Sabdo yang tadi terjatuh dengan segera memperbaiki posisi kuda-kudanya. Dengan sekali lompatan dia sudah kembali tampak sangar. Sementara, Ratu Kali Wingit menunggu tak jauh dari tempat mereka bertarung.“Minggirlah, Kek! Ini urusanku dengan pemuda songong itu.” Sabdo berseru menyuruh kakek tua itu minggir.“Keh keh keh.” Lelaki tua itu malah terkekeh. Dia tidak minggir sama sekali. Malah berada di antara Sabdo dan Panji. “Aku hanya ingin kalian tidak bertarung … berdamailah!”“Biarkan aku mengajari mulut comberan dia! Berani-beraninya menghina Ratu!” kecam Sabdo sambil kembali menghunus pedang.“Mereka adalah serigala yang selalu mengincar anak buahku. Sudah banyak anak buahku yang jadi korban!” Panji balik berteriak menjelaskan siapa Sabdo dan Ratu Kali Wingit.Kakek tua itu menjadi bingung, siapa yang akan dibelanya. Dia hanya memandang Sabdo dan Panji bergantian. Pandangannya beralih pada Ratu Kali Wingit.“Siapa namamu, wanita cantik?” tanya kakek tua itu. “Aku Ratu Kali Wingit.
Mardawa kagum melihat kemampuan gadis bercadar itu. Dengan mengibaskan tangannya sedikit, tangan yang cedera itu menjadi normal kembali.Dewi Rimbu masih menatap wanita tersebut dengan heran, dia mencoba untuk bertanya. "Apa yang kamu lakukan? Bagaimana tanganmu tiba-tiba menjadi normal kembali?" tanya Dewi Rimbu sambil memandang gadis itu dengan penuh tanda tanya. "Ah, kamu tidak mengerti. Hahaha hahaha, aku memang memiliki kemampuan khusus. Bukan sihir, tapi kekuatan alam yang ada di dalam diriku," jawab wanita itu sambil tersenyum mengejek.Mardawa tiba-tiba ingat kepada Saga. Lelaki itu pernah berkata jika dia mampu mengendalikan alam, dan Kusuma menjadi penghancurnya. Berarti wanita itu ….“Kusuma … apakah kamu Kusuma?” tanya Mardawa tiba-tiba. Dia melompat ke hadapan wanita di hadapan Dewi Rimbu.Wanita itu mundur, dia menghunus kembali pedangnya. Dia menatap tajam ke arah Mardawa. Pandangannya tampak khawatir saat melihat pemuda itu. Seakan-akan dia tahu apa yang akan ditanya
Mardawa memandang lelaki tua yang baru datang itu. Untung mereka sudah selesai makan. Mardawa mengeluh dalam hatinya. Lelaki tua itu datang dengan beberapa pengawalnya.“Adaaa aja …” Mardawa dan Dewi Rimbu bersiap-siap. Sudah pasti lelaki itu datang bukan untuk mentraktir makan.Pemuda itu memang belum pernah berhadapan dengan Juragan Pranata. Namun, Mardawa pernah melihat lelaki setengah baya itu bersama dengan Panji beberapa waktu lalu, dan Panji menyebutnya guru.Juragan Pranata memandang sesaat kepada Mardawa. Dia sudah tidak sabar untuk segera menghajarnya, pemuda itu adalah penghalang cintanya kepada Semboja. Ronggeng cantik yang sekarang menghilang. Beberapa kali Panji, orang suruhannya kembali dengan keadaan babak belur.Bagi lelaki tua itu, Mardawa sudah sangat lancang. Berani sekali dia menghalanginya setiap kali anak buahnya menculik gadis tersebut. Gadis yang selama ini dipujanya siang-malam. Tidak ada lagi gadis yang menarik hatinya selain Semboja. Dirinya akan lupa darat
Beberapa saat sebelum Juragan Pranata mendatangi warung tersebut, dirinya dibuat marah oleh kedatangan Panji yang babak belur. Panji bercerita tentang Mardawa dengan seorang gadis menyerangnya.“Apa?” Kamu melihat mereka di hutan?” tanya Juragan Pranata sambil memandang Panji dengan tajam. “Mengapa kamu tidak memaksanya bicara!” Panji tertunduk, dalam hatinya berkata,” Boro-boro memaksanya bicara, aku saja babak belur.”“Tanya di mana Semboja berada!” suruh lelaki tua itu. Panji hanya menunduk. Rasanya dia sudah tidak sanggup untuk bertempur dengan Mardawa. Namun, bagaimana caranya dia membantahnya ucapan gurunya.“Aku … aku … sudah bertempur dengannya barusan. Aku mengaku kalah.” Panji berkata sambil menundukkan kepala. Dia tidak sanggup lagi jika harus bertarung kembali dengan Mardawa.“Kamu benar-benar lemah! Menghadapi seorang saja kalian tidak bisa! Percuma aku mendidik kalian dengan susah payah!” teriak Juragan Pranata sambil menunjuk kepada para anak buahnya.Anak buah Juraga
