Mardawa yang mendengar namanya dipanggil, merasa tertegun dan bergegas berdiri. Senyum sumringah terhapus, digantikan wajah pucat dan ketakutan.Sesungguhnya dia berbaur dengan para pemuda untuk mengetahui di mana Semboja berada. Gurunya tiba-tiba muncul saat dirinya sedang ngopi di warung, itu tanda kiamat buat dirinya."Mardawa!" seru Eyang Suwita. Suaranya yang kencang membuat semua orang menoleh. Tentu saja pemuda itu menjadi perhatian di pasar itu."Akan ada pertempuran ini," seseorang berbisik dengan raut ketakutan. Mereka pikir Eyang Suwita adalah musuh Mardawa yang sedang mencari pemuda tersebut. "Eyang," jawab Mardawa pelan. Dengan membungkukkan badannya pemuda itu menghampiri kakek tua itu.Plak!Suara tamparan begitu keras terdengar membuat kaget orang-orang. Mereka membentuk lingkaran menonton kedua orang tersebut. “Ooh!” terdengar seperti dikomando mereka mengucapkan kata itu.Mardawa terperangah mendapatkan tamparan dari gurunya tersebut. Seumur-umur dirinya tidak pern
Mardawa diam-diam meninggalkan tempat Eyang Suwita. Kakek itu tengah memikirkan ucapannya. Rupanya cukup dimengerti kata-kata Mardawa olehnya. Dirinya lebih percaya muridnya ketimbang Kusuma.“Dasar cecunguk! Di mana kamu?” Mardawa tertawa kecil mendengar omelan gurunya dari kejauhan. Dia tadi memang tidak pamitan karena takut jika Eyang Suwita masih marah.Dirinya tidak boleh membuang-buang waktu. Semboja dan Dewi Rimbu harus segera ditemukan.Hari berganti malam, Mardawa berjalan seorang diri, menuju pedalaman hutan rimba tempat dirinya meninggalkan Semboja dan Dewi Rimbu. Bulan terang di langit, memayungi jalan dengan sinar lembut yang menerangi."Ke mana mereka?" gumam Mardawa dalam hati sambil menapaki jalan setapak di antara pepohonan rindang. “Harus ke mana mencari mereka?” Mardawa merenung menatap air terjun di hadapannya. Tidak tahu harus mencari Semboja ke mana. Pemuda itu hanya mampu menatap langit yang tiada berbintang.Di kejauhan, Mardawa mendengar suara lolongan yang
Rau terdiam sejenak. Dia memperhatikan Mardawa lalu memandang ke arah Dewi Rimbu. Seperti tersadar dari mimpi, Mardawa menghampiri Dewi Rimbu yang terbaring. “Grrrhh.” Serigala-serigala itu menggeram. Mereka hendak menerkam Mardawa. Pemuda itu waspada dengan pedang di tangan. Tangan Rau terangkat, mereka patuh dan kembali diam. Namun, matanya memandang tajam disertai lidahnya yang menjulur ke arah Mardawa.“Dewi, apa yang terjadi?” tanya Mardawa. Wanita itu bangun setelah Mardawa melepaskan semua ikatan. Dia menepuk bajunya yang kotor. Tidak tampak ketakutan dalam tatapannya. Mardawa kagum dengan ketabahan wanita itu.“Apa yang terjadi, di mana Semboja?” tanya Mardawa lagi. “Ceritakan! Mengapa kalian berpisah?” Dewi Rimbu memandang kawanan serigala. Seperti mengerti Rau mengibaskan tangannya menyuruh mereka untuk pergi dari hadapan Mardawa. Serigala-serigala itu mundur satu persatu, tinggal Rau yang berwujud manusia.Dewi Rimbu mulai bercerita, “Saat aku ditinggalkan kamu, Semboja
Mardawa dan kedua gadis itu menatap Serigala Perak. Wanita yang menyerang tadi dengan begitu ganas tiba-tiba ingin berunding. Apa pula ini?“Perundingan macam apa yang kau inginkan?” Mardawa bertanya sambil menatap wanita penjelmaan serigala itu.Serigala Perak tertawa terbahak. "Kalian pikir bisa melawanku. Kawanan serigala itu belum kalian tundukkan. Kalian sudah tak punya tenaga lagi, tinggalkan saja Semboja dan Rau. Aku akan membiarkan kalian pergi dengan selamat!”“Semboja harus ikut dengan kami!” Tiba-tiba Dewi Rimbu berteriak marah. “Semboja bukan tawanan kalian, dia harus pergi bersama kami!”Mardawa berusaha menenangkan Dewi Rimbu, "Tenang, Dewi. Mari kita dengarkan dulu tawarannya."Dewi Rimbu mendengus kesal, namun memutuskan untuk diam dan mendengarkan. Tidak habis mengerti dengan sikap Serigala Perak. Diajak bertarung malah menawarkan perdamaian tapi dia menginginkan Semboja.“Katakan! Apa maumu?” tanya Mardawa. Dari cerita Dewi Rimbu dia sudah tahu apa yang diinginkan Se
