Mardawa memandang lelaki tua yang baru datang itu. Untung mereka sudah selesai makan. Mardawa mengeluh dalam hatinya. Lelaki tua itu datang dengan beberapa pengawalnya.“Adaaa aja …” Mardawa dan Dewi Rimbu bersiap-siap. Sudah pasti lelaki itu datang bukan untuk mentraktir makan.Pemuda itu memang belum pernah berhadapan dengan Juragan Pranata. Namun, Mardawa pernah melihat lelaki setengah baya itu bersama dengan Panji beberapa waktu lalu, dan Panji menyebutnya guru.Juragan Pranata memandang sesaat kepada Mardawa. Dia sudah tidak sabar untuk segera menghajarnya, pemuda itu adalah penghalang cintanya kepada Semboja. Ronggeng cantik yang sekarang menghilang. Beberapa kali Panji, orang suruhannya kembali dengan keadaan babak belur.Bagi lelaki tua itu, Mardawa sudah sangat lancang. Berani sekali dia menghalanginya setiap kali anak buahnya menculik gadis tersebut. Gadis yang selama ini dipujanya siang-malam. Tidak ada lagi gadis yang menarik hatinya selain Semboja. Dirinya akan lupa darat
Beberapa saat sebelum Juragan Pranata mendatangi warung tersebut, dirinya dibuat marah oleh kedatangan Panji yang babak belur. Panji bercerita tentang Mardawa dengan seorang gadis menyerangnya.“Apa?” Kamu melihat mereka di hutan?” tanya Juragan Pranata sambil memandang Panji dengan tajam. “Mengapa kamu tidak memaksanya bicara!” Panji tertunduk, dalam hatinya berkata,” Boro-boro memaksanya bicara, aku saja babak belur.”“Tanya di mana Semboja berada!” suruh lelaki tua itu. Panji hanya menunduk. Rasanya dia sudah tidak sanggup untuk bertempur dengan Mardawa. Namun, bagaimana caranya dia membantahnya ucapan gurunya.“Aku … aku … sudah bertempur dengannya barusan. Aku mengaku kalah.” Panji berkata sambil menundukkan kepala. Dia tidak sanggup lagi jika harus bertarung kembali dengan Mardawa.“Kamu benar-benar lemah! Menghadapi seorang saja kalian tidak bisa! Percuma aku mendidik kalian dengan susah payah!” teriak Juragan Pranata sambil menunjuk kepada para anak buahnya.Anak buah Juraga
Mardawa tertegun sejenak melihat kehadiran lelaki tua itu. Sementara Juragan Pranata melihat kesempatan itu untuk melarikan diri. Tinggal kini Mardawa dan Dewi Rimbu menghadapi kakek tersebut. Mardawa yang hendak menyambut lelaki itu menjadi ragu melihat paras keriput itu seperti menyimpan kemarahan. Mata orang tua itu berkilat memandang Mardawa.“Kau masih mengenalku, Mardawa?” tanya lelaki tua itu. Matanya yang sipit memandang tajam pemuda di hadapannya. Rahangnya terlihat mengeras karena emosi.“Tentu saja aku ingat. Bukankah ini Eyang Chou?” tanya Mardawa lagi. Walau sudah yakin, tidak ada salahnya dirinya bertanya. “Teman guruku Eyang Suwita.”“Apalagi yang kamu ketahui?” tanya Eyang Chou tegas. Matanya tidak lepas dari wajah lelaki itu.Tentu saja Mardawa heran dengan sikap Eyang Chou. Terakhir bertemu lelaki tua itu bersikap biasa saja. “Gurunya … gurunya Kusuma.” Mardawa sedikit gugup menyebut nama Kusuma. Itu karena teringat perjumpaan terakhir dengan gurunya. Gurunya tiba-t
Tubuh tua itu terhuyung saat terkena hantaman keras dari pukulan Mardawa. Sesungguhnya pemuda itu tidak tega harus bertarung dengan Eyang Chou. Namun, jika dirinya tidak melawan, alamat dirinya yang dirujak orang tua tersebut.Wanita yang tiba-tiba datang itu merangkul tubuh yang hampir tersungkur. Kelebatan yang begitu cepat menandakan dirinya punya ilmu yang lumayan tinggi. Ia segera memburu Eyang Chou dan memeluknya.“Guru,” desis wanita itu. Setelah Eyang Chou kembali ke posisinya wanita itu berbalik menatap Mardawa dan Dewi Rimbu.“Kalian!” Wanita itu menunjuk mereka. “Kalian beraninya hanya pada orang tua!” kecam gadis tersebut.“Jaga mulutmu, Kusuma!” teriak Dewi Rimbu. “Eyang ini bertarung karena fitnah keji yang kamu tuduhkan!” kecam Dewi Rimbu pedas.Gadis itu yang ternyata Kusuma, berpaling kepada Dewi Rimbu. Dirinya terlihat sangat kesal kepada wanita itu.“Fitnah apa? Sudah jelas jika Mardawa melecehkan aku saat aku kehilangan ingatan!” Kusuma kembali mengecam Mardawa. Di
