat pengerjaan proyek. Saat mereka tiba di lokasi, mereka mendapati Beni dan Mr. Whiteller sudah berada di sana."Selamat siang, Sir. Pak Beni," sapa mereka bertiga hampir serempakBeni, yang tampaknya sedang menyelesaikan sesuatu pada laptopnya, mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Selamat siang," balasnya ramah, lalu mengarahkan pandangannya ke Emily. "Hai, Emily. Sudah lama tidak bertemu," ucap Beni dengan nada yang terdengar cukup akrab.Emily tersenyum sopan. "Hai, Pak Beni," balasnya pendek, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional.Namun, momen singkat itu tidak luput dari perhatian Mr. Whiteller, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Di sisi lain, Leni memandang ke arah Emily dan Beni dengan tatapan yang jelas menunjukkan rasa tidak suka."Baiklah, saya harus pergi ke lantai lain. Semoga pengerjaan disini berjalan lancar," ucap Beni sambil m
Di Klinik kantorSetelah tiba di klinik, Emily segera diperiksa oleh petugas medis yang ada di sana. Untungnya, luka di lengannya tidak terlalu dalam dan tidak memerlukan jahitan."Syukurlah" ucap Dimas lega sambil duduk di kursi dekat tempat tidur Emily.Emily hanya mengangguk kecil sambil memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. "Aku merasa bodoh. Aku bahkan tidak melihat balok itu," gumamnya pelan."Ini bukan salahmu, Em," ucap Dimas mencoba menghibur. "Lagipula, balok itu seharusnya tidak diletakkan sembarangan di tempat yang bisa membahayakan orang."Emily mengangguk lagi, meskipun dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia teringat gerakan kecil Leni sebelumnya, tetapi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Tak lama kemudian, pintu klinik terbuka, dan Mr. Whiteller masuk. Wajahnya tampak serius seperti biasa, namun ada sedikit kekhawatiran dalam tatapannya."Bagaimana keadaannya?" tanya Mr. Whiteller langsung kepada petugas medis."Dia baik-baik saja, Sir. Tidak
"Dim, aku mau ke bawah dulu, ya," ucap Emily sambil meletakkan handphonenya."Mau ke mana?" tanya Dimas"Ada Amore di bawah." jawab Emily sambil merapikan tempat tidurnya"Tunggu," ucapnya sambil berjalan mendekat. "Biar aku saja yang jemput Amore."Emily menatapnya dengan tatapan bingung. "Dim, aku bisa sendiri"Dimas mengabaikan protes Emily dan mengambil langkah cepat ke pintu. "Tunggu di sini, aku yang jemput dia."Emily hanya bisa menghela napas dan menggeleng pelan melihat tindakan Dimas yang selalu terlalu protektif. "Baiklah," ucapnya akhirnya.Sambil menggeleng kecil. Ia lalu kembali duduk di kasurnya, menunggu Dimas kembali bersama Amore."Emmmilllyyy!" teriak Amore begitu tiba di depan kamar Emily. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung masuk dan memeriksa Emily dari kepala hingga kaki. Tangannya sibuk menyentuh lengan dan bahu Emily, seolah memastikan tidak ada luka serius."Aku tidak apa-apa, Amore. Kamu terlalu berlebihan," ucap Emily sambil berusaha melepaskan tangan A
Emily hanya menggelengkan kepalanya tanpa berkata apa-apa lagi. Dia tahu Dimas bukan tipe orang yang mudah melepaskan rasa penasarannya, tapi dia juga tidak ingin terlalu memikirkan urusan pribadi orang lain.…"Tiba-tiba dia menjerit... ternyata jatuh," ucap Dimas kemudian terkekeh. "Dan dia masih sempat membenarkan poninya lagi, tidak ingat dengan jenggotnya," tambah Emily sambil tertawa. Mereka tertawa bersama, mengenang kejadian lucu yang mereka alami di jalan saat menuju kantor.Saat tiba di meja masing-masing, Emily terkejut melihat sebuah kantong berisi salep dan kapas di atas mejanya. "Kau yang menaruh ini, Dim?" tanya Emily sambil mengangkat kantong tersebut."Bukan, kan kita berangkat bersama tadi," balas Dimas sambil mengernyitkan dahi. "Siapa ya?" tanya Emily dengan nada penasaran, matanya memperhatikan sekeliling ruangan.Dimas mengangkat bahu, kemudian mendekat untuk melihat isi kantong itu. "Mungkin seseorang merasa kasihan pa
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau
Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut
Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em
Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de
Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak
Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar
Sylvester menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu akhirnya menjawab, "Carol adalah seseorang yang dekat dengan keluargaku sejak lama. Orang-orang mungkin berpikir kami memiliki hubungan, tapi itu tidak benar. Kami memang pernah dekat, tapi tidak seperti yang kau pikirkan."Emily menatapnya, mencoba membaca ekspresi Sylvester. "Jadi, kau tak pernah memiliki hubungan dengannya?"Sylvester diam sejenak sebelum berkata, "Hubungan kami tidak lebih dari seorang teman.""hanya teman?" tanya Emily.Sylvester menghela napas. "Carol adalah temanku semasa sekolah dulu, dan hingga saat ini itu tidak berubah."Emily terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, kau tidak menyukainya?"Sylvester menatapnya lebih lama sebelum menjawab, "Tidak seperti itu."Emily mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?"Sylvester tersenyum kecil, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku pikir kau sudah tahu jawabannya."