Eyang Chou diam, tidak menjawab pertanyaan Kusuma. Gadis itu semakin tidak enak hati. Dia sudah membayangkan akan ada pertumpahan darah karena fitnah yang disebarkan olehnya.“Apakah aku harus berterus-terang kalau semuanya bohong belaka, tapi aku sangat mencintai Kakang Mardawa. Bagaimana ini?” Kusuma memandangi Eyang Chou yang pergi menjauh. Ingin sekali dia memanggil, tapi sisi gelap hatinya membiarkan semuanya. Kusuma yakin tidak akan ada kerusuhan yang disebabkan olehnya. Mardawa pasti menurut kepada gurunya untuk menikahinya.“Sudahlah, biar waktu yang menjawab.” Kusuma bergumam dalam hatinya. Gadis itu kembali melangkah. Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Hati kecilnya ingin segera menjumpai Mardawa, tapi tidak tahu harus mencari ke mana.Kusuma berjalan ke sana-sini seperti orang linglung, rasa rindunya kepada Mardawa membuatnya lelah hati. Dia membayangkan jika saja bisa bertemu malam hari ini. Gadis itu tersenyum sendiri.Kusuma akhirnya naik ke sebuah pohon yang agak tinggi
Sinar matahari pagi menyambut Mardawa dan Semboja yang baru kembali dari Negeri Serigala Perak. Mereka melihat keadaan sekitar dengan bingung. Mereka tidak tahu di mana kini berada.Mereka hanya berdua di tengah hutan. Hanya terdengar bunyi serangga hutan yang nyaring, membuat suasana terasa mencekam. Mereka saling pandang, bingung menentukan arah.“Dewi Rimbu, bisakah kamu melihat cermin ajaib?” Mardawa mencoba mencari solusi. Dia tidak mengenali hutan tempat mereka tadi keluar. “Tadi tidak aku tanyakan kepada Serigala Perak. Aku menduga kita akan diantarkan ke tempat dari mana kita berasal.”“Bisa.” Dewi Rimbu mengeluarkan cermin ajaib itu. Wanita itu memberikannya kepada Mardawa. Cermin itu terlihat seperti cermin biasa, namun jika dipandang dengan seksama, maka akan terlihat gambar-gambar ajaib yang terpantul di dalamnya.Mardawa dan Dewi Rimbu melongok ke dalam cermin dan melihat pemandangan yang sepertinya tidak familiar bagi mereka. "Aku tidak mengenali tempat ini," ucap Marda
Kusuma menjerit saat melihat mata yang bersinar di kegelapan malam. Rupanya dia sudah tertipu oleh lelaki yang bernama Sabda itu. Tahu begini, tidak sudi tadi dia turun dari pohon dan membatalkan rencana tidurnya. Bedebah satu ini memang harus dikasih pelajaran.“Kau sudah menipuku!” teriak Kusuma. Dia menghunus pedang pemberian Eyang Chou. Gadis itu sangat marah karena lelaki itu sudah menjebaknya. “Siapa kamu sesungguhnya?” tanya Kusuma lagi.“Hahaha. Tidak usah tahu siapa aku, kamu hanya cukup menurut saja. Mereka tidak akan menyerangmu.” Rupanya Sabda sudah merencanakan semuanya. Binatang-binatang itu dengan mata merahnya memandang Kusuma. Lidahnya terjulur keluar masuk siap mencabik tubuh gadis itu. Kadang-kadang air liurnya menetes menjijikan. Kusuma teringat cerita tentang kematian misterius di kampungnya. Menciut nyali Kusuma membayangkan tubuhnya dimakan binatang tersebut.Kusuma merasa takut melihat binatang-binatang itu menatapnya dengan mata merah ganas. Dia tahu bahwa di
Mardawa dan Dewi Rimbu yang tersesat tidak bisa menemukan jalan untuk keluar dari hutan. Cermin ajaib tidak banyak membantunya. Dewi Rimbu tidak tahu apa yang terjadi dengan cermin ajaib itu.Mereka malah bertemu dengan seorang perempuan yang sekarang sedang bersiap menyerangnya. Sumbu Pencair Balok Es sudah dipegangnya erat-erat. Mardawa menyiapkan pukulan tangan kosong–Perisai Samudra.Ketika melihat Mardawa perempuan yang tidak terlihat wajahnya itu tampak sedikit grogi. Namun, dengan cepat dia bisa menguasai diri. Mardawa curiga dan berniat membuka penutup wajahnya.. Kali ini dia masih membiarkan Dewi Rimbu untuk menghadapinya.“Apakah kamu anak buah Serigala Perak?” tanya Mardawa sekali lagi. Kecurigaannya sangat besar terhadap wanita yang menginginkan Semboja itu. Mardawa sudah menyangka jika Serigala Perak menginginkan kematiannya.Mardawa dan Dewi Rimbu berdiri di depan perempuan misterius itu. Mardawa memperhatikan dengan cermat senjata yang sedang dipegang oleh perempuan itu