Mardawa tertegun sejenak melihat kehadiran lelaki tua itu. Sementara Juragan Pranata melihat kesempatan itu untuk melarikan diri. Tinggal kini Mardawa dan Dewi Rimbu menghadapi kakek tersebut. Mardawa yang hendak menyambut lelaki itu menjadi ragu melihat paras keriput itu seperti menyimpan kemarahan. Mata orang tua itu berkilat memandang Mardawa.“Kau masih mengenalku, Mardawa?” tanya lelaki tua itu. Matanya yang sipit memandang tajam pemuda di hadapannya. Rahangnya terlihat mengeras karena emosi.“Tentu saja aku ingat. Bukankah ini Eyang Chou?” tanya Mardawa lagi. Walau sudah yakin, tidak ada salahnya dirinya bertanya. “Teman guruku Eyang Suwita.”“Apalagi yang kamu ketahui?” tanya Eyang Chou tegas. Matanya tidak lepas dari wajah lelaki itu.Tentu saja Mardawa heran dengan sikap Eyang Chou. Terakhir bertemu lelaki tua itu bersikap biasa saja. “Gurunya … gurunya Kusuma.” Mardawa sedikit gugup menyebut nama Kusuma. Itu karena teringat perjumpaan terakhir dengan gurunya. Gurunya tiba-t
Tubuh tua itu terhuyung saat terkena hantaman keras dari pukulan Mardawa. Sesungguhnya pemuda itu tidak tega harus bertarung dengan Eyang Chou. Namun, jika dirinya tidak melawan, alamat dirinya yang dirujak orang tua tersebut.Wanita yang tiba-tiba datang itu merangkul tubuh yang hampir tersungkur. Kelebatan yang begitu cepat menandakan dirinya punya ilmu yang lumayan tinggi. Ia segera memburu Eyang Chou dan memeluknya.“Guru,” desis wanita itu. Setelah Eyang Chou kembali ke posisinya wanita itu berbalik menatap Mardawa dan Dewi Rimbu.“Kalian!” Wanita itu menunjuk mereka. “Kalian beraninya hanya pada orang tua!” kecam gadis tersebut.“Jaga mulutmu, Kusuma!” teriak Dewi Rimbu. “Eyang ini bertarung karena fitnah keji yang kamu tuduhkan!” kecam Dewi Rimbu pedas.Gadis itu yang ternyata Kusuma, berpaling kepada Dewi Rimbu. Dirinya terlihat sangat kesal kepada wanita itu.“Fitnah apa? Sudah jelas jika Mardawa melecehkan aku saat aku kehilangan ingatan!” Kusuma kembali mengecam Mardawa. Di
Sesaat setelah Juragan Pranata dan Guntur bertarung Juragan Pranata terdiam mendengar ucapan Guntur. Dia lupa kalau sudah mengadakan sebuah perjanjian dengannya. Lelaki setengah baya itu cemas takut apa yang diminta Guntur tidak sesuai dengan harapan.“Berapa kamu minta bayaran?” tanya Juragan Pranata. Guntur menyeringai, pemuda itu tidak menjawab dia malah asyik melihat anak gadis Juragan Pranata–Kemala.“Jaga pandanganmu, Guntur!” bentak Juragan Pranata. Dia tidak suka melihat pandangan Guntur kepada anaknya.“Hahaha hahaha hahaha. Apa yang kau takutkan, Juragan Pranata?” tanya Guntur sambil tak lepas pandangannya dari Kemala.“Aku tidak suka kau memandang putriku! Kemala, cepat masuk!” perintah Juragan Pranata sambil mengibaskan tangannya.Sebelum masuk, Kemala sempat melirik ke arah Guntur. Sekilas tampak gadis itu tersenyum malu-malu. Guntur memang sangat tampan dengan badan kekar layaknya seorang pendekar.Guntur tersenyum sinis dan memberi tatapan tajam ke arah Juragan Pranat
Setelah berbicara dengan Juragan Pranata, Guntur langsung pergi untuk memulai misinya. Dia perlu mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai para perompak dan lokasi mereka. Tanpa membuang waktu, Guntur mulai mencari orang-orang yang mengetahui lebih banyak tentang kelompok perompak itu. Juragan Pranata tentu saja senang, tidak sia-sia dia menyewa Guntur. Sementara Panji merasa kehadiran Guntur sebagai ancaman bagi kedudukannya.Setelah beberapa saat mencari, Guntur akhirnya berhasil mendapatkan informasi yang dia butuhkan. Para perompak diberi tempat tinggal oleh seorang kepala suku di hutan, dan mereka sering masuk ke desa-desa di sekitar Pantai Timur untuk mencari sasaran untuk perampokan mereka. Tidak terkecuali kapal milik Juragan Pranata yang sudah diberi bendera Perguruan Serigala Putih. Rupanya para perompak itu sengaja cari mati dengan membegal kapal tersebut saat sedang berlayar. Walau semua orang tahu jika Juragan Pranata gembong perampok juga.Dengan informasi baru ini, Gu
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti