Mardawa dan Dewi Rimbu yang tersesat tidak bisa menemukan jalan untuk keluar dari hutan. Cermin ajaib tidak banyak membantunya. Dewi Rimbu tidak tahu apa yang terjadi dengan cermin ajaib itu.Mereka malah bertemu dengan seorang perempuan yang sekarang sedang bersiap menyerangnya. Sumbu Pencair Balok Es sudah dipegangnya erat-erat. Mardawa menyiapkan pukulan tangan kosong–Perisai Samudra.Ketika melihat Mardawa perempuan yang tidak terlihat wajahnya itu tampak sedikit grogi. Namun, dengan cepat dia bisa menguasai diri. Mardawa curiga dan berniat membuka penutup wajahnya.. Kali ini dia masih membiarkan Dewi Rimbu untuk menghadapinya.“Apakah kamu anak buah Serigala Perak?” tanya Mardawa sekali lagi. Kecurigaannya sangat besar terhadap wanita yang menginginkan Semboja itu. Mardawa sudah menyangka jika Serigala Perak menginginkan kematiannya.Mardawa dan Dewi Rimbu berdiri di depan perempuan misterius itu. Mardawa memperhatikan dengan cermat senjata yang sedang dipegang oleh perempuan itu
Ratu Kali Wingit tertawa saat Kusuma pergi dari hadapannya. Dia sangat senang karena dirinya tidak perlu turun tangan untuk merebut cermin itu dari tangan Dewi Rimbu.“Hahaha hahaha hahaha. Dasar gadis bodoh!” Ratu Kali Wingit memandang ke arah Sabdo. “Ayo, kita buntuti dia!” Sabdo menganggukan kepala, dia mengikuti Ratu Kali Wingit ke arah Utara. Mereka berlari menuju sebuah hutan misterius yang sudah mereka kuasai. Di mana Mardawa dan Dewi Rimbu sudah tersesat sebelumnya.Mereka berkelebat dengan cepat. Ratu Kali Wingit seperti mendapat firasat buruk. “Ayo, Sabdo, kita harus cepat!” Sabdo mengikuti Ratu Kali Wingit dengan cepat. Mereka berlari menuju hutan yang misterius dan berbahaya, diperkirakan hanya beberapa saat saja hingga mereka tiba.Sabdo mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan melirik ke arah Ratu Kali Wingit. "Ini hutan sangat misterius, Ratu," ucap Sabdo sambil memandangi sekitarnya.“Hei … mengapa berhenti?” tanya Ratu Kali Wingit. Wanita itu turut berhe
Sabdo yang tadi terjatuh dengan segera memperbaiki posisi kuda-kudanya. Dengan sekali lompatan dia sudah kembali tampak sangar. Sementara, Ratu Kali Wingit menunggu tak jauh dari tempat mereka bertarung.“Minggirlah, Kek! Ini urusanku dengan pemuda songong itu.” Sabdo berseru menyuruh kakek tua itu minggir.“Keh keh keh.” Lelaki tua itu malah terkekeh. Dia tidak minggir sama sekali. Malah berada di antara Sabdo dan Panji. “Aku hanya ingin kalian tidak bertarung … berdamailah!”“Biarkan aku mengajari mulut comberan dia! Berani-beraninya menghina Ratu!” kecam Sabdo sambil kembali menghunus pedang.“Mereka adalah serigala yang selalu mengincar anak buahku. Sudah banyak anak buahku yang jadi korban!” Panji balik berteriak menjelaskan siapa Sabdo dan Ratu Kali Wingit.Kakek tua itu menjadi bingung, siapa yang akan dibelanya. Dia hanya memandang Sabdo dan Panji bergantian. Pandangannya beralih pada Ratu Kali Wingit.“Siapa namamu, wanita cantik?” tanya kakek tua itu. “Aku Ratu Kali Wingit.
