Emily hanya menggelengkan kepalanya tanpa berkata apa-apa lagi. Dia tahu Dimas bukan tipe orang yang mudah melepaskan rasa penasarannya, tapi dia juga tidak ingin terlalu memikirkan urusan pribadi orang lain.…"Tiba-tiba dia menjerit... ternyata jatuh," ucap Dimas kemudian terkekeh. "Dan dia masih sempat membenarkan poninya lagi, tidak ingat dengan jenggotnya," tambah Emily sambil tertawa. Mereka tertawa bersama, mengenang kejadian lucu yang mereka alami di jalan saat menuju kantor.Saat tiba di meja masing-masing, Emily terkejut melihat sebuah kantong berisi salep dan kapas di atas mejanya. "Kau yang menaruh ini, Dim?" tanya Emily sambil mengangkat kantong tersebut."Bukan, kan kita berangkat bersama tadi," balas Dimas sambil mengernyitkan dahi. "Siapa ya?" tanya Emily dengan nada penasaran, matanya memperhatikan sekeliling ruangan.Dimas mengangkat bahu, kemudian mendekat untuk melihat isi kantong itu. "Mungkin seseorang merasa kasihan pa
Emily menelan ludah. "Terima kasih, Sir. Tapi saya yakin luka ini akan sembuh dengan cepat," ucap Emily, mencoba mengakhiri pembicaraan."Saya memang selalu memastikan mitra atau partner kerja saya dalam kondisi prima," ucap Mr. Whiteller tegas. "karena Proyek ini membutuhkan semua orang dalam kondisi terbaik mereka."Dimas hampir tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia menundukkan kepala, berpura-pura fokus pada piringnya yang sudah kosong. Sementara Beni masih terdiam, matanya berpindah-pindah antara Mr. Whiteller dan Emily, seolah mencoba memahami dinamika aneh yang baru saja ia saksikan.Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller berdiri. "Saya akan kembali ke ruangan. Beni, ikut saya," ucapnya, memecah keheningan."Baik, Sir," jawab Beni, dengan cepat mengikuti langkah bosnya.Begitu mereka berdua pergi, Dimas langsung meledak tertawa. "Ya ampun, Em. Ini semakin menarik. Bos kita perhatian banget sama kamu!""Hush, jangan begitu!" Emily memukul lengan Dimas dengan pelan. "Dia hanya peduli
Di sisi lain, Dimas mulai menyadari perubahan dalam sikap Emily. Ia bisa melihat bagaimana Emily sering melamun, terutama setelah berinteraksi dengan Mr. Whiteller. Suatu hari, Dimas memutuskan untuk berbicara dengan Emily. "Kau kelihatannya sedang memikirkan sesuatu, Em. Ada yang ingin kau ceritakan?" tanyanya saat mereka sedang makan siang bersama di kantin.Emily terkejut dengan pertanyaan itu. "Tidak, aku baik-baik saja," jawabnya cepat sambil mencoba tersenyum."Tidak mungkin," balas Dimas sambil menatapnya tajam. "Aku mengenalmu cukup lama untuk tahu kalau kau sedang menyembunyikan sesuatu."Emily menghela napas. "Aku hanya... bingung, Dim. Mr. Whiteller terlalu perhatian padaku akhir-akhir ini, dan aku tidak tahu harus bagaimana."Dimas terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kau suka dia, ya?" tanyanya dengan nada bercanda, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.Emily langsung menggeleng cepat. "Tidak, tidak seperti itu. Aku hanya tidak ingin perhatian itu membuat orang la
"Are you okay, Em?" tanya Dimas tiba-tiba, tepat setelah Emily keluar dari kamarnyaEmily hanya mengangguk kecil. "I'm okay, Dim," jawabnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada Leni yang sedang sibuk membuat sarapan di dapur. Tanpa ragu, Emily menembaknya dengan sebuah pertanyaan yang tajam."Apa kerjaan kemarin ulahmu, Len?" tanya Emily serius.Leni yang sedang mengaduk kopi di tangannya berhenti sejenak, lalu menoleh. "Atas dasar apa menuduhku?" jawab Leni dengan nada datar, tetapi jelas mengandung ketidaksenangan.Emily mendekat, matanya penuh dengan emosi yang ditahan. "Saat itu, di klinik, hanya ada aku, Dimas, dan Mr. Whiteller. Kamu tahu aku terjatuh, tapi kamu tidak ada di sana. Bisa saja kamu memfoto kami diam-diam, lalu menyebarkannya," cecarnya dengan nada yang mulai meninggi."Wow..." Leni tertawa sinis sambil memiringkan kepalanya. "Kau menuduhku?" ucapnya, kali ini terdengar jelas nada ketidaksukaannya."Karena hanya kamu yang selalu mengusikku," balas Emily tanpa
"Jadi, kemana sebenarnya kau mau membawaku?" tanya Emily sambil melipat tangannya, menatap Amore dengan mata menyipit."Taman hiburan," jawab Amore santai."Kemarin kau bilang ingin menunjukkan sesuatu. Menunjukkan apa di taman hiburan?" balas Emily curiga."Tak ada, hanya ingin bermain saja," ucap Amore sambil mengangkat bahu dengan senyuman kecil.Emily yang mendengar itu hanya menghela napas panjang, pasrah. "Baiklah...," gumamnya,Setibanya di taman hiburan, suasana langsung berubah ceria. Mereka hanyut dalam kegembiraan, berpindah dari satu wahana ke wahana lainnya. Tawa mereka sering kali pecah, terutama saat mencoba wahana yang lebih menantang."Naik roller coaster tadi seperti melepaskan seluruh beban hidupku. Rasanya semua masalahku ikut tertinggal di atas sana," ucap Emily sambil tertawa lepas, pipinya sedikit memerah karena udara dingin dan adrenalin.Amore ikut tertawa kecil. "Aku hampir kehilangan suaraku karena berteriak tadi," ujarnya sambil merapikan rambutnya yang ber
"Coba tebak," ucap Amore sambil dengan santai merangkul bahu Mr. Whiteller. "Apa kita terlihat mirip?""Kalian... kakak adik?" tebak Emily."Bukan," jawab Amore sambil tertawa kecil. "Coba tebak lagi."Namun, sebelum Emily bisa memberikan jawaban lain, Mr. Whiteller memotong. "Kami sepupu," ucapnya tiba-tiba.Emily menatap Amore dengan tatapan penuh tanda tanya, seolah berkata, Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?Melihat ekspresi Emily, Mr. Whiteller mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan berkata dengan nada yang terdengar seperti menggoda, "Apa jawaban ini membuatmu senang?""T-tidak, Tuan Whiteller," jawab Emily dengan gugup saat diajukan pertanyaan tiba tiba seperti ituMr. Whiteller memperhatikan wajahnya yang memerah dan tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum tipis. Amore, yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka, memutuskan untuk angkat bicara."Apa aku melewatkan sesuatu di sini?" tanya Amore dengan nada curiga. Ia mengarahkan pandangannya secara berganti
Emily melangkah kembali ke mejanya dengan pikiran yang berat. Ia mencoba mengalihkan fokusnya pada pekerjaan yang harus ia selesaikan, tetapi kata-kata Leni dan tawa sinis itu terus terngiang di telinganya. Bahkan saat ia menatap layar komputernya, huruf-huruf di dokumen seperti tidak bermakna.Emily berusaha menata napasnya saat mendengar suara Beni di sebelahnya."Emily, Mr. Whiteller meminta mu ke ruangannya," kata Beni sambil menatap Emily dengan ekspresi serius."Oh... baik, terima kasih, Beni," jawab Emily, mencoba terdengar tenang meski pikirannya masih terganggu.Ia dengan cepat mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dan memasukkannya ke dalam map berwarna biru, berjaga jaga bila mr whiteller tiba tiba menanyakan pekerjaan. Setelah memastikan semuanya lengkap, ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju ruang Mr. Whiteller. Langkahnya terasa berat, sebagian karena suasana di sekelilingnya yang penuh dengan bisik-bisik dan tatapan tajam.Sesampainya di depan pintu ruanga
Di tengah perjalanan pulang menuju apartemennya, Emily berjalan kaki menyusuri trotoar yang sepi. Udara malam yang dingin membuatnya merapatkan jaketnya lebih erat. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah mobil berhenti di sampingnya. Jendela kaca mobil perlahan diturunkan, memperlihatkan wajah Mr. Whiteller yang sedang menatapnya dengan ekspresi tenang namun tegas."Masuk, Emily," perintah Mr. Whiteller tanpa basa-basi.Emily ragu sejenak, tapi akhirnya membuka pintu dan duduk di kursi penumpang. Suasana di dalam mobil terasa hangat, kontras dengan udara dingin di luar. Mr. Whiteller tidak langsung berbicara, hanya fokus menyetir sambil sesekali melirik Emily."Temani saya belanja furnitur," ucapnya tiba-tiba, memecah keheningan.Emily mengerutkan kening, kebingungan. "Furnitur, Tuan?" tanyanya, memastikan.Mr. Whiteller mengangguk ringan. "Ya. Saya membutuhkan opini kedua, dan saya pikir kamu orang yang tepat untuk itu."Emily masih belum sepenuhnya mengerti. "Kenapa saya?"Mr. Whit
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau
Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut
Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em
Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de
Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak
Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar
Sylvester menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu akhirnya menjawab, "Carol adalah seseorang yang dekat dengan keluargaku sejak lama. Orang-orang mungkin berpikir kami memiliki hubungan, tapi itu tidak benar. Kami memang pernah dekat, tapi tidak seperti yang kau pikirkan."Emily menatapnya, mencoba membaca ekspresi Sylvester. "Jadi, kau tak pernah memiliki hubungan dengannya?"Sylvester diam sejenak sebelum berkata, "Hubungan kami tidak lebih dari seorang teman.""hanya teman?" tanya Emily.Sylvester menghela napas. "Carol adalah temanku semasa sekolah dulu, dan hingga saat ini itu tidak berubah."Emily terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, kau tidak menyukainya?"Sylvester menatapnya lebih lama sebelum menjawab, "Tidak seperti itu."Emily mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?"Sylvester tersenyum kecil, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku pikir kau sudah tahu jawabannya."