Bagian 22 Jeratan Iblis Maulana membaca bismillah dan doa-doa perlindungan ketika memasuki gua yang didalamnya terdapat banyak lubang-lubang hitam berlumpur. Gayatri menyebutnya sebagai gerbang neraka, sebab ragam iblis lahir dari rahim kotor itu. Sila yang terkuat salah satunya. Ratusan tahun dibenam di dalam sana oleh kakaknya, lalu ia pun bersekuti dengan iblis hingga wanita itu pun menjadi bagian dari mereka. Pemuda berlesung pipi itu tak menyadari, ketika makhluk-makhluk hitam kecil dan berkuku panjang yang menempel di dinding menjauh ketika kepanasan akibat doa-doa pendeknya. Batu-batu itu ia lemparkan ke dinding dan seketika menimbulkan percikan api. Maulana tak tahu tempat apa sebenarnya itu meski bau busuk sangat menyengat. Berulang kali ia memanggil nama Isnani, tapi tak ada yang menjawab. Hanya suaranya saja yang memantul dari dinding-dinding gua itu. Angin dingin berembus membuat bulu kuduk Maulana seketika berdiri. Ia menoleh ke belakang ketika ia merasa ada yang mema
Bagian 23 Perpisahan Gayatri berusaha menahan tubuhnya yang hampir menghantam bebatuan. Dengan mata kepalanya sendiri ia lihat Isnani terus berkeringat dan selendang yang melilit kepalanya telah terlepas. Gadis bermulut tajam yang sempat mengumpat padanya itu, kini tak sadarkan diri. “Tebus!” jerit akar pohon itu lagi. Gayatri menghindar dari amukan akar yang mengarah padanya. Tak ia sangka mantranya tak berguna di dalam sana. Nyaris kakinya terjerat, tetapi ia masih sempat menghalaunya dengan selembar kain panjang hingga kain itu koyak menjadi serpihan kecil. Penyihir itu menahan lajunya pergerakan akar, kemudian membuat api dari panas tubuhnya. Kobaran tersebut tak banyak membantu sebab air yang ada di dalam akar pohon tersebut ke luar dan memadamkannya. Gayatri pun membangunkan Isnani yang tak sadarkan diri. “Hei, sadarlah. Aku tak bisa membiarkanmu mati seperti ini. Bangun!” Gayatri menepuk pipi Isnani beberapa kali. Berhasil. Gadis keras kepala itu membuka matanya. Seketika
Bagian 24 Menjalani Ketetapan Takdir Maulana terus mengendarai kereta secara perlahan, agar tubuh Gayatri tak berguncang, hingga akhirnya ia sampai di depan rumah Syarif. Rasanya belum lama ia tinggalkan rumah besar itu, dan kini sudah kembali saja. “Mungkin aku memang tak menjadi seperti ayahku.” Pemuda itu mengerutkan kening ketika melihat rumah Syarif dijaga oleh beberapa punggawa yang berpakaian sama seperti yang menolongnya di dalam hutan. Saat Maulana ingin masuk, ia dicegat oleh beberapa orang, sampai akhirnya Hasan yang telah menginap selama beberapa hari di sana ke luar dan menyambut keponakannya yang saat masih kecil sering mengunjunginya. “Paman.” Maulana mencium tangan panglima itu dengan takzim lalu beralih memeluknya. Hampir mereka berdua menjadi ayah dan anak jika perjodohan tersebut tak dibatalkan Gandari. “Kau dari mana saja, Nak. Banyak peristiwa yang Paman bingung harus cerita dari mana.” Hasan melirik penampilan pemuda itu keseluruhannya. Sudah jauh berbeda
Bagian 25 Ikrar Untuk Penyihir Syarifah membimbing Gayatri untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat hari itu juga. Lalu, bagaimana dengan sihir gadis tersebut? Gayatri tak ambil pusing. Bahkan sekuat tenaga ia tahan rasa panas di tubunya ketika mengucapkan kalimat-kalimat suci itu. Mustika batu putih yang menjadi sumber sihirnya tak akan pernah Gayatri buang seumur hidupnya. Benda itu merupakan jiwanya dari sejak ia dipercaya oleh sang guru. Maulana pun tak sampai berpikir ke sana layaknya Syarif dulu. Karena baginya, ia hanya ingin menghindari dosa saat bersama dengan Gayatri saja. Cinta? Belum tumbuh dalam hatinya. Pemuda berlesung pipi tersebut masih memikirkan seseroang yang tinggal di Samudra Pasai. Hanya dalam waktu tiga hari saja persiapan pernikahan sederhana digelar. Tak ada iring-iringan bagi seorang pangeran yang terbuang. Juga tidak ada perwakilan dari istana yang datang. Ratu Prameswari masih menunggu berita dari anak buahnya yang mencari tahu siapa Maulana sebenarnya.
