Bagian 29 Kecurigaan Malam hari sebelum tidur, rambut Gayatri selalu disisir oleh Maulana. Lelaki berlesung pipi itu melakukannya demi menumbuhkan rasa cinta di hatinya. Hidup baginya harus terus berjalan meski sudah banyak kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Sejak peristiwa di pasar tadi, penyihir itu tak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ia merasa ada yang memperhatikan rumah suaminya. Ia tahu itu, sebab sihirnya yang memberitahunya. Sedangkan Maulana tetap terlelap sembari mendekap mesra istrinya. Suara pijakan di atas atap membuat Gayatri semakin menambah kecurigaannya. Melalui cermin kecil di dalam kamar ia mencari tahu. Ketika itu ia lihat ada banyak lelaki yang menggunakan penutup wajah. Mereka bersenjatakan pedang dan panah. Rumah Maulana dikepung banyak orang berpakaian hitam. Bahkan salah satu diantara mereka membawa obor dan minyak. Perlahan-lahan penyihir itu menyingkirkan tangan Maulana. Ia menatap cermin di kamarnya. Kemudian, benda yang bisa memantulkan bayan
Bagian 30 Upeti Ratu Prameswari tidak pernah main-main dengan perkataannya. Ia kini sedang menghitung jumlah anak gadis yang masih mekar-mekarnya untuk upeti pada Samudra Pasai. Selama ini sang ratu merasa kurang ramah pada kerajaan yang armada perangnya selalu bertambah setiap tahunnya. Seharusnya ia mengirimkan gadis muda, hasil alam, serta emas untuk meredam semua masalah. “Semoga saja belum terlambat. Kalau mereka menanggapi kematian ulama besar itu dengan sungguh-sungguh habis sudah takhta putraku sekali serang.” Risau hati Ratu Prameswari di malam hari yang kian bertambah gelapnya. Apalagi ketika mata-mata yang ia utus juga baru saja kembali dari Samudra Pasai. Tidak ada kabar berita yang didapat selain para punggawa yang berlatih setiap hari. “Ada dua puluh gadis muda. Kurasa ini lebih dari cukup untuk memuaskan hasrat para petinggi Samudra Pasai itu. Tak mungkin mereka menolak tubuh gadis yang sedang mekar-mekarnya.” Sang ratu mencengkeram pipi salah seorang gadis yang pal
Bagian 31 Hilang Akal“Istrimu sekarang sudah hamil atau belum?” tanya Kamaratih pada Maulana. Lelaki berlesung pipi itu hanya menggeleng saja, “Nanti jikalau andaikata kau menjadi raja. Anak laki-lakimu akan memperebutkan takhta. Anak perempuamu, akan kau jadikan tameng atau hadiah demi memperluas kekuasaanmu.” Maulana melirik kakeknya. Aji Sata membenarkan perkataan Kamaratih, sebab ia pun pernah menyodorkan putrinya untuk dinikahi Danur Seta. Apalagi alasannya jika bukan untuk melanggengkan kekuasannya. “Dianggap hadiah, disodorkan pada lelaki yang tak pernah kita temui sekali pun. Menjadi pajangan dalam istana. Harus pula tampil cantik bersaing dengan selir-selir lainnya. Jangan kau pikir kau tak akan mengalami hal-hal seperti itu. Pasti, harus kau gunakan putra-putrimu untuk kepentingan takhtamu. Memang tidak salah dan sudah sering terjadi. Tapi, dianggap hanya sebagai hadiah bagi Bibi sendiri sangat menyakitkan. Lebih baik hidup biasa-biasa saja dan kita tak terkekang dengan
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas