Dewi Rimbu memandang cermin di tangannya. Sudah lama dia tidak menggunakan cermin tersebut, tapi dirinya tidak lupa cara menggunakannya. Mantra itu benar seperti yang diucapkannya tadi. Dewi Rimbu mencoba mengusap kembali cermin itu. Tetap saja hanya ada kabut tebal yang terlihat. Biasanya kabut itu perlahan-lahan menipis hanya dalam beberapa detik. Ini sudah hampir satu jam kabut itu tidak beranjak. "Aduh, apa yang terjadi dengan cermin ajaib ini?" gumam Dewi Rimbu dengan cemas. Namun, sebelum dirinya sempat merasa kecewa, Modena mendatanginya.Rupanya perempuan itu sengaja berjaga di sekitar Dewi Rimbu yang sedang melakukan semedi. Tanpa disuruh dengan sukarela Modena menjaga Dewi Rimbu dari sesuatu yang tidak diinginkan."Aku melihatmu mengalami kesulitan dengan cermin itu. Bolehkah aku membantu?" tawar Modena kepada Dewi Rimbu. Dengan ragu-ragu gadis itu menghampiri Dewi Rimbu.Dewi Rimbu bingung tapi tidak kuasa untuk menolak bantuan. "Boleh, Modena. Aku mencari seseorang berna
Mardawa yang mendengar namanya dipanggil, merasa tertegun dan bergegas berdiri. Senyum sumringah terhapus, digantikan wajah pucat dan ketakutan.Sesungguhnya dia berbaur dengan para pemuda untuk mengetahui di mana Semboja berada. Gurunya tiba-tiba muncul saat dirinya sedang ngopi di warung, itu tanda kiamat buat dirinya."Mardawa!" seru Eyang Suwita. Suaranya yang kencang membuat semua orang menoleh. Tentu saja pemuda itu menjadi perhatian di pasar itu."Akan ada pertempuran ini," seseorang berbisik dengan raut ketakutan. Mereka pikir Eyang Suwita adalah musuh Mardawa yang sedang mencari pemuda tersebut. "Eyang," jawab Mardawa pelan. Dengan membungkukkan badannya pemuda itu menghampiri kakek tua itu.Plak!Suara tamparan begitu keras terdengar membuat kaget orang-orang. Mereka membentuk lingkaran menonton kedua orang tersebut. “Ooh!” terdengar seperti dikomando mereka mengucapkan kata itu.Mardawa terperangah mendapatkan tamparan dari gurunya tersebut. Seumur-umur dirinya tidak pern
Mardawa diam-diam meninggalkan tempat Eyang Suwita. Kakek itu tengah memikirkan ucapannya. Rupanya cukup dimengerti kata-kata Mardawa olehnya. Dirinya lebih percaya muridnya ketimbang Kusuma.“Dasar cecunguk! Di mana kamu?” Mardawa tertawa kecil mendengar omelan gurunya dari kejauhan. Dia tadi memang tidak pamitan karena takut jika Eyang Suwita masih marah.Dirinya tidak boleh membuang-buang waktu. Semboja dan Dewi Rimbu harus segera ditemukan.Hari berganti malam, Mardawa berjalan seorang diri, menuju pedalaman hutan rimba tempat dirinya meninggalkan Semboja dan Dewi Rimbu. Bulan terang di langit, memayungi jalan dengan sinar lembut yang menerangi."Ke mana mereka?" gumam Mardawa dalam hati sambil menapaki jalan setapak di antara pepohonan rindang. “Harus ke mana mencari mereka?” Mardawa merenung menatap air terjun di hadapannya. Tidak tahu harus mencari Semboja ke mana. Pemuda itu hanya mampu menatap langit yang tiada berbintang.Di kejauhan, Mardawa mendengar suara lolongan yang
Rau terdiam sejenak. Dia memperhatikan Mardawa lalu memandang ke arah Dewi Rimbu. Seperti tersadar dari mimpi, Mardawa menghampiri Dewi Rimbu yang terbaring. “Grrrhh.” Serigala-serigala itu menggeram. Mereka hendak menerkam Mardawa. Pemuda itu waspada dengan pedang di tangan. Tangan Rau terangkat, mereka patuh dan kembali diam. Namun, matanya memandang tajam disertai lidahnya yang menjulur ke arah Mardawa.“Dewi, apa yang terjadi?” tanya Mardawa. Wanita itu bangun setelah Mardawa melepaskan semua ikatan. Dia menepuk bajunya yang kotor. Tidak tampak ketakutan dalam tatapannya. Mardawa kagum dengan ketabahan wanita itu.“Apa yang terjadi, di mana Semboja?” tanya Mardawa lagi. “Ceritakan! Mengapa kalian berpisah?” Dewi Rimbu memandang kawanan serigala. Seperti mengerti Rau mengibaskan tangannya menyuruh mereka untuk pergi dari hadapan Mardawa. Serigala-serigala itu mundur satu persatu, tinggal Rau yang berwujud manusia.Dewi Rimbu mulai bercerita, “Saat aku ditinggalkan kamu, Semboja
Mardawa dan kedua gadis itu menatap Serigala Perak. Wanita yang menyerang tadi dengan begitu ganas tiba-tiba ingin berunding. Apa pula ini?“Perundingan macam apa yang kau inginkan?” Mardawa bertanya sambil menatap wanita penjelmaan serigala itu.Serigala Perak tertawa terbahak. "Kalian pikir bisa melawanku. Kawanan serigala itu belum kalian tundukkan. Kalian sudah tak punya tenaga lagi, tinggalkan saja Semboja dan Rau. Aku akan membiarkan kalian pergi dengan selamat!”“Semboja harus ikut dengan kami!” Tiba-tiba Dewi Rimbu berteriak marah. “Semboja bukan tawanan kalian, dia harus pergi bersama kami!”Mardawa berusaha menenangkan Dewi Rimbu, "Tenang, Dewi. Mari kita dengarkan dulu tawarannya."Dewi Rimbu mendengus kesal, namun memutuskan untuk diam dan mendengarkan. Tidak habis mengerti dengan sikap Serigala Perak. Diajak bertarung malah menawarkan perdamaian tapi dia menginginkan Semboja.“Katakan! Apa maumu?” tanya Mardawa. Dari cerita Dewi Rimbu dia sudah tahu apa yang diinginkan Se
Eyang Chou diam, tidak menjawab pertanyaan Kusuma. Gadis itu semakin tidak enak hati. Dia sudah membayangkan akan ada pertumpahan darah karena fitnah yang disebarkan olehnya.“Apakah aku harus berterus-terang kalau semuanya bohong belaka, tapi aku sangat mencintai Kakang Mardawa. Bagaimana ini?” Kusuma memandangi Eyang Chou yang pergi menjauh. Ingin sekali dia memanggil, tapi sisi gelap hatinya membiarkan semuanya. Kusuma yakin tidak akan ada kerusuhan yang disebabkan olehnya. Mardawa pasti menurut kepada gurunya untuk menikahinya.“Sudahlah, biar waktu yang menjawab.” Kusuma bergumam dalam hatinya. Gadis itu kembali melangkah. Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Hati kecilnya ingin segera menjumpai Mardawa, tapi tidak tahu harus mencari ke mana.Kusuma berjalan ke sana-sini seperti orang linglung, rasa rindunya kepada Mardawa membuatnya lelah hati. Dia membayangkan jika saja bisa bertemu malam hari ini. Gadis itu tersenyum sendiri.Kusuma akhirnya naik ke sebuah pohon yang agak tinggi
Sinar matahari pagi menyambut Mardawa dan Semboja yang baru kembali dari Negeri Serigala Perak. Mereka melihat keadaan sekitar dengan bingung. Mereka tidak tahu di mana kini berada.Mereka hanya berdua di tengah hutan. Hanya terdengar bunyi serangga hutan yang nyaring, membuat suasana terasa mencekam. Mereka saling pandang, bingung menentukan arah.“Dewi Rimbu, bisakah kamu melihat cermin ajaib?” Mardawa mencoba mencari solusi. Dia tidak mengenali hutan tempat mereka tadi keluar. “Tadi tidak aku tanyakan kepada Serigala Perak. Aku menduga kita akan diantarkan ke tempat dari mana kita berasal.”“Bisa.” Dewi Rimbu mengeluarkan cermin ajaib itu. Wanita itu memberikannya kepada Mardawa. Cermin itu terlihat seperti cermin biasa, namun jika dipandang dengan seksama, maka akan terlihat gambar-gambar ajaib yang terpantul di dalamnya.Mardawa dan Dewi Rimbu melongok ke dalam cermin dan melihat pemandangan yang sepertinya tidak familiar bagi mereka. "Aku tidak mengenali tempat ini," ucap Marda
Kusuma menjerit saat melihat mata yang bersinar di kegelapan malam. Rupanya dia sudah tertipu oleh lelaki yang bernama Sabda itu. Tahu begini, tidak sudi tadi dia turun dari pohon dan membatalkan rencana tidurnya. Bedebah satu ini memang harus dikasih pelajaran.“Kau sudah menipuku!” teriak Kusuma. Dia menghunus pedang pemberian Eyang Chou. Gadis itu sangat marah karena lelaki itu sudah menjebaknya. “Siapa kamu sesungguhnya?” tanya Kusuma lagi.“Hahaha. Tidak usah tahu siapa aku, kamu hanya cukup menurut saja. Mereka tidak akan menyerangmu.” Rupanya Sabda sudah merencanakan semuanya. Binatang-binatang itu dengan mata merahnya memandang Kusuma. Lidahnya terjulur keluar masuk siap mencabik tubuh gadis itu. Kadang-kadang air liurnya menetes menjijikan. Kusuma teringat cerita tentang kematian misterius di kampungnya. Menciut nyali Kusuma membayangkan tubuhnya dimakan binatang tersebut.Kusuma merasa takut melihat binatang-binatang itu menatapnya dengan mata merah ganas. Dia tahu bahwa di
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti