Share

Bab 2

“Dasar anak kurang ajar!” teriak Afifah dengan kesal.

“Udahlah, Bu. Nggak usah teriak-teriak, pusing Bapak dengarnya,” tegur Dirjo.

Dada Afifah naik turun menahan amarah, ia menatap sinis Ardila.

“Lagian juga itu harta warisan, sudah seharusnya kamu membaginya dengan kita,” seloroh Ningsih.

“Kalau hanya Mas Firman saja, aku nggak masalah. Tapi nggak untuk kalian bertiga!” sahut Ardila menatap mereka bergantian.

“Mana bisa begitu, kamu mau membuat Firman nggak berbakti sama Ibu ya!” marah Ningsih menggebrak meja.

“Dila, sekarang keluarga Mas kan, keluarga kamu juga. Apalagi Ibu seorang janda dan Rosa juga masih sekolah, Mas takut kalau tinggalin mereka. Kita tinggal bareng nggak apa-apa, ya,” bujuk Firman dengan lembut.

Sebenarnya kalau bukan karena sikap mereka terhadapnya, Ardila juga kasian pada mertua dan adik iparnya itu. Dan dengan rela ia akan membiarkan mereka tinggal di rumah besarnya.

Ardila mengangguk pelan, menatap mereka semua dengan pandangan rumit. Untuk sekarang ia akan mengalah dan memantau sikap mereka, jika semakin runyam, ia bisa mengusirnya.

“Begitu dong dari tadi,” ucap Ibu Ningsih dengan sumringah.

“Ayo Rosa, Sinta, kita berkemas. Kita pindah ke rumah yang lebih besar,” lanjut Ibu Ningsih seraya beranjak pergi.

“Terima kasih ya, Dila. Mas juga mau berkemas dulu,” ucap Firman ikut beranjak pergi dari sana.

“Kamu jangan apa-apa ngelawan Dila, bersyukur kamu di kasih seorang Ibu lagi walaupun cuma Ibu mertua. Tetap di syukuri dan di hormati,” celetuk Afifah menasehati.

“Terima kasih atas nasehatnya Bibi, aku hanya bersikap sebagai mana orang memperlakukanku,” sahut Ardila seraya beranjak pergi meninggalkan Afifah dan Dirjo.

“Keponakanmu tuh!” sungut Afifah kesal.

“Di sabarin aja dulu, toh nanti hartanya bakal kita keruk,” sahut Dirjo dengan santai.

Afifah yang membayangkan bergelimang harta menjadi tersenyum cerah, ia sibuk memikirkan ingin membeli apa nanti jika sudah mempunyai uang yang banyak.

Di sinilah sekarang mereka, menghadap bangunan yang megah nan menjulang tinggi.

“Wahh .. asik! Aku bakal tinggal di sini!” seru Rosa kesenangan.

“Ma, ayo kita masuk. Aku mau pilih kamar yang luas,” ajak Rosa seraya mengayunkan tungkai kakinya masuk ke dalam.

“Ayo Rosa, Mama juga mau tidur di kasur yang empuk!”

Ardila menghembuskan nafasnya berat, ia mengikuti ke empat orang itu masuk ke dalam rumahnya. Semoga hari-harinya menjadi lebih baik.

Baru saja Ardila masuk ke dalam, ia sudah di hebohkan oleh teriakan Sinta.

“Mas! Aku mau kamar yang ini, kamarnya paling luas dari yang lain.”

“Nggak bisa! Enak aja, itu kamar aku!” sela Ardila.

“Mass .. kalau udah ada bayi kan, perlu kamar yang lebih luas,” rengek Sinta dengan manja.

“Dil–”

Belum sempat Firman menyelesaikan ucapannya, Ardila menyahut dengan lantang, “Sadar diri dong Mbak! Kamu itu cuma numpang, jangan seenaknya!”

Setelah berucap, Ardila masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Ia hanya bisa mendengar Firman yang membujuk Sinta untuk memilih kamar yang lain.

“Gini amat punya nasib, sabar-sabarin dulu aja, Dil. Kalau mereka bertingkah, tinggal tendang aja,” gumam Ardila menenangkan diri.

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, perutnya keroncongan. Ia juga ada janji dengan sahabatnya, lebih baik makan siang di luar dari pada bersama mereka.

Bertepatan saat Ardila membuka pintu, Ningsih sudah berada di depan kamarnya.

“Masak sana, di rumah semewah ini masa nggak ada pembantu sih. Percuma dong punya rumah gede,” perintah Ningsih dengan omelannya.

“Bahan makanan sudah lengkap di dapur, Bu. Ibu tinggal masak aja apa susahnya, aku sibuk ada kerjaan,” sahut Ardila seraya berlalu.

“Dila! Benar-benar ya, punya menantu! Kamu itu harus ngelayanin orang yang ada di rumah ini!” teriak Ningsih dengan dadanya naik turun menahan amarah.

“Aku bukan pembantu, Bu. Terserah kalau Ibu gak suka!” sahut Ardila tak kalah sengit.

Sebelum masalah menjadi besar, Ardila buru-buru keluar dari rumah. Ia menuju garasi, melajukan mobil kesayangannya untuk bertemu sahabat tercintanya.

“Gila! Mending cerai deh!” ucap seorang wanita dengan geram setelah mendengar cerita sabahatnya.

“Tapi ini wasiat orang tuaku, Nay. Aku ngerasa berdosa kalau sampai nggak ngejalanin,” sahut Ardila pasrah.

“Kalau begitu, gimana dengan sepupuku aja!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status