Bagian 26 Keputusan Utusan dari istana datang mewakili suara Sultan Samudra Pasai dan Pangeran Antanagra akan pernikahan dua keluarga besar itu. Sebuah jawaban yang melegakan bagi kedua belah pihak. “Pernikahan akan tetap dilaksanakan dua hari lagi, Is. Persiapan tetap berlangsung seperti biasa saat kau pergi dan sudah hampir seleai. Abu harap engkau tak membuat ulah lagi dan mulailah berlapang dada menerima semuanya. Menjadi istri juga tak seburuk yang kau bayangkan. Kau hanya banyak membaca tanpa mau bertanya saja. Padahal Abu bisa menjelaskan dengan baik untukmu. Tapi dasar kau saja yang keras kepala.” Ceramah Tuan Guru pada cucunya yang wajahnya semakin memucat. Entah karena masih sakit atau tak suka dengan keputusan yang baru saja disepakati. “Abu Syik, tega sekali menceramahi cucumu yang sedang kesakitan ini. Terserah saja, kalau lagi sakit begini memangnya bisa mengurus dan melayani suami seperti di kitab-kitab yang Abu jejali untukku. Bukannya nanti malah berdosa besar,” b
Bagian 27Sepenuh Hati Isnani tidur di sebelah suaminya dengan jantung berdebar luar biasa. Selain lukanya yang belum sembuh. Ia juga takut tiba-tiba saja Pangeran Antanagra tidak sabaran dan menerkamnya. Beberapa kali wanita itu menggerakkan lima jarinya di wajah sang pangeran. Namun, tak ada balasaan apa pun. Ia pun menatap wajah yang tengah terlelap itu dengan penuh perhatian. ‘Tidak mungkin juga, ya, kalau wajah sebagus ini memilih menjadi penjahat? Apa kurangnya hidup di istana?’ ujar Isnani dalam hati. Entah mengapa pula telunjuknya terulur merapikan rambut Pangeran Antanagra yang berantakan. Isnani pun menggeleng, ia seperti tak sadar saat melakukannya. Lalu tiba-tiba saja sang pangeran membuka matanya. Wanita itu terkejut lalu diam tak tahu harus berbuat apa. “Kau tak bisa tidur?” tanya suaminya. “Ehm, begitulah,” jawab Isnani tanpa mengalihkan pandangan dari wajah suaminya. Bukan karena apa-apa, melainkan karena tubuhnya mendadak tak bisa bergerak. Rasanya ia lebih luwes
Bagian 28 Bisikan GaibDi singgasananya, Ratu Prameswari sedang menggigit kukunya sendiri. Sejak berita kematian Syarif sampai di telinganya, terlebih lagi pelakunya merupakan putra semata wayangnya. Ia tak pernah tidur nyenyak. Sang ratu sangat yakin pihak Samudra Pasai tak akan tinggal diam dengan semuanya. Sementara itu armada perang Kerajan Hambu Aer tidak pernah menjadi lebih baik sejak meninggalnya Danur Seta. Para bangsawan lebih mementingkan mengamankan harta kekayannya sendiri. Kini, bahkan para petinggi istana menyalahkan Gusti Prabu atas tindakannya yang gegabah. “Susah payah aku sudah membunuh banyak orang demi kelanggengan singgasana putraku. Aku tak akan membiarkannya terhempas begitu saja. Anak keturunanku harus menjadi raja. Tidak peduli sebanyak apa mayat yang harus bergelimpangan di bawah kakiku.” Ratu Prameswari memandang punggung Danur Atmaja yang tengah berjalan membelakanginya. Terbiasa dibenarkan dari kecil. Tidak adanya bimbingan seorang ayah yang bisa dijadi
Bagian 29 Kecurigaan Malam hari sebelum tidur, rambut Gayatri selalu disisir oleh Maulana. Lelaki berlesung pipi itu melakukannya demi menumbuhkan rasa cinta di hatinya. Hidup baginya harus terus berjalan meski sudah banyak kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Sejak peristiwa di pasar tadi, penyihir itu tak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ia merasa ada yang memperhatikan rumah suaminya. Ia tahu itu, sebab sihirnya yang memberitahunya. Sedangkan Maulana tetap terlelap sembari mendekap mesra istrinya. Suara pijakan di atas atap membuat Gayatri semakin menambah kecurigaannya. Melalui cermin kecil di dalam kamar ia mencari tahu. Ketika itu ia lihat ada banyak lelaki yang menggunakan penutup wajah. Mereka bersenjatakan pedang dan panah. Rumah Maulana dikepung banyak orang berpakaian hitam. Bahkan salah satu diantara mereka membawa obor dan minyak. Perlahan-lahan penyihir itu menyingkirkan tangan Maulana. Ia menatap cermin di kamarnya. Kemudian, benda yang bisa memantulkan bayan