Mata Semboja terbelalak melihat gadis yang baru datang. Ternyata dia adalah orang yang sejak tadi dicarinya. Entah kebetulan atau tidak, yang jelas dia merasa sangat tertolong dengan kehadiran gadis tersebut. Semboja mundur selangkah memberi tempat kepada gadis itu.“Inikah Serigala Perak?” batin Semboja. Perasaan dirinya pernah bertemu dengan Serigala Perak, tapi bukan pemuda ini. Negeri yang penuh misteri, dia harus selalu waspada.“Oh … aku pikir kau Serigala Perak.” Rupanya wanita itu sudah salah mengenali orang. “Dari mana kau dapatkan golok perak itu?” tanya wanita yang baru datang itu.“Bukan urusanmu!” jawab pemuda itu. Dia tidak suka dengan kelancangan wanita itu. Hasratnya untuk bermain-main dengan Semboja sirna. Hatinya sangat dongkol karena sejak Semboja datang ke negeri ini, dirinya sudah tertarik dengan gadis itu.“Siapa namamu? Mengapa kau meniru gaya Serigala Perak?” Semboja kembali bertanya. Rupanya dia penasaran, apakah dia Serigala Perak itu.“Ada baiknya kau tahu n
Dengan tubuh gemetar Semboja melihat pertarungan antara Ayundari dan Saketi. Gadis itu merasa lega setelah terlihat Ayundari lebih unggul. Walau ada kesempatan, Semboja tidak berniat kabur. Dia harus bicara tentang Ayundari yang begitu mirip dengannya. Banyak yang harus ditanyakan Semboja kepada gadis itu. Termasuk ketika tiba-tiba dirinya bisa menguasai tarian yang dibawakan gadis tersebut. Sesuatu yang dirasakan benar-benar aneh.“Hajar! Tuman!” seru Semboja tertahan. Sebelah tangannya meninju telapak tangannya yang lain karena gemas. Ingin sekali dirinya ikut menghajar pemuda itu. Semboja ikut tegang saat Saketi kembali menyiapkan jurus mematikan.“Aw!” Semboja menjerit pelan saat seseorang mencolek bahunya. Dia menoleh, matanya seketika membulat. “Kakang,” bisiknya.“Ayo cepat!” Orang yang mencolek bahu Semboja memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya.Dengan mengendap-endap mereka meninggalkan arena pertempuran itu. Semboja berjalan dengan cepat mengikuti langkah laki-laki ter
Ayundari menatap semua yang ada di situ. Apalagi Semboja, dia terkejut luar biasa mendengar cerita Ayundari. “Itulah kisahku yang diceritakan oleh nenekku.” Ayundari mengakhiri ceritanya. “Berarti aku … aku ….”“Kamu kembar!” potong Mardawa. Pemuda itu mengambil kesimpulan dari cerita Ayundari dan kemiripan yang hampir seratus persen. Ayundari dan Semboja bahwasanya mereka bersaudara.“Aku harus bertanya kepada ibuku.” Semboja berkata sambil terus mengamati wajah Ayundari.“Ayo kita pulang!” ajak Dewi Rimbu. Dirinya tidak ingin berlama-lama di negeri serigala ini. “Tunggu, aku tidak ikut kalian.” Ayundari tidak mau jika dirinya harus meninggalkan Negeri Serigala Perak.“Bukankah ini bukan negerimu? Ayo kita bertemu dengan ibuku.” Semboja mencoba merayu Ayundari. Dia harus bertemu dengan ibunya, sehingga ibunya tidak bisa mengelak lagi untuk menjelaskan semuanya.Ayundari menggeleng. Rupanya dia tetap tidak mau meninggalkan negeri itu. Dirinya hanya melambaikan tangan saat keempat o
Berpuluh-puluh tahun yang silam.Pranata menangis di sisi sebuah pusara. Laki-laki cilik itu baru saja kehilangan bapaknya yang tewas di tangan seorang perampok. Kakaknya--Suwita berdiri mematung melihatnya. Rasa marah dan dendam menguasai hati Pranata, tapi tubuh kecilnya tidak mampu berbuat apa-apa.“Ayah, aku bersumpah untuk menjadi perampok yang paling hebat di jagat raya ini!” seru Pranata sambil berdiri. Bocah kecil itu mengusap ingusnya yang berleleran, matanya garang melihat langit. Tekadnya sudah bulat untuk membalas dendam kematian bapaknya dengan cara menjadi kepala perampok hebat.“Pranata!” teriak Suwita kaget. “Tarik kembali ucapanmu itu!” perintahnya kepada sang adik.Pemuda tanggung itu sangat terkejut mendengar perkataan Adiwangsa. Tidak menyangka sedikit pun ucapan itu keluar dari mulut bocah yang masih berusia sepuluh tahun. “Kita tidak boleh seperti itu, mana boleh balas dendam, Dek!” serunya panik. Suwita mencoba memberi pemahaman kepada Pranata.“Kakang, aku aka
Suwita melihat makhluk pengganggunya sudah pergi. Di hadapannya kini berdiri sesosok lelaki tua. Berpakaian putih panjang menjela serta berjenggot putih. Dalam hati pemuda itu gembira, semoga kali ini kakek tua itu adalah penolongnya. “Dasar Jurig Jarian! Mengganggu orang kerjanya!” gerutu kakek tersebut. Dia melihat ke arah Suwita yang masih gemetar ketakutan. “Kamu siapa, Nak?”“Namaku … namaku Suwita, Kek.” Suwita menjawab sambil terbata-bata. Dunia luar baginya sangat menakutkan dari bayangan. Rasanya dia tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Bapaknya dulu seorang pejabat di kampung, jadi bila dirinya ingin berjalan-jalan keluar selalu ada yang menemani. Entah dua atau tiga orang pembantunya.“Dari mana asalmu? Mengapa kamu tersesat di sini?” tanya kakek tua itu. Dia memandang lekat Suwita. Heran, mengapa ada anak kecil tersesat di wilayahnya. Berpuluh-puluh tahun dirinya menghuni Gunung Galunggung, tidak ada satu pun manusia yang tersesat sampai ke wilayahnya. Dirinya m
Suwita meluruskan tangan karena pegal. Sudah begitu lama dia menggendong bayi, tapi ibunya tak kunjung muncul. Suwita berdiri, berniat untuk kembali ke pondok. Namun karena masih ragu-ragu, akhirnya dia duduk kembali untuk menanti. Siapa tahu ibu bayi ini muncul karena hari sudah mulai malam.Pemuda itu baru saja ditinggal meninggal oleh gurunya. Tadi mendengar suara berisik ketika sedang bersemedi. Tidak disangka dirinya malah mendapat seorang bayi. Suwita benar-benar bingung, apa yang harus dilakukannya.“Apakah bayi ini tidak akan dijemput ibunya lagi?” gumam Suwita. Dia mendongak ke langit, hari sudah menjelang malam. Pemuda itu menengok bayi yang tampak mulai gelisah. “Dia kelaparan,” bisiknya sambil menyodorkan jari ke bibir bayi tersebut. Dengan segera bayi itu membuka mulut sambil menjulurkan lidahnya keluar-masuk.“Baiklah, aku akan membawamu pergi. Hup!” Suwita melompat dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Dia merasa ibunya bayi tersebut sudah tak mungkin kembali lagi.
Suatu pagi di pondok Eyang Suwita. Mardawa memandang Eyang Suwita yang sedang duduk termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki tua itu. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati gurunya. “Ada apa, Eyang?” tanya Mardawa.“Aku teringat dengan masa kecilku.” Eyang Suwita memandang Mardawa.“Cerita, Eyang!” suruh Mardawa. Pemuda itu duduk bersila, siap mendengarkan cerita masa kecil gurunya.**“Pranata … itu punya Ibu! Jangan coba-coba mengambil sesuatu di kamar Ibu!” Suwita menghardik adiknya. Dia memergoki adiknya tersebut mengambil kotak kayu berukir dari kamar ibunya. “Aku hanya ingin melihat saja bukan mencurinya, Kakang.” Pranata menjawab sambil tetap memegang kotak kayu itu.“Sini berikan! Nanti Ibu marah.” Suwita hendak mengambil paksa kotak tersebut. Namun, Pranata mempertahankannya. “Ya sudah lihat … nanti cepat kamu kembalikan sebelum Ibu tahu.” Seorang bocah perempuan mengawasi Pranata dan Suwita saat beradu mulut. Dia tidak berkata apa pun hanya terdiam mematung.Akhir
“Haha haha. Bagus Panji ... kamu berhasil!” seru Juragan Pranata gembira. Matanya berbinar melihat hasil rampokan anak buahnya itu. Tidak sia-sia dia membuat kerusuhan tadi di tempat hajatan.“Ide Juragan hebat!” Panji balik memuji Juragan Pranata. Lelaki yang dipuji tertawa senang sambil memelintir kumisnya.“Ayo pisah-pisahin! Emas dan uang kasih sini!” Juragan Pranata berteriak lagi. Anak buahnya dengan cekatan memisahkan hasil rampokan mereka. Beberapa kantong uang koin dan kotak perhiasan penduduk berpindah tangan.Juragan Pranata memeriksa sebuah kotak perhiasan yang tampak lain ukirannya. Dia membolak-balik kotak tersebut sambil mengingat-ingat. “Aku pernah melihat kotak ini dulu … tapi di mana, ya?” tanya Juragan Pranata pada dirinya sendiri. Dia memeras ingatannya untuk mengingat kembali semua peristiwa dalam hidupnya.Lama Juragan Pranata membolak-balik kotak tersebut. Memori masa kecilnya dipaksakan untuk mengingat semuanya. Lambat laun dia ingat dengan masa lalunya. Masa