Mardawa kagum melihat kemampuan gadis bercadar itu. Dengan mengibaskan tangannya sedikit, tangan yang cedera itu menjadi normal kembali.Dewi Rimbu masih menatap wanita tersebut dengan heran, dia mencoba untuk bertanya. "Apa yang kamu lakukan? Bagaimana tanganmu tiba-tiba menjadi normal kembali?" tanya Dewi Rimbu sambil memandang gadis itu dengan penuh tanda tanya. "Ah, kamu tidak mengerti. Hahaha hahaha, aku memang memiliki kemampuan khusus. Bukan sihir, tapi kekuatan alam yang ada di dalam diriku," jawab wanita itu sambil tersenyum mengejek.Mardawa tiba-tiba ingat kepada Saga. Lelaki itu pernah berkata jika dia mampu mengendalikan alam, dan Kusuma menjadi penghancurnya. Berarti wanita itu ….“Kusuma … apakah kamu Kusuma?” tanya Mardawa tiba-tiba. Dia melompat ke hadapan wanita di hadapan Dewi Rimbu.Wanita itu mundur, dia menghunus kembali pedangnya. Dia menatap tajam ke arah Mardawa. Pandangannya tampak khawatir saat melihat pemuda itu. Seakan-akan dia tahu apa yang akan ditanya
Mardawa memandang lelaki tua yang baru datang itu. Untung mereka sudah selesai makan. Mardawa mengeluh dalam hatinya. Lelaki tua itu datang dengan beberapa pengawalnya.“Adaaa aja …” Mardawa dan Dewi Rimbu bersiap-siap. Sudah pasti lelaki itu datang bukan untuk mentraktir makan.Pemuda itu memang belum pernah berhadapan dengan Juragan Pranata. Namun, Mardawa pernah melihat lelaki setengah baya itu bersama dengan Panji beberapa waktu lalu, dan Panji menyebutnya guru.Juragan Pranata memandang sesaat kepada Mardawa. Dia sudah tidak sabar untuk segera menghajarnya, pemuda itu adalah penghalang cintanya kepada Semboja. Ronggeng cantik yang sekarang menghilang. Beberapa kali Panji, orang suruhannya kembali dengan keadaan babak belur.Bagi lelaki tua itu, Mardawa sudah sangat lancang. Berani sekali dia menghalanginya setiap kali anak buahnya menculik gadis tersebut. Gadis yang selama ini dipujanya siang-malam. Tidak ada lagi gadis yang menarik hatinya selain Semboja. Dirinya akan lupa darat
Beberapa saat sebelum Juragan Pranata mendatangi warung tersebut, dirinya dibuat marah oleh kedatangan Panji yang babak belur. Panji bercerita tentang Mardawa dengan seorang gadis menyerangnya.“Apa?” Kamu melihat mereka di hutan?” tanya Juragan Pranata sambil memandang Panji dengan tajam. “Mengapa kamu tidak memaksanya bicara!” Panji tertunduk, dalam hatinya berkata,” Boro-boro memaksanya bicara, aku saja babak belur.”“Tanya di mana Semboja berada!” suruh lelaki tua itu. Panji hanya menunduk. Rasanya dia sudah tidak sanggup untuk bertempur dengan Mardawa. Namun, bagaimana caranya dia membantahnya ucapan gurunya.“Aku … aku … sudah bertempur dengannya barusan. Aku mengaku kalah.” Panji berkata sambil menundukkan kepala. Dia tidak sanggup lagi jika harus bertarung kembali dengan Mardawa.“Kamu benar-benar lemah! Menghadapi seorang saja kalian tidak bisa! Percuma aku mendidik kalian dengan susah payah!” teriak Juragan Pranata sambil menunjuk kepada para anak buahnya.Anak buah Juraga
Mardawa tertegun sejenak melihat kehadiran lelaki tua itu. Sementara Juragan Pranata melihat kesempatan itu untuk melarikan diri. Tinggal kini Mardawa dan Dewi Rimbu menghadapi kakek tersebut. Mardawa yang hendak menyambut lelaki itu menjadi ragu melihat paras keriput itu seperti menyimpan kemarahan. Mata orang tua itu berkilat memandang Mardawa.“Kau masih mengenalku, Mardawa?” tanya lelaki tua itu. Matanya yang sipit memandang tajam pemuda di hadapannya. Rahangnya terlihat mengeras karena emosi.“Tentu saja aku ingat. Bukankah ini Eyang Chou?” tanya Mardawa lagi. Walau sudah yakin, tidak ada salahnya dirinya bertanya. “Teman guruku Eyang Suwita.”“Apalagi yang kamu ketahui?” tanya Eyang Chou tegas. Matanya tidak lepas dari wajah lelaki itu.Tentu saja Mardawa heran dengan sikap Eyang Chou. Terakhir bertemu lelaki tua itu bersikap biasa saja. “Gurunya … gurunya Kusuma.” Mardawa sedikit gugup menyebut nama Kusuma. Itu karena teringat perjumpaan terakhir dengan gurunya. Gurunya tiba-t
Tubuh tua itu terhuyung saat terkena hantaman keras dari pukulan Mardawa. Sesungguhnya pemuda itu tidak tega harus bertarung dengan Eyang Chou. Namun, jika dirinya tidak melawan, alamat dirinya yang dirujak orang tua tersebut.Wanita yang tiba-tiba datang itu merangkul tubuh yang hampir tersungkur. Kelebatan yang begitu cepat menandakan dirinya punya ilmu yang lumayan tinggi. Ia segera memburu Eyang Chou dan memeluknya.“Guru,” desis wanita itu. Setelah Eyang Chou kembali ke posisinya wanita itu berbalik menatap Mardawa dan Dewi Rimbu.“Kalian!” Wanita itu menunjuk mereka. “Kalian beraninya hanya pada orang tua!” kecam gadis tersebut.“Jaga mulutmu, Kusuma!” teriak Dewi Rimbu. “Eyang ini bertarung karena fitnah keji yang kamu tuduhkan!” kecam Dewi Rimbu pedas.Gadis itu yang ternyata Kusuma, berpaling kepada Dewi Rimbu. Dirinya terlihat sangat kesal kepada wanita itu.“Fitnah apa? Sudah jelas jika Mardawa melecehkan aku saat aku kehilangan ingatan!” Kusuma kembali mengecam Mardawa. Di