Sesaat setelah Juragan Pranata dan Guntur bertarung Juragan Pranata terdiam mendengar ucapan Guntur. Dia lupa kalau sudah mengadakan sebuah perjanjian dengannya. Lelaki setengah baya itu cemas takut apa yang diminta Guntur tidak sesuai dengan harapan.“Berapa kamu minta bayaran?” tanya Juragan Pranata. Guntur menyeringai, pemuda itu tidak menjawab dia malah asyik melihat anak gadis Juragan Pranata–Kemala.“Jaga pandanganmu, Guntur!” bentak Juragan Pranata. Dia tidak suka melihat pandangan Guntur kepada anaknya.“Hahaha hahaha hahaha. Apa yang kau takutkan, Juragan Pranata?” tanya Guntur sambil tak lepas pandangannya dari Kemala.“Aku tidak suka kau memandang putriku! Kemala, cepat masuk!” perintah Juragan Pranata sambil mengibaskan tangannya.Sebelum masuk, Kemala sempat melirik ke arah Guntur. Sekilas tampak gadis itu tersenyum malu-malu. Guntur memang sangat tampan dengan badan kekar layaknya seorang pendekar.Guntur tersenyum sinis dan memberi tatapan tajam ke arah Juragan Pranat
Setelah berbicara dengan Juragan Pranata, Guntur langsung pergi untuk memulai misinya. Dia perlu mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai para perompak dan lokasi mereka. Tanpa membuang waktu, Guntur mulai mencari orang-orang yang mengetahui lebih banyak tentang kelompok perompak itu. Juragan Pranata tentu saja senang, tidak sia-sia dia menyewa Guntur. Sementara Panji merasa kehadiran Guntur sebagai ancaman bagi kedudukannya.Setelah beberapa saat mencari, Guntur akhirnya berhasil mendapatkan informasi yang dia butuhkan. Para perompak diberi tempat tinggal oleh seorang kepala suku di hutan, dan mereka sering masuk ke desa-desa di sekitar Pantai Timur untuk mencari sasaran untuk perampokan mereka. Tidak terkecuali kapal milik Juragan Pranata yang sudah diberi bendera Perguruan Serigala Putih. Rupanya para perompak itu sengaja cari mati dengan membegal kapal tersebut saat sedang berlayar. Walau semua orang tahu jika Juragan Pranata gembong perampok juga.Dengan informasi baru ini, Gu
Guntur memandang Panji yang melihatnya dengan heran. Dia berpikir betapa bodohnya pemuda di hadapannya ini. “Mereka ingin menguasai Perguruan Serigala Putih.” Akhirnya Guntur menyebutkan rencana mereka.“Dari mana kau tahu rencana mereka?” tanya Panji. Dia merasa aneh, mengapa Guntur bisa tahu rencana mereka.Guntur sesaat merasa terjebak, dia gelagapan seperti mendengar pertanyaan Panji. Dengan cepat dia dapat menguasai diri. “Tidakkah tadi kau dengar dia bicara apa?” tanya Guntur. Guntur merasa terselamatkan dengan pembicaraan Pendekar Mata Satu tadi yang sempat didengarnya.“Tapi bagaimana kita bisa melawan mereka? Mereka bukan musuh yang mudah dihadapi,” sahut Panji, masih merasa ragu.“Kita akan mempertimbangkan setiap langkah dengan teliti. Aku akan memimpinmu dan bersama-sama kita dapat mengalahkan mereka,” jawab Guntur."Mereka memang bukan musuh yang mudah dihadapi. Tapi, itu tidak membuat kita menjadi lemah dan harus menyerah,” tambah Guntur sambil mengangkat dagunya.Panj
Dewi Rimbu tidak menjawab pertanyaan Mardawa tentang Ratu Kali Wingit. Dia sendiri tidak mengerti, mengapa wanita itu berubah. Eyang Chou merasa khawatir dengan keselamatan Kusuma. Dia memohon kepada Mardawa untuk membuntuti Ratu Kali Wingit. “Mardawa, selamatkan Cucuku!” Eyang Chou berkata sambil memandang Mardawa. Rasa dendamnya kepada pemuda itu sirna seketika. Dirinya malah ragu tentang Kusuma dan segala ucapannya.Mardawa diam, dia mempertimbangkan permintaan Eyang Chou. Pemuda itu tidak ada dendam dengan kakek tua itu. Fitnah Kusuma yang menjadikan dirinya seperti buronan.Setelah memikirkan permintaan Eyang Chou, Mardawa akhirnya setuju untuk membuntuti Ratu Kali Wingit. Dia merasa bertanggung jawab untuk melindungi keselamatan Kusuma. Dia dan Dewi Rimbu bersiap-siap untuk pergi ke Istana Kali Wingit.Setelah berjalan jauh , Mardawa memutuskan untuk istirahat sejenak. Dia duduk di bawah pohon besar dan menikmati pemandangan sekitar. Tiba-tiba, dia melihat sesosok wanita berja